Chapter 4

Happy Reading 

...______________...

...⚠️Warning⚠️...

...Mengandung adegan kekerasan dan darah!!...

...⚠️⚠️⚠️⚠️...

...___________________________ ...

...___________________...

...Hati-hati banyak typo...

...___________________________________...

Vian menghela napas panjang, lalu terkekeh pelan. “Lo ini nekat atau bodoh?” tanyanya, setengah mengejek.

Nakula masih diam. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat bulu kuduk Alya meremang.

Lalu, tiba-tiba—

“Kamu pikir aku akan membiarkanmu m*t* dengan begitu mudah?”

Suara Nakula terdengar lebih pelan, tapi justru semakin mengintimidasi.

Alya menggigit bibirnya, rahangnya mengatup keras.

Nakula menariknya lebih dekat. “Kamu tidak akan m*t*, sayang.” Senyuman miring terukir di wajahnya. “Kamu akan hidup. Dan kamu akan tetap menjadi milikku.”

Sementara itu, Sasa hanya bisa memandang Alya dengan tatapan panik, tubuhnya gemetar di bawah genggaman Vian.

“Ayo, kita keluar dari sini,” ucap Vian akhirnya, menarik Sasa dengan paksa.

Nakula mengangguk. “Dan jangan pernah menangis di belakang kami lagi.”

Alya dan Sasa tidak punya pilihan selain mengikuti langkah mereka, meninggalkan kamar mandi dengan hati yang semakin hancur.

Perjalanan terasa begitu panjang meski mereka tahu mereka tak bisa kabur ke mana pun.

Ketika mobil berhenti, tubuh Alya menegang. Ia tidak tahu dimana mereka sekarang, namun sepertinya ini rumah Nakula dan Vian.bgt bgt

“Vian, kita bawa mereka ke dalam,” perintah Nakula

Vian mengangguk paham. “Kali ini, tidak ada kata ampun untukmu, Sasa.”

Sasa menggelengkan kepala, tubuhnya bergetar hebat. “Vian, lepaskan aku! Kumohon!”

Namun sia-sia.

Dalam hitungan detik, mereka sudah berada di sebuah ruangan gelap dengan lampu yang hanya menerangi sebagian tempat.

Jantung Alya berdetak cepat, napas Sasa tersengal ketakutan.

Nakula duduk di sofa, tangannya dilipat depan dada, tatapannya tajam mengunci Alya.

Vian berdiri di sampingnya, lalu menatap Sasa dengan senyum menyeringai. “Saya sudah menyiapkan hukuman khusus untuk Sasa. Tuan pasti tahu hukumannya, bukan?”

Sasa menahan napas. “Tidak…Vian, tolong...kumohon….”

Vian tidak menanggapi. Ia hanya tersenyum lebih lebar.

Sementara itu, Vian menoleh ke arah Nakula. “Lalu bagaimana dengan tuan? Hukuman apa yang akan diberikan untuk Alya?”

Nakula diam sejenak, lalu beralih menatap Alya yang masih berdiri kaku.

“Sesuai dengan keinginannya,” jawabnya akhirnya.

Vian mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Nakula tersenyum tipis, ia mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.

“Dia bilang lebih memilih tubuhnya digores dengan pisau kesayangan saya dibandingkan dipenuhi ciuman saya.”

Sasa menatap Alya, sedikit terkejut. “Alya, lo yakin?”

Alya mengangkat dagunya, menatap balik dengan penuh keberanian. “Iya. Itu lebih baik daripada badan gue dipenuhi kiss mark.”

Sasa menatap Alya dengan mata berkaca-kaca. “Alya… jangan….”

Senyum Vian melebar. “Ck, kalian ini masih sempat-sempatnya ngobrol, ya?”

Nakula menghela napas panjang, lalu berdiri. “Sudahlah. Sekarang kita bawa mereka ke ruangan lain.”

...***...

Alya dibawa ke sebuah ruangan dengan dinding bercat merah gelap, seolah menyerap cahaya yang masuk.

Udara di dalamnya terasa lebih dingin dari seharusnya, membuat tubuhnya merinding sebelum Nakula bahkan menyentuhnya.

Klik.

Suara pintu dikunci di belakangnya, dan Nakula berjalan mendekat, setiap langkahnya terdengar jelas di ruangan yang sunyi.

Nakula mencengkram rahang Alya, gadis itu merasakan remuk di tulang pipi dan rahangnya.

Sorot mata Hazel itu memancarkan aura mematikan. “Kamu ingin bermain-main denganku,” Nakula tersenyum miring. “Baiklah, akan ku tunjukkan padamu.”

Nakula melepaskan cengkeramannya dari rahang Alya. 

Laki-laki itu berjalan menuju sebuah lemari besar, kedua tangannya mengeluarkan sebuah kotak cukup besar.

Nakula mendekat ke arah Alya. Di tangan kanannya terdapat satu buah pisau yang siap menggores kulit Alya. 

Ah, dan jangan lupakan tali panjang yang ia bawa di tangan kirinya.

Alya menjerit ketika Nakula menggoreskan pisaunya di pundaknya. Sakit, ia merasakan sakit yang luar biasa.

Nakula terkekeh. “It hurts?” (Sakit?) manik hazel itu menatap tajam Alya. “Bukankah ini yang kamu inginkan!”

Tanpa diduga Nakula menarik lengannya cepat. Alya pun berdiri dengan tubuh sedikit sempoyongan.

Gadis itu tak tahu apa yang akan dilakukan Nakula kali ini. Hingga dirinya terbanting ke atas ranjang.

Alya mendongak menatap Nakula. Hingga pupil nya membulat sempurna.

“What are you doing?” (Apa yang sedang kamu lakukan?) gadis itu panik ketika Nakula membuka seragam sekolah yang dikenakannya.

Nakula tersenyum miring. “You know what I mean, darling.” (Kamu tahu apa maksudku, sayang.) Laki-laki itu mengambil tali di sebelahnya.

Alya hanya diam pasrah akan nasibnya hari ini.

Karena semakin Alya melawan maka amarah Nakula semakin menjadi-jadi.

Nakula mengikat kedua kaki Alya di ujung ranjang hingga membentuk huruf V. 

Tak lupa laki-laki itu juga mengikat kedua tangan Alya di kedua sisi kepala ranjang.

“Let's start the game.” (Mari kita mulai permainannya.) Perlahan menaiki Nakula tubuh Alya.

“What did you say earlier?” tanya Alya panik. 

(Kamu bilang apa tadi?)

Namun tak ada jawaban sama sekali dari Nakula, membuat Alya semakin panik.

“Please, don't.” (Tolong jangan.) Alya menggeleng dengan air mata yang mulai membasahi pipinya.

Nakula mengelus pipi Alya. “Sss, aku akan melakukannya dengan lembut.”

Alya memejamkan matanya ia sangat lelah sekarang. Ia tidak sanggup untuk memohon lebih jauh.

“Prepared yourself, darling.” (Persiapkan dirimu, sayang) Bisik Nakula lirih.

Nakula bangkit dari tubuh Alya dan mengambil pisau kesayangannya. 

Senyum miring tersungging di bibir pria itu. Hal pertama yang akan ia lakukan adalah menggoreskan belatinya di kulit Alya.

Krak

Nakula merobek seragam yang dikenakan Alya hingga memperlihatkan tubuh gadis itu.

Alya sungguh panik melihat tubuhnya telah terpampang dengan nyata.

“Tidak, kumohon jangan.” Alya menggeleng dengan air mata yang mengalir semakin deras.

“Aku menulis namaku dimana ya, di perutmu atau di selangkangan mu?”

Lalu ujung pisau Nakula turun menyentuh selangkangan Alya.

Nakula mulai menggoreskan pisaunya tepat di selangkangan gadis itu. 

Alya meringis ketika rasa sakit itu mulai muncul.

Nakula menekan pisaunya semakin dalam hingga darah segar muncul di permukaan kulit gadisnya. 

Laki-laki itu sibuk menulis namanya di selangkangan Alya.

“Hentikan.” mohon Alya, suara terdengar lirih dan putus asa.

Nakula menghentikan menulis namanya dan menekan luka yang dibuatnya lalu mengusap darah itu di sekitar paha Alya. 

Laki-laki itu tampak menikmati cairan berwarna merah pekat itu.

“I like your blood.” (Aku suka darahmu.) Dihisapnya cairan merah pekat yang menempel di jemari tangannya.

Alya ingin memuntahkan isi perutnya karena melihat Nakula yang dengan tenang menikmati cairan berwarna merah itu.

Puas dengan kegiatannya Nakula pun beralih menatap Alya kembali. 

Laki-laki itu mendekat dan mengurung tubuh gadisnya. 

Kecupan singkat laki-laki itu berikan di bibir pink milik Alya. 

Sedangkan gadis di bawahnya tak peduli akan tindakannya.

Alya sudah muak dan cukup sudah dirinya terbuai dengan laki-laki itu.

“Hari ini hukumanmu sudah selesai,” ucap Nakula

“Aku akan kembali.” beranjak dari tubuh Alya ia kembali membuka tali yang ada di kaki dan tangannya Alya, kemudian Nakula menghilang di balik pintu.

Air mata Alya akhirnya tumpah, membasahi wajahnya yang pucat.

Alya menekuk kedua lututnya tanpa memperdulikan rasa sakit dari luka yang ada di selangkangannya.

Isakan tangisnya menggema di ruangan.

Setengah jam berlalu, dan tubuhnya mulai kehilangan tenaga.

Napasnya tersengal, kelopak matanya terasa berat.

Dengan sisa energi yang ada, Alya akhirnya terlelap dalam kelelahan dan ketakutan.

...OoO...

Ketika matanya terbuka, langit di luar sudah berubah warna.

Cahaya senja masuk melalui celah jendela, menyelimuti ruangan dalam semburat oranye yang temaram.

Alya mengedipkan matanya, mencoba mengumpulkan kesadarannya.

Tapi begitu ia bergerak sedikit saja, tubuhnya menjerit kesakitan.

Nyeri yang menjalar di sekujur tubuhnya mengingatkannya pada semua yang terjadi siang tadi.

Lambat-lambat, Alya menarik selimut dan membungkus dirinya erat-erat.

Seakan kain tipis itu bisa melindunginya dari semua ketakutan yang menghantuinya.

Namun, ketenangan itu tak bertahan lama.

Tok. Tok.

Suara ketukan di pintu membuat tubuhnya menegang seketika.

Alya menggeleng cepat, napasnya memburu. “Tidak… tidak… aku mohon… jangan….” suaranya lirih, nyaris berbisik.

Gadis itu mengeratkan selimutnya guna menghalau suara ketukan itu. 

Alya sungguh takut jika di balik pintu kamarnya adalah Nakula.

“Alya.” Suara itu membuat Alya menghentikan tangisnya dan membuka selimutnya perlahan. 

Gadis itu bersyukur ketika suara Sasa-lah yang ia dengar.

“Sasa,” Alya menghambur ke pelukan Sasa.

Tangisnya semakin menjadi ketika Sasa mengusap lembut bahunya.

Sasa bisa merasakan betapa hancurnya Alya.

Ia tidak mengatakan apa pun, hanya membiarkan Alya menangis di bahunya.

Jemarinya dengan lembut membelai rambut sahabatnya, mencoba memberikan kenyamanan meskipun dirinya sendiri juga sedang terluka.

Tanpa sadar, air mata Sasa ikut mengalir. Pipinya yang lebam akibat tamparan Vian terasa perih, tapi luka itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan penderitaan Alya.

Alya akhirnya melepaskan pelukannya. Matanya yang bengkak menatap Sasa dengan sendu.

“Sasa…wajah lo—” Suara Alya terdengar lirih, kaget saat melihat lebam di pipi sahabatnya.

Sasa tersenyum kecil, meski hatinya sama hancurnya. “Wajah gue cuma lebam, sedangkan lo—” ia menelan ludah, menahan emosinya. “Lo lebih butuh pertolongan, Lya. Lo kehilangan banyak darah!”

Ia hendak beranjak untuk mengambil kotak obat, tapi tangan Alya dengan cepat menahannya.

“Jangan, Sa.” Suara Alya bergetar. "Kalau Nakula tahu, lo bakal kena."

Sasa menatapnya, bingung. “Hah? Maksud lo?”

Alya menggenggam erat tangan Sasa, sorot matanya penuh ketakutan. “Plis, nurut. Gue nggak mau lo kenapa-kenapa. Cukup temenin gue di sini aja….”

Sasa menggigit bibirnya. Hatinya menjerit melihat kondisi Alya, tapi ia juga tidak bisa membantah ketakutan di mata sahabatnya.

“Lya….”

“Besok lo kan ada lomba,” lanjut Sasa, suaranya lirih. “Sedangkan kondisi lo—”

Tok. Tok. Tok.

Sasa terdiam. Napas Alya tercekat.

Mereka berdua menoleh ke arah pintu.

Nakula.

Lelaki itu berdiri di ambang pintu, sorot matanya dingin. “Lo keluar.”

Nada suaranya datar, tapi penuh ancaman.

Sasa menegang. Ia ingin menurut, tapi saat dirinya hendak beranjak dari pinggir ranjang, Alya langsung menggenggam tangannya erat-erat.

“Jangan….” suara Alya nyaris tak terdengar, kepalanya menggeleng lemah.

Nakula menyipitkan mata. “Lo keluar sekarang.” Kali ini suaranya lebih dingin, lebih menekan.

Alya menegang. "Nggak!" pekiknya, panik.

Seketika, Nakula menoleh ke arah pintu. “Vian.”

Pintu terbuka lebih lebar, memperlihatkan Vian yang berdiri di sana dengan ekspresi malas.

“Bawa dia keluar,“ perintah Nakula.

Vian mengangguk, lalu dengan kasar menarik Sasa dari samping Alya.

“Vian, lepasin gue!” Sasa berusaha meronta, tapi cengkeraman Vian terlalu kuat.

“Sasa!” Alya ingin meraih sahabatnya, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak.

Dalam hitungan detik, Sasa telah diseret keluar dari ruangan, pintu ditutup kembali, dan–

Klik.

Nakula mengunci pintu.

Alya menahan napas. Ketakutan menjalari tubuhnya saat ia menyadari satu hal.

Sekarang, ia sendirian dengan Nakula.

Nakula menatap Alya tajam. “Lomba apa? Di mana tempatnya?”

Alya menelan ludah, berusaha mengabaikan tatapan intens pria itu. “L-lomba pertolongan pertama…lombanya di luar k-kota.” jawabnya gugup.

Senyuman miring terukir di wajah Nakula. “Bagaimana kamu bisa ikut lomba dengan kondisi seperti ini?”

Alya mendengus dalam hati. ‘Pake nanya lagi nih orang!’

“Ya jelas nggak ikut,” sahutnya cemberut

Nakula terkekeh, seolah puas melihat ekspresi sebal Alya. “Sayang, aku obati lukamu.”

Mata Alya langsung membelalak. “Eh, nggak usah! Aku bisa sendiri!” tolaknya cepat.

“Ga ada penolakan.” Suara Nakula terdengar tegas.

Alya menggigit bibir, lalu mencoba menundukkan kepala untuk menghindari tatapannya. “Aku sendiri aja ya...sebaiknya kamu mandi aja sana.”

Nakula menatap Alya sejenak sebelum akhirnya tertawa kecil. “Ya sudah, aku mandi dulu.”

Tanpa berkata lebih lanjut, pria itu bangkit dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi.

Alya menghembuskan napas lega. Untuk pertama kalinya sejak tadi, ia bisa bernapas sedikit lebih tenang.

Matanya tanpa sadar melirik ke arah kamar mandi. “Ternyata dia masih sama seperti dulu.…” gumamnya lirih, dan tanpa sadar senyuman tipis terukir di wajahnya.

TOK TOK TOK!

“Alya!” suara seseorang memanggil dari luar.

Alya memutar mata, tahu betul siapa itu. “Apa sih, Sa! Berisik tahu!!!” balasnya dengan berteriak juga.

“Lya, lo nggak papa kan?” suara Sasa terdengar lebih pelan kali ini.

Alya tersenyum kecil. “Iya, gue baik-baik aja. Lo sendiri gimana?”

“Bagus deh. Gue juga nggak papa, Lya,” jawab Sasa lega.

“Sorry ya, gue nggak bisa bukain pintu. Kuncinya dibawa sama Nakula!” ucap Alya.

“Iya nggak papa. Eh, gue balik ke kamar ya.”

“Iyaa.”

Alya kembali fokus mengobati lukanya. Terlalu sibuk dengan perih yang menusuk di kulitnya, ia tidak menyadari sesuatu.

“Kenapa kamu terus menatap namaku?” Alya tersentak kaget.

Ia buru-buru menoleh ke arah suara itu dan langsung menutup matanya rapat-rapat.

“Nakula! Kamu kenapa nggak pakai baju?!” pekiknya panik.

Nakula hanya mengenakan handuk yang melilit di pinggangnya, air masih menetes dari rambutnya yang basah.

Pria itu berdecak pelan. “Ck, buka saja matamu. Bukankah dulu kamu tidak mempermasalahkan ini?”

Alya masih menutup matanya erat-erat. “Iya, tapi kan itu dulu, Nakula!”

Nakula mendekat. Suaranya lebih rendah, lebih mengancam. “Aku hitung sampai tiga. Kalau kamu tidak membuka mata, aku pastikan akan ada luka baru di kakimu.”

One…

Two…

“Oke! Aku buka!” Alya buru-buru membuka matanya.

Namun, begitu melihat Nakula yang sedang mengenakan celana, wajahnya langsung merona. Ia buru-buru memalingkan muka.

“Lain kali aku akan mengingatkanmu untuk bawa pakaian ke kamar mandi,” gumamnya pelan

Nakula hanya menyeringai, menikmati reaksi gadis itu.

“Aku sudah selesai memakai pakaian,” ucapnya, sembari mengeringkan rambut dengan handuk.

Dia menatap Alya yang masih duduk di tepi ranjang. “Sekarang kamu mau mandi atau nggak?”

Alya menghela napas. “Mau, tapi aku baru aja selesai mengobati luka ini.” jawabnya sambil menatap Nakula penuh waspada.

Nakula mendengus. “Alya yang ku kenal dulu nggak seperti ini. Dulu, walaupun luka, masih bisa kabur.”

Alya mendelik. “Tapi dulu kamu nggak merobek pakaianku!” balasnya ketus.

Nakula hanya terkekeh, seolah tak peduli dengan nada kesal gadis itu. “Baiklah, aku tunggu di balkon. Kalau sudah selesai, panggil aku,” ucapnya sebelum melangkah keluar.

Alya menghela napas panjang. ‘Kok ada ya, manusia kayak dia? Peka, tapi psikopat!’ gerutunya dalam hati, lalu masuk ke kamar mandi.

Di balkon, Nakula menyandarkan tubuhnya pada pagar, menikmati angin sore yang berembus pelan.

Di tangannya, sebatang rokok menyala, asapnya melayang ke udara.

Beberapa saat kemudian, suara langkah ringan terdengar dari dalam kamar.

Nakula menoleh, dan alisnya langsung terangkat saat melihat Alya mengenakan kaos oversize miliknya.

Laki-laki itu terkekeh, matanya menyapu tubuh gadis itu dengan penuh minat.

Alya yang sadar tatapan itu langsung memutar bola matanya malas. “Hey, salah kamu sendiri yang merobek seragamku!”

Nakula mengangkat bahu tanpa dosa. “Terus aku harus apa?” tanyanya santai.

“Kamu minta maaf, lah!” jawab Alya ketus, kedua tangannya terlipat di dada.

Nakula menatapnya dengan ekspresi main-main. “Kamu nggak salah menyuruhku minta maaf?”

Alya berdecak kesal. “Masa bodo kamu siapa. Yang jelas, kamu harus minta maaf! Kalau nggak…” Gadis itu mendekat sedikit, menatapnya penuh tantangan. “Aku bisa aja meninggalkanmu lagi.”

Sekejap, udara di antara mereka berubah tegang.

Nakula menyipitkan mata. Senyuman licik terukir di bibirnya.

“Kamu mau kabur lagi, hmm?” bisiknya tepat di belakang telinga Alya, sebelum lengannya melingkari pinggang gadis itu.

Alya membeku di tempat. Suara dalam pria itu menggetarkan sesuatu dalam dirinya. Ia meneguk ludah dengan susah payah. “E-e-ee…itu aku cuma bercanda.” dalihnya cepat.

Nakula tidak langsung merespons. Sebaliknya, ia tetap menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak.

Alya menggigit bibir. “Nak…bisa kita kembali ke dalam?” tanyanya hati-hati.

“Kenapa?”

“Kakiku sakit karena terlalu lama berdiri,” jawab Alya jujur.

Tak ada jawaban.

Hanya dalam hitungan detik, tubuhnya sudah terangkat dari tanah.

“Baik tuan putri.” ucap Nakula.

“A-apa?! Nakula—turunin aku!” pekiknya panik, tangannya reflek memeluk di leher pria itu.

Nakula hanya terkekeh pelan. “Kenapa? Bukankah ini lebih baik daripada kamu harus jalan sendiri?” Nakula beranjak dari balkon dan kembali ke dalam kamar sesuai permintaan Alya.

Alya ingin protes, tapi bibirnya justru tertutup rapat.

Jantungnya berdetak cepat entah karena posisinya yang tiba-tiba ada dalam pelukan Nakula, atau karena sesuatu yang lain.

Nakula menurunkan Alya perlahan ke atas sofa di dalam kamar.

“Thanks,” ucap Alya pelan, masih menyesuaikan posisi duduknya.

Nakula duduk di sampingnya, satu tangan disampirkan ke sandaran sofa. “You're welcome, babe.”

Alya meliriknya sekilas sebelum bertanya, “Nak, kapan kita ambil barang-barangku?”

Nakula menoleh dan tersenyum kecil. ”Aku sudah nyuruh temanmu dan Vian buat ambil semuanya.”

Alya mengedipkan mata, sedikit terkejut. “Oh…”

Sejenak, hening menyelimuti mereka.

Lalu Nakula mengangkat tangannya, menyelipkan beberapa helai rambut yang jatuh ke wajah Alya ke belakang telinganya.

"Aku nggak nyangka bisa duduk berdua gini lagi, sayang." gumamnya.

Alya membeku sesaat. Ia menatap Nakula, mencoba mencari tahu apa maksud ucapan pria itu.

Dasar manusia labil. ‘Tadi pagi marah-marah, sekarang mesra banget!’ batinnya kesal.

Lalu suara Nakula kembali terdengar, lirih namun tajam.

“Sayang, jangan ninggalin aku lagi.”

Alya menahan napas.

“Cukup dua tahun itu aja kamu pergi dariku,” lanjut Nakula, tangannya menggenggam erat kedua tangan Alya.

Alya menelan ludah. Sosok di depannya ini benar-benar sulit ditebak.

Dengan suara pelan, ia akhirnya berkata, “Nak, aku lebih suka kamu yang marah-marah daripada yang mellow begini.”

Alih-alih tersinggung, Nakula justru terkekeh. “Kenapa?“

Alya bergidik ngeri. “Entahlah…aku agak takut lihat kamu yang kayak gini.”

Nakula menghela napas sebelum akhirnya mengangkat bahu santai. “Baiklah, kalau itu yang kamu mau.”

Tiba-tiba, suara ketukan pintu terdengar.

“Kalian berdua ayo makan! Gue sama Sasa nunggu di dapur!” teriak Vian dari luar.

“Iyaaa!” sahut Alya, lebih cepat dari Nakula.

“Ayo kita makan,” ajak Alya, berusaha bangkit.

Namun, begitu menapak lantai, kakinya yang luka mendadak terasa nyeri.

“Akh!” Alya tersentak, buru-buru kembali duduk.

Nakula yang melihat itu langsung berdiri. “Aku bawa makanannya ke sini aja.”

Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar dan menghilang di balik pintu.

Tak lama kemudian, Nakula kembali dengan nampan berisi makanan.

Ia meletakkannya di meja, lalu duduk kembali di samping Alya.

“Cepet banget,” gumam Alya. “Kamu nggak makan?”

“Makan di sini,” jawab Nakula santai. Ia mengambil piring dan menyodorkannya ke Alya.

“Mau disuapin atau makan sendiri?” tanyanya sambil mengangkat sebelah alis.

Alya mendengus. “Nakula, yang sakit itu kakiku, bukan tanganku!” Ia mengambil makanannya dengan gerakan cepat.

Nakula terkekeh. “Ya sudah. Besok-besok aku lukis tangannya aja, gimana?” godanya.

Alya meliriknya tajam. “Jawabannya aku pending dulu.”

“Hmm.”

Suasana makan mereka berlangsung dalam keheningan.

Setelah sekitar sepuluh menit, keduanya selesai makan.

“Aku taruh ini di dapur dulu,” ujar Nakula sambil mengangkat nampan. Sebelum pergi, ia menatap Alya dalam-dalam. “Ingat, kamu berhutang jawaban.”

Alya hanya mengangguk kecil, menatap punggung Nakula yang menghilang ke luar kamar.

...🍃🍃🍃🍃...

...Maaf kalau banyak typo nya dan ada kosa katanya kurang dimengerti,...

...jangan lupa like dan komen yaw....

...sekian terima kasih....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!