Chapter 3

Happy Reading

...__________________...

...⚠️Warning⚠️...

...MENGANDUNG KATA-KATA VULGAR...

...⚠️⚠️⚠️...

...Halo semua!...

...Sebelum kita mulai, pastikan kalian membaca dengan teliti, ya jangan sampai kelewatan detail penting. Oh iya, kalau menemukan typo tandai pakai komen ya....

..._________________________________...

Setelah guru meninggalkan kelas, Alya kembali menundukkan kepala, enggan menatap siapa pun terutama Nakula.

Tanpa peringatan, Nakula menjatuhkan tasnya dengan kasar di atas meja Alya.

Suara benturan itu membuat Alya tersentak, tetapi ia tetap menolak untuk melihat ke arahnya.

Geram melihat sikap Alya yang mengabaikannya, Nakula mencengkeram dagunya dengan paksa, memaksanya menatapnya. “Ikut aku!” perintahnya tajam, lalu tanpa menunggu jawaban, ia menyeret tangan Alya.

Alya tersentak. Panik, ia berusaha melepaskan diri. “Nakula, lepas!!”

Namun, usahanya sia-sia. Genggaman Nakula semakin erat. “Berhenti memberontak dan diam, atau aku akan menghukum mu!” suaranya terdengar tajam, penuh ancaman.

Alya menahan napas. Matanya membelalakkan ketakutan, dan tanpa pilihan lain, ia akhirnya berhenti melawan.

Nakula menggenggam pergelangan tangan Alya erat dan menyeretnya menuju gudang belakang sekolah.

“Nak, ngapain kita ke sini?” tanya Alya dengan suara bergetar, perasaan was-was menguasai dirinya.

Nakula tak menjawab. Ia hanya membuka pintu gudang dengan satu tangan, lalu mendorong Alya masuk sebelum menutup pintu rapat-rapat.

Alya menelan ludah. Ruangan itu gelap dan berdebu.

Langkah Nakula yang mendekat membuatnya refleks berjalan mundur tanpa sadar, punggungnya terbentur tembok.

Nakula kini berdiri tepat di hadapannya, menatapnya tajam. “Mencoba kabur lagi?” tanyanya, nadanya dingin dan mengintimidasi.

Alya tidak menjawab. Napasnya tersengal, jantungnya berdegup kencang.

Nakula menyeringai miring. “Sudah puas bersenang-senangnya, babe?” ucapnya, menekankan panggilan itu dengan nada mengejek.

Alya tetap diam, matanya menatap Nakula penuh kewaspadaan.

Gertakan rahang Nakula terlihat jelas saat kesabarannya mulai habis. “Sudah bosan dengan mulutmu, hmm?” tanyanya, suaranya lebih rendah, lebih mengancam.

Alya buru-buru menggeleng.

“Jawab yang benar, Lya,” suara Nakula kini penuh tekanan.

Alya menelan ludah. “Enggak....” jawabnya pelan.

Namun, Nakula belum puas. “Aku tanya sekali lagi. Sudah puas bersenang-senangnya, sayang?” ulangnya sekali lagi, kali ini lebih menuntut.

Alya mengangkat dagunya, meski ketakutan masih bergelayut di matanya. “Sebelum lo datang ke sini, gue puas. Tapi setelah lo muncul, kepuasan itu hilang.”

Seketika, wajah Nakula mengeras. Matanya menatap Alya dengan kilatan bahaya. “Aku-kamu. Bukan lo-gue. Paham?” desisnya, mendekatkan wajahnya.

Alya menggigit bibir, lalu mengangguk cepat. “I-i-iya.…”

Nakula menarik napas pendek, lalu melanjutkan dengan nada lebih tegas. “Satu lagi. Setelah ini, kamu tinggal bersamaku.” Tatapannya menusuk. “Dan nanti pulang, jangan coba-coba pesan taksi.”

Dada Alya berdegup kencang. Ia tahu, perintah itu bukan sekadar ancaman biasa.

‘Setelah dua tahun membiarkanmu pergi, kamu semakin cantik saja.’ Nakula membatin, matanya tak lepas dari sosok Alya.

“Kamu makin cantik, sayang.” ucapnya, suara lembutnya penuh ketenangan yang justru membuat Alya semakin gelisah.

Alya tak menanggapi, hanya menunduk. Perasaan tidak nyaman menjalar di tubuhnya ketika Nakula tiba-tiba melingkarkan tangan di pinggangnya.

“Ayo, kita kembali ke kelas.” ujar Nakula, membimbingnya melintasi koridor sekolah.

Sepanjang perjalanan, mata para siswa dan siswi tertuju pada mereka.

Bisik-bisik samar terdengar, tatapan penasaran dan keheranan tak bisa dihindari.

Alya merasa risih. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi nyalinya ciut begitu saja.

Nakula, yang peka terhadap perubahan Alya, menoleh sekilas. “Kenapa?” tanyanya datar, tapi sorot matanya tajam.

Alya mengangkat wajahnya sedikit, sekadar menatap Nakula dengan ragu. “Risih,” bisiknya pelan.

Seketika, Nakula menghentikan langkahnya. Ia menatap tajam ke arah siswa-siswi yang masih memperhatikan mereka. Rahangnya mengeras.

“Bosan punya mata, hah?!” tegurnya lantang, membuat mereka langsung berpaling dan berpura-pura sibuk dengan urusan masing-masing.

Setelah itu Alya dan Nakula kembali melanjutkan berjalan ke kelas.

Sesampainya di kelas, Alya langsung duduk di bangkunya tanpa banyak bicara.

Napasnya masih sedikit tersengal, dan jantungnya berdebar tak karuan.

Nakula, tanpa ragu, duduk di kursi kosong di sebelahnya.

Sasa, yang sejak tadi memperhatikan, buru-buru menghampiri Alya. “Lo gak kenapa-kenapa, kan, Lya?” tanyanya dengan nada khawatir.

Alya tersenyum tipis, meski sorot matanya berkata lain. “Gue gapapa kok,” jawabnya, berusaha meyakinkan.

Tapi Sasa tidak cukup peka untuk menangkap isyarat itu.

Ia hanya mengangguk, lalu kembali ke tempat duduknya.

Nakula mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya lebih pelan namun tetap menekan. “Sayang, kamu sudah makan?”

Alya menoleh, ragu-ragu. “Belum, tadi buru-buru.”

Nakula menyeringai kecil. “Kalau begitu ayo ke kantin,” ajaknya.

Alya ingin menolak, tapi baru membuka mulut, tatapan tajam Nakula langsung menghentikannya. Ia terpaksa diam.

“Vian, lo ikut nggak?” tanya Nakula, masih dengan sikap santainya.

“Kemana?”

“Kantin.”

Vian hanya mengangkat bahu. “Oh, nggak.”

Setelah mendapatkan jawaban itu, Nakula langsung merangkul pinggang Alya dan membawanya keluar kelas.

Alya menegang, tapi tak berani melawan.

Namun, baru beberapa langkah, Nakula berhenti.

Tatapannya berubah serius, bibirnya sedikit menekuk ke samping seolah baru menyadari sesuatu.

“Sayang, sepertinya kamu melanggar sesuatu.”

Alya menatapnya heran. “Hah? Melanggar apa?”

Nakula mendekat, jarak di antara mereka semakin sempit.

Matanya menelusuri wajah Alya dengan intens.

“Kamu pakai makeup.” Suaranya terdengar lebih rendah, nyaris seperti gumaman.

Alya tercekat.

‘Astaga…apalagi ini, Tuhan.…’ batinnya panik.

“Apa kamu pernah bilang kalau aku nggak boleh pakai makeup?” tanya Alya, mencoba terdengar santai meski jantungnya mulai berdegup kencang.

“Iya, pernah.” jawab Nakula tanpa ragu.

Tatapan matanya semakin tajam, membuat Alya makin tak nyaman.

“Apa kamu lupa, hmm?” suaranya sedikit berbisik, tapi penuh tekanan.

Alya buru-buru menggeleng, mencoba menyusun kata-kata agar tidak semakin memancing kemarahan Nakula.

“Mana mungkin aku lupa? Sepertinya kamu terlalu serius. Aku tadi cuma bercanda.”

Sejujurnya, itu hanya alasan. Dalam hati, Alya panik.

Tapi Nakula tidak semudah itu dibodohi. Rahangnya mengeras, menunjukkan bahwa ia tahu Alya sedang mengarang alasan. “Kamu melanggar lagi.”

‘Mampus…bisa-bisanya gue lupa kalau dia bisa tahu orang bohong atau nggak.…’

Alya menelan ludah.

“Aku izin ke kamar mandi buat hapus makeup ini,” ucapnya, berharap bisa segera kabur.

Tapi Nakula tidak menggubris. Ia hanya menatap Alya sekilas, lalu berbalik.

“Nanti aja gue pikirin hukuman yang cocok buat lo. Sekarang kita ke kantin dulu.”

Alya tahu, itu berarti Nakula sedang menahan marahnya.

Sialnya, itu lebih menyeramkan daripada jika ia langsung dihukum saat itu juga.

Dengan enggan, Alya mengikuti Nakula dari belakang.

Sesampainya di kantin, mereka memesan makanan tanpa banyak bicara.

Setelah mendapatkan pesanan, Nakula memilih duduk di meja paling belakang, jauh dari keramaian. Alya hanya menurut.

Suasana di antara mereka sunyi, tak ada yang membuka percakapan.

Alya bahkan tidak berani menatap Nakula terlalu lama.

‘Aduh, kok canggung gini…’ pikir Alya sambil menusuk-nusuk makanannya dengan garpu.

Tapi kemudian ia mengerutkan kening. ‘Eh, ngapain juga gue ngerasa begini? Harusnya gue seneng dong kalau dia diem aja!’

Seolah bisa membaca kegelisahannya, Nakula akhirnya membuka suara. “Aku mau nanya sesuatu.”

Alya mendongak, sedikit terkejut. “Nanya apa?”

Nakula menatapnya dalam, pandangannya tajam seperti sedang meneliti ekspresi Alya. “Selama sekolah di sini, ada yang ganggu kamu atau mungkin…ada yang mendekati kamu, sayang?”

Alya meletakkan garpunya dan balas menatap Nakula. “Kurasa nggak.”

“Kalau kamu gimana? Ada seseorang yang kamu suka di sekolah ini?” tanya Nakula tiba-tiba.

Alya menatapnya dengan tatapan penuh minat. ‘Kerjain dikit, ah…’ batinnya.

Ia pura-pura terlihat ragu sebelum akhirnya menjawab, “Ehem…sebenarnya, aku suka sama seseorang.”

Sekelebat perubahan terlihat di wajah Nakula. Rahangnya menegang, matanya menyipit tajam. “Siapa namanya?” desaknya, suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya.

Alya menahan tawa. Ia bisa merasakan gelombang emosi dari Nakula, dan itu membuatnya semakin ingin bermain-main.

Dengan santai, ia mengangkat bahu. “Masa sama nama sendiri lupa sih? Gimana sih kamu.”

Dahi Nakula berkerut. “Maksudmu?”

Alya menahan senyum dan mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Iya, aku suka sama seseorang, dan orang itu adalah kamu, Nakula.”

Sebelum Nakula bisa mencerna ucapannya, Alya segera bangkit dan berlari keluar dari kantin. “Duluan yaaa!” serunya sambil tertawa kecil.

Nakula terdiam sejenak, masih mencoba memahami situasi.

Namun begitu kesadarannya kembali, ia langsung berdiri dengan geram. “Argh! Gadis itu selalu aja ada-ada aja kelakuannya!”

Tanpa pikir panjang, ia segera menyusul Alya.

Alya sudah sampai di kelas dan mendapati ruangan itu kosong.

Ia melangkah masuk sambil menghela napas. “Yah…Sasa kemana sih?” gumamnya, merasa sedikit kecewa.

“Sepertinya dia sedang bersama Vian.” Sebuah suara familiar terdengar di belakangnya.

Alya menoleh dan menemukan Nakula yang baru saja masuk ke kelas.

Laki-laki itu berjalan santai menuju bangku paling belakang dan duduk. “Sayang, kemari.”

Alya menelan ludah, tapi tetap melangkah mendekatinya. “Ya, ada apa?” tanyanya hati-hati.

Nakula menepuk pahanya. “Duduklah.”

Alya mengerutkan kening. “Tapi–”

“Tidak ada tapi-tapian!” potong Nakula cepat, nada suaranya penuh perintah.

Alya terpaksa duduk di pangkuannya. Rasanya canggung, apalagi Nakula langsung melingkarkan lengannya di pinggangnya. “Aku sangat merindukanmu, sayang.”

Mendengar itu, perasaan Alya mendadak tidak enak.

Ia menunduk, menghindari tatapan Nakula. “Kenapa waktu itu kamu meninggalkanku?” tanyanya lirih.

‘Sial... gue harus jawab apa?’ batinnya kacau.

Nakula tidak sabar menunggu jawaban. Ia mengeratkan pelukannya. “Jawab dong, sayang!”

Alya tetap diam, tidak tahu harus berkata apa.

Lalu, dengan nada rendah tapi tajam, Nakula berbisik di telinganya. “Kalau kamu masih diam saja…aku akan membuatmu h*m*l.” Tangan Nakula bergerak mengelus perutnya dengan gerakan lambat.

Alya terkejut. Ia menegang. “Kumohon, jangan....”

Nakula terkekeh. “Baiklah, aku tidak akan melakukannya.” Ia menyandarkan dagunya di bahu Alya. “Tapi kamu harus menjelaskan kenapa kamu kabur dariku.”

Alya menggigit bibirnya, menahan getaran emosinya. “Aku meninggalkanmu karena ibumu…dan karena kamu selalu kasar padaku.” ucapnya lirih, suara hampir bergetar.

Nakula membalik tubuh Alya hingga mereka saling berhadapan. “Jadi kamu pergi karena itu?” tanyanya, ekspresinya sulit ditebak.

“Aku hanya kasar kalau kamu tidak menurut, sayang. Dan soal ucapan wanita itu…lebih baik kamu lupakan. Aku juga tidak suka mendengarnya.”

Alya menghela napas dan memutar bola matanya. “Lalu apa yang kamu lakukan setelah dia mengatakan hal buruk tentangku?”

Nakula menyeringai. “Tanpa aku beri tahu pun, kamu pasti sudah tahu apa yang kulakukan.”

Alya memutar malas mata. ‘Iya sih…kenapa gue nanya hal kayak gitu?’ batinnya.

“Sayang, aku sungguh rindu padamu.” Nakula kembali menarik Alya dalam pelukannya, mencengkeramnya erat seperti takut kehilangannya lagi. “Kamu juga rindu aku, kan?”

Alya diam sejenak, lalu menghela napas. “Maaf kalau jawabanku membuatmu marah, tapi…aku tidak rindu padamu.”

Nakula tak langsung merespons. Namun, setelah beberapa detik, ia tertawa kecil, nada suaranya entah kenapa terdengar lebih dingin.

“Tidak apa-apa kalau kamu tidak merindukanku. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu…aku sangat merindukanmu.”

Ia mendongak sedikit, menatap Alya intens. “Kalau tidak percaya, tanyakan saja pada Vian. Aku pernah gila karena kamu pergi.”

Alya tak terkejut dengan pengakuan itu. Ia malah tersenyum miring. “Bukankah kamu memang sudah gila dari dulu?”

Ekspresi Nakula berubah. “Maksudmu?”

Alya menatapnya datar. “Kamu suka memb*n*h orang tanpa sebab dan melakukan tindak kriminal. Bukankah itu definisi gila?”

Alih-alih marah, Nakula tertawa. Tawanya rendah, khas, membuat bulu kuduk Alya sedikit meremang. “Kamu sekarang sudah mulai berani, ya?” katanya sambil menatap Alya tajam. “Hukumanmu bertambah, sayang.”

Alya yang awalnya tersenyum miring langsung melotot. “Hah?! Yang bener aja!”

“Iya, sayang. Aku sudah menemukan hukuman yang pas untukmu.”

Alya menelan ludah. “Hukuman yang seperti apa?” tanyanya hati-hati, rasa penasaran bercampur takut.

Nakula mendekatkan wajahnya, lalu menekan bibirnya ke bibir Alya dalam ciuman singkat sebelum melepaskannya. “Seperti itu hukumannya, sayang.”

Alya mematung. Matanya membesar, otaknya masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. “Aaaaa! First kiss-ku kamu ambil!”

Nakula hanya tersenyum kecil sebelum mendekatkan wajahnya ke telinga Alya. Suaranya terdengar rendah, berbahaya. “Bukan hanya first kiss-mu…tapi suatu saat nanti, aku juga akan mengambil kep*r*w*n*n mu.”

Darah Alya berdesir. Ia menggeleng cepat, mendorong dada Nakula dengan kedua tangannya. “Tidak! Kamu boleh mengambil apa pun dariku, tapi tidak itu!”

Nakula memiringkan kepalanya, ekspresinya seolah menantang. “Jadi, kep*r*w*n*n mu lebih berharga daripada dirimu sendiri?”

Alya menegakkan tubuhnya. “Iya...jika aku harus mati, aku rela, asal aku masih p*r*w*n!”

“Kenapa?”

Alya menggigit bibirnya. Matanya memancarkan keteguhan. “Aku tidak mau setelah kep*r*w*n*n ku diambil, orang itu pergi begitu saja.”

Nakula mendengus pelan. “Tapi kalau aku yang mengambilnya, bagaimana?” tanyanya, nada suaranya ringan tapi mengandung ancaman terselubung.

Alya mendengus. “Pertanyaan macam apa itu?” Ia memukul bahu Nakula, mencoba mencairkan suasana yang membuatnya tertekan.

Nakula hanya tersenyum tipis, senyuman yang sulit diartikan.

Ia menatap Alya lekat-lekat sebelum berkata, “Jangan coba-coba mendekati laki-laki lain, selain Vian, aku, orang suruhanku, dan ayahmu.”

Alya menelan ludah. “Kenapa?”

“Karena kalau kamu melanggarnya, aku pastikan kamu akan menjadi wanitaku sepenuhnya, bukan sekadar gadisku lagi. Mengerti?”

Alya menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. “I-iya…mengerti.”

“Good girl.” Nakula mengusap pipi Alya dengan ujung jarinya, senyumnya semakin melebar. “Untuk hari ini, hukumanmu hanya beberapa kissmark saja.”

Alya membelalak. “Hah?! Lebih baik aku digores pakai pisau kesayanganmu daripada hukuman itu!”

Nakula mengangkat sebelah alis. “Yakin, sayang?”

Alya menghela napas, lalu mengangguk ragu-ragu. “Ya, meskipun sakit, tapi aku masih bisa mengatasinya…”

Nakula tertawa kecil. "Akan kupikirkan nanti."

Keheningan sesaat menyelimuti mereka sebelum Nakula tiba-tiba bertanya, “Kenapa kamu memakai makeup?”

Alya mendesah kesal. “Karena aku ingin kamu tidak mengenaliku. Tapi percuma saja...kamu tetap saja mengenaliku, huh.”

Nakula terkekeh. “Sebesar apa pun usahamu untuk mengubah wajahmu, aku tetap akan mengenalimu.”

Alya mendengus. Ia tahu itu benar. Seberapa pun ia berusaha bersembunyi, Nakula selalu bisa menemukannya.

Sesaat kemudian, ia menatap wajah laki-laki itu dengan lekat.

Wajah yang selalu membuat banyak perempuan terlena, tapi bagi Alya…wajah itu adalah mimpi buruknya.

“Aku ingin bertanya, tapi…”

“Tanyakan saja, sayang.”

Alya menggigit bibirnya ragu-ragu. “Setelah aku tidak bersamamu, apa kamu mencari gadis lain di sana?”

Nakula menyipitkan matanya. “Apakah aku harus menjawab pertanyaan itu? Jawabannya sudah jelas, sayang. Aku mencari kamu… dan sekarang aku ada di depanmu.”

Alya merasa ingin menampar dirinya sendiri. ‘Alya, lo bego banget sih. Bisa-bisa dia malah tambah besar kepala!’

Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Ah, ya juga…”

Nakula menatapnya dalam-dalam, membuat Alya merasa tidak nyaman.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanyanya curiga.

Nakula tersenyum tipis. "Tidak, aku hanya rindu tatapan matamu."

Lalu, dengan gerakan perlahan, ia menangkup wajah Alya dengan kedua tangannya. “Dan aku juga sangat rindu wajah ini.”

Alya menahan napas. ‘Semoga aja muka gue nggak merah sekarang…’ batinnya panik.

Namun sebelum Nakula bisa berkata lebih jauh–

“Ekhm.”

Suara dehaman familiar terdengar, membuat Alya dan Nakula menoleh bersamaan.

Di ambang pintu, Vian berdiri dengan tangan di saku. Di sampingnya, Sasa tampak canggung.

"Sepertinya kita mengganggu. Sebaiknya kita keluar," ucap Vian dengan santai.

Sasa menatap Alya dan Nakula dengan wajah penuh tanda tanya.

“Ehh, jangan! Kalian nggak ganggu, kok! Lagian kita nggak ngapa-ngapain!” bantah Alya buru-buru.

Alya segera menghampiri Sasa. “Sa, dari mana?”

Sasa tersenyum kecil, masih terlihat canggung. “Dari taman, Al.”

Di sisi lain, Vian dan Nakula hanya saling bertukar pandang, seperti berbicara tanpa kata.

“Vian, lo ikut ke kantin nggak?” tanya Nakula tiba-tiba.

Vian mendengus. “Nggak.”

Setelah melihat Nakula dan Alya keluar dari kelas, Vian tanpa peringatan menarik tangan Sasa, menyeretnya keluar.

“Eh, mau ke mana?” tanya Sasa, tapi Vian tetap berjalan tanpa menjawab.

Ternyata, laki-laki itu membawanya ke taman belakang sekolah, tempat yang lebih sepi.

Vian berbalik menatap Sasa. “Lo temannya Alya, kan?”

Sasa mengangguk. “Iya.”

“Orang tuamu…Gani dan Nesia?” tebak Vian.

Sasa terbelalak. “Iya. Eh… lo tau dari mana?”

Vian menyeringai. “Kamu nggak ingat denganku?”

Sasa menggeleng, wajahnya penuh kebingungan. “Gue nggak kenal sama lo.”

Vian menghela napas pelan. “Bagaimana calon istriku bisa lupa denganku?” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Sasa tersentak. “Hah?! Maksudnya?”

Tanpa menjawab, Vian mengambil ponselnya dan menunjukkan sebuah foto.

Begitu melihatnya, wajah Sasa langsung pucat. Ia berkedip beberapa kali, memastikan ia tidak sedang bermimpi.

“Hah… Ini nggak mimpi, kan?”

Vian tersenyum miring. “No, darling. This isn’t a dream.”

Sasa refleks mundur selangkah, berusaha menjauh. Tapi—

Hap!

Vian berhasil menangkap pergelangan tangannya dan menariknya mendekat. “Mau ke mana, darling?”

Sasa menegang. “Tadi gue memang mengagumi lo…tapi setelah tahu siapa lo sebenarnya, rasa kagum itu hilang!”

Vian tertawa kecil, tapi tawanya terdengar berbahaya. “Aku-kamu. No lo-gue. You understand?”

Sasa menelan ludah. “I-iya, paham.”

“Good girl. Dan jangan pernah menyebut kata itu di depanku lagi.”

“I-iya.”

Vian mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Sasa erat. “Ayo, kita kembali ke kelas.”

Begitu mereka tiba, pemandangan pertama yang mereka lihat adalah Nakula yang masih memangku Alya.

Alya menarik napas dalam sebelum berbicara. “Nakula, aku sama Sasa mau ke kamar mandi sebentar.”

Nakula melirik Alya sekilas, ekspresinya datar tapi matanya tajam, seolah menimbang sesuatu. “Iya, boleh. Tapi jangan lama-lama.”

Alya mengangguk cepat. “Ayo, Sa.”

Sasa ragu. Ia menoleh ke Vian. “Boleh?”

Vian hanya mengangguk pelan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Tanpa membuang waktu, Alya dan Sasa segera keluar dari kelas, langkah mereka sedikit terburu-buru.

Di dalam kelas, Nakula dan Vian saling bertukar pandang.

Nakula menyeringai tipis, lalu berjalan mendekat. “Gue rasa lo juga sudah menemukannya.”

Vian tersenyum miring, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Ya. Gue nggak nyangka ternyata mereka sahabatan.”

_____

Sesampainya di kamar mandi, Alya dan Sasa langsung mengunci pintu.

Begitu mereka merasa cukup aman, tubuh mereka seolah kehilangan kekuatan.

Tanpa pikir panjang, mereka saling berpelukan erat, isakan pelan mulai terdengar.

Alya menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis, tapi gagal. “Sa….”

Sasa juga tak bisa menahan air matanya. “Alya.…”

Pelukan mereka semakin erat, tubuh mereka sama-sama bergetar karena ketakutan yang selama ini mereka tahan.

“Gue takut, Sa….” isak Alya, mencengkeram punggung Sasa seperti anak kecil yang mencari perlindungan.

Sasa menutup matanya, tenggelam dalam kepedihan yang sama. “Sama, Lya…gue juga takut.”

Alya menguatkan diri, lalu menarik sedikit tubuh Sasa agar bisa menatap wajah sahabatnya. "“Sa, jelasin ke gue…lo diapain sama Vian?”

Sasa menundukkan kepala, bahunya bergetar hebat.

Suaranya tersendat-sendat saat ia akhirnya berbicara. “Dulu g-gue diculik sama dia...”

Alya menggenggam tangan Sasa, mencoba memberikan ketenangan meskipun tangannya sendiri ikut gemetar. “Pelan-pelan, Sa. Gue di sini.”

Sasa menarik napas tersendat sebelum akhirnya berkata, “Dan gue juga dip*rk*s* bahkan...dia minta tebusan ke orang tua gue. Tapi mereka nggak membayar…mereka malah….” suara Sasa pecah di akhir kalimatnya. “Mereka malah memberikan gue ke dia, Lya…seolah gue ini barang yang bisa ditukar!”

Alya terperangah. “Apa?”

Tangis Sasa semakin pecah, membuat Alya ikut menangis. Ia menarik Sasa ke dalam pelukannya lagi.

“Sa…lo pasti hancur banget sekarang, ya?” suara Alya bergetar. “Luka lama lo malah kebuka lagi….”

Sasa hanya bisa mengangguk di bahu Alya, sesenggukan tanpa bisa berkata apa-apa.

Hening sejenak. Hanya suara tangisan mereka yang memenuhi ruangan kecil itu.

Setelah beberapa saat, Sasa menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Lya...pas lo lihat Nakula jadi murid baru, muka lo pucat banget. Kenapa?” tanyanya, masih dengan suara serak.

Alya terdiam. Tangannya mengepal, tubuhnya menegang.

Sasa menatap Alya penuh kekhawatiran. “Lya?”

Alya akhirnya membuka mulut, suaranya hampir seperti bisikan. “Waktu gue masih di Amerika…gue nggak sengaja lihat Nakula… memb*n*h.”

Sasa membelalak. “Memb*n*h siapa?”

Alya menghembuskan napas panjang, matanya mulai memanas lagi. “Adik gue.”

Sasa terdiam, terlalu terkejut untuk berkata-kata.

Alya melanjutkan, suaranya penuh kepedihan. “Sialnya…dia tau gue lihat kejadian itu. Dia langsung membawa gue, mengklaim gue sebagai miliknya. Orang tua gue awalnya cuma mikir gue nginep di rumah sepupu. Tapi pas berita penemuan j*s*d itu muncul di TV, mereka mulai panik. Mereka nelpon gue, nelpon adik gue…tapi handphone gue udah dirampas sama Nakula.”

Air mata Alya mulai jatuh lagi. “Sampai sekarang, mereka nggak tau kabar gue, Sa….”

Sasa menutup mulutnya, terisak. “Astaga, Lya… lo harus lihat adik lo dib*n*h di depan mata?”

Alya mengangguk, air matanya mengalir deras.

Sasa menarik Alya ke dalam pelukan erat, seolah ingin melindungi sahabatnya dari semua luka yang pernah ia alami.

Setelah beberapa saat, Sasa bertanya, “Kenapa lo nggak coba hubungi orang tua lo lagi?”

Alya menggeleng pelan. “Gue udah nyoba...tapi nomor mereka udah nggak aktif.”

Sasa menggigit bibirnya, merasa putus asa. Mereka berdua menangis dalam diam, saling menguatkan satu sama lain.

Namun, momen itu terhenti begitu mereka mendengar suara familiar.

“Udah puas nangisnya, hmm?”

Alya dan Sasa tersentak.

Mereka menoleh ke arah pintu dan di sana, berdiri Nakula dan Vian, dengan ekspresi yang membuat bulu kuduk mereka meremang.

“Siapa yang nyuruh kalian nangis?” suara Nakula terdengar dingin dan penuh penekanan.

Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara isakan yang lirih dan menyayat hati.

Alya dan Sasa tetap membeku di tempatnya, masih saling berpelukan, berharap bisa menghilang begitu saja.

“Ku mohon… biarkan kami di sini dulu,” Alya akhirnya bersuara, terisak di sela kata-katanya

Matanya memohon, tapi Nakula hanya menatapnya tajam.

“Kalian pikir kami sebodoh itu membiarkan kalian menangis di kamar mandi sekolah?” bentak Nakula, suaranya memenuhi ruangan kecil itu.

Sasa tersentak. Tubuhnya menegang saat merasakan tangan Vian mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat.

“Sasa…sepertinya kamu sudah melanggar perintahku.” Suara Vian terdengar rendah, tapi dingin dan mengancam. Tanpa peringatan, ia menarik Sasa dengan paksa.

“Kamu juga, Alya!” Nakula menatap Alya dengan tatapan yang gelap. “Kamu pikir aku akan membiarkanmu sesuka hati?”

Tangannya langsung meraih pergelangan tangan Alya, mencengkeramnya erat hingga terasa sakit.

“Lepas! Nakula, lepas! Aku bilang lepas!” Alya berusaha meronta, mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Nakula terlalu kuat.

Namun, semakin ia memberontak, semakin keras Nakula menggenggamnya.

Dan kemudian–

“Diam atau nasibmu akan sama seperti adikmu.”

Seketika, tubuh Alya membeku.

Napasnya tercekat, dadanya terasa seperti dihantam sesuatu yang sangat berat.

Nakula menatapnya, ekspresinya penuh kepemilikan dan ancaman yang nyata.

Sasa membelalakkan mata, wajahnya langsung pucat. “Nakula, jangan…” suaranya nyaris tak terdengar.

Tapi Alya, dengan sisa keberaniannya yang tersisa, justru menatap Nakula balik.

Matanya masih berlinang air mata, tapi kini ada api yang menyala di dalamnya.

“Ayo, b*n*h saja aku!”

Nakula menyipitkan matanya.

Alya menelan ludah, tapi suaranya tidak goyah. “Lebih baik aku bernasib sama seperti adikku daripada harus tersiksa seperti ini!”

Sasa terkejut. “Alya, jangan....”

...•••...

...Sampai sini dulu, maaf jika ada typo...

Terpopuler

Comments

Silvia Gonzalez

Silvia Gonzalez

Asyik banget, thor! Makin sering update dong.

2025-01-30

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!