Angin berhembus kencang, menerbangkan dedaunan tua yang sudah terlepas dari tangkainya.
Suara deru air sungai yang mengalir deras, menemani Nilam yang terduduk di atas bebatuan dengan memeluk kakinya yang terlipat.
Air mata masih setia mendampingi.
Mewakili segala kesedihannya, kesakitannya, dan kerapuhannya.
Aku ingin berlari sekencang-kencangnya.
Melepaskan segala beban berat yang begitu betah menemaniku.
Tapi aku tak mampu, kaki ini terlalu lemah untuk ku ajak berlari.
Ketika larut dalam kegundah gulanaannya, Nilam tersentak. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang.
Nilam menolehkan kepalanya.
"Didy," ucapnya melihat siapa yang telah membuyarkan lamunannya itu.
"Kamu sedang apa di sini?"
"Menangkap ikan." (Dalam gerakan bahasa isyarat)
"Oh, sudah dapat ikannya?" Nilam sudah sangat mengerti setiap gerakan tangan dan tubuh Didy.
"Sudah." Didy memperlihatkan tiga ekor ikan berukuran sedang yang sudah di ikatnya. Ia kemudian ikut mendudukan dirinya di samping Nilam. "Kakak sendiri sedang apa di sini?"
"Kamu pintar juga menangkap ikan." Nilam tersenyum. "Kakak hanya ingin ketenangan, Dy. Dan di sini tempat yang paling cocok."
" Ada apa dengan Kakak? Sepertinya Kakak habis menangis?"
"Tidak apa-apa, Dy. Kakak hanya sedang ingat seseorang."
"Siapa?"
"Dia teman kecil Kakak dulu."
"Laki-laki?"
Nilam mengangguk. " Dulu, umur Kakak masih 8 tahun, dan dia sudah berumur 11 tahun. Kami selalu bermain bersama disini, di tempat ini." Nilam tersenyum. Pikirannya beranjak mundur ke masa kecilnya yang indah.
"Dia tampan, Dy. Dia baik. Dia selalu menjaga Kakak. Bahkan, saat Kakak terjatuh dan menangis saat bermain, dia menghibur Kakak, lalu dia mengantar Kakak pulang dalam gendongannya. Manis sekali, bukan?" lanjut Nilam, tersenyum.
"Lalu, dimana dia sekarang?"
"Entahlah. Kakak tidak tahu, Dy. Semenjak M'bok Nah, pengasuhnya itu sakit-sakitan, dia di bawa kembali oleh orang tuanya ke kota. Sejak saat itu Kakak tidak pernah lagi bertemu dengannya."
"Kakak, kan, bisa bertanya pada pengasuhnya itu?"
Nilam menggelengkan kepalanya pelan.
"Mbok Nah sudah meninggal, tak lama setelah dia di jemput orang tuanya."
Nilam menundukkan kepalanya, meskipun sudah bertahun-tahun lamanya ia masih tetap tak bisa melupakan sosok sahabat kecilnya yang selalu melindunginya itu.
Didy mengangguk-ngangguk, ia sangat mengerti perasaan gadis yang sudah di anggapnya kakak itu.
Didy kemudian menarik lengan Nilam, mengajaknya bangkit.
"Kamu mau apa, Dy?" tanya Nilam sembari melangkah mengikuti kemana anak itu akan membawanya.
Tanpa aba-aba, Didy menarik Nilam tercebur ke sungai. Mengajaknya untuk berenang dan bermain air.
"Kamu nakal, ya...." Nilam tertawa lepas, sambil memberikan cipratan-cipratan air ke wajah Didy.
Mereka larut dalam keseruan yang di ciptakan Didy.
Aku akan selalu membuatmu tersenyum Kak Nilam. Kata Didy dalam hati.
***
Di Kota A
Sore hari, di atas lantai-6 bangunan sebuah perusahaan.
"Bagaimana hasil laporanmu tentang perkebunan teh itu, Ken?" tanya seorang pria muda berumur 25 tahunan yang terduduk di kursi kebesarannya. Dengan laptop yang masih menyala di hadapannya.
"Semuanya oke, Gav. Hasil daun teh nya berlimpah dan berkualitas sangat baik. Para pekerja di perkebunan itu, bekerja dengan sangat apik dan telaten," jawab Kenzie seadanya. Ia berada di sofa yang tersandar pada dinding kiri ruangan itu, sambil membolak-balik lembaran kertas di tangannya.
"Good. Lalu, kapan kita bisa memulai bekerja sama dengan pemilik perkebunan itu?" tanya pria yang di panggil Gav itu.
"Secepatnya aku akan kembali ke sana. Aku harus menyiapkan berkas-berkasnya terlebih dahulu secara terperinci."
"Oke. Oiya, Ken, Boleh aku tahu, apa nama daerah tempat perkebunan teh itu berada?"
"Kenapa, Gav? Apa kau ingin ikut aku ke sana? Disana tempatnya sangat indah. Aku jamin kau tidak akan menyesal." Kenzie bangkit menghampiri pria yang bernama lengkap Gavin Pradana itu. Kemudian duduk di kursi yang berseberangan dengannya.
"Oh, tidak, tidak. Kau saja yang urus semuanya, Ken."
"Kau yakin ? Kita bisa sekalian bersenang-senang di sana. Menikmati udara segar yang jauh dari hiruk-pikuk kota. Suasana desanya masih teduh dan sangat terawat. Ayolah, Gav ... sekali ini saja kau ikut aku bekerja di lapangan. Apa kau tidak bosan dengan suasana ruangan ini?"
" Tidak bisa, Ken. Meskipun aku bosan, aku tetap tidak akan ikut denganmu."
"Kenapa? Apa ada yang salah dengan penawaranku?"
"Tidak, tidak ada yang salah, Ken."
"Lalu?"
" Karena aku sudah memiliki sebuah tempat lain yang akan aku tuju, sebuah tempat yang sudah sangat lama tidak aku kunjungi." Mata Gavin menatap nyalang ke sembarang arah. "Aku rindu dia."
Kenzie menyipitkan matanya." Seorang gadis?" tanyanya kemudian.
Gavin menoleh ke arah wajah sahabat sekaligus tangan kanannya itu. Kemudian mengangguk. "Iya."
"Boleh aku tahu, seperti apa gadis itu? Sepertinya dari pancaran matamu, kau sangat merindukan dia."
Gavin menghempaskan punggungnya pada sandaran kursinya. Ia memejamkan matanya sejenak. "Aku sendiri tidak tahu, Ken."
"Maksudmu?" tanya Kenzie heran.
Gavin kembali menegakkan tubuhnya. "Sudah empat belas tahun lamanya, aku tidak bertemu dia."
Kenzie menampilkan ekspresi terkejutnya. "Wow, empat belas tahun? Apa aku tidak salah dengar?"
"Ya, selama itu." Gavin tersenyum kecut. "Tapi aku sangat yakin, dia pasti tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik."
"Darimana keyakinanmu itu datang, Gav?"
"Dari semua yang ada padanya."
"Tapi empat belas tahun itu bukanlah waktu yang singkat, Gav. Dulu saat terakhir kali kau bertemu dia, dia masih terlalu kecil untuk kau gambarkan kecantikannya pada masa sekarang. Dan Mungkin sekarang dia sudah bersuami. Atau kemungkinan terburuknya dia ...."
Gavin melirik wajah Kenzie sinis.
"Sudah mati maksudmu, Ken?"
"Emm ... mungkin saja, kan?"
"Tidak, Ken. Aku yakin dia masih hidup. Dan soal dia sudah menikah atau tidak, aku sama sekali tidak perduli. Aku tetap akan menemui dia apapun keadaannya."
Kenzie tersenyum. "Inilah yang aku kagumi darimu, Gav. Selalu teguh pada pendirianmu. Lalu, kapan rencananya kau akan mendatangi tempat itu, dan menemui dia?"
"Aku menginginkan secepatnya."
"Baiklah. Semoga membuahkan hasil. Dan yang terpenting ...." Kenzie menjeda ucapannya sesaat. "Semoga dia masih berada di tempat itu."
Gavin tersenyum. "Semoga." Ia menutup laptopnya. "Sudah sore, sebaiknya kita pulang, Ken."
"Tidak ada lembur?" tanya Kenzie.
Gavin menggeleng. " Aku sudah cukup lelah hari ini."
"Baiklah."
***
"Nilaaaammm...!!" teriak Murni dari kajauhan.
Nilam yang masih asyik bermain air bersama Didy di sungai itu, terperanjat kaget.
"Ya Tuhan, suara bibi Murni," gumam Nilam.
Mendengar nama Murni, Didy langsung beranjak, mengajak Nilam untuk segera menepi.
"Kakak pulang dulu, Dy."
Didy mengangguk. Isyarat lengannya mengatakan pada Nilam untuk berhati-hati.
Nilam mengangguk, kemudian bergegas naik menghampiri Murni yang semakin mendekat ke arahnya.
"Dasar anak tak tahu diri!"
Plaakkk!
Tamparan keras mendarat di pipi halus Nilam.
"Ampun, Bi. Ampun, maafkan aku."
Murni menarik keras rambut Nilam yang tergerai basah. " Bukankah tadi kau bilang, kau akan mencari pekerjaan ke pasar, hah? Lalu kenapa tiba-tiba kau berada di sini? Aku dan Hana sudah mencarimu mengelilingi seluruh pasar, kau tahu itu, hah?!!"
Nilam memegangi rambutnya dalam jambakan Murni.
" Ampun, Bi. Aku mohon, maafkan aku."
"Maaf, katamu? Sekarang ikut aku pulang!"
Murni melepaskan telapak tangannya dari rambut Nilam kasar. Ia berbalik badan, lalu melangkah menuju arah pulang.
Nilam mengikutinya dari belakang, dengan kelopak matanya yang mulai di genangi air, yang syarat akan kesedihan.
Setelah ini, apa lagi yang akan terjadi padaku?
Bersambung*....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Lina Marlina
nilam kasian sekali sabar ya nilam
pasti semuanya akan indah pada waktunya
2022-09-08
0
H!@t>🌟😉 Rekà J♡R@
Ow.. ow... semoga Gavin n Kenzie gak rebutan Nilam...hmmm
2021-08-18
0
Dewi Mudrika
kau kejam sungguh kejam hiks hiks😭😭😭
2021-04-04
0