Chapter 14

Happy Reading

...️⚠️Warning⚠️...

...Mengandung adegan 17+...

...Udah di ingetin ya ...

...Dosa ditanggung sendiri...

...⚠️⚠️⚠️...

...Hati-hati banyak typo...

...________________________________...

Alya terpaku, jantungnya serasa berhenti sejenak.

Kata-kata Nakula seperti petir di siang bolong, menghantamnya tanpa peringatan.

"Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu?" tanya Alya ragu.

"Karena kamu melihat aku membunuhnya."

Alya terkejut, tubuhnya terasa kaku seketika. "Apa...maksudmu? Nakula, aku, aku tidak pernah menyalahkan mu atas kematian adekku," ucapnya dengan suara bergetar.

"Tapi itulah aku rasakan, Alya." ujar Nakula dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Jawab dulu pertanyaan ku tadi!" ucap Nakula penuh penekanan.

"Jujur aku tidak tahu harus memberikan jawaban apa," jawab Alya menundukkan kepalanya.

Melihat itu Nakula mengangkat dagunya dan mengecup singkat bibir Alya.

Cup

"Melihat kediamanmu aku tidak tahan untuk tidak mencicipi bibirmu, karena bibirmu menjadi canduku sekarang."

Alya terdiam, merasakan kehangatan dari kecupan singkat Nakula yang tiba-tiba.

Kata-kata Nakula bergema di telinganya, menciptakan campuran antara kebingungan dan keterkejutan.

Dia tidak tahu harus merespons bagaimana.

Hatinya berkecamuk, antara rasa bersalah, kebingungan, dan mungkin sedikit perasaan yang tidak ingin ia akui.

"Nak, aku bingung dengan sikapmu yang suka berubah-berubah, kadang kejam, kadang perhatian, kadang mesum!" ucap Alya.

Nakula tertawa kecil mendengar ucapan Alya, tapi tawanya terdengar hambar. "Aku tahu, Alya. Aku tahu sikapku kadang sulit dimengerti."

Alya menatap Nakula, matanya masih dipenuhi kebingungan.

"Tapi, Nakula, aku belum bisa mengerti. Satu sisi kamu begitu perhatian, tapi disisi lain kamu bisa berubah begitu cepat, seperti...seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan."

Nakula terdiam sejenak, sorot matanya berubah menjadi lebih serius.

"Mungkin karena aku memang menyembunyikan sesuatu, Alya. Ada hal yang belum pernah kubicarakan dengan siapapun, termasuk kamu."

Nakula melirik jam tangannya. "Ayo kembali ke kantin agar kamu bisa makan sebelum belajar lagi." Alya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

Ide jahil muncul di kepala Nakula, ia tiba-tiba menggendong Alya ala bridal style membuat Alya reflek mengalungkan tangannya di leher Nakula.

"Nakula turunkan...malu tau." ucap Alya namun Nakula tidak memperdulikan ucapannya, ia malah fokus berjalan.

Alya yang malu dilihat banyak orang menyembunyikan wajahnya di bidang dada Nakula.

Nakula sesekali melirik Alya ia dapat melihat wajah Alya merah padam, Nakula menggelengkan kepala.

Tidak lama kemudian mereka berdua sampai di kantin namun Nakula tidak menurunkan Alya.

Dahi Alya mengkerut menatap Nakula dengan bingung. "Udah sampe turunin dong, Nak."

Nakula hanya tersenyum tipis, seolah menikmati kebingungan Alya.

"Kenapa? Kamu malu dilihat orang? Padahal tadi berani membalas tatapanku di taman."

Alya menunduk, wajahnya semakin memerah. "Aku kan...itu beda, Nak!"

Nakula mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Alya, "Lalu, kamu malu pada mereka...atau pada perasaanmu sendiri?"

Alya tercekat, kata-kata Nakula seperti mengupas lapisan yang selama ini ia sembunyikan dalam hatinya.

Sebelum ia sempat menjawab, Nakula akhirnya menurunkannya perlahan namun masih menatapnya dalam.

"Eh, kalian berdua, drama romantisnya cukup dulu. Kita mau makan atau nonton sinetron nih?" goda Vian sambil tertawa kecil.

Sasa ikut tertawa, menatap Alya dengan tatapan penuh arti.

Alya menepis tangan Nakula pelan dan berjalan cepat menuju meja, berharap pipinya yang masih merah bisa kembali normal.

Nakula hanya tersenyum melihat reaksi Alya, sementara Vian dan Sasa terus menggodanya.

Sambil duduk, Alya berusaha mengalihkan pikirannya dari kejadian tadi.

'Masak gue jatuh cinta sama seorang psikopat sih ihhh... engga engga itu ngga akan pernah terjadi!' ucap Alya dalam hatinya.

Alya berusaha menenangkan diri, menunduk dan berpura-pura fokus pada makanannya.

Namun, pikirannya tetap penuh dengan Nakula.

Sikapnya yang kadang manis, namun juga menakutkan, membuat Alya semakin bingung.

Apakah benar dia mulai merasakan sesuatu untuknya? Dia menepis pikiran itu, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa tidak mungkin dia jatuh cinta pada Nakula.

"Alya, lo kenapa? Kok diam aja?" Sasa menyenggolnya, menyadarkannya dari lamunan.

"Ah, nggak apa-apa," jawab Alya sambil memaksakan senyum.

Vian melirik Nakula yang tampak tenang, seolah tak terjadi apa-apa. "Lo udah bikin dia pusing, bro," ujarnya sambil tertawa.

Nakula hanya tersenyum tipis. "Mungkin pusing karena dia mulai cinta sama gue," ucapnya sambil melirik Alya, membuat jantung Alya berdegup lebih kencang.

Alya melotot ke arah Nakula, tapi tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.

Dalam hati, ia semakin tak karuan. Apa yang sebenarnya Nakula inginkan darinya.

"Apa sih, engga! aku ga suka apalagi cinta sama kamu." elak Alya.

Nakula memajukan wajahnya ke hadapan Alya dengan senyuman miring. "Yakin?"

Alya terdiam, matanya bertemu dengan tatapan tajam Nakula yang terasa menusuk hingga ke dasar hatinya.

Sekuat apapun ia mencoba menyangkal, kehadiran Nakula di hidupnya sudah mulai mengganggu pikirannya.

"Yakin banget!" Alya menegaskan, meski suaranya sedikit bergetar, namun Nakula tidak bergerak mundur dia malah tertawa kecil, membuat suasana di antara mereka semakin tegang.

"Lucu ya, kamu terlalu sibuk menyangkal, sampai-sampai nggak sadar apa yang kamu rasakan sebenarnya."

Alya menelan ludah, mencoba menguasai diri. "Aku...aku nggak ada perasaan apa-apa ke kamu, Nakula."

Nakula menatap mata Alya, ia menemukan Alya sedang berbohong.

Nakula menghela napas, menggelengkan kepala pelan. "Kamu benar-benar keras kepala, ya?" katanya sambil tersenyum tipis.

"Kalau gitu, kita lihat saja siapa yang lebih kuat bertahan, kamu dengan penyangkalan, atau aku dengan keyakinanku."

Alya hanya diam, mencoba mencari kata-kata untuk membantah, tapi semuanya terhenti di tenggorokannya.

Sorot mata Nakula begitu penuh teka-teki, seolah menyimpan rahasia yang belum diketahui.

Di dalam hatinya, Alya merasa jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya.

"Jangan terlalu percaya diri, Nakula," balas Alya dengan suara yang dibuat tegas, meski ia sadar nada itu terdengar kurang meyakinkan.

Nakula tersenyum lebar, seolah menikmati setiap respons yang Alya berikan. "Aku tidak perlu percaya diri, Alya. Aku hanya tahu apa yang kurasakan."

Alya ingin menghindar dari tatapan itu, tapi seolah terjebak.

Seiring waktu, pertahanan yang selama ini ia bangun terasa goyah, perlahan hancur oleh tatapan lembut namun tajam dari Nakula.

"Sudahlah, Nakula," katanya lirih, memalingkan wajah. "Aku...Aku nggak mau ada hal yang bikin aku semakin bingung."

Namun, Nakula justru menggenggam tangan Alya dan membawanya lebih dekat.

"Bingung? Itu tandanya, ada sesuatu di hatimu yang mulai merespon perasaanku, Alya. Kenapa tidak coba jujur saja pada dirimu sendiri?"

Alya menggigit bibir, mencoba untuk tetap tenang.

Ia merasakan hangatnya genggaman tangan Nakula yang membuatnya semakin sulit berpikir jernih.

"Jujur? Nakula, ini bukan sesederhana itu. Aku punya banyak pertanyaan tentang kamu, tentang semua yang terjadi. Semua ini..." Alya menghela napas, "terlalu cepat, dan...aku nggak tahu apa aku bisa menanganinya."

Nakula tersenyum penuh pengertian. "Tidak apa-apa, Alya. Aku akan memberi waktu. Aku tidak ingin terburu-buru, yang kuinginkan hanya satu yaitu, kamu bisa menerima apa yang ada di hatimu tanpa harus menyangkalnya."

Alya mengangguk kecil, masih ragu, tapi kata-kata Nakula perlahan-lahan menyusup ke dalam hatinya.

Ada perasaan baru yang tak bisa ditolak lagi, meski pikirannya tetap berkecamuk.

Mungkin, tanpa ia sadari, hatinya memang mulai terbuka sedikit demi sedikit untuk Nakula.

Vian dan Sasa saling pandang, kemudian Vian berbisik pada Sasa. "Beb, ini bukan Nakula yang aku kenal deh."

"Nahh sama, Alya yang sekarang bukan Alya yang aku kenal dulu." balas Sasa dengan berbisik.

Saat mereka melihat Alya dan Nakula, Vian dan Sasa melotot kaget karena Nakula sudah mencium bibir Alya.

"Astagaa, Nakula lo tau tempat dikit kek!" pekik Sasa menepuk jidatnya.

"Lengah dikit langsung di cipok tuh Alya," ucap Vian menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan tingkah Nakula yang absurd dan diluar dugaan itu.

Alya yang terkejut merasa wajahnya semakin panas, namun tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari bibirnya.

Hatinya terasa bergetar hebat, seolah ada sesuatu yang berontak di dalam dirinya.

Nakula tersenyum tipis, melihat ekspresi Alya yang terdiam dan tidak mampu berkata apa-apa. "Lihat, Alya...aku tidak butuh kata-kata dari kamu. Cukup respons ini sudah menjelaskan semuanya."

Alya terdiam, merasakan kata-kata Nakula menghujam langsung ke relung hatinya.

Tatapan Nakula begitu dalam, seolah menyelami semua kebingungan dan perasaan yang selama ini ia pendam.

"Aku...aku nggak ngerti, Nakula," gumam Alya sambil menunduk. "Kamu selalu membuatku merasa bingung."

"Justru itu menarik, Alya. Karena aku ingin kamu tahu bahwa kebingunganmu adalah bukti bahwa perasaanmu juga ada."

Alya mendongak, menatap Nakula yang masih menyimpan senyum di wajahnya.

"Kamu terlalu percaya diri," ucapnya pelan, berusaha menyembunyikan ketertarikannya.

"Terkadang, percaya diri itu yang membuat kita tahu apa yang sebenarnya kita inginkan," jawab Nakula, kali ini dengan suara yang lebih lembut.

Di kejauhan, Sasa dan Vian memperhatikan interaksi mereka berdua dengan tatapan geli sekaligus penasaran.

Sasa menyikut lengan Vian dan berbisik, "Kayaknya Nakula nggak akan menyerah sampai Alya mengakui perasaannya."

Vian mengangguk. "Iya, dan sepertinya Alya juga sudah mulai terbuka, walaupun dia masih keras kepala menyangkalnya."

Sementara itu, Alya dan Nakula saling menatap dalam keheningan yang penuh makna.

Alya tahu, ia tidak bisa terus mengelak dari perasaan yang mulai tumbuh di dalam hatinya.

Namun, bersamaan dengan itu, ia juga takut jika hal ini benar-benar terjadi.

"Alya, aku akan menunggu sampai kamu siap," ujar Nakula sambil menggenggam tangannya lebih erat.

"Tapi, jangan terlalu lama ya... karena aku takut, suatu saat nanti aku yang akan menyerah."

Alya menelan ludah, merasakan kehangatan dari genggaman Nakula yang membuat hatinya semakin berdebar.

Di dalam hatinya, mungkin ia sudah tahu jawabannya, namun ia masih belum siap untuk mengakuinya.

"Baiklah, Nakula. Aku akan mencoba...sedikit demi sedikit," jawab Alya akhirnya, meskipun suaranya bergetar.

Sebuah senyuman lega muncul di wajah Nakula, seolah menandakan bahwa perjuangannya tidak sia-sia. "Itu sudah cukup untukku, Alya."

"Aduhh udahh weehh ingett ada orang lain disini, bukan cuma kalian yaa!!" ucap Vian dengan keras, sengaja.

...***...

...TBC...

...Jika ada typo mohon di maafkan yaa... ...

.......

.......

.......

.......

.......

.......

.......

.......

.......

.......

...Maciii muachh...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!