Happy Reading
...Hati-hati banyak typo......
...jangan like and komen ya....
...Tandain kalau ada typo....
...____________________________________...
Nakula membuka lemari besar, mengambil sesuatu dengan gerakan yang lambat dan penuh teka-teki.
Alya menahan napas, pikirannya berputar dengan berbagai kemungkinan buruk.
Namun, saat melihat Nakula justru mengambil beberapa bahan makanan, matanya membelalak. “Hah?”
Nakula meletakkan bahan-bahan itu di atas meja, lalu menatap Alya dengan seringai kecil. “Hukumanmu buatkan aku makanan paling enak yang pernah ku makan.”
Alya mengerjapkan mata, mencoba memahami situasi ini. “Apa?”
Nakula mengangkat alis. “Kenapa kaget? Aku lapar.”
Alya masih menatapnya dengan ekspresi tak percaya.
Dari semua hukuman yang mungkin bisa dilakukan Nakula, ini sungguh di luar dugaannya.
“Baiklah...aku akan memasak,” gumamnya akhirnya.
Nakula tersenyum tipis, lalu melangkah lebih dekat, membuat Alya refleks mundur setengah langkah. “Tapi ini bukan satu-satunya hukuman mu.”
Ucapan itu membuat jantung Alya kembali berdegup kencang. “A-apa?”
“Sekarang kita ke dapur dulu. Nanti aku beritahu yang lainnya.”
Alya meneguk ludah, tapi tetap mengikuti Nakula menuju dapur dengan langkah ragu.
Saat mereka tiba, Nakula mengambil celemek dari gantungan dan menyerahkannya pada Alya. “Silakan, Chef Alya.”
Alya menerima celemek itu dengan waspada. “Aku harus buat apa?”
Nakula mendekat, membungkuk sedikit hingga wajahnya sejajar dengan Alya, lalu berbisik, “Surprise me.”
Alya merasakan napas Nakula menyapu lembut di kulitnya, membuatnya semakin gelisah.
Ia menunduk, mencoba mengalihkan fokusnya pada bahan makanan.
Tangannya sedikit gemetar saat mulai memotong sayuran.
“Jadi, apa hukuman lainnya?” tanyanya, mencoba terdengar setenang mungkin.
Nakula tidak langsung menjawab. Ia bergerak lebih dekat, berdiri tepat di belakangnya, napasnya begitu dekat di telinga Alya.
“Tenang saja,” bisiknya pelan, nada suaranya terdengar menggoda sekaligus penuh misteri. “Aku akan memberitahumu nanti.”
Alya menelan ludah. “Aku rasa...hukuman yang ini sudah cukup berat,” gumamnya, berusaha mencairkan suasana.
Nakula tertawa kecil, suaranya rendah dan bergetar di udara, seolah sengaja membuat Alya semakin salah tingkah.
Alya tersentak saat sesuatu melingkar di perutnya.
Tangan Nakula.
Bahu kirinya terasa berat saat dagu Nakula bertumpu di sana.
“Ini hukuman selanjutnya.”
Alya membeku.
Jantungnya berpacu cepat, tubuhnya seolah menolak untuk bergerak.
“Nakula....” suaranya hampir hanya berupa bisikan.
Namun, alih-alih menjawab, Nakula hanya mempererat dekapannya, membuat suhu tubuh Alya semakin naik dalam kebingungan antara panik dan sesuatu yang lebih dalam dari itu.
Alya bisa merasakan detak jantungnya semakin liar, seolah berpacu dengan waktu yang berjalan lebih lambat dari biasanya.
“Kenapa kamu tegang begitu?” tanya Nakula, suaranya rendah dan lembut, tetapi tetap menyiratkan permainan berbahaya di baliknya.
“Bukankah kamu sudah siap dengan semua hukuman?”
Alya menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan keberanian. “Aku...aku hanya nggak menyangka hukuman ini....” Kalimatnya menggantung di udara, pikirannya terlalu kacau untuk menyelesaikannya.
Nakula mendekatkan wajahnya ke bahu Alya, membiarkan napasnya menyapu kulitnya. “Aku nggak pernah berniat membuatmu merasa tertekan,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan. “Aku hanya...selalu suka melihat reaksimu saat ketakutan.”
Pernyataan itu membuat Alya merinding.
“Bagaimana aku bisa memasak kalau kamu menempel seperti ini?” protes Alya, mencoba mengalihkan perhatian.
Nakula tertawa pelan, suara rendahnya bergetar di udara. “Baiklah,” katanya akhirnya, melepaskan pelukan dengan enggan.
Namun, meskipun tangannya sudah tak lagi melingkari tubuh Alya, ia tetap berdiri begitu dekat di belakangnya, kehadirannya masih begitu terasa.
Alya menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri.
Ia kembali fokus pada potongan sayuran di depannya, meskipun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan yang tak terjawab. ‘Apakah ini benar-benar bagian dari hukuman?’
Suasana dapur menjadi sunyi, hanya terdengar suara pisau yang beradu dengan talenan.
Tetapi di balik keheningan itu, ada ketegangan yang menggantung di udara, sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
Dari sudut matanya, Alya mencuri pandang ke Nakula.
Laki-laki itu tersenyum tipis, matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
“Jangan terlalu khawatir, Alya,” ucapnya tiba-tiba.
“Masakan yang enak ini...hanyalah permulaan.”
Alya menghentikan gerakannya sejenak. Ia menoleh, menatap Nakula dengan sorot curiga. “Permulaan?”
Nakula mengangguk, senyum misteriusnya tak pudar. “Ya. Hukuman yang sesungguhnya akan datang nanti. Tapi jangan khawatir....” ia mendekat sedikit, suaranya terdengar seperti janji yang samar. “Aku akan menikmatinya.”
Alya merasakan tengkuknya meremang. Tangannya yang memegang pisau sedikit gemetar saat ia memotong sayuran terakhir.
‘Ini Sasa kemana sih? Di saat seperti ini, dia malah menghilang!’ gerutunya dalam hati, berharap sahabatnya itu muncul entah dari mana dan menyelamatkannya dari situasi ini.
Namun, saat masakannya hampir selesai, satu hal yang kini menguasai pikirannya bukanlah rasa makanan itu melainkan apa yang akan terjadi setelahnya.
Sambil menunggu masakan matang, Alya menatap jendela yang menunjukkan suasana diluar mulai gelap dan pikirannya terus dihantui oleh kata-kata Nakula.
Perasaan was-was menyelimutinya, seolah ada bahaya yang mengintai dari balik bayangan.
Sementara itu, Nakula tampak santai bersandar di meja dapur, menatapnya dengan senyum penuh teka-teki senyum yang tak pernah bisa ditebak maknanya.
“Jadi...hukuman yang lain itu apa?” tanya Alya akhirnya, mencoba bersikap tenang meski dadanya bergemuruh.
Nakula melangkah mendekat, tatapannya semakin tajam, meski tetap terlihat tenang. “Aku ingin melihat bagaimana kamu menyelesaikan hukuman ini dulu,” katanya pelan, melirik ke arah masakan yang hampir matang. “Baru setelah itu, kita lanjut ke tahap selanjutnya.”
Alya mengangguk pelan. Meskipun tubuhnya sibuk memasak, pikirannya terus berputar, mencoba menebak-nebak apa yang sebenarnya direncanakan Nakula.
Saat masakannya sudah siap, Alya meletakkannya di atas meja dengan tangan sedikit gemetar. “Ini...semoga cukup enak,” ucapnya lirih.
Nakula tidak langsung bereaksi. Ia mengambil sendok, meniupnya perlahan, lalu mencicipi makanan yang Alya buat.
Ekspresinya tetap datar, sulit ditebak.
Detik-detik yang berlalu terasa begitu lambat. Alya menahan napas, menunggu vonis yang akan keluar dari bibir Nakula.
Lalu akhirnya—
“Enak.”
Senyum lebar tersungging di bibir Nakula.
Alya menghela napas lega, merasa sedikit lebih tenang.
Tetapi ketenangan itu hanya bertahan sekejap sebelum Nakula menatapnya dalam-dalam dan berkata, “Sekarang waktunya untuk hukuman yang sebenarnya.”
Jantung Alya berdegup kencang lagi. Seketika, rasa lega itu menguap begitu saja. “Apa maksudmu?”
Nakula menyeringai, ekspresinya tampak semakin sulit ditebak. Dengan suara tenang, ia berkata,
“Kamu harus menemaniku sepanjang malam ini. Tapi ada satu syarat kamu tidak boleh menolak apapun yang aku minta.”
Alya tersentak. Kata-kata itu menggantung di udara, membuat udara di sekitarnya terasa lebih dingin. “Maksudmu apa? Nakula, ini tidak lucu!”
Tapi Nakula tetap menatapnya dengan tatapan yang sama tatapan yang seolah menyembunyikan sesuatu. “Tenang saja, Alya. Aku tidak akan meminta yang berlebihan.”
Ia mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat. “Tapi kamu harus siap untuk apapun yang terjadi hari ini.”
Darah Alya berdesir.
Seluruh instingnya menyuruhnya untuk mundur, untuk mencari cara agar bisa menghindar.
Tapi di saat yang sama, ia tahu Nakula tidak akan membiarkannya pergi begitu saja.
Akhirnya, dengan keraguan yang masih menggelayuti hatinya, ia mengangguk pelan. “Baiklah... aku akan menurut.”
Nakula tersenyum puas. “Bagus.”
Alya mencoba menenangkan dirinya, meskipun rasa gugup dan penasaran semakin menghimpitnya.
Ia mengangkat piring masakan dan menatanya di meja makan, sementara Nakula mengambil dua gelas, menuangkan air, lalu menyerahkan salah satunya pada Alya.
“Duduklah,” katanya, nada suaranya tegas namun lembut.
Alya menurut, duduk berhadapan dengannya.
Suasana di antara mereka terasa semakin aneh hening, tapi penuh dengan sesuatu yang tak terlihat. Sesuatu yang menyerupai ketegangan atau...antisipasi?
Nakula mengambil sendok dan mulai makan. “Aku ingin kamu makan bersamaku.”
Alya mengangguk pelan, lalu mengambil sendoknya, meskipun tangannya sedikit gemetar.
Mereka makan dalam diam.
Alya bisa merasakan tatapan Nakula yang terus tertuju padanya, membuat setiap suapan terasa lebih sulit dari biasanya.
Lalu tiba-tiba—
“Apa kamu takut?”
Alya terhenti. Sendok di tangannya membeku di udara.
Perlahan, ia meletakkannya di piring, lalu menatap Nakula. “Iya...aku takut.”
Suara Alya terdengar lebih lirih dari yang ia harapkan.
“Apa yang sebenarnya kamu rencanakan, Nakula?”
Nakula tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, seolah menikmati momen ini.
Dan ketika ia akhirnya membuka mulut, jawaban yang keluar dari bibirnya sama sekali tak terduga.
“Sebenarnya, hukuman ini lebih sederhana dari yang kamu bayangkan.”
Ia menatap Alya, matanya dalam dan sulit ditebak.
“Aku hanya ingin kamu jujur hari ini.”
Alya mengerutkan kening. “Jujur? Tentang apa?”
Nakula bersandar ke kursinya, menatapnya tanpa ragu.
“Tentang perasaanmu.”
Detak jantung Alya melonjak.
Pertanyaan itu....
Ia sama sekali tidak siap untuk pertanyaan itu.
“Apa maksudmu?” tanya Alya dengan suara pelan, nyaris berbisik.
Nakula menyandarkan tubuhnya ke kursi, tatapannya mengunci mata Alya, menelusuri setiap ekspresi yang tersirat di wajahnya.
“Kamu tahu, Alya,” ucapnya perlahan. “Aku bisa merasakan setiap kali kamu gugup di dekatku, setiap kali kamu tersipu saat aku mendekat. Hari ini, aku ingin kamu jujur tentang itu.”
Alya tercekat. Dadanya terasa sesak, seolah kata-kata Nakula baru saja menghantam bagian terdalam dirinya.
“Nakula, aku...aku nggak tahu harus berkata apa,” gumamnya, tatapannya melesat ke bawah, menghindari mata laki-laki itu.
Nakula mencondongkan tubuhnya ke depan, mendekat. “Katakan yang sebenarnya, Alya. Tidak perlu berpura-pura.”
Panas menjalar di wajah Alya, napasnya terasa lebih berat.
“Aku...selalu merasa aneh di dekatmu,” akhirnya ia berkata, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku nggak bisa mengabaikan perasaan itu, tapi aku juga nggak tahu harus bagaimana.”
Nakula tersenyum tipis, ekspresinya tak lagi main-main. “Itu yang ingin aku dengar.”
Ia menarik napas sebelum melanjutkan, “Karena, Alya...aku merasakan hal yang sama.”
Alya sontak mendongak, menatap Nakula dengan mata membesar. “Apa maksudmu?”
Nakula berdiri perlahan, berjalan mengitari meja, lalu berhenti tepat di sampingnya.
Tangannya terulur, ujung jarinya menyentuh dagu Alya dengan gerakan lembut, memaksanya untuk tetap menatap ke arahnya.
“Hukuman sebenarnya adalah...hari ini kita berhenti bermain teka-teki dan mulai jujur satu sama lain.”
Alya menahan napas.
Dan kemudian, kalimat berikutnya keluar dari bibir Nakula, menggetarkan seluruh keberadaannya.
“Alya...kamu tahu kan, aku cinta padamu.”
Tubuh Alya membeku. Kata-kata itu mengalir begitu saja, tapi terasa begitu nyata dan berat.
Tangannya mengepal di atas pangkuan, sebelum ia akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar lirih namun tegas.
“Sejujurnya...aku juga begitu.”
Sekilas, mata Nakula berbinar, tetapi sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Alya melanjutkan dengan suara yang bergetar,
“Tapi aku tidak bisa melupakan kenyataan kalau kamu telah memb*n*h adikku, Nakula.”
Udara di ruangan itu seolah berubah seketika.
Mata Nakula yang tadinya penuh teka-teki kini tampak terkejut, lalu perlahan berubah menjadi lebih serius. Senyumnya pudar, ekspresinya mengeras.
“Alya...” suara Nakula terdengar berat, mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan. “Itu...Aku punya alasan kenapa aku memb*n*h Vino, adikmu. Tapi aku tidak bisa memberitahumu yang sebenarnya.”
Alya menatapnya, matanya dipenuhi kemarahan yang bercampur dengan luka yang masih menganga.
“Kenapa kamu nggak bisa memberitahuku? Aku berhak tahu, Nakula! Dia adikku...dan aku harus hidup dengan kehilangan ini setiap hari.”
Suara Alya pecah di akhir kalimatnya.
Nakula menatapnya dalam diam. Tatapan itu bukan sekadar rasa bersalah, tetapi seolah ada sesuatu yang jauh lebih dalam, lebih gelap, yang tak bisa ia ungkapkan.
Di dalam hatinya, Nakula bergumam dalam sunyi
‘Karena aku disuruh oleh orang tuamu untuk memb*n*h adikmu, Alya. Aku tidak ingin kamu semakin terluka setelah tahu semuanya.’
Tetapi kata-kata itu tidak pernah sampai ke bibirnya.
“Alya, ada hal-hal yang jauh lebih rumit dari yang kamu tahu,” suara Nakula terdengar lebih berat dari sebelumnya.
“Kalau aku bisa, aku akan mengungkap semuanya...tapi aku tak ingin kamu semakin terluka.”
Alya berdiri dari kursinya dengan tiba-tiba, emosi membuncah dalam dadanya. “Luka ini sudah ada sejak hari kamu mengambil nyawa Vino! Kamu tidak bisa mengatakan kalau kamu ingin melindungi ku setelah apa yang kamu lakukan!”
Mata Nakula tetap terkunci pada Alya, tapi sorot matanya dipenuhi dengan sesuatu yang sulit diterjemahkan.
“Kalau aku memberitahumu alasan sebenarnya, mungkin kamu takkan pernah memaafkan ku.”
Alya terkekeh sinis, meskipun suaranya bergetar. “Memaafkan mu? Bahkan tanpa tahu alasanmu, aku sudah cukup tersiksa dengan kenyataan ini. Apa lagi yang lebih buruk dari itu, Nakula?”
Nakula mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, rahangnya mengeras. “Percayalah, aku tak punya pilihan lain waktu itu.”
Alya menggeleng pelan, air mata mulai menggenang di sudut matanya.
“Pilihan?” suaranya terdengar lirih namun penuh amarah. “Semua orang selalu punya pilihan, Nakula. Dan kamu memilih untuk mengambil nyawa adikku.”
Hening.
Sejenak, yang terdengar hanya suara napas mereka yang berat.
Dengan langkah pelan, Nakula mendekatinya, tetapi Alya segera berdiri lebih tegak dan mundur selangkah, menciptakan jarak di antara mereka.
“Aku akan tetap mencari tahu kebenaran, Nakula,” kata Alya dengan nada tegas. “Dan ketika aku tahu, jangan harap kamu bisa mendapatkan maafku.”
Sorot mata Nakula berubah. Sejenak, hanya kemarahan yang tersirat di sana, sebelum akhirnya ia meraih tangan Alya dengan erat.
“Aku tidak akan membiarkanmu mencari tahu semua itu, Alya.”
Nada suaranya lebih dalam, hampir seperti ancaman.
“Sampai kapan pun.”
...(^-^)...
...Sampai sini dulu yaa......
...nanti dilanjut kalau ada waktu hehe....
...Maaf kalau ada typo....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments