Chapter 19

Happy Reading

...___________________________...

...⚠️WARNING⚠️...

...Mengandung adegan kekerasan...

...⚠️⚠️⚠️...

...Hati-hati banyak typo ...

...Semoga suka......

...++++++++++++++++++++++++...

Di bawah gelapnya langit malam dua orang laki-laki bertopeng berdiri di lorong perumahan yang hanya disinari oleh beberapa lampu jalanan.

“Yakin, mereka kesini?” tanya salah satu dari mereka.

“Iya, bentar lagi paling.” jawab pria satu lagi.

Aahhh

Suara desahan itu membuat mereka sedikit kaget.

“Siapa?”

“Mungkin itu dia.”

Mereka berdua itu segera mencari asal suara desahan tersebut.

Sesuai dugaan mereka, salah satu pria bertopeng itu tersenyum miring di balik topengnya.

Tanpa basa-basi lagi ia segera menembaknya dan tepat sasaran.

“Aduhhh Nak, lo buru-buru banget sih!” ucap pria yang berdiri di sebelahnya.

Nak? ya laki-laki yang menembak itu adalah Nakula dan satu lagi itu adalah Vian.

Mereka berdua ditugaskan untuk menghabisi seseorang yang suka melecehkan perempuan.

Nakula melepaskan pelurunya sekali lagi dan mengenai si perempuan, hal itu membuat Vian kaget.

“Kenapa lo tembak di-”

“Biar cepat beres jadi ga ada saksi kuncinya.” potong Nakula.

“Siapa lagi?” tanya Nakula singkat.

“Engga ada lagi sih,” jawab Vian

“Bereskan mayat itu, ingat pakai sarung tangan!” perintah Nakula.

“Iya aman kok,” jawab Vian dengan menunjukkan tangannya yang sudah berbalut sarung tangan.

Setelah Vian selesai membereskan kedua mayat itu, tiba-tiba seorang wanita mendekati mereka.

“Permisi apa kalian melihat seekor kucing di sekitar sini?”

“Sepertinya iya, mari saya antarkan anda dimana kucing anda berada.” ucap Nakula.

Wanita itu tersenyum lemah, tampak lega mendengar tawaran Nakula.

"Terima kasih...saya sangat khawatir, dia sudah tua dan biasanya tidak pernah jauh dari rumah."

Nakula melirik Vian sekilas, memberi isyarat halus yang langsung ditangkap oleh rekannya.

Meski ragu, Vian mengangguk, tahu apa yang harus dilakukan.

Perlahan ia mulai bergerak ke samping, memposisikan dirinya di belakang wanita itu dengan hati-hati.

"Mungkin kucingmu ada di sekitar sini," kata Nakula, matanya tetap mengawasi wanita itu dengan intens.

"Kami tadi sempat melihat bayangan kecil melintas."

"Oh, iya? Dimana tempatnya?" Wanita itu terlihat antusias, sepenuhnya mempercayai dua pria bertopeng di depannya.

"Di ujung lorong ini," jawab Vian, suaranya terdengar berat. "Mau saya antar?"

Wanita itu mengangguk cepat, lalu mulai berjalan mengikuti Vian tanpa curiga sedikit pun.

Namun, setelah hanya beberapa langkah, ia berhenti tiba-tiba dan berbalik menghadap Nakula.

"Ngomong-ngomong, kalian ini siapa? Kenapa pakai topeng?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya, membuat Vian terdiam sejenak, sementara Nakula tetap tenang, matanya memancarkan kilatan dingin.

"Kami…teman-teman kami dari sekitar sini," jawab Nakula cepat, senyumnya semakin dalam.

"Ini hanya kebetulan. Kami ingin membantu."

Wanita itu tampak ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk lagi.

Namun, ketidaknyamanan mulai muncul di wajahnya.

"Terima kasih…tapi, mungkin saya bisa mencari sendiri. Rasanya…agak aneh."

Nakula menyeringai, sadar waktunya hampir habis. "Oh, jangan khawatir. Kami pastikan kamu merasa aman."

Dalam hitungan detik, Nakula mengeluarkan pistol dan segera melepaskan peluru sebelum wanita itu sadar jika dia akan di tembak.

Tampaknya Nakula kembali berhasil, dengan cepat dia memakai sarung tangan dan menyingkirkan mayat wanita ini.

Vian terdiam, memperhatikan Nakula yang bekerja dengan tenang namun tanpa belas kasihan.

"Bereskan semuanya, Vian. Kita harus segera pergi sebelum ada yang melihat," ujar Nakula sambil memasukkan pistol ke dalam jaketnya.

Vian mengangguk patuh, dan mulai menarik tubuh wanita itu ke sudut gelap, memastikan tidak ada jejak tertinggal.

Sepanjang proses itu, ia bisa merasakan pandangan Nakula yang tak henti-hentinya mengawasinya, seakan menilai setiap gerakannya.

Setelah memastikan semua rapi dan tak ada bekas darah yang tertinggal, Vian berdiri.

Namun, sebelum ia sempat melangkah pergi, suara gemerisik dari balik pagar semak-semak terdengar, membuat mereka berdua spontan menoleh.

Mata Vian melebar, sementara Nakula dengan sigap memasang kembali sikap waspada nya.

Seorang anak kecil tampak berdiri di sana, menatap mereka dengan mata polos yang penuh rasa ingin tahu.

Bocah itu mungkin berusia empat atau lima tahun, dengan bola mata besar yang berkilat dalam kegelapan.

"halo, om-om topeng...." sapanya pelan.

Jantung Vian hampir berhenti dia melirik Nakula, yang kini memasang ekspresi datar namun tak kalah tajam.

“Kenapa kalian disini malam-malam?" tanya bocah itu lagi, polos, tanpa rasa takut sedikit pun.

Nakula menghela napas pendek, pandangan dinginnya tertuju pada anak kecil itu.

Vian tahu benar apa yang mungkin akan dilakukan Nakula, dan kali ini, ia merasa tak bisa berdiam diri.

“Nak, dia cuma anak-anak…mungkin kita bisa kasih alasan….” bisik Vian, suaranya hampir bergetar.

Nakula terdiam sejenak, lalu memandang Vian dengan tatapan penuh makna. "Anak-anak pun bisa bicara, Vian."

“Om…aku lapar,” suara anak kecil itu mengalihkan pembicaraan mereka berdua

Vian mendekat dengan hati-hati. “Orang tua kamu dimana?”

Anak kecil itu menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

“Nama kamu siapa kalau boleh tau?” lagi-lagi anak itu menggelengkan kepalanya.

Vian menghela nafasnya dan menatap Nakula.

Nakula menghampiri anak kecil itu dan Vian. “Kamu ga tau namanya siapa?” tanya Nakula lembut membuat Vian kaget mendengarnya.

Anak itu mengangguk, “Ikut om mau ga?” tanya Nakula menyentuh pipi anak kecil itu.

“Mau mau,” jawab anak kecil dengan semangat tanpa curiga sedikitpun

Dengan gerakan cepat anak itu melompat ke badan Nakula.

Nakula tersenyum tipis, tangan kokohnya menopang tubuh kecil anak itu.

“Ayo, kita jalan dulu. Nanti Om kasih makanan buat kamu,” ucap Nakula dengan nada lembut yang terdengar aneh di telinga Vian.

Tanpa banyak bicara, Nakula mulai melangkah pergi dari lorong itu, membawa anak kecil yang masih tersenyum polos dalam gendongannya.

Vian mengikuti di belakang, hatinya semakin tidak tenang dengan apa yang mungkin direncanakan Nakula.

Namun, ia juga tahu bahwa melawan Nakula bukan pilihan yang bijak.

Setelah beberapa menit berjalan, mereka mencapai sebuah mobil yang terparkir di area sepi.

Nakula meletakkan anak itu di kursi belakang dengan hati-hati dan menutup pintu.

Sambil berpaling ke Vian, ia mengangkat alis seakan menantang.

“Lo mau bawa dia kemana, Nak?” tanya Vian.

Nakula hanya menghela napas panjang, seakan bosan dengan pertanyaan Vian. “Ya bawa kerumah, biar Alya tidak berniat kabur lagi karena sudah anak ini di rumah.” jawaban Nakula membuat Vian bingung.

“Maksud lo, Alya dan lo akan mengurus ni anak gitu?” tanya Vian lagi.

“Ya kurang lebih begitulah.” jawab Nakula dengan masuk kedalam mobil.

Vian tidak mengerti jalan pikir Nakula sekarang, ia hanya mengangguk dan ikut masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil, Vian melirik ke kursi belakang, memperhatikan anak kecil yang tampak asyik melihat keluar jendela tanpa menyadari niat sebenarnya dari pria bertopeng di depannya.

Anak itu terlihat lelah, namun matanya masih berbinar-binar, seolah merasa aman bersama mereka.

Vian berdehem pelan, mencoba mengatasi kegelisahan yang makin menghimpit.

“Nak, apa lo benar-benar yakin ini ide yang bagus? Bawa anak kecil ke dalam situasi ini...Alya mungkin bakal....”

“Alya akan melakukan apa yang perlu dilakukan,” potong Nakula, nadanya tajam namun penuh keyakinan.

“Anak ini adalah jaminan, dan itu sudah cukup untuk memastikan Alya tetap berada di sisiku.”

Vian ingin membalas, namun kata-katanya tertahan.

Ia tahu jika Nakula sudah mengambil keputusan, protes apapun akan sia-sia.

Vian hanya bisa menghela napas panjang, membiarkan kebisuan menyelimuti mereka.

Sesampainya di rumah, Nakula turun dari mobil sambil menggendong anak itu yang sudah tertidur.

Vian mengikutinya masuk, melihat Nakula menempatkan anak kecil itu di kamar tamu.

Sejenak, wajah Nakula melembut saat menatap anak itu, namun hanya sesaat.

“Tunggu disini ya sama om ini, om mau ngambil makanan dulu.” ucap Nakula mengelus rambut anak kecil itu.

“Siap om,” jawab anak kecil itu dengan polos

Vian yang melihat interaksi Nakula dan anak kecil ini bergidik ngeri.

Nakula keluar dari kamar tamu itu untuk mengambil makanan dan tidak menunggu waktu yang lama ia datang dengan membawa roti dengan selai coklat.

Mata anak itu berbinar melihat makanan yang di bawakan oleh Nakula.

“Untuk sekarang ini dulu ya,” ucap Nakula memberikan roti itu kepada anak kecil tersebut

“Om naruh ini dulu ya,” ucapnya lagi, anak itu mengangguk.

Nakula bukan menaruh nampan tersebut ke dapur melainkan menghampiri Alya dan Sasa yang masih terkurung di ruangan yang berbeda.

Mendengar suara pintu terbuka mereka melihat Nakula berdiri diambang pintu dengan membawa nampan tapi kosong.

Ia berjalan mendekat ke arah Alya. “Aku ada surprise untukmu.” ucapnya dengan membuka tali yang mengikat Alya.

“Terus Vian mana?” tanya Sasa.

“Ada di ruang tamu.” jawab Nakula.

Alya menatap Nakula penuh kecurigaan.

"Apa maksudmu dengan 'surprise,' Nak?" tanyanya dengan nada lelah tapi tegas, berusaha menahan ketakutannya.

Nakula tersenyum dingin dan membisikkan kata-kata yang membuat Alya membeku.

"Aku ingin menunjukkan seseorang yang sangat spesial. Temui 'teman kecil' kita di ruang tamu."

Dengan gemetar, Alya memandang Nakula, ketakutan menjalari tubuhnya. “Anak…siapa, Nak?”

Nakula hanya tertawa kecil, menyeringai penuh kemenangan. “Anak kecil itu bisa jadi anak kita. Tapi jangan khawatir, dia di sini untuk memastikan kamu tidak kabur lagi.”

Alya memejamkan mata sejenak, menahan perasaan kalut yang mulai memuncak.

Sasa memandang Alya dengan sorot penuh empati, berusaha memberi kekuatan dengan tatapan mata meski dirinya pun merasa ngeri.

Alya menggigit bibirnya, menahan amarah sekaligus keputusasaan yang membuncah dalam dirinya. “Apa yang kamu lakukan ini...sudah terlalu jauh, Nakula,” bisiknya.

Nakula hanya tertawa kecil dan melambai pada Alya untuk mengikutinya. "Terlalu jauh? Tidak, sayang. Ini baru permulaan."

Dengan enggan, Alya mengikuti langkah Nakula menuju ruang tamu, hatinya berdetak tak karuan, membayangkan apa yang akan dilihatnya.

Sesampainya disana, ia melihat Vian duduk di sofa, tampak tegang, sementara seorang anak kecil duduk di sebelahnya, asyik mengunyah roti yang diberikan Nakula.

Mata Alya melebar saat menatap bocah itu. "Nakula…ini tidak benar...dia hanya anak-anak."

Nakula mendekati Alya, menangkup wajahnya dengan kasar.

"Dia jaminan kita, Alya. Jaminan bahwa kamu tidak akan pernah berpikir untuk meninggalkan aku lagi."

Alya menundukkan kepala, air mata mengalir di pipinya. “Kamu gila, Nak…ini semua gila….”

Nakula hanya menatapnya dengan tatapan tak tergoyahkan, senyum dingin masih menghiasi wajahnya.

"Aku mungkin gila, tapi kamu tetap akan bersamaku. Selamanya."

“Haloo tante cantik, tante pacar om ini ya?” tanya anak kecil itu, pertanyaan anak itu membuat Alya kembali menatapnya dan menghampiri anak itu.

“Haloo juga sayang, nama kamu siapa?” sapa Alya dengan melemparkan pertanyaan, anak menggelengkan kepalanya.

Alya menatap Vian dan Nakula dengan penuh pertanyaan yang dia sampai lewat tatapan.

“Terus orang tua kamu dimana sayang?” lagi-lagi anak itu menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.

Alya menarik napas panjang, menahan perasaannya yang berkecamuk.

Ia tahu anak ini tidak bersalah, hanya korban lain dari obsesi dan kekejaman Nakula.

Dengan suara yang bergetar, ia berusaha berbicara dengan lembut pada anak itu.

"Sayang, kamu tahu rumah kamu ada di mana?" tanyanya, berharap ada sedikit petunjuk agar bisa membawa anak ini ke tempat yang aman.

Anak itu menggeleng lagi, matanya masih polos menatap Alya. "Aku gatau, Tan." Alya menelan ludah, rasa iba bercampur ketakutan menyelubungi hatinya.

Nakula yang menyadari kecemasan Alya mendekat lagi, lalu berbisik di telinganya.

“Lihat baik-baik, Alya. Kalau kamu berpikir untuk kabur lagi, aku tidak akan segan-segan menggunakan anak ini.”

Air mata Alya tak tertahankan lagi, mengalir tanpa suara.

Di hadapannya, Nakula tersenyum puas, sementara anak kecil itu masih menatap Alya dengan polos, tak mengerti bahaya yang tengah mengintainya.

...👣👣👣...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!