Happy Reading
..._____________...
...Bijaklah dalam membaca....
...Hati-hati banyak typo...
...___________________________________...
“Astaga! Kamu mau nyantet aku, ya?!” seru Alya spontan, matanya membesar saat melihat isi galeri Nakula.
Nakula mengernyit. “Hah? Apa itu santet?”
Alya menepuk dahinya sendiri, lalu tertawa kecil. “Masa nggak tahu sih? Santet itu semacam sihir. Kamu tahu sihir, kan? Nah, kalau di sini, namanya santet atau ilmu hitam.”
Nakula mendengarkan dengan ekspresi serius, seakan mencerna setiap kata. “Tidak mungkin aku menyantet calon ibu dari anak-anakku.”
Napas Alya langsung tercekat. ‘Enggak, gue nggak mau!’ batinnya berteriak.
"Hey, bernapas lah." ujar Nakula, menepuk pipi Alya pelan, tapi cukup untuk menyadarkannya.
“Hah? Ada apa?” Alya tersentak, menatap Nakula dengan bingung.
Nakula hanya menggelengkan kepalanya, menatapnya seolah Alya ini makhluk paling aneh yang pernah ia temui.
Hening.
Hanya suara hujan yang terdengar, mengetuk-ngetuk jendela kamar dengan ritme monoton.
Sampai akhirnya Nakula membuka suara. “Sayang, nanti malam aku akan keluar. Mungkin aku telat pulang.”
Alya menoleh. Ada sesuatu dalam nada suara Nakula yang membuat dadanya berdegup lebih kencang. “Mau ke mana?” tanyanya hati-hati.
“Jangan bilang...kamu mau mencari mangsa lagi?”
Nakula tidak langsung menjawab. Diamnya terasa menekan.
“Apa tidak cukup kamu memb*n*h saudaraku?” lanjut Alya, menatapnya tajam, meskipun dalam hati ia gemetar.
Nakula masih diam, tapi ada perubahan dalam ekspresinya.
Tatapannya gelap, seolah menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam.
‘Sebetulnya bukan kemauanku memb*n*h saudaramu...Aku dibayar untuk melakukannya....’ batin Nakula, tapi ia tak mengatakan itu.
“Kamu tidak suka, sayang?” tanyanya akhirnya, suaranya dalam, tapi ada ketidaksenangan tersirat di sana.
Alya menggigit bibirnya. Hawa dingin yang menusuk dari jendela terasa lebih menyesakkan dibanding sebelumnya.
“Dulu kamu juga bertanya seperti itu…dan aku menjawab tidak….” suara Alya melemah. “Kamu marah....”
Nakula tersenyum kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana.
Jemarinya terulur, perlahan mengelus perut Alya yang masih datar.
...(Ilustrasi)...
“Lebih baik kamu jangan membuatku marah lagi, sayang.”
Alya menahan napas. Sentuhan itu terasa mengancam.
Dan ia tahu Nakula tidak sekadar memberi peringatan.
Alya tidak menjawab ucapan Nakula.
Melihat Alya yang tetap diam, Nakula dengan cepat mengurungnya, tangannya bertumpu di sisi kepala Alya. “Answer, babe.”
Alya tersentak. Ia tak menyadari kapan Nakula bergerak secepat itu, tapi sekarang pria itu berada di atasnya, menatapnya dalam-dalam.
Hawa yang semula dingin kini terasa panas, menyelimuti tubuh Alya dengan ketegangan yang tak nyaman. “I-i-iya...ingat.”
Senyum tipis muncul di bibir Nakula. “Bagus.”
Tanpa berkata lebih lanjut, ia bangkit dan berjalan keluar, meninggalkan Alya begitu saja.
Alya menghela napas panjang, lalu berdiri mendekati jendela.
Hujan masih turun deras, butirannya meluncur di kaca seperti air mata yang tak terbendung.
‘Kenapa gue harus seperti ini?’
‘Kenapa hidup gue harus diatur seperti boneka?’
‘Gue cuma pengen jadi remaja biasa, yang bisa ketawa tanpa takut, yang bisa nangis tanpa rasa terancam....’
Alya mengepalkan tangannya.
‘Dan kenapa juga gue harus menyaksikan kejadian itu?!’
‘Mama, Papa...kalian tidak mencari ku, ya?’
Matanya mulai memanas, tapi ia menahannya.
Sudah terlalu sering ia menangis, dan air mata pun rasanya tak ada gunanya.
‘Vino... datanglah ke mimpi kakak....’
‘Kakak kangen banget sama kamu....’
Perlahan, kantuk mulai menyerangnya.
Alya menyerah, kembali ke kasur, dan membiarkan matanya terpejam.
Seseorang membuka pintu dengan perlahan.
Nakula.
Ia berdiri di ambang pintu, matanya mengamati sosok Alya yang sudah terlelap.
Ada sesuatu dalam sorot matanya sesuatu yang sulit ditebak.
Ia berjalan mendekat, membungkuk, lalu mengecup kening Alya.
“Aku pergi ya...Kamu bersama Sasa dulu, sayang.”
Suaranya begitu pelan, nyaris seperti bisikan.
Sesaat, Nakula hanya berdiri di sana, menatap wajah Alya yang tertidur.
Kemudian, tanpa suara, ia berbalik dan pergi, meninggalkan keheningan di kamar itu.
...***...
Sebuah suara terdengar samar di kepalanya.
‘Kakak, ayo main air...’
Alya menoleh. Di hadapannya berdiri seorang anak laki-laki dengan senyum khasnya.
‘Vino?’ bisik Alya.
Vino terkekeh. ‘Iya, kakak. Aku datang.’
Alya menatapnya tak percaya. Rasanya begitu nyata.
‘Aku ingin memberitahu kakak sesuatu...tapi aku takut kakak akan benci sama Mama dan Papa.’
Alya mengernyit. ‘Maksud kamu?’
Vino tersenyum tipis, tapi kali ini senyumnya terasa aneh. ‘Ah, sudahlah. Lupakan saja...’
Anak itu tiba-tiba menarik tangan Alya, membawanya ke sebuah taman yang indah.
Mereka duduk di bangku kayu, seperti dulu, saat dunia masih terasa damai bagi Alya.
‘Kakak tahu nggak? Kak Nakula itu sayang sama kakak.’
Alya mendengus. ‘Sayang dari mana? Orang dia suka nyiksa gue.’
Vino menggeleng pelan. ‘Ya, itu karena kakak suka melawan....’
‘Kamu tahu sendiri, kan? Kakak nggak suka diatur.’
‘Aku tahu. Makanya aku dukung Kak Nakula biar kakak nggak bandel lagi.’
Alya menoleh cepat, kaget dengan ucapannya. ‘Apa maksud kamu?!’
Tapi Vino hanya tersenyum misterius. ‘Dan juga...aku dukung kalau Kak Nakula melakukan hal lebih supaya aku bisa hidup kembali....’
‘Apa?!’
‘Sudah ya, Kak. Aku pergi dulu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi....’
‘Tunggu, Vino!’
...***...
Alya terbangun dengan napas tersengal. Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Ia menoleh ke samping dan terkejut melihat seseorang di sana. Sasa.
‘Sejak kapan dia di sini?’
Alya menyentuh bahu Sasa dan mengguncangnya pelan. “Sa, bangun.”
Tidak ada respons.
“Sa, bangun, anjing!” serunya sedikit lebih keras, menepuk bahu sahabatnya.
Sasa mengerang kesal, wajahnya setengah tertutup bantal. “Apa sih, Lya? Ganggu aja!”
“Nakula mana?” tanya Alya cepat.
Sasa menguap kecil. “Nggak tahu, tadi bilangnya mau keluar sama Vian.”
Alya terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Sa, tadi gue mimpiin Vino....”
Sasa mengernyit. “Vino siapa?”
Alya menelan ludah. “Adek gue.”
“Oh...terus gimana-gimana?”
Alya ingin bercerita, tapi kata-kata itu terasa terlalu berat untuk keluar.
Dadanya sesak, dan sebelum ia menyadarinya, air mata mulai mengalir.
Sasa langsung duduk dan memeluk Alya erat tanpa bertanya lebih lanjut. “Keluarin semua kesedihan lo, sakit, amarah, ketakutan yang lo rasain.”
Alya hanya diam, membiarkan dirinya larut dalam pelukan itu.
Beberapa menit kemudian, Alya akhirnya tertidur kembali.
Sasa menatap wajah sahabatnya yang kelelahan dan menghela napas. “Dunia ini nggak adil banget sama lo, Lya....” gumamnya pelan.
Lalu, ia membaringkan diri di samping Alya, menatap langit-langit kamar.
“Kalau gue yang ada di posisi lo...mungkin gue udah minta Tuhan buat ngambil nyawa gue.”
...***...
Langit mulai berwarna jingga, tanda matahari perlahan menyerah pada malam.
Alya berdiri di balkon, menatap langit yang perlahan kehilangan cahayanya.
Angin sore berembus pelan, membelai rambutnya yang terurai.
Dari belakang, langkah kaki mendekat.
“Sayang, aku tidak jadi keluar malam ini.”
Suara Nakula terdengar tenang, tapi ada sesuatu di dalamnya sesuatu yang membuat Alya semakin waspada.
Alya tetap diam. Matanya masih terpaku pada langit yang berwarna jingga.
“Tadi Sasa bilang kamu menangis,” lanjut Nakula. “Kenapa?”
Alya menggigit bibirnya.
Ia tahu, jika ia menjawab dengan jujur, Nakula bisa saja murka.
Mimpi itu masih berputar di kepalanya. Kata-kata Vino terus terngiang.
“Aku takut kakak bakal benci sama Mama dan Papa....”
Alya menggeleng pelan, memilih untuk tidak menjawab.
Sejenak, hanya suara angin yang terdengar.
Lalu, langkah kaki itu kembali bergerak.
Dalam sekejap, Alya merasakan kehangatan di punggungnya.
Lengan kuat Nakula melingkar di pinggangnya, menariknya ke dalam pelukan yang terasa lebih seperti jebakan daripada kenyamanan.
Bibirnya bergerak mendekat, hampir menyentuh telinga Alya.
Lalu, dengan suara yang dalam dan serak, ia berbisik,
“Don't lie to me, darling.”
(Jangan berbohong padaku, sayang.)
Suara itu seperti belati dingin yang menelusup ke kulit Alya, membuatnya merinding seketika.
Jantungnya berdegup kencang.
Tangannya mencengkeram pagar balkon, seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahannya agar tidak runtuh.
Alya menutup matanya erat.
Ia tahu.
Nakula tidak suka dibohongi. Dan kali ini, ia sudah mengundang badai. “Kamu memimpikan dia, kan?”
Suara Nakula terdengar lembut, tapi Alya bisa merasakan sesuatu di baliknya sesuatu yang tajam dan menuntut.
Alya menunduk, tidak berani menatap mata laki-laki itu.
Ia bisa berbohong, tapi percuma. Nakula selalu tahu.
Dengan berat hati, Alya mengangguk. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.
Nakula mengamati wajahnya sejenak, lalu mengulurkan tangan, membalik tubuh Alya hingga mereka berhadapan.
Tatapan matanya lebih lembut dari biasanya, tapi tetap membuat Alya tidak nyaman.
“Do you want to tell me, darling? What did you experience in that dream?”
(Maukah kamu menceritakannya padaku, sayang? Apa yang kau alami dalam mimpi itu?)
Nada suaranya begitu lembut, seolah ia benar-benar peduli. Tapi Alya tahu lebih baik dari itu.
“No, I don’t want to tell you,” jawab Alya pelan
(Tidak, aku tidak ingin memberitahumu,)
“If I tell you, you will be angry…and I will end up being punished.”
(Jika aku memberitahumu, kamu akan marah…dan aku akan berakhir dihukum.)
Nakula tersenyum kecil, mengangkat alisnya. “I will not be angry. And I will not punish you, darling.”
(Aku tidak akan marah. Dan aku tidak akan menghukum mu, sayang.)
Alya menatapnya ragu. “Can your words be trusted?”
(Dapatkah kata-katamu dipercaya?)
Nakula terkekeh pelan. “Bagaimana kalau kita buat kesepakatan?”
Ia mempererat genggaman di pinggang Alya, membuat gadis itu sedikit menegang.
“Jika aku marah, kamu boleh meminta apa pun dariku. Tapi jika aku tidak marah, aku yang berhak meminta apa pun darimu. Deal?”
Tatapannya dalam, menusuk langsung ke mata Alya.
Alya menelan ludah. Ini jebakan. Tapi ia tidak punya pilihan.
“Baiklah,” jawabnya dengan suara nyaris berbisik
Dengan hati-hati, Alya mulai bercerita. Ia mengulang kata-kata Vino, menjelaskan bagaimana adiknya mengatakan sesuatu yang aneh tentang ‘melakukan hal lebih’ supaya bisa hidup kembali.
Sepanjang Alya berbicara, Nakula diam. Wajahnya tidak menunjukkan kemarahan, tetapi matanya menyiratkan sesuatu sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya.
Ketika Alya selesai berbicara, keheningan menggantung di antara mereka.
Lalu, Nakula tertawa kecil.
Bukan tawa yang menyenangkan, tapi lebih seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik…atau mengerikan.
“Jadi…Vino bilang dia mendukungku untuk ‘melakukan hal lebih’?” gumam Nakula, lebih kepada dirinya sendiri.
Alya menggigit bibirnya, enggan menanggapi.
Nakula menatapnya dalam, ekspresinya sulit ditebak.
‘Maksud dia…gue harus menghamili Alya? Atau sesuatu yang lebih dari itu?’ batinnya, memproses kata-kata Vino.
Tiba-tiba, ia menatap Alya lebih serius. “Aku ingin tahu…menurutmu, apa maksudnya?"
Alya mengernyit. “Kamu aja nggak tahu, apalagi aku.”
Jawaban itu tidak memuaskan Nakula. Ia mengusap dagunya, berpikir keras.
Alya bisa merasakan atmosfer di antara mereka berubah.
Dan itu tidak pernah menjadi pertanda baik.
...∆∆∆...
...Mohon dimaafkan jika ada typo atau kesalahan lain...Jangan lupa like dan komennya.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments