Desa Tegal Mayang
Waktu menggilir pagi dan petang. Memutar siang dan malam. Lelah dalam penantian, luka dalam kerinduan. Begitu lama... begitu menyiksa.... Begitulah yang di rasakan Danu kini.
Penyesalan meliputi hatinya yang semakin lama semakin merapuh. Bersemayam dalam benaknya, untaian pertanyaan yang di penuhi dengan nama gadis yang sangat di cintainya itu.
Akankah Nilam kembali padanya?
Akankah waktu termanis itu kembali membelainya?
Akankah cinta itu kembali menghangatkannya?
"Aku sangat merindukanmu, Nilam. Maafkan kebodohanku."
Duduk di ambang jendela kamarnya yang terbuka, Danu memandangi sendu langit malam yang bertabur kedipan bintang.
"Kebodohanku meragukanmu. Kebodohanku yang mengesampingkan keyakinanku, dan mempercayai mata yang berdusta ini."
Satu kedipan matanya mengurai tetesan luka di kedua belah pipinya, luka yang ia ciptakan sendiri.
Hingga sebuah suara derap kaki berlari, memecah angannya yang tengah terlarut dalam kubangan kerinduannya.
Ia melihat Didy berlari entah hendak kemana.
"Dy...!" panggilnya keras. Ia turun dari atas jendela, tanpa alas kaki dan langsung berlari mengejar Didy. "Didy mau kemana kamu?!"
Seketika Didy menghentikan langkah cepatnya. Danu dengan terengah mendekat ke arahnya. "Kamu mau kemana, lari - lari, malam - malam begini?" tanya Danu dengan nafas memburu.
"Hmm... hmm...." Didy melakukan gerakan - gerakan bahasa isyaratnya dengan wajah yang bersedih. Dan Danu jelas mengerti.
"Apa?! Mbok kamu pinsan lagi?!" tanya Danu khawatir. Didy hanya mengangguk.
" Ya sudah, kita ke rumah kamu sekarang."
Mereka berdua berlari secepat kilat, menuju kediaman Didy beserta sang Nenek.
Sesampainya di gubuk tempat tinggal Didy, mereka langsung menghampiri Mbok Parmi, neneknya Didy yang tergolek tak berdaya di atas sebuah kasur lapuk miliknya.
"Mbok... Mbok Parmi." Danu menepuk - nepuk pelan pipi wanita renta berusia lanjut itu.
"Emm...." Lenguhan suara Mbok Parmi terdengar lemah.
"Kita ke rumah sakit ya, Mbok," ajak Danu.
Namu nenek renta itu menggeleng. "Tapi keadaan Mbok lumayan parah. Biar dokter bisa mengobati Mbok."
Didy menunduk bingung. Kemudian mulai menggerakan tangannya.
"Tapi Didy tidak punya uang untuk biaya rumah sakitnya, Kak."
"Kamu jangan pikirkan soal itu. Kak Danu ada sedikit simpanan. Untuk kekurangannya, kita bisa minta bantuan Pak Kades," ucap Danu.
"Jangan, Lek. Mbok tidak mau merepotkanmu," tolak Mbok Parmi dengam suara lirihnya.
"Tidak apa - apa, Mbok. Aku ikhlas," ucap Danu tulus. "Dy, kamu tunggu di sini. Kakak ke rumah pak Kades dulu,"
"Mau apa, Kak?"
"Kakak akan pinjam mobilnya sebentar untuk bawa Mbok ke rumah sakit. Kalau cuma pake motor Kakak, kasian Mbok. Dia pasti kedinginan, Dy." Didy mengangguk faham.
Danu melenggang keluar menuju kediaman kepala dusun, yang letaknya sekitar dua ratus meter dari kediaman Didy.
Beberapa waktu kemudian, suara deru mobil terdengar di halaman gubuk tempat tinggal Didy. Danu datang dengan tergopoh di ikuti seorang lelaki di belakangya.
"Ayo, Dy. Kita angkat tubuh Mbok. Bawa ke mobil pak Kades."
"Biar saya bantu, Mas," ucap sorang lelaki yang datang bersama Danu. Dia adalah seseorang yang di utus Pak Kades untuk menggantikannya membantu Danu mengurus Mbok Parmi.
Singkat cerita.
Mbok Parmi kini tengah di tangani dokter di dalam ruang perawatan sebuah rumah sakit, tempat yang sama ketika Nilam mengenal Kenzie pertama kali.
"Anda keluarga Bu Parmi?" tanya seorang wanita berseragam perawat.
"Iya, Sus. Kami keluarganya," sahut Danu mengahampiri perawat tersebut.
"Bu Parmi ingin bertemu kalian."
"Baik, Sus," kata Danu. " Ayo, Dy. Kita masuk."
"Mas Danu. Saya tunggu di mobil saja. Kalau ada apa - apa, Mas Danu silahkan panggil saya," ucap orang suruhan Kades.
"Iya, Pak. Terima Kasih," balas Danu.
Di dalam kamar perawatan Mbok Parmi.
"Bagaimana keadaan Mbok? Sudah baikan?" tanya Danu lembut.
"Lumayan, Lek. Terima kasih sudah menolong Mbok."
"Sama - sama, Mbok. Sudah kewajiban kita sebagai sesama manusia. Apalagi kita ini kan tetangga." Danu tersenyum.
"Iya, Lek. Semoga Tuhan membalas semua kebaikanmu."
"Amin."
"Dy.... Ada hal penting yang ingin Mbok bicarakan sama kamu."
"Mbok mau bicara apa?" tanya Didy dalam gerakan bahasa isyaratnya.
"Sini, Lek."
Didy menarik sebuah kursi untuk di dudukinya di samping Mbok Parmi.
Danu hanya diam memperhatikan.
"Sudah saatnya Mbok menceritakan semuanya padamu, Lek."
"Menceritakan apa, Mbok?" Didy mengernyit tak mengerti.
Sejenak Mbok Parmi terdiam menatap manik mata Didy lekat - lekat.
"Lek.... Mbok rasa.... Ibumu masih hidup, Nak."
Degg!!
Didy membulatkan mata sempurna.
Seketika jantungya berdentam kencang. Begitupun Danu.
"Maksud Mbok apa?" tanya Danu mewakili Didy yang masih terdiam kebingungan.
Mbok Parmi beralih menatap langit - langit ruangan persegi itu. Kemudian mulai menjelaskannya perlahan.
Flashback on
Siang itu Mbok Parmi yang masih berusia sekitar 45 tahunan tengah asyik memetik daun teh di perkebunan yang sama tempat Nilam bekerja. Namun kala itu masih di kelola oleh pemilik yang berbeda.
Tiba - tiba....
Buggg!!
Seorang wanita muda menabrak tubuh Mbok Parmi dengan seorang bayi dalam gendongannya. "Maaf, saya tidak sengaja, Bu."
"Tidak apa - apa. Kamu kenapa ketakutan seperti itu, Nak?" tanya Mbok Parmi.
"Tolong saya, Bu.... Saya di kejar - kejar anak buah Dahlan."
"Anak buah Dahlan? Kenapa mereka ngejar - ngejar kamu?"
"Dahlan mau ambil anak saya."
Mbok Parmi mengernyit. "Duduk dulu. Siapa namamu?"
"Kedasih, Bu."
"Baiklah, Kedasih. Coba kamu ceritakan pelan - pelan. Kenapa Dahlan menginginkan anakmu?"
Mereka kini terduduk di atas tikar lusuh tempat istirahat Mbok Parmi.
"Anak ini anaknya Dahlan, Bu."
"Apa? Apa kamu ini isteri ketiganya Dahlan?" tanya Mbok Parmi penasaran.
Gadis bernama Kedasih itu menggeleng.
"Bukan, Bu."
"Lalu?"
Sesaat Kedasih terdiam. Kemudian mulai menjelaskan perlahan.
"Satu tahun yang lalu.... Dahlan meminta bantuan ibu saya yang seorang dukun. Untuk membuat tanah perkebunan teh ini, bisa jatuh ke tangannya dengan harga murah. Tetapi Dahlan yang tidak sabar, memaksa ibu saya melakukan ritualnya dalam waktu cepat dengan waktu singkat yang sudah di tentukannya sendiri."
Mbok Parmi menangkap wajah lelah Kedasih.
"Minumlah dulu, Nak."
Kedasih menerima sebotol air dari tangan Mbok Parmi, dan meneguknya sebelum melanjutkan kembali ceritanya.
"Lalu?" tanya Mbok Parmi.
"Dan ibu saya gagal. Karena waktu yang di berikan Dahlan itu terlalu singkat." Gadis 23 tahunan itu menunduk sendu. "Lalu Dahlan.... Dahlan memperkosa saya sebagai hukuman kegagalan ibu saya. Hingga beberapa waktu kemudian, saya hamil dan melahirkan anak ini."
Mbok Parmi terkejut bukan kepalang.
"Ya, Tuhan.... Ibu tidak menyangka Dahlan sekeji itu," ucapnya prihatin. " Sebenarnya darimana asal mu? Kenapa ibu baru melihatmu di sini?"
"Saya dan ibu saya tinggal di ujung desa ini. Disana kami tinggal tanpa tetangga. Hingga tidak ada yang bisa menolong kami seorangpun."
"Lalu bagaimana kamu bisa sampai di kejar - kejar seperti ini?"
"Dahlan tahu, saya melahirkan anak ini, Bu. Dan dia ingin mengambilnya dari saya. Dia memerintahkan anak buahnya untuk mengambil anak ini."
"Lalu kemana ibumu?"
"Ibu... Ibu...." Tangisnya pecah tak tertahankan. "Anak buah Dahlan telah membunuh ibu saya."
Mbok Parmi semakin di buat terkejut.
"Kenapa mereka membunuh ibumu?"
"Karena ibu terus berusaha menghalangi mereka untuk mengambil bayi ini, Bu. Mereka mendorong keras tubuh ibu saya hingga tersungkur, dan kepalanya terbentur batu besar. Dan Ibu... ibu meninggal seketika. Kemudian sebagian dari mereka membawa mayat ibu saya. Dan membuangnya entah kemana."
"Ya, Tuhan... Lalu bagaimana caranya kamu bisa melarikan diri dari mereka?"
"Ada dua orang laki - laki yang datang menolong saya dan menghadang mereka, ketika mereka menyeret - nyeret tubuh saya untuk di bawa ke hadapan Dahlan. Salah satu dari mereka menyuruh saya berlari sekencang mungkin."
"Karena itu kamu berlari sampai ke sini?"
"Iya, Bu. Tolong saya... saya takut, Bu."
Mbok Parmi menatapnya iba.
"Baiklah. Ayo bangun. Kamu ikut Ibu ke rumah."
Kedasih mengangguk.
Namun di tengah perjalanan menuju rumah Mbok Parmi, Kedasih menghentikan langkahnya.
"Kenapa berhenti, Nak?"
"Bu... tolong bawa anak saya. Rawat dan besarkan dia."
"Apa maksudmu, Kedasih?"
"Kalo saya ikut Ibu, tetap saja mereka akan menemukan saya. Tapi kalau hanya anak saya yang Ibu bawa, maka dia akan aman. Saya harus pergi dari desa ini sendiri. Jadi, kalaupun mereka menemukan saya di perjalanan, anak saya sudah aman bersama Ibu."
"Tapi, Nak...."
"Namanya Didy. Tolong jaga dia baik - baik, Bu. Suatu saat, saya akan kembali menemui dia."
"Tapi kamu akan kemana, Kedasih?"
"Entahlah, Bu. Yang pasti saya harus pergi sejauh mungkin dari desa ini."
Mbok Parmi muda terdiam sesaat.
"Baiklah, Ibu akan merawat Didy. Jaga dirimu baik - baik. Hati - hati, dan jangan sampai tertangkap. Ini ada sedikit uang. Gunakanlah untuk bekalmu di perjalanan." Mbok Parmi menyerahkan beberapa lembar uang pada Kedasih.
"Tapi, Bu...."
"Ambilah. Tidak apa - apa. Ibu ikhlas."
"Baiklah, terima kasih, Bu." Kedasih menerima lembaran uang itu dengan ragu. "Oiya, Bu, nama Ibu siapa? Karena jika suatu saat saya kembali menemui Didy, saya bisa dengan mudah bertanya pada orang menggunakan nama Ibu."
"Kamu benar, Nak. Orang - orang biasa memanggilku Mbok Parmi."
"Mbok Parmi... baiklah. Saya titip anak saya, Mbok."
"Iya, Kedasih. Mbok akan merawatnya sebaik mungkin."
Sebelum memberikan Didy bayi pada Mbok Parmi, Kedasih menatap wajah jagoan kecilnya itu lekat - lekat, kemudian mengecup keningnya dalam. Air matanya sudah mengalir.
"Selamat tinggal, Nak. Baik - baik di sini sama Mbok. Ibu sayang kamu... Didy."
Flash back off
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Suyatno Galih
Thor ini bahasa mana ya,setau aku simbok=ibu bs jd nenek, lek=paman/om, le/Thole=anak Lanang/laki2
2023-05-31
1
Emak Femes
Gentayangan dimari makgisna 👻👻
2022-01-09
1
NA_SaRi
jgn2 didi cucunya nenek samiah ya🤔
2020-12-20
0