Happy reading
..._____________...
...Hati-hati banyak banyak typo......
...Jangan lupa like dan komen yaa sebelum lanjut....
...__________________________________...
Ia memajukan tubuhnya, tangannya dengan mudah mengunci pergerakan Alya, membuat gadis itu terperangkap di antara tubuhnya dan dinding.
“Jadi karena aku tidak marah, aku ingin menagih sesuatu darimu....”
Alya menegang. “Apaan?”
Nakula tersenyum miring, lalu membisikkan dengan nada penuh intensitas, “Aku ingin membuat kissmark di lehermu.”
“Hah?!”
“Kurang jelas?” Nakula menatapnya dengan tatapan menggoda.
“Tidak...tapi....”
“Tapi apa?”
Alya mengalihkan pandangan, bibirnya bergerak tanpa suara. “Tidak ada...Aku mau mandi dulu.”
Ia mencoba menyingkirkan tangan Nakula, tapi pria itu tidak bergeming.
Senyum di wajah Nakula semakin lebar. “Kalau begitu, kita mandi bersama saja. Bagaimana?”
“Tidak mau!” tolak Alya cepat.
Nakula terkekeh. Tatapannya penuh kesenangan melihat Alya yang panik.
‘Haha, seru juga lihat Alya panik kayak gini....’
“Baiklah, tapi sepertinya aku yang akan mandi duluan.”
Nakula akhirnya melepaskan Alya, lalu berjalan ke arah kamar mandi.
Alya menghela napas lega, tapi kemudian menyadari sesuatu.
“Hey! Bawalah pakaianmu!”
Ia buru-buru berlari menuju lemari, mengambil pakaian Nakula, lalu menyerahkannya padanya.
Nakula menerimanya dengan santai, lalu menatap Alya sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke kamar mandi.
Alya menatap pintu kamar mandi yang tertutup, tangannya mengepal.
Jantungnya masih berdebar kencang.
‘Sialan, kenapa malah gue yang terjebak dalam permainannya?!’
Setelah itu, Nakula langsung masuk ke kamar mandi.
Alya mendengus kesal, melipat tangan di depan dada. “Huuh, apa dia sengaja nggak bawa pakaian biar bisa berganti di sini?!” gerutunya.
Ia menatap pintu kamar mandi yang tertutup, lalu menghela napas panjang.
‘Gue harus cari cara biar besok bisa sekolah.’
Pikirannya berputar, mencari kemungkinan.
‘Apa gue bujuk dia pakai makanan kesukaannya?’
Alya menggigit bibirnya, mempertimbangkan rencana itu.
Dengan hati-hati, ia mencoba membuka pintu kamar...dan ternyata tidak dikunci.
‘Kesempatan!’
Tanpa pikir panjang, Alya segera keluar, menuju dapur.
...OoO...
Sementara itu, Nakula selesai mandi dan keluar dengan hanya handuk melilit pinggangnya.
Matanya langsung menyapu seluruh kamar kosong.
Dahinya berkerut. “Alya?”
Tidak ada jawaban.
Ia berjalan ke arah pintu, melihatnya terbuka.
‘Jangan bilang dia kabur....’
Tanpa berpikir panjang, Nakula bergegas keluar kamar, matanya tajam mengamati sekeliling.
Saat langkahnya sampai di dapur, ia akhirnya melihat sosok Alya yang sibuk di depan kompor.
Rasa lega melintas di wajahnya, tapi ia segera menyembunyikannya di balik ekspresi datarnya.
Sementara itu, Alya yang tidak menyadari kehadiran Nakula, berseru penuh semangat, “Yes! Udah jadiii!”
Dengan wajah puas, ia berbalik untuk mengambil piring dan hampir saja jantungan ketika melihat Nakula sudah duduk di kursi meja makan, menatapnya dengan ekspresi yang sulit ditebak.
Alya mengedip beberapa kali, lalu menggaruk tengkuknya. “Kebetulan banget kamu di sini, jadi aku nggak perlu repot-repot bawa ke kamar.”
Nakula masih menatapnya. “Ngapain?”
“Kayang. Ya masaklah, masa ngapain lagi.”
“Kenapa nggak izin?”
Alya hanya tersenyum lebar. “Iya biar surprise....”
“Dalam rangka?”
Alya meletakkan piring di depannya. “Jangan banyak tanya, cobain aja dulu.”
Nakula menatap makanan itu dengan sedikit kecurigaan. “Ini nggak ada obat atau racun, kan?”
Alya langsung memasang wajah tersinggung. “Kalau aku mau meracuni kamu, mungkin udah dari dulu!”
Nakula terkekeh pelan. “Baiklah, aku akan memakannya.”
Tanpa basa-basi, ia mulai menyantap makanan itu dan dalam hitungan menit, piringnya sudah kosong.
Alya menatapnya dengan takjub. “Astagaa, kamu makan kayak orang nggak makan berbulan-bulan.”
Nakula mendongak, ekspresinya tetap santai. “Ada lagi?”
Alya melotot. “Hah?!”
“Ada sih...tapi emang perut kamu masih nampung?”
“Bisa. Jadi, ambilkan lagi ya?”
Alya mendengus, tapi tetap beranjak mengambil makanan tambahan. ‘Busettt, kerasukan setan nih anak kayaknya....’
Ia kembali dengan piring baru, meletakkannya di depan Nakula. “Nih.”
Nakula tersenyum tipis. “Thanks, babe.”
Alya hanya mengangguk, malas berkomentar lebih jauh.
Dan dalam waktu singkat, makanan itu kembali habis.
Alya menatap piring kosong itu dengan ekspresi shock. “Hah, udah habis lagi?”
Nakula menyandarkan punggungnya ke kursi. “Lain kali, kamu aja yang masakin buat aku.”
Alya mendengus, melipat tangan di depan dada. “Kamu pikir aku ini apa? Asisten pribadi?”
Nakula tersenyum miring, matanya penuh arti. “Lebih dari itu, darling.”
Alya merasa jantungnya mencelos. ‘Sial, kenapa jadi begini lagi?!’
Nakula meletakkan sendoknya, lalu menatap Alya dengan ekspresi tajam. “Lain kali, kamu aja yang masakin buat aku.”
Alya menelan ludah, lalu mengangkat dagunya sedikit. “Baiklah, tapi ada syaratnya.”
Alis Nakula terangkat. “Syarat?”
Alya mengangguk. “Izinkan aku besok pergi ke sekolah.”
Sekali lagi, tatapan Nakula berubah dingin. Dia bersandar ke kursi, menatap Alya lama, seolah menimbang permintaannya. “Hanya itu?”
Alya menundukkan kepala, tidak berani membalas tatapan Nakula.
Suaranya yang dalam menggema di telinganya, menciptakan tekanan yang membuat dadanya semakin sesak.
Nakula menghela napas, lalu berdiri, melangkah mendekati Alya.
Dalam sekejap, tangannya sudah mengangkat dagu gadis itu, memaksanya menatap langsung ke matanya. ”Lihat aku, sayang.”
Alya mencoba menarik kepalanya, tapi genggaman Nakula terlalu kuat. “Aku ingin kembali ke sekolah dan menjalani hari seperti biasa! Aku lelah terus-terusan dikurung di sini!”
“Wow, jadi sekarang kamu sudah berani melawan?” tanya Nakula, suaranya terdengar penuh ketertarikan.
Sebelum Alya bisa menjawab, tangan Nakula mencengkeram pergelangan tangannya dan menariknya berdiri. “Nakula, lepaskan aku!” seru Alya, berusaha melepaskan diri.
Namun, usahanya sia-sia.
Nakula membawanya ke kamar, lalu mengunci pintu.
Dengan langkah perlahan, ia mendekati Alya, hingga punggung gadis itu menempel di tembok.
“Kamu masih mau sekolah, sayang?” bisiknya, suaranya terdengar rendah namun mengancam.
Alya mengangguk. “Ya! Tapi kenapa kamu melarang ku?!”
“Aku melarang mu karena aku tidak ingin kamu melakukan sesuatu yang salah.” Nakula semakin mempersempit jarak, kedua tangannya bertumpu di sisi wajah Alya, mengurungnya sepenuhnya. “Jadi, jangan pernah meminta itu lagi!”
Alya mengepalkan tangannya, matanya berkaca-kaca. “Aku mohon...apa pun syarat yang kamu berikan, aku akan turuti. Asal aku bisa sekolah lagi!”
Nakula memiringkan kepalanya, menatap Alya dalam. “Apa pun?”
“Ya! Aku bersungguh-sungguh!”
Senyuman miring muncul di bibir Nakula. Ada sesuatu di matanya yang membuat jantung Alya berdegup semakin kencang. “Apa pun yang aku minta, kamu akan menuruti?”
Alya menggigit bibirnya, tetapi tetap mengangguk. “Ya.”
Tatapan Nakula berubah lebih gelap. “Kalau begitu...aku ingin kamu malam ini.”
Mata Alya membelalak. “Apa?!”
“Kamu yang bilang, apa pun syaratnya akan kamu turuti, kan?”
Alya terdiam.
Dadanya naik turun cepat, pikirannya berputar liar.
“Bisa selain itu?” tanyanya, suaranya hampir bergetar.
Nakula menggeleng perlahan. “Tidak.”
Alya mengembuskan napas panjang, menutup matanya sesaat.
Setelah beberapa detik, ia membuka matanya lagi dan akhirnya mengangguk. “Oke...aku siap.”
Kini, justru Nakula yang terdiam.
Dia menatap Alya dengan ekspresi sulit ditebak.
Seolah ia tidak menyangka gadis itu benar-benar akan menyetujuinya.
“Hah, you wanted to go to school so badly that you accepted that condition?”
(Hah, kamu begitu inginnya bersekolah hingga kamu menerima syarat itu?
“I told you, whatever the conditions, the important thing is that I can go to school again!”
(Sudah kubilang, apa pun syaratnya, yang penting aku bisa sekolah lagi!)
Nakula menyeringai mendengar jawaban Alya. “Baiklah, besok kamu boleh sekolah. Tapi, kamu nggak boleh jauh-jauh dariku, dan mulai besok kamu duduk sama aku!”
Alya menatap Nakula dengan tatapan waspada.
“Dan satu lagi,” Nakula mendekat, suaranya lebih rendah, “jangan berinteraksi dengan pria lain selain aku dan Vian selama di sekolah, termasuk guru. Mengerti, babe?”
Alya menelan ludah sebelum akhirnya mengangguk pelan.
“Bagus. Sekarang mandi dan pakai baju yang rapi!” perintah Nakula.
Alya mengerutkan kening. “Memangnya kita mau ke mana?”
“Jalan-jalan. Biar kamu nggak bosan dan kepikiran buat kabur.” Nakula akhirnya melepaskan tangannya dari tembok, memberi Alya ruang untuk bergerak.
Mata Alya berbinar. Senyum lebarnya muncul begitu saja sebelum dia berlari menuju kamar mandi.
Nakula menghela napas dan berjalan ke balkon, menatap langit sore yang mulai berubah warna.
Ada ketenangan aneh yang mengisi dadanya saat melihat Alya terlihat begitu bahagia.
‘Semoga dengan ini kamu perlahan bisa menerima aku,’ batin Nakula.
Namun, pikirannya kembali terusik.
‘Vino, maaf gue udah bunuh lo tanpa alasan. Gue juga minta maaf karena sampai sekarang belum bisa bahagiain kakak lo. Tapi gue nggak akan biarin dia ketemu orang tua kalian!’
Tanpa Nakula sadari, Alya sudah selesai dan kini berdiri di belakangnya.
“Hei, apa yang kamu lamun kan, sayang?”
Nakula menoleh. Matanya menatap Alya dengan takjub. “Coba ulangi kalimat terakhir yang kamu ucapkan.”
Alya menggeleng cepat, menunduk. “Malu...”
Nakula terkekeh. Gemas melihat Alya seperti itu.
“Buat apa malu?” Tangannya terangkat, mengangkat dagu Alya agar menatapnya. “Katakan sekali lagi.”
Alya menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. “Sayang,” ucapnya ragu-ragu.
Nakula menyeringai. “Coba ulang sekali lagi.”
Alya menutup wajahnya dengan kedua tangan, lalu menggumam, “Sayang. Udah, puas?”
Tawa kecil keluar dari bibir Nakula.
“Tunggu aku mandi dulu, sayang.” ucapnya.
Saat Nakula hendak melangkah, Alya melipat tangan di dada. “Ekhm. Pakaianmu! Harus aku ingetin tiap hari, ya?”
Nakula mendesah. “Iya-iya. Besok aku akan ingat bawa pakaian sendiri.”
Alya menggeleng, menyerahkan pakaian yang sudah ia siapkan.
Nakula menerimanya sebelum masuk ke kamar mandi.
Sementara itu, Alya kembali ke balkon, menikmati angin yang menerpa wajahnya.
Matanya memandangi awan yang berkejaran di langit, membiarkan pikirannya melayang bebas untuk sesaat.
Tok...tok...tok...
Alya menoleh. Ada yang mengetuk pintu.
“Sebentar...” ucapnya, berjalan menuju pintu dan membukanya.
“Oh, lo? Ada apa?” tanyanya ketika melihat Vian berdiri di depan pintu.
“Kalo lo nyari Nakula, dia lagi mandi,” lanjut Alya, karena Vian hanya diam tanpa menjawab.
Vian menatap Alya lekat. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi dia menahannya sejenak.
‘Oke, lo harus tenang,’ batinnya. Ia menarik napas dalam sebelum akhirnya bicara.
“Gue nggak nyari Nakula,” katanya.
Alya mengerutkan alis. “Terus siapa? Gue?”
“Iya,” jawab Vian, nadanya serius. “Gue mohon sama lo. Selama lo jalan-jalan sama Nakula, jangan pancing emosinya.”
Alya terdiam. “Oke... tapi kenapa tiba-tiba ngomong gitu?”
Vian menatapnya sejenak sebelum akhirnya berkata, “Udah. Intinya lo harus nurut sama Nakula.”
Setelah mengatakan itu, Vian langsung pergi.
Alya menatap punggungnya dengan bingung. “Aneh banget tuh orang,” gumamnya sebelum menutup pintu.
Ia kembali ke sofa, menunggu Nakula selesai mandi, tapi pikirannya terus berputar.
Kenapa Vian tiba-tiba memperingatkannya seperti itu? Apa yang sebenarnya dia takutkan?
...❤❤❤...
...Sampai disini dulu yaa...
...maaf jika ada typo......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments