Sean berada beberapa meter di belakang, memperhatikan Netha yang sedang berlari. Bahkan lebih mirip berjalan versi Sean, dengan irama tubuh yang semua nya ikut bergoyang tiap kali kakinya menghentak tanah.
Namun di mata Sean, itu bukan pemandangan aneh. “Dia.. Lucu sekali!”
Ya, sangat lucu. Dengan tubuh gemuk yang dibungkus pakaian olahraganya. Netha tampak seperti bola kapas.
Sean menyipitkan mata, lalu mulai bergerak juga. Ia menyesuaikan langkahnya, ia tidak berlari, lebih ke jalan kaki dengan kecepatan orang berlari kecil. Tapi tetap, melihat istrinya pagi-pagi mau berolahraga adalah sesuatu yang langka dan berharga.
Baru beberapa langkah, dari arah kanan terdengar suara memanggil,
“Pak Sean!”
Sean menoleh. Ternyata tetangganya, Pak Bahri, seorang akuntan di perusahaan besar, yang tinggal dua rumah dari mereka, sedang berdiri di halaman sambil memegang secangkir kopi.
"Ikut menemani istri olahraga ya, Pak?" sapanya ramah.
Sean sempat terkejut tapi segera mengangguk sopan. “Iya, Pak.”
Pak Bahri menyipitkan mata ke arah depan. “Tapi kenapa nggak di sampingnya tuh, Pak? Istri Bapak di depan sana.”
Sean melirik ke arah Netha yang masih fokus berlari kecil sambil sesekali menepuk pahanya sendiri. Ia menjawab datarnya tapi nada penuh hormat,
"Saya sengaja di belakang, Pak. Biar beliau punya ruang dan ritme sendiri. Kalau saya di samping, bisa bikin dia nggak nyaman. Lebih baik saya dukung dari belakang."
Pak Bahri mengangguk-angguk, terkesan. “Wah... romantis juga ya, Pak Sean ini.”
Sean hanya mengangguk pelan, "Saya lanjut olahraga dulu ya, Pak."
"Iya, iya... silakan, Pak Sean." jawab Pak Bahri sambil tertawa kecil.
Sean mulai berlari kecil. Dari belakang, ia melihat Netha yang masih bersemangat.
Pak Bahri yang melihat dari kejauhan sambil menyeruput kopinya, terkekeh pelan. "Lucu juga pasangan ini."
Di bawah pohon rindang di pinggir jalan komplek, Netha terduduk lelah. Napasnya memburu, pipinya memerah, dan keringat mengalir seperti aliran sungai kecil di pelipisnya. Ia mengibas-ngibaskan daun kering yang ia temukan di dekat tempat duduknya, daun itu kini Berubah fungsi menjadi kipas darurat.
Pandangannya menyapu sekitar. Banyak warga komplek lalu lalang, ada yang jogging sambil tertawa kecil, ada ibu-ibu yang sedang berbelanja di melijo, dan ada pula anak-anak kecil berlarian dengan ceria. Pemandangan pagi yang sederhana, tapi hangat.
Netha menghela napas dalam. "Tubuh ini... berat sekali. Berapa hari lagi ya baru bisa kurus? Baru lari seperti ini rasanya kayak dikejar maut,” gumamnya dalam hati sambil melirik perut dan pahanya yang tampak menonjol dari balik jaket olahraga Sean.
Di kejauhan, Sean memperhatikan dari balik warung kelontong. Ia baru saja membeli dua botol minuman dingin. Tanpa banyak bicara, ia melangkah mendekati Netha dan menyodorkan salah satu botol ke arah istrinya yang masih duduk ngos-ngosan.
Netha menoleh dan sedikit terkejut. “Kamu ngikutin aku?” tanyanya sambil menyipit curiga.
Sean menggeleng ringan. “Nggak. Aku baru dari toko kelontong.” Ia menunjuk ke warung kecil di seberang jalan. “Minum dulu.”
Netha menerimanya tanpa banyak protes. “Terima kasih,” ucapnya pendek.
Ia langsung menenggak air itu setengah botol, lalu menengadah dengan lega. “Aaaaaaah.”
Sean ikut duduk di sampingnya. Keduanya diam dalam waktu yang cukup lama. Tak ada percakapan, hanya suara angin menyapu dedaunan dan langkah-langkah pelari yang lalu lalang.
“Kapan kamu pergi?” tanya Netha pelan, akhirnya memecah keheningan.
Sean menatap lurus ke depan. "Besok." jawabnya singkat.
Netha mengangguk kecil. "Jangan lupa pamit ke si kembar."
“Iya,” jawab Sean singkat.
Setelah cukup lama duduk, Netha akhirnya bangkit berdiri. Jaket Sean yang dipinjamnya bergoyang lembut mengikuti gerakan tubuh gemuknya.
Sean ikut berdiri. “Kemana?”
"Mau cari sarapan. Perutku lapar."
Sean menoleh ke arah kanan, menunjuk. “Di sana banyak yang jual makanan. Ada bubur ayam, nasi uduk, juga kue-kue pasar.”
Netha mengangkat alis. “Benarkah?”
DaLam hati, ia menggumam, “Netha yang asli nggak pernah keluar pagi-pagi begini. Kalaupun keluar, pasti siang, langsung ke toko. Pantesan nggak tahu ada makanan enak pagi-pagi begini.”
"Ayo," ajaknya antusias.
"Kemana?" tanya Sean heran.
Netha melirik tajam. "Tentu saja cari makan, kamu kira mau cari wangsit?"
"Oh." Sean tersenyum kecil, lalu mengikuti langkah istrinya.
Setelah selesai memilih makanan di warung dekat taman komplek, Netha dan Sean pulang dengan tangan penuh. Bungkusan plastik berisi salad sayur, jajanan pasar seperti lemper, kue lapis, dan pastel, serta sebungkus nasi uduk lengkap dengan telur dadar dan sambal kacang.
Langkah mereka menyusuri jalan menuju rumah sambil berbagi diam yang tak asing. Sesekali angin pagi meniup rambut Netha yang mulai basah oleh keringat, tapi ia tak peduli.
Sesampainya di rumah, Sean membuka pintu lebih dulu. Bunyi derit engsel terdengar pelan, lalu mereka berdua masuk.
Di dalam, dua bocah kembar duduk di sofa, masih mengenakan piyama kusut mereka. Mata mereka terpaku ke layar TV, tertawa kecil saat kartun kesayangan mereka menampilkan adegan lucu.
Begitu pintu terbuka, kepala El dan Al menoleh cepat.
"Papa!" seru mereka bersamaan.
Sean mengangguk pelan. “Em.”
"Mama..." ucap El dan Al lagi, namun kini dengan suara lebih pelan. Kepala mereka menunduk, ekspresi berubah gugup.
Netha mengangkat alis. “Oh.”
Matanya menyipit menilai. “Kalian belum mandi?”
Si kembar menggeleng serempak.
Netha menyilangkan tangan. “Pantas... itu liat tuh, bekas iler masih nempel di dagu. Ih... dan belek kalian tuh ya, segede kacang goreng!”
El dan Al buru-buru menutupi wajah, tangan mereka sibuk menyeka dagu dan mata. Wajah mereka memerah.
“Cuci muka sana. Cepat!” perintah Netha. Tapi dalam hati ia tertawa melihat tingkah si kembar tadi.
Tanpa suara, mereka langsung bangkit dan lari kecil ke kamar mandi.
Sean meletakkan bungkusan makanan di meja makan.
Tak lama kemudian, si kembar kembali. Wajah mereka lebih segar, rambutnya masih acak-acakan, tapi setidaknya beleknya sudah hilang.
Perlahan mereka duduk di kursi makan.
"Beli di mana, Pa?" tanya Al sambil menatap bungkusan dengan mata penuh antusias.
"Di komplek sana," jawab Sean datar.
"Makanlah. Jangan terlalu banyak tanya. Itu kue buat dikunyah, bukan buat diceramahi," sahut Netha sambil mendorong piring ke depan mereka.
"Baik, Ma," jawab El dan Al hampir bersamaan, lalu mulai menyantap dengan lahap.
Tapi kemudian, Sean membuka suara.
“Ada yang mau Papa bicarakan nanti.”
El berhenti mengunyah. “Bicara apa, Pa?”
Sean menatap mereka. Matanya tajam tapi suaranya tetap tenang.
“Em... makanlah dulu.”
Netha dalam hati tersenyum sambil makan salad sayur miliknya. Suasana makan pagi itu cukup tenang meskipun sesekali terdengar suara sendok beradu dengan mangkuk.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 96 Episodes
Comments
ahjuma80
klo ada anak anak meski aku suka, apalagi anak yg tadinya diabaikan
2025-05-18
0
Diah Ananta Ananta
Aku suka banget ceritanya,😍
2025-04-07
0
Manusia Batu
Aku dulu di giniin sama mamaku🗿sebagai penumpang wajib kerja🤣
2025-04-13
2