Chapter 8

Happy Reading

...________________...

...Hello guys, apa kabar? semoga kalian dalam keadaan sehat sehat yaw....

...Maaf jika ada typo dan tandai dimana typo nya okee, maaci.......

...Jangan lupa like dan komen yaa...

...________________________________...

Namun, ia sudah duduk cukup lama dan mulai bosan.

Tak lama setelah itu, Nakula keluar dari kamar mandi.

Melihatnya, Alya langsung bersemangat. Namun, ekspresinya berubah cemberut ketika Nakula berkata, “Sebentar, aku mau ambil sesuatu dulu di kamar sebelah.”

“Iya-iya.”

Nakula tersenyum tipis. “Jangan cemberut dong. Aku nggak akan lama.”

Setelah mengatakan itu, ia keluar kamar. Beberapa menit kemudian, ia kembali.

Namun, ada sesuatu di tangannya yang membuat Alya menegang.

Borgol.

Alya menatapnya tak percaya. “Why are you carrying handcuffs? We're just hanging out.”

(Kenapa kamu bawa borgol? Kita kan cuma jalan-jalan.)

Nakula menyeringai. “Nanti juga kamu tahu.”

“Nakula, serius. Buat apa—”

“Ayo berangkat sekarang.”

Nada suaranya tidak mengizinkan perdebatan.

Alya hanya bisa mengikuti. Namun, perasaan gelisah mulai menyelimutinya.

...OoO...

Dalam perjalanan Alya menggigit bibirnya, matanya terus mengawasi jalan yang semakin asing di luar jendela.

‘Anjir, ini gue mau dibawa ke mana sama dia?’ batinnya mulai gelisah.

Jalan yang mereka lalui tampak sepi. Tidak ada banyak kendaraan, hanya deretan bangunan kosong dan pepohonan yang menjulang di sisi jalan.

Semakin jauh mereka melaju, semakin kuat perasaan tidak enak yang menjalari tubuh Alya.

Sesekali ia melirik Nakula, berharap bisa menangkap petunjuk dari ekspresinya.

Namun, laki-laki itu tetap tenang, jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan ritme santai.

“Sudah, tenang saja. Aku tidak akan mencelakai mu.” suara Nakula terdengar datar, tapi Alya tahu, setiap kata yang keluar dari mulutnya bisa memiliki makna tersembunyi.

‘Apa gue harus percaya sama dia?’

Tapi, apa pilihan lain yang ia punya?

Dengan berat hati, Alya hanya mengangguk pelan.

Setelah beberapa saat, mobil akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan tua yang tampak terlantar.

Dindingnya sudah mulai pudar, lampu-lampu di sekitar tempat itu berkedip-kedip, memberikan kesan menyeramkan.

Alya menelan ludah. “Ini kita di mana?”

Namun, Nakula hanya tersenyum miring. Alih-alih menjawab, ia turun dari mobil, lalu berjalan ke sisi pintu tempat Alya duduk.

Klik.

Pintu terbuka.

“Kenapa kamu membawaku ke sini?” suara Alya bergetar, langkahnya ragu saat ia keluar dari mobil.

Nakula tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

Borgol.

Alya membelalakkan mata. “Nak, kamu bercanda, kan?”

Tapi, sebelum ia bisa bergerak, pergelangan tangannya sudah terkunci bersama tangan Nakula.

“Hey! Kenapa aku diborgol?” Alya memberontak, mencoba menarik tangannya, tapi Nakula hanya tertawa pelan, seolah menikmati reaksi paniknya.

Laki-laki itu mendekat, membungkuk hingga bibirnya nyaris menyentuh telinga Alya.

“Diam saja dan ikuti apa yang aku katakan, paham, sayang?”

Napas Alya tersendat. Sekarang pikirannya tidak bisa berpikir positif lagi.

Alya menelan ludah, seluruh tubuhnya merinding. “I-i-iya.” jawabnya ragu-ragu, suara hampir tak terdengar.

“Bagus, sekarang masuk!” perintah Nakula, dan sekali lagi, Alya hanya mengangguk, terpaksa mengikuti perintahnya meski perasaan tidak enak semakin kuat.

Alya melangkah ragu, kakinya terasa berat.

‘Aduh, kenapa firasat gue nggak enak banget, ya?’

Begitu masuk ke dalam, pemandangan di depannya semakin menambah ketakutan dalam dirinya.

Semua orang berpakaian serba hitam, berdiri dalam posisi siaga.

Beberapa membawa senjata, ekspresi mereka dingin tanpa emosi.

Alya melirik Nakula. “Nak, sebenarnya ini tempat apa? Kenapa semua orang berpakaian seperti ini?”

Alya melirik Nakula. “Nak, sebenarnya ini tempat apa? Kenapa semua orang berpakaian seperti ini?”

Nakula tidak langsung menjawab. Mata hitamnya tetap lurus ke depan.

Alya menarik napas, menahan rasa takutnya. “Dan...kenapa kamu bawa pistol?”

Pertanyaannya kali ini terdengar lebih kecil, seperti setengah berbisik.

Baru kali ini dia melihat Nakula dalam mode yang benar-benar berbeda.

Lebih gelap. Lebih berbahaya.

“Lihat saja nanti. Sekarang aku tidak bisa menjelaskannya padamu,” jawab Nakula santai, seakan ini adalah hal yang biasa.

Jantung Alya berdebar kencang. ‘Gila, ini nggak bener. Gue harus cari cara buat kabur!’

Namun, sebelum sempat berpikir lebih jauh, Nakula tiba-tiba meremas tangannya yang terborgol.

“Sayang, sebenarnya kita mau ngapain?” tanyanya, berusaha terdengar lembut meski rasa takutnya begitu nyata.

Nakula menoleh sedikit, seulas senyum tipis terukir di bibirnya. “Menangkap seseorang, sayang.”

“Hah?” Alya semakin bingung. “Lalu...kenapa aku yang diborgol?”

Langkah Nakula terhenti. Ia berbalik dan menatap Alya dalam-dalam.

“Sorry, darling. I can’t answer your question now.”

(Maaf, sayang. Aku nggak bisa menjawab pertanyaanmu sekarang.)

Alya tercekat.

“Jalankan saja apa yang aku suruh, paham?” Tekanan dalam suara Nakula membuat bulu kuduknya berdiri.

Alya hanya mengangguk, terlalu takut untuk membantah.

Setelah mendapat jawaban itu, Nakula membawanya duduk.

Alya mengawasi sekitar, otaknya berusaha mencerna situasi yang semakin tidak masuk akal ini.

Lalu, sesuatu menarik perhatiannya.

Di kejauhan, ada seseorang yang terus memperhatikannya.

Jantungnya mencelos.

“Nakula....”panggil Alya lirih.

Nakula, yang juga menyadari tatapan itu, hanya tersenyum menyeringai.

“Kamu jangan takut, ada aku di sini,” bisiknya.

Alya menggeleng. “Siapa dia? Apa dia orang yang kamu maksud?”

Alih-alih menjawab, Nakula hanya mengangkat alis, lalu tersenyum miring.

“You are very smart, darling.”

(Kamu sangat pintar, sayang.)

Ucapan itu membuat tubuh Alya semakin kaku.

Wajahnya pucat. Napasnya semakin pendek.

Melihat Alya seperti itu, Nakula mendekat, membisikkan sesuatu di telinganya.

“Why is your face pale, darling?”

(Kenapa wajahmu pucat, sayang?)

Alya tidak menjawab. Tidak bisa menjawab.

Tanpa aba-aba, Nakula tiba-tiba menarik wajahnya dan mencium bibirnya dengan kasar.

“Mmh—!”

Alya terkejut, matanya melebar. Ia berusaha menolak, tapi tangannya terkunci dalam borgol.

“Nak...ngh...lepas!”

Tapi Nakula justru semakin menekan tubuhnya, tangannya mencengkeram tengkuk Alya agar tidak bisa lari.

Beberapa detik kemudian, akhirnya Nakula melepaskan bibirnya dari Alya.

Tatapan gelapnya bertemu dengan mata Alya yang penuh kemarahan dan keterkejutan.

“Lain kali, dibalas, sayang,” bisiknya.

Jempolnya mengusap sisa saliva di bibir Alya, seolah menandai bahwa ia baru saja memiliki gadis itu sepenuhnya.

Alya membuang muka dengan wajah cemberut. “Kamu kenapa sih? Udah dikasih hati, minta jantung pula!” dengusnya kesal.

Nakula terkekeh, melihat ekspresi Alya yang merajuk hanya membuatnya semakin gemas.

Ia mengangkat tangan bebasnya, menangkup wajah Alya dengan telapak tangannya, ibu jarinya mengelus pipi Alya dengan lembut.

“You are so adorable, darling.”

(Kamu sangat menggemaskan, sayang.)

Alya melotot. “Lepas, tangan kamu dingin!”

Sebelum Nakula sempat menanggapi, suara seseorang tiba-tiba menyela dari samping.

“Sorry to interrupt, can I sit here?”

(Maaf mengganggu, bolehkah saya duduk di sini?)

Alya dan Nakula serempak menoleh.

Begitu melihat siapa yang berbicara, Alya menelan ludah susah payah tangannya mencengkram erat ujung roknya.

Sementara itu, Nakula justru hanya menatap orang itu sekilas lalu kembali mengalihkan fokus ke Alya.

Senyum kecil yang begitu berbahaya terbentuk di wajahnya.

“Yes, you can sit here,” jawab Nakula santai, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

(Ya, kamu bisa duduk di sini.)

Alya memejamkan mata, menahan napas.

‘Ya Tuhan, semoga Nakula nggak melakukan hal gila!’ batinnya berdoa.

Tapi, harapannya hanya tinggal harapan.

Tuhan sepertinya sedang tidak berpihak padanya, karena beberapa menit setelah minuman datang, tanpa sepengetahuan siapa pun, Nakula memasukkan sesuatu ke dalam gelas orang itu.

Bubuk putih yang Alya bahkan tidak tahu apa itu.

Darah Alya berdesir.

Matanya melebar saat melihat gerakan kecil Nakula yang begitu terlatih.

Setelah itu, tanpa membiarkan Alya protes, Nakula menggenggam pergelangan tangannya yang bebas dan menyeretnya ke toilet, sementara tangan mereka yang terborgol ikut bergerak bersamaan.

Di dalam toilet, Alya menepis tangannya dengan kasar atau setidaknya mencoba, karena borgol itu membuatnya sulit untuk benar-benar menjauh dari Nakula.

“Apa yang barusan kamu lakukan?!” bisiknya tajam, menatap Nakula dengan penuh keterkejutan dan kemarahan.

Nakula hanya menyandarkan tubuhnya di dinding, menyeringai santai. “Aku hanya memasukkan sedikit obat. Fungsinya agar dia cepat mabuk.”

Alya tertegun.

“Kamu gila?” suaranya tercekat. “Kenapa kamu melakukan itu? Itu berbahaya kalau kamu nggak tahu efek samp—”

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Nakula tiba-tiba menariknya lebih dekat dan melumat bibirnya dengan rakus.

“Ngh—!”

Alya meronta, tapi dengan tangan mereka yang masih terborgol, pergerakannya terbatas.

Ia mencoba mendorong Nakula dengan tangan kirinya yang bebas, tapi pria itu justru semakin menekannya ke dinding.

“Reply, darling,” gumam Nakula di sela-sela ciumannya.

(Balas, sayang.)

Alya menggeleng, berusaha menghindar.

Nakula mengerang rendah, lalu akhirnya melepaskan bibir Alya dengan enggan.

“Why?” tanyanya dengan suara rendah, mengintimidasi.

(Kenapa?)

‘Pake nanya lagi?!’ batin Alya mengumpat dalam hati.

Alya menunduk, wajahnya memerah karena malu. “Aku...belum terbiasa,” gumamnya lirih. “Sebelumnya kamu nggak pernah melakukan hal ini.”

Tatapan Nakula melembut sejenak sebelum kembali berubah tajam.

Ia mengangkat dagu Alya agar gadis itu menatapnya.

“Ah, apparently it's like that.” Nakula terkekeh kecil. “Okay, if thats the reason you didn’t kiss me back. I’ll teach you later in the apartment.”

(Ah, ternyata begitu. Oke, kalau itu alasanmu tidak membalas ciumanku. Aku akan mengajarimu nanti di apartemen.)

Mata Alya membulat. “Aku menolak diajari olehmu!” sentak nya spontan. “Aku tahu kamu cuma mau modus kalau sama aku!”

Nakula hanya tertawa kecil, seolah sangat menikmati reaksi Alya.

Lalu, ia mengangkat satu alis. “Kamu menolak, hm?”

Tubuh Alya menegang.

Alarm bahaya di otaknya berbunyi nyaring. ‘Gue harus apa sekarang?! Tolong!’

Tapi Nakula tidak memberinya kesempatan untuk berpikir.

Tiba-tiba, ia menarik tangan Alya yang bebas dan mengangkatnya ke atas, sementara tangan mereka yang terborgol ikut tertarik.

“Sekarang sudah berani menolak, cantik?” bisiknya tepat di depan wajah Alya.

Tatapannya gelap, penuh dengan sesuatu yang membuat Alya kehilangan kata-kata.

Jantung Alya berdebar kencang.

Tanpa aba-aba, Nakula kembali mencium bibirnya.

Lebih dalam. Lebih dalam lagi.

Panik, Alya mencoba menghindar, tapi Nakula semakin menekan tubuhnya.

Akhirnya, dengan sangat terpaksa, Alya mulai membalas ciumannya.

Senyum puas terbentuk di bibir Nakula saat merasakan respons dari Alya.

Setelah beberapa saat, akhirnya Nakula melepaskan ciumannya.

Ia menatap bibir Alya yang kini sedikit membengkak sebelum mengangkat tangannya dan dengan santai mengusap sisa saliva di sudut bibir gadis itu.

“Good girl,” bisiknya dengan nada menggoda

“Ayo kita pulang, karena besok kita akan kembali ke sekolah.”

Mata Alya berbinar saat mendengar Nakula mengatakan itu.

Dengan cepat, ia menganggukkan kepala dengan semangat dan tersenyum manis.

‘Alya, kamu harus tahu satu hal… Aku tidak bisa menolak permintaanmu, kecuali yang membahayakan mu. Sudah lama aku tidak melihat senyuman manismu seperti ini.’

Nakula hanya bisa mengatakannya dalam hati.

Namun suatu saat, ia pasti akan mengatakannya langsung pada Alya.

“Terus bagaimana dengan orang tadi?” tanya Alya, namun bukan jawaban yang ia dapat, melainkan tatapan tajam penuh ketidaksukaan.

Alya langsung mengerti maksud tatapan itu. “Baiklah, ayo kita pulang sekarang,” ucapnya dengan pasrah.

Saat mereka berjalan melewati kerumunan orang-orang berpakaian serba hitam seperti Nakula, tiba-tiba seorang pria bertanya kepada Nakula, “È la tua ragazza?” (Apa dia pacarmu?)

Nakula menoleh santai sebelum menjawab, “Sì, è la mia ragazza.” (Ya, dia pacarku.)

Alya terkejut mendengar jawaban itu. Ia cukup paham bahasa Italia dan langsung menoleh ke arah Nakula dengan ekspresi tidak percaya. ‘Dia sudah gila atau bagaimana?!’ batinnya kesal.

...//^\...

Di dalam mobil

Alya menatap jalanan yang gelap dan sepi. Sesekali, ia melirik ke arah Nakula yang tampaknya sedari tadi terus memperhatikannya.

“Kalau ngantuk, tidur saja. Agar besok tidak terlambat,” ucap Nakula.

Alya menurut dan menganggukkan kepala, perlahan memejamkan mata.

Namun, pikirannya yang terus bekerja membuatnya teringat sesuatu yang ingin ia tanyakan.

“Nak, aku ingin menanyakan sesuatu padamu,” ucap Alya tiba-tiba membuka matanya kembali.

“Tanyakanlah.”

Alya menatap Nakula serius sebelum akhirnya bertanya, “Sampai kapan kamu akan mengurungku?”

Tiba-tiba, mobil berhenti. Nakula menoleh dan menatap Alya dalam-dalam.

“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan itu?”

“Aku hanya ingin tahu saja. Tapi kalau aku tidak boleh menanyakan itu, baiklah. Aku akan menanyakan hal lain,” ujar Alya, mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Apa fungsi ruangan rahasia yang ada di apartemen kita waktu di Amerika?”

Sekilas, mata Nakula menyipit.

“Dari mana kamu tahu tentang ruangan itu, sayang?”

Nada suaranya berubah dingin, membuat Alya merinding seketika.

“Bukankah aku sudah melarang mu masuk ke ruangan itu?!”

“Aku tidak masuk, aku hanya tidak sengaja melihatmu masuk ke sana.”

Nakula masih menatapnya penuh selidik, sebelum akhirnya berkata, “Ruangan itu adalah tempat aku menyimpan senjata yang sudah aku gunakan. Di sini pun ada. Jadi, jangan pernah mencoba masuk atau mengikuti ku secara diam-diam.”

Ia lalu mendekatkan wajahnya ke Alya dan berbisik dengan nada mengancam, “Jika kamu melanggar, artinya kamu sudah siap menjadi wanitaku. Dan aku pastikan, di dalam perutmu akan tumbuh kehidupan.”

Jantung Alya berdetak kencang, keringat dingin membasahi dahinya.

Setelah mengatakan itu, Nakula kembali menjalankan mobilnya.

Alya mencoba memejamkan matanya lagi, tapi pikirannya terlalu kacau.

Kata-kata Nakula terus berputar di kepalanya.

‘Gue nggak mau…Bagaimana cara gue kabur dari dia? Tapi kalau gue kabur, kemungkinan besar Sasa bakal kena batunya….’

Alya menggigit bibirnya, menahan kecemasan.

“Berapa lama lagi kita akan sampai?” tanyanya, mencoba mengalihkan pikirannya.

Namun, tidak ada jawaban dari Nakula. Ia tetap fokus mengemudi dengan ekspresi sulit ditebak.

...🍀🍀🍀...

...Oke segitu dulu ya… maaf upnya lama ada kendala sedikit, udah di tandai yang typo?...

...Kalau udah makasi ya.......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!