Chapter 5

Happy Reading 

...____________________...

...Hai jangan lupa sebelum membaca...

...kalian like ya, sekalian komen juga....

...________________________________...

Beberapa menit kemudian, Nakula kembali ke dalam kamar.

Ia menutup pintu perlahan sebelum berjalan mendekati Alya yang masih duduk di sofa.

“Jadi, apa jawabanmu?” tanyanya, menatap Alya dengan sorot mata penuh arti.

Alya mendesah pelan. “Kurasa…tidak perlu.”

Nakula mengangkat alis. “Oh?”

Ia duduk di samping Alya, lalu menatap kaki gadis itu. “Gimana lukamu? Masih perih?”

Alya meliriknya sekilas sebelum menjawab, “Ya, masih.”

“Separah itu, huh?”

Alya mendesah, lalu menatap Nakula malas. “Menurutmu mungkin biasa aja, tapi menurutku ini parah!”

Nakula menyandarkan tubuh ke sofa, mengamati Alya dengan mata berkilat penuh arti. “Salahmu sendiri meminta itu.”

Alya menggigit bibir, memilih untuk diam percuma berdebat dengan Nakula.

Laki-laki itu selalu punya caranya sendiri untuk menang.

Hening sejenak.

Nakula mengulurkan tangan, menyentuh rambut Alya.

Jemarinya dengan santai mulai memainkan helaian panjang itu, menjalin lalu melepasnya lagi seolah sedang menikmati permainan kecil.

Alya hanya bisa menghela napas. Sejak dulu, ia tak pernah benar-benar memahami laki-laki ini.

Perubahan sikapnya terlalu cepat dari kejam menjadi lembut, dari marah menjadi posesif seolah dia memiliki dunia Alya sepenuhnya.

“Sayang….” Nakula tiba-tiba membuka suara.

Alya menoleh dengan ekspresi jengah. “Apa lagi?”

“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

“Tentang apa?”

Nakula diam sebentar, lalu matanya menatap lurus ke wajah Alya. “Kenapa waktu itu kamu bisa ada di tempat aku menikam adikmu?”

Alya mengerutkan kening.

Malam itu…kejadian yang mengubah hidupnya selamanya.

Ia menarik napas, lalu menjawab pelan. “Dia minta izin untuk keluar, dan aku mengizinkannya. Tapi setelah dia pergi, aku merasa nggak enak. Akhirnya aku menyusulnya…dan ya, aku melihatmu.”

Nakula terkekeh kecil, ekspresinya malah tampak puas. “It was a luck for me.”

(Itu adalah sebuah keberuntungan bagiku.)

Alya menatapnya tajam. “Kenapa?”

“Because finally, I can have you. The girl I've wanted all this time.”

(Karena akhirnya aku bisa memilikimu. Gadis yang selama ini aku idam-idamkan.)

Sebuah perasaan dingin merayap di punggung Alya.

“What…so you've been stalking me for a long time?”

(Apa...jadi kamu menguntit ku selama ini?)

Nakula tersenyum tipis, lalu mengangkat bahu. “Ya…begitulah.”

...◌⑅⃝●●⑅⃝◌◌⑅⃝●...

Alya sedang duduk di balkon, menikmati udara malam yang sejuk.

Pandangannya terarah ke langit, mengamati bintang-bintang yang bertaburan di atas sana.

Langkah kaki terdengar mendekat, diikuti suara familiar yang memanggilnya.

“Sayang,” Nakula berdiri di ambang pintu balkon, menatapnya.

Alya menoleh sekilas. “Ya, kenapa?”

Nakula berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya.

Matanya menatap langit sebentar sebelum berkata dengan nada tegas, “Besok kita nggak akan pergi ke sekolah.”

Alya melirik Nakula, tapi tidak bertanya lebih lanjut.

Ia tahu percuma mendebat pria ini. “Ya, baiklah kalau itu maumu,” jawabnya lirih.

Nakula mengulurkan tangan, membelai rambut Alya sebentar sebelum bangkit. “Ayo masuk. Ada sesuatu yang mau aku tanyakan.”

Alya menghela napas pelan sebelum akhirnya berdiri.

Nakula membantunya, tangannya terasa hangat di pergelangan Alya.

Begitu mereka kembali ke dalam kamar, Nakula duduk di sofa, menarik Alya untuk ikut duduk di sampingnya.

“Seperti yang tadi aku bilang, aku ingin menanyakan sesuatu,” katanya, menatap Alya dalam.

Alya bersandar, merasa sedikit lelah. “Apa lagi, Nakula?” suaranya terdengar bosan.

Nakula menyipitkan matanya sedikit. “Selama kamu tinggal dan sekolah di sini, ada yang menyukaimu?”

Alya mengerutkan kening. “Kenapa tiba-tiba tanya itu?”

“Cukup jawab saja.”

Alya mendesah. “Aku nggak tahu ada yang menyukaiku atau nggak. Dan aku juga nggak menyukai siapa pun.”

Mata Nakula menatap Alya tajam, seolah mencari kebohongan di wajahnya.

Beberapa detik berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya dia mengangguk pelan. “Oke. Aku percaya.”

Kamar mereka sunyi setelahnya. Hanya suara napas mereka yang terdengar samar.

Alya melirik Nakula dari sudut matanya. “Nakula,” panggilnya.

“Hmm?”

“Aku ngantuk.”

Nakula mengangkat alis. “Terus?”

Alya mendengus. “Ya, minggir lah. Aku mau tidur.”

“Tidak boleh. Kamu tidur di ranjang bersamaku!” tegas Nakula tanpa memberi ruang untuk perlawanan.

Alya bahkan belum sempat memprotes ketika tubuhnya sudah terangkat dari sofa.

Nakula menggendongnya ala bridal style dengan mudah, seolah Alya tidak berbobot sama sekali.

“Nakula! Turunkan aku!” serunya, sedikit panik.

Nakula hanya terkekeh, lalu dengan hati-hati menurunkannya di atas kasur.

Mata Alya membulat. “Apa yang kamu lakukan?”

Alih-alih menjawab, Nakula malah dengan santai menarik kaosnya, melepasnya begitu saja.

Cahaya lampu kamar membuat tubuh shirtless-nya terlihat jelas, memperlihatkan setiap garis otot yang terbentuk sempurna.

Alya langsung memalingkan wajah. ‘Sial! Kenapa dia seperti ini?!’

Nakula menaiki kasur dengan gerakan tenang, mendekat ke arahnya.

“Aku selalu tidur seperti ini, sayang.” bisiknya seraya merebahkan tubuhnya di samping Alya.

Alya masih terpaku, enggan berbaring di ranjang yang sama dengannya.

Nakula menepuk sisi kosong di sebelahnya. “Berbaringlah.”

Tatapan matanya tajam, penuh otoritas. Alya tahu jika menolak, dia hanya akan menghadapi masalah lain.

Dengan ragu, akhirnya ia merebahkan tubuhnya di sisi ranjang.

Tapi baru saja ia menghela napas, tangan Nakula melingkar, menariknya ke dalam pelukan.

“Aku—”

“Diam,” potong Nakula, suara rendahnya terdengar berbahaya sekaligus menenangkan.

Alya terdiam, tubuhnya tegang di dalam dekapan hangat Nakula.

Namun seiring waktu, rasa kantuk mulai menyerang. Kelopak matanya terasa berat.

Perlahan, ia menyerah.

Dalam hitungan detik, Alya terlelap di dalam pelukan Nakula.

Laki-laki itu tersenyum kecil, mengeratkan pelukannya.

Bibirnya berbisik lembut di dekat telinga Alya,

“Sleep tight, babe.”

(Tidur yang nyenyak, sayang.)

...OoO...

Asap tipis mengepul di udara saat Nakula menghisap rokoknya perlahan.

Dari tempatnya berdiri, matanya menatap sosok Alya yang masih terlelap di ranjangnya.

Dada gadis itu naik turun dengan ritme teratur, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur.

Nakula mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap langit yang mulai terang.

Waktu berjalan cepat, namun ada sesuatu dalam keheningan ini yang membuatnya enggan berpaling.

Setelah beberapa saat, ia mematikan rokoknya, lalu melangkah mendekati ranjang.

Alya masih tidur, bibirnya sedikit terbuka, dan dengkuran halus terdengar sesekali.

Senyum tipis terbit di wajah Nakula. Ia berjongkok di samping ranjang, membiarkan tatapannya menyapu setiap inci wajah gadis itu.

Indah. Bahkan setelah dua tahun, dia masih seindah dulu.

Aroma mint dan lemon yang khas dari tubuh Alya menyeruak lembut ke indra penciumannya.

Nakula menghirup dalam, membiarkan wangi itu memenuhi paru-parunya.

Dan sebelum ia bisa menahan dirinya, ia menunduk.

Bibirnya menyentuh bibir Alya dengan lembut, awalnya hanya sebuah kecupan ringan.

Tapi, sentuhan itu membakar, menyalakan sesuatu yang lebih dalam.

Nakula menekan bibirnya sedikit lebih dalam, menikmati kelembutan itu.

Alya menggeliat pelan dalam tidurnya, mengerang lirih, seolah merasakan sesuatu yang mengusik lelapnya.

Tapi Nakula tidak berhenti.

Hingga akhirnya, kelopak mata Alya bergerak, terbuka perlahan.

Kesadarannya masih samar ketika ia menyadari sesuatu yang hangat menekan bibirnya.

Matanya membesar seketika.

Dengan cepat, tangannya terangkat, memukul lengan Nakula dalam kepanikan.

Namun laki-laki itu tetap tidak mundur.

Alya memukul bahunya sekali lagi, kali ini lebih kuat, hingga akhirnya Nakula mengendurkan tautannya.

Ia menarik diri dengan tatapan puas, ujung bibirnya melengkung dalam seringai khasnya.

“Morning, babe.” Bisikannya terdengar dalam dan sedikit serak.

Alya masih terengah, napasnya tersengal setelah dicium paksa dalam tidurnya.

Tangannya gemetar, matanya menatap Nakula dengan kewaspadaan tinggi.

“Morning....” jawabnya pelan, tapi intonasinya penuh waspada.

Ia sadar, saat ini posisinya tidak menguntungkannya.

Nakula masih berada di atasnya, dengan tatapan yang menyiratkan bahwa dia tidak akan melepaskannya begitu saja.

“Bisakah kamu menyingkir,” ujar Alya lirih. Gadis itu ingin ke kamar mandi, tapi bagaimana bisa jika Nakula menahannya seperti ini.

“No, memang kamu mau kemana?” Seringai kecil Nakula tunjukkan pada Alya.

Alya meneguk ludahnya, bagaimana ini, apa yang harus ia lakukan agar Nakula menyingkir dari atasnya.

“Please, aku ingin mandi.” Alya menanti dengan cemas. 

Gadis itu berharap Nakula akan melepaskannya setelah ini.

Nakula tersenyum miring. “Ada syaratnya.”

Alya menaruh curiga pada laki-laki itu. “Apa syaratnya?” gadis itu menanti dengan tidak sabar.

Nakula mendekatkan dirinya di samping telinga Alya dan berbisik sensual. “Kita mandi bersama.”

Kedua bola mata Alya membulat sempurna.

“Tidak!”

“Alya,” teriak Sasa dari balik pintu

“Iyaaa Sa.” jawab Alya.

“Lebih baik kamu menyingkir!” ucap Alya kepada Nakula,namun Nakula tak menggubris ucapan Alya.

“Gue boleh masuk?” tanya Sasa dari balik pintu.

“Iya buka saja, pintunya gak gue kunci!” bukan Alya yang menjawab melainkan Nakula lah yang menjawab.

“Owh lo lagi sama Nakula, kalo gitu gue ga jadi masuk. Oh ya, makanannya sudah siap.” ucap Sasa.

“Ishh kamu apa apa sih Nak, minggir!” pekik Alya kesal berusaha mendorong tubuh Nakula.

“Kurasa aku akan tetap di atasmu.”.ucap Nakula menyeringai.

“Tidak, minggir!” Dengan sisa tenaga yang entah dari mana datangnya, Alya mendorong Nakula sekuat mungkin.

Pria itu terhuyung ke belakang, nyaris kehilangan keseimbangan.

Namun saat Alya mencoba bangkit dari ranjang, nyeri tajam menyengat pahanya. “Aww....” Ia mengerang pelan, tangannya refleks mencengkeram kain di bawahnya.

Nakula yang baru saja kembali menegakkan tubuhnya menatapnya tajam.

Tatapannya berubah saat melihat darah mulai merembes dari luka di paha Alya. “Sayang, lukamu berdarah lagi.” Suaranya lembut, tapi ada nada khawatir di dalamnya.

Alya mengusap keringat dingin di dahinya. “Mungkin semalam gue terlalu banyak bergerak saat tidur....” suaranya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.

Tanpa menunggu jawaban, Nakula bergerak cepat.

Dalam sekejap, ia sudah mengangkat tubuh Alya ke dalam gendongannya.

“Nak, aku bisa sendiri....” Alya mencoba berontak, tapi tak bisa mengabaikan betapa ringan tubuhnya di bawah genggaman pria itu.

Nakula mengabaikannya. Langkahnya mantap menuju kamar mandi. “Perlu aku bantu membersihkannya, sayang?” bisiknya pelan, matanya menelisik wajah Alya yang menegang.

“Tidak, lebih baik kamu menunggu diluar!” usir Alya.

“Baiklah, aku tunggu diluar.” Nakula berjalan keluar dari kamar mandi.

“Tidak, lebih baik kamu menunggu di luar!” Alya mengusir Nakula dengan suara tegas, meski tubuhnya masih terasa lemah.

Nakula mengangkat alis, lalu menghela napas pelan. “Baiklah, aku tunggu di luar.” Tanpa perlawanan, ia melangkah keluar, menutup pintu kamar mandi di belakangnya.

Ia duduk di sofa, menunggu Alya yang sedang mandi.

Hanya suara gemericik air yang terdengar di dalam kamar, hingga tiba-tiba ketukan di pintu membuatnya tersadar.

Nakula berdiri dan membuka pintu. Vian.

“Ada apa?” tanyanya, matanya memperhatikan ekspresi bawahannya yang tampak serius.

“Sepertinya kita harus kembali ke Amerika, Tuan. Urusan kita di sini sudah selesai.”

Nakula diam sejenak, matanya sedikit menyipit. “Baik, nanti saya beritahu Alya.” jawabnya datar.

Vian mengangguk sebelum berbalik dan pergi.

Nakula menutup pintu, lalu kembali duduk di sofa, pikirannya mulai berputar.

Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka.

Alya keluar dengan wajah masih basah, mengenakan pakaian santai.

“Siapa tadi?” tanyanya, mengeringkan rambut dengan handuk.

“Vian. Dia bilang kita harus kembali ke Amerika.”

Alya menghentikan gerakannya. “Tidak bisakah kita tinggal di sini saja?” tanyanya lirih, matanya menatap Nakula dengan harapan.

Nakula menatapnya sejenak sebelum menjawab. “Tempat kelahiran kita bukan di sini, sayang.”

Alya mengeratkan pegangannya pada handuk. “Tapi bagaimana dengan sekolahku? Di sana kamu pasti akan mengurungku lagi seperti dulu. Aku nggak mau!” suaranya mulai bergetar.

Ekspresi Nakula mengeras. “Apapun alasanmu, kita akan tetap kembali ke sana!” bentaknya, membuat Alya tersentak.

Alya menunduk, menggigit bibirnya untuk menahan isak. “Tapi aku nyaman di sini.…”

Nakula menarik napas panjang. “Kita harus kembali ke Amerika, sayang.”

Alya menatap Nakula penuh harap, lalu perlahan meraih tangannya. “Aku ingin menyelesaikan pendidikan di sini.”

Nakula menghela napas. “Kalau begitu nanti aku bicarakan dengan Vian.”

Alya menggigit bibirnya, ragu sejenak sebelum berkata, “Nakula….”

“Ya, kenapa, sayang?”

Alya menggeser duduknya sedikit. “Aku ingin ngobrol dengan Sasa, boleh?” tanyanya pelan, ragu-ragu.

Nakula memiringkan kepalanya, menatapnya tajam. “Apa kamu bosan berbicara denganku, hmm?”

Alya buru-buru menggeleng. “Bukan begitu. Baiklah kalau tidak boleh.” Ia kembali menunduk.

Nakula diam sejenak, lalu mengangkat dagu Alya dengan jemarinya. “Kamu ingin ketemu Sasa?”

Alya mengangguk pelan, matanya sedikit berkaca-kaca.

“Baiklah, aku akan mengantarmu.”

Mata Alya berbinar, senyum kecil muncul di bibirnya.

Nakula mengangkat tubuh Alya dalam gendongan bridal style, lalu membawanya menuju kamar Sasa dan Vian.

Sesampainya di depan pintu, Nakula menurunkan Alya lalu mengetuk pintu tersebut beberapa kali. Mereka menunggu, tapi tak ada jawaban.

Alya melirik Nakula. “Kok kayak nggak ada orang ya?”

Nakula menekan gagang pintu, tapi tetap terkunci. “Mungkin mereka lagi keluar. Sudah, ayo balik ke kamar.”

Alya ingin menunggu lebih lama, tapi luka di kakinya masih terlalu sakit. Ia menghela napas pasrah. “Ya sudah, ayo.”

Nakula kembali menggendongnya, membawa Alya kembali ke kamar mereka, sementara pikiran Alya masih dipenuhi keinginan untuk berbicara dengan Sasa.

***

“Forgive us, we had to do it.”

(Maafkan kami, kami terpaksa melakukannya.)

“We didn’t know it would turn out like this, forgive us dear.”

(Kami tidak tahu akan jadi seperti ini, maafkan kami sayang.)

“Hopefully you’re still alive and can come back home.”

(Semoga kamu masih hidup dan bisa pulang.)

***

Hujan deras mengguyur di luar, menciptakan pola embun di kaca jendela.

Alya menatapnya kosong, jarinya menggambar bentuk acak di permukaan dingin itu.

Dulu, ia suka bermain hujan bersama adiknya. Berlarian di halaman, tertawa di bawah langit yang menangis.

Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan yang jauh...terlalu jauh untuk disentuh.

Sebuah suara mengusik lamunannya. “Kamu sedang memikirkan apa, sayang?”

Alya berkedip, tersadar dari pikirannya. Nakula menatapnya, ekspresi laki-laki itu sulit ditebak.

“Tidak, aku tidak memikirkan apa-apa.” Alya mengalihkan pandangannya.

Tatapan Nakula mengeras. “Jangan berpikir untuk kabur, mengerti?”

Alya mendesah, memutar bola matanya dengan malas. “Aku sudah bilang, aku tidak mikirin apa-apa.”

Nakula mendekat, meneliti wajahnya dengan intens, seolah mencoba membaca pikirannya. Beberapa detik berlalu dalam keheningan.

“Baiklah, aku percaya. Tapi kalau aku tahu kamu bohong...hukuman menantimu.” Suaranya terdengar datar, tapi penuh ancaman terselubung.

Alya tersenyum miring. “Iya, iya. Aku tahu, kalau aku bohong, kamu pasti menghukum ku.”

Nakula masih menatapnya tajam sebelum akhirnya mengubah topik. “Ah, ya. Bukankah tadi kamu bilang ada urusan?”

“Iya, tapi bisa dikerjakan nanti malam saja.” Nakula menyandarkan tubuhnya ke sofa, menatap Alya dengan tatapan penuh arti. “Sekarang aku mau bersamamu saja.”

Langkahnya mendekat, membuat Alya refleks mundur.

Tapi gerakan Nakula jauh lebih cepat, menutup jarak di antara mereka.

“Jangan menghindar,” bisik Nakula, menarik Alya ke dalam rengkuhannya. “Aku cuma ingin memelukmu.”

Alya mengeram dalam hati. Halah, paling alasan!

Berusaha mengalihkan suasana, ia cepat-cepat berkata, “Kita nonton aja, ya?”

Nakula menatapnya sejenak, lalu menyeringai kecil. “Baiklah. Tapi sambil peluk.”

Alya mendengus pelan. ‘Ck, sama aja dong!’

Nakula berjalan ke sudut kamar, memasang LCD mini yang entah sejak kapan ada di sana. Setelah beberapa menit, ia berbalik. “Sayang, kemari lah.”

Alya mendekat dengan enggan, duduk di sebelahnya di tepi ranjang.

“Film apa yang cocok dengan suasana sekarang?” tanya Nakula, menatapnya.

Alya mengangkat bahu. “Aku tidak tahu, aku jarang nonton film.”

Nakula memutar matanya. “Terus kenapa kamu ngajak nonton kalau kamu sendiri nggak tahu mau nonton apa?”

Alya membuka mulut, tapi sebelum sempat menjawab, Nakula menyipitkan mata. “Atau...” pria itu mendekatkan wajahnya, suaranya merendah, “Kamu cuma ingin menghindar agar aku nggak bisa memelukmu, hmm?”

Alya menelan ludah. ‘Sial, gue harus jawab apa?!’

“Answer my question, babe!” suara Nakula terdengar lebih tajam.

(Jawab pertanyaanku, sayang!)

Alya berusaha tetap tenang. ”Enggak. Aku kira kamu tahu kita bakal nonton apa.”

Nakula menyunggingkan senyum miring. “Aku tahu kamu bohong, sayang.”

Alya tercekat. Ia mati kutu. Tidak ada cara untuk menyangkal, karena kali ini Nakula benar-benar bisa membaca pikirannya.

Nakula bangkit dari tempatnya, mematikan LCD mini, lalu mengembalikannya ke tempat semula.

Langkahnya tenang saat ia mendekati Alya, lalu berbisik tepat di belakangnya.

“Sesuai ucapanku tadi, kamu berbohong...maka aku akan menghukum mu, sayang.”

Alya menegang, napasnya tercekat. “T-t-tapi... lukaku belum sembuh total....” suaranya terdengar gugup.

Nakula terkekeh kecil. “Aku tidak akan menghukum mu dengan pisau atau benda tajam lainnya.”

Alya langsung waspada. Matanya menyipit curiga. “Lalu hukuman seperti apa?”

Nakula tersenyum miring, lalu menepuk kasur. “Berbaringlah.”

Alya ingin membantah, tapi tatapan tajam Nakula lebih dulu menghentikannya.

Dengan berat hati, ia akhirnya berbaring di kasur, sementara Nakula menyusul dan langsung menariknya ke dalam pelukan erat.

“Hukuman kali ini, aku akan memelukmu sampai hujan berhenti.”

Alya membelalakkan mata. ‘What kind of punishment is this?’ batinnya tak habis pikir.

(Hukuman macam apa ini?)

Namun, ia tak sempat memprotes lebih lanjut.

Sebuah pertanyaan mendadak terlintas di kepalanya. “Aku ingin bertanya...Handphone-ku mana?”

“Aku sita.” jawab Nakula singkat.

Alya mendengus. “Kembalikan sebentar saja...Aku cuma mau baca cerita sebentar.”

“Atau pakai handphone-mu juga nggak masalah, asal aku bisa membaca.” tambahnya, mencoba negosiasi.

Nakula menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah. Pakai handphone-ku saja.”

Ia merogoh saku celananya dan menyerahkan benda pipih itu kepada Alya.

“Yes!” seru Alya senang.

Namun, ketika ia mencoba membuka ponsel itu, layar hanya menampilkan kolom password. “Apa sandinya?”

“Tanggal lahirku.” jawab Nakula santai, sembari membenarkan posisi pelukannya pada Alya.

Alya mengetik tanggal lahir Nakula dalam bentuk angka. Tapi... “Kok salah?”

Nakula melirik ke arah ponselnya. “Yang kamu masukkan apa?”

“Ya, tanggal lahirmu!” jawab Alya kesal.

Tiba-tiba, Nakula tertawa kecil. “Kamu salah. Maksudku, password-nya itu tanggal lahirku, tapi ditulis pakai huruf, bukan angka.”

Alya langsung membatu. Wajahnya memanas. ‘Tuhan, bisakah gue menghilang selamanya... Malu bangettt....’

Mendadak, Nakula menatapnya dengan ekspresi sedikit terkejut. “Eh, berarti...kamu masih ingat tanggal lahirku?”

Alya berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil. “Ya, begitulah.”

Senyuman puas terukir di wajah Nakula. “Baguslah. Aku senang kamu masih mengingatnya.”

Alya tidak menanggapi, malah perhatiannya teralihkan oleh wallpaper ponsel Nakula yang kini terbuka di depannya.

Matanya membesar begitu melihat tampilan layar utama.

‘Kayak nggak ada foto lain aja...kenapa foto gue yang jadi wallpaper?!’

“Nakula, aku boleh buka galeri fotomu?” tanyanya, masih sedikit terkejut.

Nakula hanya tersenyum kecil. “Buka saja. Apapun yang ingin kamu tahu.”

Mendengar izin itu, Alya langsung membuka galeri ponsel Nakula.

Namun, begitu melihat isi galeri tersebut, ia semakin terkejut.

Sebagian besar foto di sana...adalah dirinya.

Bukan Nakula. Bukan tempat-tempat atau benda acak.

Hampir semuanya foto dirinya dalam berbagai sudut.

Alya menatap layar dengan ekspresi penuh keterkejutan. ‘Ya ampun... Kenapa hampir semua isinya foto gue?!’

...•••••...

...sampai jumpa di part selanjutnya...

...jika ada typo mohon dimaafkan...

...jangan lupa like and komen yaa.......

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!