"Anda, siapa?" tanya Nilam pada sosok tinggi tegap di hadapannya.
"Yang pasti aku bukan orang jahat," jawabnya tersenyum enteng. "Boleh aku duduk di sebelahmu?"
Nilam hanya mengangguk kecil, kemudian menggeser tubuhnya sedikit ke samping, memberi tempat untuk orang tersebut.
"Kenapa menangis di sini?" tanya orang itu setelah ia mendaratkan bokongnya di samping Nilam yang terlihat tak nyaman dengan kehadirannya. "Jangan takut," lanjutnya.
Nilam menunduk, jari - jari tangannya saling bertaut dan saling meremas - remas. Menunjukkan dengan gamblang sikap gelisahnya. "Be- benar, A-Anda bukan orang jahat?" tanyanya tanpa menoleh.
Orang itu terkekeh. "Apa menurutmu aku terlihat seperti orang jahat? Lucu sekali," ujarnya. "Bagaimana dengan pertanyaanku tadi, kenapa kamu menangis di sini?"
"A- aku...."
"Hmm, apa? Lanjutkan. Aku siap mendengarkan," sergah orang itu yang ternyata adalah seorang pria yang masih berusia muda.
"Aku...." Air mata Nilam kembali terjun bebas di kedua belah pipinya.
"Jangan ragu. Ceritakan saja. Siapa tahu aku bisa membantu meringankan kesedihanmu," ucap pria itu meyakinkan.
Nilam melirik ke arah pria di sampingnya. Menatap wajahnya sesaat sebelum kembali mengalihkan pandangannya ke lain arah.
Ya, Tuhan... mata itu... aku seperti mengenalinya. Batin pria itu.
"Aku menghilangkan semua barang belanjaan bibi pemilik kedai. Dia pasti kecewa, karena aku telah membuatnya rugi. Aku tidak punya uang untuk menggantinya," beber Nilam di sela isak tangisnya.
"Apa? Hanya karena hal itu, kamu sampai menangis terisak - isak?" tanya pria itu heran.
Nilam mengangguk. "Kalau saja aku punya uang, aku tidak akan sesedih ini."
"Maaf, apa aku boleh tahu... memangnya berapa total belanjaan yang kamu hilangkan itu?"
"150 ribu."
"Hanya 150 ribu?!! Ya, Tuhan.... Kenapa di negara ini masih ada orang yang menangis hanya karena uang 150 ribu saja," ujar pria itu tak habis pikir.
Nilam merubah air mukanya, kemudian menatap sinis pria yang duduk di sampingnya tersebut. "Sejumlah uang itu mungkin tak seberapa bagi Anda, Tuan. Bahkan hanya tinggal berkedip, Anda mungkin bisa mendapatkan lebih dari itu. Tapi untuk orang kecil sepertiku, ini adalah sebuah beban. Beban yang sangat berat. Karena saat ini aku tidak memiliki uang sepeserpun...."
Nilam bangkit kemudian pergi meninggalkan pria itu yang terhenyak dan tertegun mendengar kata - katanya tersebut.
"Tunggu!" Pria itu berlari mengejar Nilam yang sudah mulai menjauh. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu," lanjutnya penuh sesal.
Nilam berbalik badan menatap pria itu, yang kini sudah berada tepat di hadapannya.
"Apa semua orang kaya seperti itu, selalu memandang rendah kami yang miskin dan lemah?"
"Tidak, tidak seperti itu... aku benar - benar tidak bermaksud merendahkanmu."
Nilam tersenyum kecut.
"Aku sangat tahu, perangai orang - orang kaya sepertimu, Tuan. Hidup kalian itu hanya tentang uang. Bahkan kalian sudah menghamba diri pada uang. Hingga kalian memandang dan mengukur kehidupan ini juga dari uang !" seru Nilam menggebu.
"Dari mana kamu mendapat pandangan seperti itu, Nona?" tanya pria yang belum di ketahui namanya itu.
"Dari segala titik berat kehidupan yang aku alami. Dari mulai aku yang di jual bibi ku sendiri hanya demi harta yang dia inginkan. Dari seorang pria tua kaya yang ingin menikahiku dengan mengiming - imingiku dengan semua harta kekayaan yang dia miliki. Lalu bagaimana aku bisa percaya padamu, Tuan?!"
Si pria tersentak luar biasa.
Cerita itu.... Nilam.... Apakah wanita ini adalah Nilam? tanya hati pria muda itu yang tak lain adalah Gavin Pradana, pria yang selama ini di rindukan Nilam.
"Kenapa Anda diam saja, Tuan? Benar, kan, semua yang aku ucapkan?" tanya Nilam.
"Maaf, boleh aku tahu namamu?" tanya Gavin tanpa menggubris perkataan Nilam.
"Untuk apa Anda tahu namaku?"
"Aku minta maaf, jika kata - kataku menyinggung perasaanmu. Tapi sungguh, aku tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku memang seorang workaholic. Tapi sekarang aku mulai lelah. Karena itu, sekarang aku di sini. Dan meninggalkan dulu pekerjaanku."
Nilam menatap nanar pria di hadapannya.
Ia tak mampu berkata apapun.
"Lalu, sekarang boleh aku tahu namamu?" suara berat Gavin sedikit medesak ingin tahu.
Semoga dia benar - benar Nilamku.
Nilam terdiam sesaat. Mencoba menimang - nimang keputusannya. Sesaat kemudian ia mendongak penuh keyakinan. "Namaku... Nuri," ucap Nilam akhirnya. Ia memilih tetap menjadi Nuri, dan tetap menyembunyikan identitasnya sebagai Nilam yang sesungguhnya.
"Apa? Nuri?!" tanya Gavin refleks, terlihat jelas sirat kecewa di wajah tampannya.
Nilam mengernyit keheranan. "Iya, Nuri. Apa ada yang salah dengan namaku, Tuan?"
Gavin mengerjap. "Oh, tidak. Tidak apa - apa... Nuri."
Ternyata dia bukan Nilam. Dalam hati Gavin penuh kekecewaan.
"Kalau begitu aku permisi, Tuan," pamit Nilam tanpa bertanya balik siapa nama lelaki di hadapannya.
"Tunggu." Gavin meraih telapak tangan Nilam yang hendak pergi. "Apa kamu tidak ingin tahu nama ku?"
"Aku rasa tidak perlu, Tuan. Toh kita juga tidak akan bertemu lagi, kan?"
"Panggil aku, Gavin. Aku akan mengantarmu pulang," ujar Gavin tanpa perduli ucapan Nilam. Ia menarik lengan Nilam yang masih terdiam tak percaya. Menuntunnya masuk ke dalam mobil mewahnya yang terparkir tak jauh dari tempat itu.
"Kenapa diam?" tanya Gavin yang kini sudah berada di balik kemudi mobilnya pada Nilam yang terduduk di sampinya.
Nilam melirik Gavin yang mulai menghidupkan dan melajukan mobilnya perlahan. "Aku hanya takut."
"Takut karena apa?" tanya Gavin tetap fokus pada kemudinya.
"Takut melihat wajah kecewa ibu dan bapak kedai."
"Karena kamu menghilangkan belanjaanya, begitu?"
Nilam hanya mengangguk.
"Tenang saja, aku yang akan menggantinya," ucap Gavin santai.
"Tidak! Ini bukan urusan dan tanggung jawabmu."
Gavin tersenyum melirik Nilam sekilas.
"Aku yang mengantarkanmu pulang. Itu artinya aku yang akan bertanggung jawab soal kerugian itu."
"Tapi--"
"Sudah, anggap saja aku meminjamkanmu. Kamu boleh menggantinya kapanpun, Nuri."
Sejenak Nilam terdiam dalam irama keraguannya.
"Baiklah, aku pinjam uangmu. Dan aku akan menggantinya...." Nilam tentunduk sendu. "Meskipun aku tidak tahu kapan aku bisa menggantinya."
"Tidak masalah. Jangan merasa terbebani."
"Terima kasih," ucap Nilam tulus.
Gavin tersenyum senang. "Sama - sama. Oiya, kedai itu.... Apakah kamu bekerja di sana?"
Nilam menggeleng. "Tidak, aku hanya membantu ibu dan bapak kedai itu. Karena mereka telah begitu baik padaku. Mau memberi ku makan, dan menampungku di rumah mereka."
"Menampung?" tanya Gavin bingung. Nilam hanya mengangguk. "Apakah mereka ada hubungan darah denganmu?" tanya Gavin lagi.
Nilam menggeleng. "Tidak ada," jawabnya. "Berhenti di sini. Itu kedainya," tunjuk Nilam pada sebuah bangunan kecil yang terbuat dari kayu - kayu yang tersusun rapi.
Gavin melupakan segudang pertanyaan yang akan di lemparkannya, karena Nilam sudah lebih dulu turun dari dalam mobilnya. "Gadis itu penuh teka - teki," gumam Gavin.
Ia mencari tempat yang tepat untuk memarkirkan mobilnya tanpa mengganggu pengguna jalan yang lain. Karena jalanan di depan kedai itu terlalu kecil dan hanya muat untuk satu kendaraan roda empat saja. Setelah memarkirkan mobilnya sempurna, ia turun menghampiri Nilam yang berdiri tertunduk ketakutan.
"Kamu pergi lama sekali... dan pulang dengan tangan hampa! Kenapa sampai bisa hilang, Nuri?!" tanya ibu pemilik kedai sedikit dengan nada tinggi.
"Maafkan aku, Bu. Tadi aku di ganggu para preman pasar. Hingga aku tak sengaja menjatuhkan barang belanjaan itu. Saat hendak ku ambil kembali, semua sudah tidak ada. Maafkan aku, Bu...." Lagi - lagi, tetesan kesedihan itu jatuh tanpa permisi.
"Lalu bagaimana kami bisa berjualan hari ini, Nuri?"
"Aku yang akan menggantinya," potong Gavin yang sudah berdiri di belakang Nilam.
Nilam dan ibu pemilik kedai menoleh ke arahnya.
"Anda siapa?" tanya Ibu Kedai.
"Aku? Bukankah tadi aku sudah bilang, aku yang akan membayar semua kerugianmu, Nyonya," ucap Gavin tegas. Ia mengeluarkan sejumlah uang dari dalam dompetnya. Yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah uang yang di hilangkan Nilam. "Ini, terimalah."
Ibu pemilik kedai menganga tak percaya, tak terkecuali Nilam.
"Ini terlalu banyak, Tuan," ucap Ibu Kedai.
"Tidak apa - apa. Terima saja. Itu semua untukmu." Gavin berucap santai sembari memasukkan sebelah telapak tangannya ke dalam saku celananya.
Sedangkan Nilam memandangnya takjub.
"Aku bahkan bisa menambahkan lagi uang yang lebih banyak sebagai modal untuk memperbesar kedaimu ini, Nyonya."
"Be- benarkah?"
"Ya.... Tapi dengan satu syarat," kata Gavin licik.
"Apa syaratnya, Tuan. Apakah aku harus mengangsur setiap bulan?" tanya Ibu kedai penasaran.
"Oh, tidak. Itu tidak perlu. Semua uang itu, akan aku berikan padamu dengan cuma - cuma."
"Benarkah? Lantas apa syaratnya, Tuan?"
Gavin tersenyum miring. Menatap tajam ke arah ibu pemilik kedai kemudian beralih menatap Nilam.
"Aku akan membawa Nuri bersamaku."
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dewi Ansyari
Akhirnya Gavin ketemu sama Nilam,tpi sayang Nilam ganti nama makanya Gavin tidak mengenalnya,mungkin sepeti ini cara untuk mereka berdua memperkuat rasa cinta yg mereka miliki mungkin ini lebih bagus😁
2021-10-20
0
Miss Azalea
The best Nilam.
2021-04-09
0
Desrayanii
Aku hadir kakak author 🤗🤗
Salam "Kasih Yang Tertunda & Detektif Cinta Anti Cinta"
2021-01-06
0