Happy Reading
..._________________________...
...⚠️WARNING⚠️...
...Mengandung benda tajam...
...⚠️⚠️⚠️...
...Hello semuaa aku kembali...
...Hati-hati banyak typo...
...Oke langsung lanjut aja.......
..._______________________________...
Nakula melajukan mobilnya menembus kepadatan kota siang itu, tujuannya adalahnya kerumah mereka.
Suasana di dalam mobil begitu tegang dan hening, tidak lama kemudian mereka sampai di halaman rumah.
Nakula dengan cepat keluar dari mobil dan langsung menggendong Alya seperti karung beras.
Ia membawa Alya ke dalam ruangan yang penuh dengan alat penyiksaan dan bahkan ada pisau dan pistol yang sudah berlumuran darah.
'Semoga ini akhir hidup gue tuhan.' batin Alya memohon.
Nakula menurunkannya dia berbalik untuk menutup dan mengunci pintu ruangan itu kuncinya dilempar ke arah sembarang.
Dan kembali lagi mendekati Alya yang menunduk ketakutan.
"Hukuman apa cocok untuk seorang pembangkang sepertimu, manis." ucap Nakula mengangkat dagu Alya.
Alya gemetar saat dagunya terangkat oleh jari-jari dingin Nakula, tatapannya penuh ketakutan dan ketidakpastian.
Ia menatap Nakula dengan mata berkaca-kaca, mencoba mencari belas kasihan di balik tatapan tajam pria itu, tetapi yang ia temukan hanyalah kekosongan dan bayangan kelam.
"Aku menyerah, lakukan apa yang kamu inginkan Nakula." suaranya hampir tidak terdengar, tetapi ia berusaha mempertahankan ketenangannya.
Nakula menyeringai, mendekatkan wajahnya ke telinga Alya. "Aku ingin kau belajar untuk patuh, Alya. Kamu terlalu berani, terlalu percaya diri...dan itu berbahaya."
Alya menahan napas, tubuhnya terasa kaku.
Ia ingin melawan, tetapi ruangan itu membuatnya merasa terperangkap tanpa harapan.
Namun, saat Nakula menurunkan tangannya, sedikit keberanian kembali menyelinap ke dalam dirinya.
"Kenapa kamu melakukan ini, Nakula?" tanyanya bergetar.
"Kamu tahu aku tidak pernah berniat melawan mu..."
Nakula menatapnya lama, seolah mempertimbangkan jawaban.
"Karena terkadang, rasa takut adalah cara terbaik untuk menjaga seseorang tetap di sisimu," katanya pelan, tetapi suaranya penuh dengan ancaman yang tak terbantahkan.
Alya menggigit bibirnya, menahan tangis yang hampir pecah.
"Kalau begitu, kamu tidak pernah benar-benar peduli padaku...."
Nakula tertawa kecil, tetapi ada kilatan emosi yang melintas di matanya, meski hanya sekejap.
"Mungkin kamu benar atau bisa juga kamu salah. Tapi sekarang bukan saatnya bicara soal perasaan."
Ia berbalik, meraih sesuatu di meja, sebuah belenggu besi yang berkilat dingin di bawah cahaya lampu.
Alya tersentak mundur, tetapi tidak ada tempat untuk lari.
Alya hanya bisa berdiri terpaku saat Nakula mendekatinya dengan belenggu besi di tangannya.
Jantungnya berdetak cepat, dan pikirannya berputar, mencoba mencari cara untuk meloloskan diri dari situasi yang semakin mencekam ini.
Nakula meraih pergelangan tangannya dengan kuat, membuat Alya tersentak.
"Ini hanya untuk memastikan kamu tidak pergi ke mana-mana tanpa izin," katanya dengan nada dingin, memasangkan belenggu di pergelangan tangan Alya.
Setelah memastikan belenggu itu terpasang dengan kencang, Nakula memandangnya lagi, seolah ingin memastikan bahwa Alya benar-benar memahami posisinya.
"Sekarang, duduk," perintahnya, menunjuk ke sebuah kursi di sudut ruangan.
Alya patuh, meskipun hatinya masih memberontak.
Ia duduk perlahan di kursi itu, tatapannya terpaku pada lantai, mencoba menghindari tatapan tajam Nakula yang kini mengawasinya seperti elang.
"Alya, mungkin saat ini kamu membenciku," ucap Nakula dengan nada yang tak terduga, suaranya hampir terdengar lembut.
"Tapi percayalah, semua ini kulakukan demi kebaikanmu."
Alya mendongak, matanya berkilat marah meskipun air mata mulai menggenang.
"Kebaikanku? Menahan ku disini, memperlakukanku seperti ini? Itu yang kamu sebut demi kebaikanku?"
Nakula hanya diam, tidak memberikan jawaban, dan itu membuat Alya semakin bingung.
Meski hatinya dihantui ketakutan, ia mulai merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dari tatapan Nakula, seperti ada emosi yang tersembunyi di balik wajah dinginnya.
Nakula berbalik, berjalan menuju pintu.
"Nanti malam aku akan pergi, jangan mencoba untuk kabur!" lalu menghilang di balik pintu.
'Argh sial.' batin Alya kesal.
Alya menatap pintu yang baru saja tertutup di hadapannya, berusaha keras menahan rasa frustasi yang membuncah.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatasi gemetar di tangannya yang masih terikat oleh belenggu besi.
Hatinya diliputi perasaan campur aduk antara ketakutan, amarah, dan sedikit rasa penasaran terhadap alasan di balik sikap Nakula yang dingin.
'Apa gue harus menyerah begitu saja?' pikir Alya.
Ia berusaha menenangkan diri dan mulai memperhatikan setiap sudut ruangan, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya meloloskan diri.
Matanya menangkap beberapa benda di meja, pisau, seutas tali, dan benda-benda lain yang tampak seperti peralatan aneh.
Dalam hati, ia bersumpah bahwa ini bukan akhir baginya.
Jika Nakula berpikir bisa terus mengendalikan hidupnya, maka ia salah besar.
Alya menggeser kursi perlahan, mendekati meja, lalu dengan hati-hati mulai meraba-raba, mencari sesuatu yang tajam untuk membebaskan tangannya.
Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia berhasil menemukan sebuah potongan logam kecil, cukup tajam untuk mencoba membuka belenggu besinya.
Dengan hati-hati, ia mulai menggesekkan potongan logam itu pada kunci belenggu.
Detik-detik berlalu dengan tegang, setiap suara kecil membuatnya takut Nakula akan kembali.
Akhirnya, dengan satu gesekan terakhir, belenggu itu terbuka.
Alya menarik napas lega, mengusap pergelangan tangannya yang merah.
Ia berdiri perlahan, mengatur napas, lalu berjalan ke pintu dan mengintip dari celah kecil di bawahnya.
Sunyi. Nakula sepertinya benar-benar sudah pergi.
Mencoba membuka pintu tersebut namun tidak bisa. 'Sepertinya Nakula tahu, gue akan berusaha kabur.' ucap Alya dalam hati
Ia tidak menyerah mencari cara lain untuk bisa keluar dari ruangan ini. 'Sial ga ada jendela sama sekali!'
Alya mengelilingi ruangan dengan nafas yang masih terengah-engah, mencari celah atau apa pun yang bisa membantunya meloloskan diri.
Tidak ada jendela, hanya dinding-dinding tebal yang mengurungnya seperti penjara.
Satu-satunya pintu keluar adalah pintu yang sudah dikunci dari luar oleh Nakula.
Dia kembali ke meja, mengamati alat-alat yang tertinggal.
Pisau-pisau itu mungkin bisa membantunya membuka pintu atau setidaknya mengikis bingkai kayu di sekitar kuncian.
Dengan tekad baru, Alya meraih salah satu pisau kecil dan memeriksa engsel di pintu.
Saat sedang mencoba mengorek pintu, ia mendengar suara langkah kaki mendekat, jantungnya berdegup kencang.
Tak ada waktu untuk menyembunyikan alat-alat yang sudah dipegangnya.
Ia segera mundur, bersiap menghadapi apapun yang terjadi.
Pintu terbuka dengan suara mengerikan, dan Nakula berdiri di sana, menatapnya dengan mata penuh rasa curiga.
Ia melirik pisau di tangan Alya, lalu mendekat perlahan dengan senyum kecil di bibirnya.
"Kamu benar-benar keras kepala, ya?" katanya dengan nada dingin.
"Tapi sepertinya kamu lupa, Alya, aku selalu selangkah lebih maju."
"Kamu ingin bermain dengan pisau itu, hmm?"
Tubuh Alya seketika merinding mendengar perkataan Nakula.
Nakula mendekati Alya kemudian mengambil pisau tersebut dari tangan Alya.
"Sepertinya luka di selangkangan mu sudah sembuh," Alya melotot kemudian menunduk karena ia tahu yang akan dilakukan oleh Nakula selanjutnya.
...🦆🦆🦆...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments