Eros kembali masuk ke dalam mobil untuk mengambil plester setelah ia membawa Emilia ke pinggir jalan. Ia tidak punya banyak waktu dan jikapun ia memilikinya, ia tak ingin berlama-lama terlibat dengan sang wanita.
Dengan ekspresi sedatar mungkin, Eros menyerahkan plester itu kepada Emilia yang hanya terdiam sejak pertemuan tadi.
"Kau bisa memasangkannya sendiri, kan?"
Emilia mendongak, kepalanya mengangguk ragu. "Uhm."
"Kalau begitu ambilah!" perintah Eros sedikit tidak sabar.
Emilia dengan cepat meraih plester yang disodorkan Eros padanya. Kecanggungan itu benar-benar menyiksa, padahal dulu, mereka begitu akrab. Seperti itulah manusia, yang dekat bisa menjadi jauh yang jauh bisa menjadi dekat. Tapi ia tahu, itu adalah kesalahannya, pilihannya. Ia yang membuat Eros pergi darinya.
Tanpa berkata apapun lagi, Eros segera masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin dan menghilang secepat kedipan mata.
Emilia mendesah pelan. Apa yang ia harapkan? Perhatian pria itu? Bahkan seandainya ia mati tertabrak tadi, rasa-rasanya Eros tak akan peduli. Meskipun kini ikatan mereka telah menjadi saudara.
Ia hanya berharap bahwa Alex tak akan mempertanyakan plester yang menempel di kakinya.
***
Saat Eros kembali dari rapat untuk proyeknya, Leo sudah duduk di ruangannya dengan kaki menyilang dan tangan yang terlipat di dada. Eros tak menghiraukan tatapan menyelidik yang pria itu layangkan padanya.
"Apa yang kau lakukan pada Selena?"
Eros berdiri di samping meja kerjanya dan meminum kopi yang tersisa. Kepalanya menoleh sebentar saat Leo tiba-tiba menyebut nama tunangannya. "Apa yang kulakukan pada Selena?" Ulang Eros seakan tak yakin. "Sejak kapan itu menjadi urusanmu?"
Leo menghela napas. "Asistennya terus menanyakan Selena padaku. Dia menghubungiku ratusan kali dan bahkan datang ke apartemenku."
"Asisten? Selena sudah berhenti menjadi model."
"Kau gila?!" Leo sampai berdiri dari tempat duduknya. "Apa sesungguhnya yang kau rencanakan? Ini berbeda dari yang kau katakan waktu itu. Kau tahu, meskipun dia pernah mencintaimu tapi kurasa bukan ide baik untuk menyeretnya terlalu jauh—"
"Mengapa kau begitu peduli padanya?" Eros berbalik, sebelah alisnya terangkat. "Kau menyukainya?" Tuduhnya pada Leo. Mengingat bahwa Selena dan pria itu pernah terlibat pemotretan bersama.
Leo tertawa kering. "Kau sudah lupa, apa yang telah kita perbuat padanya dulu?"
Eros memalingkan wajah, tak berniat menjawab.
"Kau memanfaatkannya karena kau tahu dia tak akan melawan, kan?"
"Cukup." Eros menyahut dengan nada yang tak ingin dibantah. "Jika kau kesini hanya untuk membela wanita itu, lebih baik kau pergi."
Leo memejamkan matanya sejenak. Setelah menarik napas dalam-dalam, ekspresinya kembali normal. "Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu. Aku hanya tidak ingin kau terlibat masalah yang lebih rumit lagi karena membawa seseorang yang tidak seharusnya terlibat dalam masalahmu."
Pintu ditutup. Eros berbalik dan duduk di kursi dengan menyandarkan tubuhnya. Ia teringat ucapan pelayan yang mengatakan bahwa ibunya sempat berkunjung ke rumah dan berbincang dengan Selena.
***
Emilia tersenyum hangat sambil menata makanan di meja ketika Alex datang dengan jas yang sudah tersampir di lengan kirinya. Untuk menutupi bekas kecelakaan tadi siang, ia mengenakan piyama tidur panjang berwarna merah muda. Ia tak ingin Alex terlampau khawatir dan menanyakan detail kejadian yang ia alami. Apalagi ketika kejadian kurang mengenakkan itu melibatkan Eros. Bisa-bisa Alex menyangka bahwa adiknya sengaja melakukan semua itu.
"Sejak kapan kau bisa masak?" Tanya Alex terang-terangan. Seingatnya, tangan mulus Emilia tidak pernah digunakan untuk menyentuh peralatan dapur.
Emilia mengerucutkan bibir sambil menuang air ke dalam gelas-gelas kaca. "Sebelum menikah denganmu, aku belajar memasak dengan Ibu."
Alex mengangguk sambil memberi kecupan singkat di pipi Emilia. "Aku akan baik-baik saja, kan?"
"Apa maksudmu?" Emilia meninju dada bidang pria itu dan berbalik. "Kau pikir masakanku mengandung racun, begitu?"
Alex terkekeh. Ia memeluk Emilia dari belakang. "Aku hanya bercanda."
Emilia mendengus. "Sudah sana, mandi. Sampai kapan kau akan memelukku seperti ini?"
"Sampai aku mati."
Emilia tertegun.
Sampai aku mati. Kalimat itu...
"Aku akan selalu mencintaimu Emilia, sampai aku mati."
"Tidak. Selamanya. Bahkan setelah aku mati."
Alex mengangkat kepalanya ketika Emilia hanya terdiam. "Hei? Kau melamun?"
"Ah!" Emilia mengerjap cepat. "Tidak," katanya melepaskan pelukan Alex dan meraih jas yang dipegang pria itu. "Mandilah, nanti makanannya keburu dingin."
Wanita itu melengos, sementara Alex hanya terdiam sambil menatap kepergian Emilia.
Entah mengapa, tapi ia merasa bahwa ada sesuatu yang janggal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Pe_fina
🙄emilia koq bimbang terlambat
2020-09-13
1
Thania
aku like smpe sni dlu ya ka
2020-09-10
1