Chapter 10

Happy Reading

...________________________...

...⚠️Warning⚠️...

...Anak dibawah umur 15 tahun dilarang membaca Chapter ini...jika kalian tetap baca dosa ditanggung sendiri. Awas nanti kalian ketahuan mama....

...⚠️⚠️⚠️...

...Hati-hati banyak typo bertebaran...

...Jangan lupa like dan comment...

...Semoga kalian sukaa.......

...____________________________...

Nakula menyerahkan sebuah handphone kepada Alya, tetapi begitu melihatnya, gadis itu langsung mendengus kesal. “Nak, ini bukan handphone aku.”

Nakula hanya mengangkat bahu santai. “Habisnya, kamu terlalu mudah ditebak.”

Alya menyipitkan mata, lalu mendesah panjang. “Huh, selalu saja begini. Baiklah, daripada nggak ada sama sekali.” Ia akhirnya menerima ponsel itu meski jelas bukan miliknya.

Sasa menatapnya dengan ekspresi tak percaya. “Gue nggak ngerti, Lya. Lo sabar banget sih sama dia.”

“Udah biasa,” gumam Alya, malas memperpanjang.

Bel sekolah berbunyi nyaring, menandakan waktu istirahat hampir habis.

“Eh, ayo balik ke kelas. Udah mau bel,” ajak Sasa buru-buru.

Mereka keluar dari UKS dan berjalan menuju kelas.

Sekarang, baik Alya maupun Sasa tampak lebih tenang karena tidak ada tatapan julid seperti tadi.

‘Syukurlah, nggak ada yang kepo lagi,’ batin Alya.

‘Semoga nggak ada yang melebih-lebihkan cerita,’ pikir Sasa dalam hati.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama.

"Alya! Sasa!" panggil seseorang dari belakang.

Alya dan Sasa menegang.

‘Aduh, ngapain sih dia manggil!’ umpat Alya dalam hati.

‘Baru beres satu masalah, datang lagi yang lain,’ gerutu Sasa.

Mereka mempercepat langkah, berpura-pura tidak mendengar.

Namun, seseorang sudah menghadang di depan mereka.

“Sombong banget sekarang. Padahal dulu kalian nyapa duluan, ngajak ngobrol duluan,” ucap Azka, menatap mereka dengan ekspresi datar.

Alya dan Sasa berusaha keras untuk tidak panik.

Mereka tahu siapa yang berdiri di belakang mereka.

Nakula dan Vian.

Dan sekarang, dua lelaki itu tengah mengamati reaksi mereka dengan ekspresi tak terbaca.

Alya dan Sasa menahan napas, tidak berani menoleh sedikit pun.

Namun, sebelum mereka sempat berpikir lebih jauh

Tubuh mereka tiba-tiba terangkat dari tanah.

Alya tersentak. “Astaga! Nak, turunin! Aku malu digendong kayak gini!”

Nakula tidak menggubris. “Diam lah. Simpan suaramu untuk menjelaskan nanti di hadapanku.”

Alya langsung terdiam.

Sementara itu, Sasa juga mengalami nasib yang sama di tangan Vian.

Namun, berbeda dengan Alya yang panik, Sasa malah tampak santai.

Vian meliriknya sambil terkekeh. “Kenapa kamu diam aja, sayang?”

Sasa menghela napas panjang, “Aku sudah pasrah dengan apa pun yang terjadi selanjutnya.”

“Walaupun kamu hamil?” goda Vian.

Sasa menoleh dengan ekspresi datar. “Ya, sekalipun aku hamil anakmu nanti.”

Vian tertawa kecil, “Gila, santai banget jawabnya.”

Alya menatap mereka dengan ekspresi horor. “Sasa, lo kenapa?!”

Sasa hanya mengangkat bahu. “Udah, lah. Lawan juga percuma.”

Alya ingin membantah, tetapi mereka sudah tiba di parkiran.

Dan sebelum ia sempat memprotes lagi, pintu mobil terbuka.

Mereka berdua langsung dilempar masuk ke dalam.

BRAK!

Pintu tertutup rapat.

Nakula menatap Alya, matanya gelap.

Vian menoleh ke Sasa, bibirnya menyungging senyum main-main.

Nakula mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, membuat Alya hanya bisa menggigit bibir dan berdoa dalam hati.

Setiap tikungan terasa terlalu tajam, setiap rem mendadak membuat tubuhnya sedikit terhempas ke depan.

Namun, Nakula tetap diam.

Tidak ada suara, tidak ada komentar hanya deru mesin yang memenuhi mobil.

Alya menghela napas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berpacu.

Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, mereka akhirnya sampai di rumah.

Alya melirik ke luar jendela.

Mobil Vian dan Sasa belum terlihat.

‘Kenapa mereka belum sampai juga?’ pikirnya.

Sebelum ia sempat mencari jawaban, suara pintu terbuka membuatnya tersentak.

Nakula sudah berdiri di luar, membukakan pintu untuknya tanpa sepatah kata pun.

Alya menelan saliva dengan susah payah.

Dengan ragu, ia melangkah keluar dan mengikuti Nakula masuk ke dalam rumah.

Rumah itu besar dan mewah tapi dingin.

Bukan karena suhunya, melainkan karena suasananya.

Seperti ada tekanan yang tidak kasat mata, membuat Alya merasa setiap langkahnya semakin berat.

Setibanya di ruang tamu, Nakula berhenti dan berbalik menatapnya.

Mata itu tajam.

Terlalu tajam.

“Jadi,” suara Nakula terdengar tenang, tapi dingin. “Jelaskan sekarang, bagaimana kamu bisa mengenal laki-laki itu?”

Alya terdiam.

Jantungnya berdebar kencang.

‘Azka…’

Otaknya berputar mencari kata-kata yang tepat.

Tapi mulutnya seakan terkunci.

Di satu sisi, ia ingin menjelaskan. Tapi di sisi lain, pikirannya masih kacau setelah apa yang baru saja terjadi.

“Aku... aku tidak tahu harus mulai dari mana,” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan.

Nakula menghela napas panjang.

Jelas sekali, kesabarannya mulai menipis.

Ia melangkah mendekat.

Semakin dekat.

Alya bisa merasakan kehadirannya begitu menekan, seperti bayangan gelap yang siap menelannya.

“Kamu tidak tahu, atau tidak mau bilang?”

Suaranya masih rendah, tapi ada ketegasan yang tidak bisa diabaikan.

Alya menunduk, menghindari tatapannya. “Nakula… aku benar-benar bingung. Aku tidak pernah berniat menyembunyikan apa pun darimu, tapi ini semua terjadi begitu cepat.”

Suaranya sedikit bergetar.

Nakula mengerutkan alisnya.

“Cepat? Atau kamu memang menyimpan rahasia?” tanyanya tajam.

Tiba-tiba

Drrt.

Bunyi getaran ponsel memecah ketegangan di antara mereka.

Alya langsung menegang.

Nakula melirik ponsel yang sejak tadi ada di tangan gadis itu.

Dengan gerakan santai, ia meraihnya dari genggaman Alya dan membaca pesan yang baru masuk.

Wajahnya langsung berubah.

Alya mencoba mencuri pandang.

Namun, begitu melihat ekspresinya yang semakin gelap, tengkuknya meremang.

Ia menutup ponsel dengan satu gerakan tajam, lalu menatap Alya lebih dalam.

“Menarik.”

Hanya satu kata, tapi efeknya cukup untuk membuat Alya kehilangan kata-kata.

“Jadi, kamu tidak kenal dia?”

Nada Nakula semakin menyeramkan.

Alya menegang.

Pikirannya berputar liar, mencari celah untuk menghindari api yang mulai membakar kesabaran laki-laki itu.

Sebelum ia sempat menjawab

Brak!

Pintu rumah terbuka dengan kasar.

Vian dan Sasa masuk dengan aura yang sama tegangnya.

Vian langsung menuju Nakula. Tatapannya tajam, jelas menunjukkan sesuatu yang penting.

Sementara itu, Sasa menghampiri Alya, menggenggam tangannya dengan erat.

“Alya...”

Suaranya nyaris bergetar.

Alya menelan saliva dengan susah payah.

Ia tahu tidak ada lagi waktu untuk menghindar.

"Baiklah, aku akan cerita...tapi, kamu harus janji untuk mendengarkan semuanya tanpa menyela.”

Nakula melipat tangan di dadanya. Matanya menyipit, ekspresinya nyaris tak terbaca.

Namun, akhirnya ia mengangguk. “Jelaskan sekarang.”

Alya menarik napas panjang, lalu mulai berbicara.

“Laki-laki itu...sebenarnya....”

Suara Alya melemah.

Kata-kata itu terasa berat, seperti duri yang siap menusuk dirinya sendiri.

Alya meremas tangannya yang dingin, lalu menunduk.

“...aku pernah dekat dengannya.”

Hening.

Lalu—

“Jadi kamu berbohong padaku, hah?!”

Bentakan Nakula menghantam ruang itu seperti ledakan.

Alya menggigit bibir.

Ia tahu ini akan terjadi.

Tapi tetap saja, tubuhnya gemetar mendengar nada itu.

“Jawab, Alya!”

Alya hanya diam, kepalanya masih tertunduk.

Tak ada kata yang keluar.

Dan itu semakin membuat Nakula geram.

Tiba-tiba, tangannya mencengkeram pergelangan Alya, menariknya dengan paksa.

“Ikut denganku!”

“Aahh! Nakula, lepas!” Alya berusaha memberontak, tapi sia-sia.

“Nakula, jangan melakukan hal yang membuat aku membencimu lebih dalam!!!”

Teriakan Alya menggema.

Tapi laki-laki itu tetap melangkah cepat, menyeretnya masuk ke dalam kamar, lalu—

Brak!

Pintu dikunci.

Alya memutar tubuhnya dengan napas memburu, matanya membelalak melihat Nakula berjalan mendekat.

“Sekarang, apa yang kamu inginkan dariku?” suara Alya histeris.

Jantungnya berdebar kencang, otaknya dipenuhi kemungkinan buruk yang bisa terjadi.

Nakula semakin dekat.

Tatapannya gelap.

“Yang aku inginkan....”

Langkahnya berhenti tepat di depan Alya.

Laki-laki itu menundukkan wajahnya sedikit, hingga napasnya menyapu permukaan kulit Alya.

“...adalah meniduri mu.”

Napas Alya tersengal.

Seketika, dunia di sekitarnya seolah runtuh.

“T-Tidak... itu tidak akan pernah terjadi!” Alya menggeleng panik, tubuhnya bergerak mundur hingga punggungnya menabrak dinding.

Tapi Nakula hanya menyeringai tipis.

“Aku tahu kamu berbohong. Dan aku benci pembohong, Alya.”

Tangannya terangkat, mencengkeram dagu Alya dengan kuat, memaksa gadis itu menatapnya.

“Jika aku memberitahumu waktu itu...mungkin sekarang aku sudah tidak gadis lagi!”

Suara Alya bergetar.

Tatapan Nakula berubah sedikit.

Namun, ia tetap bertahan. “Tapi sekarang bukankah itu akan terjadi, hm?”

Alya semakin panik.

Matanya memerah, air mata mulai menggenang di sudut matanya.

Lalu, dengan suara yang nyaris putus asa, ia berteriak—

“B*n*h saja aku! dengan p*s*u atau dengan p*st*l mu sekarang!!”

Seketika, semuanya berhenti.

Cengkraman Nakula melemah.

Satu detik.

Dua detik.

Lalu, tanpa sepatah kata, Nakula melepaskan Alya dengan kasar, lalu berbalik.

Langkahnya cepat, hingga akhirnya

Brak!

Pintu kamar terbuka, dan ia melangkah keluar.

Alya terjatuh ke lantai.

Dadanya naik turun, tubuhnya lemas.

Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh begitu saja.

“ARGH! DASAR PEMB*N*H BAJINGAN!!!” suaranya memenuhi ruangan, bercampur dengan isak nya.

Tangannya mengepal.

“Kenapa...kenapa gue harus bertemu dengan orang seperti dia?”

Alya terisak.

Lalu, dengan langkah lemas, ia berjalan ke kamar mandi.

Air dingin menyentuh kulitnya, tapi pikirannya tetap panas.

Setelah beberapa saat, ia keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju kasur.

Matanya perlahan tertutup.

Bukan karena tenang.

Tapi karena lelah.

Lelah menghadapi Nakula.

...°°°...

Nakula duduk di ruang kerjanya, menenggak wine dalam diam.

Cairan merah pekat itu mengalir melewati tenggorokannya, meninggalkan sensasi panas yang anehnya terasa menenangkan.

Dadanya masih naik turun, pikirannya berputar tak menentu.

Alya.

Nama itu terus berputar di kepalanya.

Beberapa saat berlalu, napasnya mulai stabil.

Ia meletakkan gelasnya, lalu bangkit.

Dengan langkah perlahan, ia kembali ke kamar.

Sesampainya di sana, matanya langsung tertuju pada sosok yang tengah terlelap di ranjang.

Alya.

Wajahnya tampak tenang dalam tidur, meski Nakula tahu betapa kacaunya batin gadis itu.

Tatapannya melembut.

Tangannya terangkat, perlahan mengelus pipi Alya dengan ujung jarinya.

“Aku tidak pernah berniat membunuhmu, sayang....”

Bisikannya nyaris tak terdengar, namun ketulusan dalam suaranya begitu nyata.

“Jangan pernah memintaku melakukan hal itu lagi, karena aku tidak akan pernah mau.”

Tiba-tiba, mata Alya terbuka.

Tatapan mereka bertemu.

Hening.

Lalu, dengan suara lirih namun tegas, Alya berbisik

“Itulah yang aku rasakan saat kamu ingin meniduri ku.”

Nakula terdiam.

Kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia bayangkan.

Alya menatapnya tanpa ragu.

“Aku tidak ingin kehilangan mahkota yang selama ini aku jaga demi kehormatan kedua orang tuaku.”

Suaranya bergetar, matanya berkabut, menahan air mata yang hampir jatuh.

“Cukup aku kehilangan orang-orang yang ku sayangi. Aku tidak mau kehilangan kehormatanku juga.”

Nakula masih tertegun.

Ia tidak pernah melihat Alya berbicara setegas ini sebelumnya.

Kemudian, dengan nada lebih pelan, Alya melanjutkan.

“Nakula, aku mohon...jangan menghukum ku dengan mengambil sesuatu yang belum seharusnya menjadi milikmu.”

Sekarang, suaranya terdengar lebih lirih, lebih penuh permohonan.

“Aku akan menyerahkannya padamu jika kamu menjadi suamiku nanti.”

Hening lagi.

Nakula menatap Alya dalam-dalam.

Mencoba membaca matanya, mencari kebohongan.

Tapi ia tidak menemukannya.

“Suamimu?” tanyanya, memastikan.

Alya mengangguk kecil. “Ya, karena aku tahu kamu tidak akan pernah membiarkanku pergi...apalagi menikah dengan laki-laki selain dirimu.”

Ada keheningan panjang setelahnya.

Lalu, perlahan, Nakula bangkit.

Tatapannya tetap mengunci Alya.

Ia menghela napas panjang, seolah menimbang sesuatu.

Hingga akhirnya

“Baiklah.”

Nada suaranya dalam, namun tegas.

“Aku tidak akan menghukum mu dengan hal itu.”

Alya hampir menghela napas lega, namun belum sempat ia melakukan itu, Nakula melanjutkan.

“Tapi itu bukan berarti kamu bebas dari hukuman, Alya.”

Tatapan itu kembali dingin.

Tanpa menunggu jawaban, Nakula berbalik, berjalan menuju lemari besar.

Senyumnya samar.

Hukuman Alya baru saja dimulai.

...('・ω・')...

...Sampai disini dulu ya...soalnya aku bikin cerita ini sudah malam dan sekarang mau tidur. Sebelum itu aku minta maaf jika ada kalimat yang salah ya.......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!