Selena terdiam sepanjang perjalanan pulang. Ia menatap lurus pada jalanan tanpa memperdulikan Eros yang sudah terlelap di sampingnya. Keputusannya untuk mengajak makan malam mungkin salah besar. Ia malah menemukan Eros yang terus menerus menyerukan nama Emilia meskipun pria itu berada dibawah kendali alkohol. Tidak sadar. Tapi semua itu membuktikan bahwa Eros memang masih memiliki perasaan pada wanita yang kini menjadi kakak iparnya.
Selena mendengus. Bagaimana mungkin Eros bisa membayangkan dirinya sebagai Emilia dan mencium bibirnya? Sangat menjijikan. Selena bahkan menggosok-gosok bibirnya dengan tisu sampai bibirnya terasa perih. Ia bukan boneka, bukan pula mainan. Kenapa pria itu selalu seenaknya?! Meskipun mabuk, Emilia tidak akan pernah memaafkan Eros untuk kejadian malam ini.
Pintu gerbang otomatis terbuka ketika mobil memasuki halaman rumah. Selena memanggil para pelayan untuk membantunya membawa Eros hingga membaringkan pria itu di ranjang besarnya. Ia juga membuka sepatu dan jas pria itu, lalu menutupi tubuhnya dengan selimut.
"Anu...tapi Tuan tidak suka tidur dengan kemeja kerjanya, Nona," ujar seorang pelayan ragu-ragu.
Selena menoleh dengan eskpresi malas, "kalau begitu kau ganti saja pakaiannya."
Pelayan muda itu menggeleng cepat dengan rona merah dikedua pipinya. "Sebaiknya Anda saja yang—"
"Tidak mau," potong Selena seolah mengetahui arah pembicaraan pelayan itu. Sambil melengos ia berkata, "sudahlah, biarkan dia seperti itu. Siapa suruh dia mabuk..."
***
"Apa ini?"
Alex mengangkat kepala ketika suara manis itu menyapa telinganya. Emilia memasuki dapur dengan piyama tidur dan bibir yang mengerucut.
"Kenapa kau tidak membangunkanku?" Gerutu Emilia.
Alex terkekeh sambil menaruh roti panggang ke atas piring. "Kau terlihat lelah," tukasnya mematikan kompor. Pria itu dengan cekatan menyusun sarapan beserta susu di atas meja.
Emilia berdecak, "aku kan hanya diam di rumah..." Matanya tak bisa lepas dari roti panggang buatan Alex yang menguarkan aroma kayu manis. Nampak lezat dan perutnya merespon dengan bunyi yang cukup nyaring.
Alex tertawa sampai matanya menyipit, sementara Emilia buru-buru memukuli bahu pria itu. "Jangan tertawa!"
"Baiklah, baiklah." Alex menyerah. Ia mengacak ujung rambut Emilia dengan sayang. "Ayo sarapan," katanya menarik kursi dan mendudukkan Emilia di sana.
"Aku harus mandi dulu, Alex."
Alex menggeleng sambil menempati kursi di seberang Emilia. "Kau bisa mandi setelah sarapan, jangan biarkan perutmu berbunyi lebih keras lagi, oke?"
"Kau mengejekku!"
Alex terkekeh pelan. Menggoda Emilia adalah salah satu kesenangannya. Sifat manja dan ceria wanita itu selalu membuat siapapun jatuh cinta. Seolah ada perasaan ingin melindungi setiap kali kau melihat tawanya. Terlalu berharga.
"Omong-omong," nada bicara Alex berubah serius, "lututmu kenapa?"
Emilia menggigit pinggiran rotinya dan mengerjap pelan. "Itu—tidak sengaja terantuk meja."
"Kau yakin?"
Emilia mengangguk cepat, "tentu," katanya menepis keraguan Alex. Kalau menceritakan kejadian yang sebenarnya, itu sama saja dengan bunuh diri.
"Lain kali kau harus berhati-hati," pesan Eros khawatir. "Apa perlu kucarikan pelayan?"
Emilia mengibas, "kurasa tidak perlu. Aku bisa melakukan semuanya sendiri."
Bahu Alex terangkat, "aku hanya tidak ingin kau terluka."
"Mulai sekarang, aku berjanji akan berhati-hati," sahut Selena cepat dengan senyum canggungnya.
Alex menghela napas pelan. "Baiklah. Aku percaya padamu."
Emilia mengangguk sambil menundukkan kepala untuk melahap rotinya kembali. Diam-diam ia melirik Alex dan melafalkan beribu permintaan maaf dalam hati.
Sungguh, ini akan jadi terakhir kalinya ia membohongi pria itu.
***
Meski begitu banyak pelayan yang berkerja di rumah itu, tapi Selena sudah terbiasa hidup mandiri. Ia terbiasa menyiapkan segala kebutuhan dengan tangannya sendiri. Ketika para pelayan sibuk membuat sarapan, Selena bergegas membantu mereka tanpa memedulikan tatapan heran yang dilayangkan padanya.
"Saya rasa, sebaiknya Nona kembali ke kamar," ujar salah satu pelayan khawatir. Selena adalah tunangan dari Tuan mereka. Terlalu berisiko jika Eros mendapati tunangannya berada di dapur dan bergabung bersama para pelayan.
Selena menggeleng dengan tegas. Tangannya dengan lihai mengaduk-aduk telur dan menambahkan beberapa bahan lain untuk scramble egg-nya. "Berdiam diri di kamar sangat membuatku bosan." Pelayan itu mengangguk singkat dan kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Eros!"
Semua orang serempak menoleh ketika suara berat itu terdengar hingga ke dapur. Salah satu pelayan menoleh ke arah Selena dan berkata, "itu suara Tuan Steve."
"Eros!"
Selena bingung. Apakah ia harus pergi menemui pria itu dan berkata bahwa Eros masih terlelap karena semalaman mabuk? Tapi Steve pasti akan tahu bahwa ia tinggal disini.
"Eros!"
Selena menghela napas sambil membuka apronnya dan menyerahkannya pada salah satu pelayan. Ia berjalan ke ruang tengah dan mendapati Steve yang hendak menaiki tangga dengan terburu.
"Eros masih tidur."
Langkah Steve terhenti. Pria itu menoleh, namun ekspresinya tidak terlihat terkejut. "Tidur katamu?" Seolah hafal bahwa Eros tidak pernah bangun melebihi jam enam pagi.
"Semalam dia mabuk."
"Itu buruk," Steve mendesah. "Ada rapat penting hari ini dan dia akan kehilangan kesempatan emas jika tidak datang dalam waktu lima belas menit."
Selena menggigit bibirnya. Ia melirik Steve yang kembali meniti tangga dengan terburu. Padahal bukan urusannya, kenapa ia jadi ikut panik?
***
"Aku tidak percaya kau masih bisa mabuk-mabukan padahal tahu bahwa hari ini ada rapat penting." Steve mengomel sambil duduk di bangku kemudi.
Eros mengusap wajahnya yang terlihat sayu. Rambutnya masih acak-acakan dan dasinya tidak terikat dengan rapih.
"Yang lebih tidak kumengerti, kenapa wanita itu tinggal bersamamu?" tanya Steve penasaran. "Imejmu bisa buruk di mata orang-orang, walau aku tahu kau sama sekali tak berminat padanya."
Eros berdecak. "Tidak bisakah kau fokus menyetir saja?" katanya sambil memijat kepalanya yang masih terasa pening.
Steve mendengus. "Kalau sampai proyek ini batal, aku tidak mau membantumu lagi."
"Kau dan Leo sama saja," Eros menyandarkan tubuhnya ke kursi.
"Leo?" Kedua alis Steve terangkat. "Apa maksudmu?"
Eros hanya menggeleng sebagai jawaban. Di dalam kepalanya berkelebat bayangan dimana ia tengah mencium seorang wanita. Eros tidak ingin meyakininya, tapi ia pasti telah mencium Selena semalam, saat ia mabuk. Buruk. Buruk sekali. Sayangnya ia hanya ingat bagian itu.
"Oh ya," Steve kembali menginterupsi, sempat melirik Eros sebelum melanjutkan, "Alex memesan dua tiket perjalanan menuju Maldives untuk tiga hari ke depan."
"Maldives?" Eros tersenyum kecut, "klasik sekali." Lalu senyumnya hilang sedetik kemudian. "Siapkan tiket untukku dan Selena juga di hari yang sama."
Steve menarik napas panjang, "sudah kuduga," katanya sambil menambah laju kecepatan mobilnya. Terkadang, ia sedikit menyesal karena begitu mengenal Eros melebihi siapapun jika itu menyangkut tentang Emilia. Tapi dibeberapa kesempatan, terkadang juga ia tidak bisa menebak apa yang dipikirkan Eros, termasuk ketika pria itu menyeret Selena ke dalam masalahnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Yuni
kern thour ku syukaaa
2020-09-30
0
Vida Kasim
Eros. ..klu pun kmu sakit hati harus kmu jgn lemah di depan mrk..mala ikutan brangkat. .
2020-09-16
0
Ny Edy Urel
lnjut
2020-09-04
1