Chapter 9

Happy Reading

...__________________...

...Hello semoga kalian dalam keadaan sehat yaa…...

...Hati-hati banyak typo…....

...___________________________________...

‘Apa lagi yang dia inginkan?’ pikir Alya dalam hati.

Saat masih diliputi kebingungan, tiba-tiba Nakula menghentikan mobilnya di tempat yang sepi.

Alya menegang. “Kenapa berhenti di sini?” tanyanya dengan nada waspada.

Nakula meliriknya sekilas sebelum menjawab santai, “Untuk menjawab pertanyaanmu tadi. Kita baru sampai besok pagi, jadi lebih baik kita istirahat di sini.”

Alya menatapnya dengan curiga. “Aku nggak bisa tidur di tempat seperti ini.”

Nakula tersenyum tipis, matanya memancarkan kilatan menggoda. “Ada aku di sini. Kamu pasti bisa tidur. Kalau tidak, mungkin aku yang akan menidurkan mu.”

Alya terdiam, jantungnya berdebar lebih kencang.

‘Gimana aku bisa tidur kalau dia ngomong kayak gitu?!’ batinnya gelisah.

Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri. “Jangan lakukan hal yang akan membuatku membencimu,” ucapnya tegas, memberi peringatan sebelum akhirnya memejamkan mata, berpura-pura tidur.

Nakula tersenyum kecil. ‘Aku tidak akan melakukannya, sayang… selama kamu tidak melanggar perintahku.’ pikirnya sambil menatap Alya yang mulai terlelap.

“Good night, darling,” bisiknya lembut, mengecup kening Alya sebelum akhirnya ikut memejamkan mata.

Keesokan Paginya

Sinar mentari perlahan menyelinap masuk melalui kaca mobil, membangunkan dua insan yang masih terlelap.

“Hoam… sudah pagi, ya?” gumam Alya, matanya masih setengah terbuka.

“Morning, darling.”

Suara Nakula yang serak khas orang baru bangun tidur membuat Alya menoleh.

Ia terdiam. Matanya terpaku pada Nakula yang meskipun rambutnya acak-acakan dan bajunya sedikit berantakan, tetap terlihat menawan.

Tidak ada yang bisa mengurangi ketampanannya.

‘Hei, Alya! Sadar! Jangan terbuai!’ batinnya memperingatkan diri sendiri.

Alya menggelengkan kepala pelan, mengusir pikirannya. “Morning too.”

Nakula terkekeh kecil sebelum menyalakan mobil. “Mau cari makan dulu atau langsung pulang, sayang?” tanyanya santai.

Tak ada jawaban. Saat ia menoleh, Alya sudah kembali memejamkan mata.

Nakula tersenyum kecil. “Ah, tidur lagi rupanya.” gumamnya.

Setelah berkendara selama setengah jam, mereka akhirnya tiba di rumah.

Nakula menepuk pelan pipi Alya, membangunkannya dengan lembut. “Sayang, kita sudah sampai.”

Alya membuka matanya perlahan. “Hah? Udah sampai?” tanyanya masih mengantuk.

“Iya, ayo turun.”

Melihat Alya yang masih setengah sadar, Nakula membantunya berjalan ke dalam rumah.

Dari dalam rumah, Sasa yang sedang duduk santai langsung menoleh ketika mendengar suara mobil berhenti. Dengan tergesa-gesa, ia keluar untuk melihat.

Begitu melihat Alya berjalan dengan bantuan Nakula, Sasa langsung menjerit.

“LYA!!”

Alya tersentak kaget. “Apa sih, Sa! Masih pagi udah teriak-teriak aja!” protesnya.

Sasa berkacak pinggang. “Harusnya gue yang ngomel ke lo, bukan sebaliknya!”

Alya mendengus. “Daripada lo ngomel nggak jelas, mending lo ganti baju sana.”

Sasa mengernyit. “Ganti baju? Maksud lo?”

“Pakai seragam sekolah,” jawab Alya santai sebelum masuk ke dalam rumah.

Nakula mengikuti di belakangnya sambil tersenyum jahil. “Wait for me, darling!”

(Tunggu aku, sayang!)

Setelah selesai bersiap, Alya dan Nakula duduk di ruang depan menunggu Sasa dan Vian.

Hampir setengah jam berlalu, tapi dua orang itu belum juga muncul.

Alya mulai gelisah. “Apa sih yang bikin mereka lama banget!” keluhnya.

Nakula terkekeh. “Sabar, sayang. Kalau mereka nggak keluar dalam lima menit, kita tinggal aja.”

Alya menajamkan telinganya, tapi masih tidak ada tanda-tanda mereka akan keluar.

Ia menatap jam tangan dan mulai menghitung. “Satu…”

Tidak ada suara.

“Dua…”

Masih sepi.

“Ti—”

“Hehe, sorry, Lya!” Sasa akhirnya muncul dengan wajah cengengesan, sementara Vian hanya berjalan diam di belakangnya.

Alya menghela napas panjang, mencoba menahan kesal. “Ayo berangkat sekarang!”

Nakula terkekeh pelan melihat tingkah Alya yang sepertinya sudah kehabisan kesabaran sejak pagi.

...˙˚ʚ(´◡')ɞ˚˙...

Di Sekolah

Mobil Nakula meluncur mulus memasuki area parkir sekolah, diikuti oleh mobil Vian di belakangnya.

Begitu mesin dimatikan, mereka berempat turun dari kendaraan masing-masing.

Tanpa ragu, satu tangan Nakula langsung melingkar di pinggang ramping Alya, menandai kepemilikannya. Vian melakukan hal yang sama pada Sasa.

Saat mereka berjalan menuju kelas, puluhan pasang mata langsung tertuju pada mereka.

Bisik-bisik mulai terdengar. Tatapan kaget dan penasaran memenuhi lorong sekolah.

Alya bisa merasakan semua perhatian tertuju padanya. Dahinya mengernyit. ‘Kenapa sih mereka ngelihatin gue kayak gini?’

Tiba-tiba, langkah Nakula terhenti.

Vian dan Sasa ikut berhenti di belakangnya.

Nakula menoleh ke Alya, lalu bertanya dengan suara rendah dalam bahasa Italia, “Tesoro, voglio chiederti, perché ti guardano con occhi sorpresi?” (Sayang, aku ingin bertanya padamu, mengapa mereka menatapmu dengan mata terkejut?)

Alya menatapnya sejenak sebelum menjawab dalam bahasa Inggris, “Maybe they were surprised because I had never been this close to a boy during my time here.” (Mungkin mereka terkejut karena aku belum pernah sedekat ini dengan laki-laki selama di sini.)

Nakula menyipitkan mata, ekspresinya penuh selidik. “You're not lying, right, darling?” (Kamu tidak berbohong, kan, sayang?)

Alya menelan ludah. Tatapan pria itu membuatnya sedikit gelisah. Namun, ia tetap menjawab tegas, “Yes, I'm not lying, darling.”

(Ya, aku tidak berbohong, sayang.)

Sasa, yang sejak tadi merasa risih dengan tatapan para siswa, akhirnya mendesah frustasi. “Kalian ngomongin apa sih? Lama banget!”

Vian melirik Sasa dan tersenyum tipis. “Looks like you're uncomfortable with their stares, darling?” (Sepertinya kamu tidak nyaman dengan tatapan mereka, sayang?)

Sasa hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.

Alya juga merasakan hal yang sama. Semua mata yang terus menatap mereka membuatnya tak nyaman.

Ia menoleh ke arah Nakula, berharap laki-laki itu memahami kegelisahannya tanpa perlu berkata apa-apa.

Namun, yang terjadi selanjutnya malah membuatnya terkejut.

“Kalian sudah bosan hidup, hah?!” bentak Nakula lantang.

Lorong sekolah yang tadi riuh langsung hening.

Semua siswa yang menatap mereka seketika berpaling, tak berani menantang amarah Nakula.

Tanpa berkata lebih lanjut, Nakula memberi isyarat pada Vian untuk segera meninggalkan lorong tersebut.

Di Kelas 

Alya duduk diam di kursinya, merasa sesak dengan keberadaan Nakula di sampingnya.

Ia tahu betul pria itu tidak akan membiarkannya sendirian.

Sedikit saja ia melawan, hukuman akan menunggunya.

Namun, Alya bukan orang yang mudah menyerah.

Ia harus mencari cara agar bisa menjauh dari Nakula, meski hanya sebentar.

Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalanya.

Alya menoleh ke Sasa dan berbisik, "Sa, anterin gue ke toilet, dong."

Sasa mengerutkan dahi. "Ngapain ke toilet?"

Sebelum Alya sempat menjawab, suara dingin Nakula menyelip di antara mereka.

“Mau nangis lagi, hm?” tanyanya dengan nada mencibir.

Alya menghela napas dalam, berusaha menahan kesal. “Enggak lah, cuma buang air kecil kok.”

Ia berusaha memasang ekspresi sepolos mungkin, mencoba meyakinkan Nakula.

Nakula menatapnya lama, seolah menimbang sesuatu.

Akhirnya, ia mengangguk, tapi dengan satu syarat. “Baiklah, tapi handphone-mu aku yang bawa.”

Tanpa menunggu jawaban, ia langsung meraih ponsel Alya dari tangannya.

“Ya sudah oke,” kata Alya dengan nada santai. “Oh ya, sandinya tanggal lahirku.”

Nakula hanya menyeringai. “Tanpa kamu beritahu pun, aku sudah tahu, darling.”

Tangannya dengan mudah membuka kunci ponsel Alya, lalu menyorongkan layar tepat di depan wajahnya.

“Lihatlah,” ujarnya, seolah membuktikan bahwa Alya tidak punya ruang privasi darinya.

Alya berusaha menahan ekspresi kesal. Jika ia menunjukkan ketidaknyamanan, itu hanya akan membuat Nakula semakin senang.

Jadi, dengan tenang, ia berkata, “Kalau begitu, aku izin ke toilet, ya.”

Nakula hanya menatapnya tanpa berkedip.

Alya menambahkan, “Pion, gue izin bawa Sasa. Nggak lama kok, paling satu setengah jam saja.”

Setelah cukup jauh dari kelas, Alya memperlambat langkahnya.

Alih-alih menuju toilet, ia malah berjalan ke UKS.

Sasa mengerutkan dahi. “Ngapain ke UKS? Lo sakit?”

Alya membuka pintu UKS dan masuk. “Enggak. Gue cuma mau rebahan aja.”

Sasa berdecak, lalu ikut masuk dan duduk di kursi. “Astaga, nanti kalau Nakula tahu, gue nggak ikut, ya!”

Alya mencibir. “Gak setia kawan banget lo!”

Sasa mendesah, tapi akhirnya ikut berbaring di kasur UKS. “Lo ngajak rebahan, yaudah gue rebahan.”

Tanpa sadar, mereka berdua malah ketiduran.

Satu Jam Kemudian…

Di kelas, Nakula mengetukkan jemarinya ke meja, ekspresinya gelap.

“Kemana sih mereka? Sudah satu jam tapi belum kembali juga!”

Vian melirik Nakula. “Mau saya telepon Sasa?”

Nakula mengangguk tanpa berkata-kata.

Vian segera menghubungi Sasa.

Begitu panggilan tersambung, suara dering ponsel memenuhi UKS, membangunkan dua gadis yang masih tertidur.

Sasa, yang masih setengah sadar, mengangkat telepon tanpa melihat siapa yang menelepon.

Call On

“Ada apa sih, ganggu orang lagi tidur aja?” gerutunya.

Suara tenang namun tajam terdengar dari seberang. “Oh, lanjutkan saja tidurnya, sayang.”

Sasa langsung membuka matanya lebar-lebar. “Lo siapa sih manggil gue sayang-sayang?”

“Lihat siapa yang menelepon.”

Sasa melirik layar ponsel dan langsung membeku.

“Vian yang nelpon, Su!” bisiknya panik pada Alya.

Dari seberang telepon, suara Vian terdengar lagi.

“Sekarang kalian di mana?”

“D-d-di UKS.”

“Kenapa gugup, honey?”

“Enggak, aku nggak gugup.” Sasa berusaha mengontrol suaranya. “Sekarang aku dan Alya sedang di UKS.”

“Baiklah, kami akan ke sana. Jangan kabur.”

Tut… tut…

Call Off

Sasa menoleh ke Alya dengan wajah penuh protes. “Lo sih, Lya! Ngapain coba ngajak gue tidur-tiduran? Jadinya tidur beneran deh gue.”

Alya mengusap wajahnya, berusaha berpikir cepat. “Tenang aja, gue yang bakal jelasin ke Nakula. Lo nggak bakal kena hukuman, percayalah.”

Sasa berdecak. “Bener ya? Awas aja kalau nggak mempan.”

“Iya, iya.”

Beberapa saat kemudian, pintu UKS terbuka.

Dua sosok laki-laki berdiri di ambang pintu, ekspresi mereka datar, tetapi auranya menekan.

Tatapan tajam Nakula tertuju pada Alya, sementara Vian menutup pintu di belakang mereka.

“Sudah berani bohong, hm?” Nakula berjalan mendekat dengan langkah santai namun mengintimidasi.

“Bagaimana? Apa kalian sudah puas tidurnya?” Vian menambahkan, nada suaranya terdengar seperti ejekan.

Alya menarik napas panjang. Ini dia saatnya bicara.

Ia menatap Nakula, berusaha tetap tenang. “Aku bisa jelasin.”

Namun Nakula hanya menyilangkan tangan di dada, menunggu dengan ekspresi penuh selidik.

Alya mulai berbicara, suaranya mantap.

“Iya, kami memang berbohong. Kalau aku jujur, kamu pasti akan banyak bertanya. Kamu lupa, kemarin kita cuma tidur beberapa jam? Aku masih mengantuk. Itu sebabnya aku ajak Sasa ke sini supaya aku bisa tidur.”

Nakula tetap diam, matanya tajam mengunci Alya.

“Aku juga yang nyuruh Sasa ikut tiduran, sampai akhirnya dia ketiduran beneran. Sebenarnya, Sasa sudah menolak, tapi aku tetap memaksanya.”

Alya menghela napas, lalu menegaskan, “Jadi, ini bukan kesalahan Sasa. Aku yang bertanggung jawab. Kita berdua tahu kita bakal dihukum, tapi jangan hukum Sasa. Cukup aku aja yang dihukum.”

Ruangan itu hening.

Nakula menatap Alya lama, seolah menilai apakah gadis itu berbohong.

Akhirnya, ia tersenyum tipis senyum yang justru membuat bulu kuduk meremang.

Ia mendekat, suaranya rendah dan dingin. “Baiklah, sayang…Kali ini aku tidak akan menghukum mu.”

Alya sedikit lega, tetapi…

Nakula berbisik di telinganya. “Tapi jika kamu mengulanginya lagi…Aku akan membuatmu tidak bisa berjalan selama satu minggu.”

Alya menelan ludah dengan susah payah dan mengangguk pelan.

Vian, yang mengamati interaksi itu, tiba-tiba ber celetuk, “Kenapa lo kerasukan setan baik, Nak?”

Alya nyaris tertawa, tapi ia buru-buru menahan diri.

Begitu pula dengan Sasa yang menggigit bibir agar tidak ikut cekikikan.

Nakula melirik tajam ke arah Vian. “Punya nyawa berapa lo, hah? Berani bilang kayak gitu! Bosan hidup lo?”

Vian mengangkat bahu santai. “Ya enggak lah, benih gue aja belum jadi!”

Nakula menyipitkan mata. “Terus kenapa tadi bilang gitu, hah?”

Vian mengangkat tangan, memasang ekspresi polos. “Mohon maaf, paduka, hamba khilaf.”

Alya dan Sasa berusaha keras untuk tidak saling bertatapan sampai akhirnya Nakula menoleh ke arah mereka.

Ia memicingkan mata. “Kenapa wajah kalian merah? Kalian sakit?”

Nakula langsung menoleh ke Vian. “Vian, nih bini lo sakit.”

Vian mendesah dramatis. “Ya ampun, bini gue mah strong, nggak mungkin sakit.”

Alya dan Sasa akhirnya tak bisa menahan tawa mereka lagi.

Nakula hanya mendengus, lalu melirik Alya dengan tatapan tajam. “Sudah selesai ketawanya?”

Alya menelan ludah, kemudian mengangguk cepat. “Udah, udah."

Ia lalu mengulurkan tangan ke arah Nakula. “Nak, tolong kembalikan handphoneku.”

...ʕ´•ᴥ•'ʔ...

...Sampai sini dulu yaa...

...maaf jika ada typo...

.......

.......

.......

.......

.......

.......

.......

.......

...Jangan lupa like dan komen...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!