" Cepat! Jangan berjalan seperti seekor siput!" bentak Murni.
"Baik, Bibi."
Sesampainya di halaman rumah.
Murni menarik keras lengan Nilam, dan menyeretnya untuk segera masuk ke dalam rumah.
"Saya sudah membawa Nilam, Juragan," kata Murni.
Seketika mata Nilam membelalak. Sosok Juragan Dahlan sudah terduduk santai di sofa rumahnya.
"Nilam, cepat pergilah dari sini, Nak!" perintah kakek Usman penuh permohonan.
Nilam menoleh ke asal suara. Ia di kejutkan kembali dengan pemandangan miris di hadapannya. "Kakek..." gumam Nilam. Tubuh kakek Usman sudah di tahan oleh dua orang anak buah Dahlan.
"Lepaskan kakekku!"
"Nilam pergilah, Nak. Kakek mohon...."
Dengan cepat Murni mencekal lengan Nilam. "Kamu tidak akan bisa kemana-mana, Nilam. Aku sudah menjualmu pada Juragan Dahlan."
Kedua bola mata Nilam membulat sempurna. Pun dengan kakek Usman. "Apa yang kau lakukan pada cucuku, Murni!" bentak kakek Usman keras.
"Bapak tidak usah ikut campur. Bapak juga tidak akan bisa melindungi dia lagi."
"Laknat kau, Murni!" teriak kakek Usman.
Dahlan hanya tersenyum-senyum menyaksikan perdebatan ayah dan anak tersebut.
"Kenapa Bibi tega melakukan semua ini padaku? Apa salahku padamu, Bi?" tanya Nilam di sela tangisnya.
"Salahmu? Salahmu adalah karena kamu bukan bagian dari keluarga ini, tetapi kamu sudah berhasil merebut perhatian semua orang!" seru Murni.
Kakek Usman menggeleng-gelengkan kepalanya. Murni...." geramnya.
"Apa maksud ucapan Bibi?" tanya Nilam.
"Maksudku adalah." Jeda sesaat. "Kamu hanyalah seorang anak pungut dari kakakku."
"Anak pungut?" suara Nilam pelan.
"Benar, seorang bayi berumur sekitar kurang dari satu tahunan, di temukan oleh almarhum kakak iparku di pinggir jalan menuju kota. Dan bayi itu adalah kamu, Nilam."
Nilam menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Ia mulai terisak, kemudian menoleh ke arah kakeknya. "Benar semua itu, Kek?" tanya Nilam.
Kakek terdiam, raut wajah rentanya menunjukkan penyesalan yang teramat dalam.
"Maafkan Kakek, Nilam. Semua yang di katakan Murni benar adanya. Tapi meski begitu, kami tetap menyayangimu, Nak." Kakek hendak berhambur ke arah Nilam, Namun tubuhnya tak leluasa bergerak, karena kedua lengannya di cekal kuat oleh anak buah Dahlan.
" Kamu dengar, kan, Nilam. Aku sama sekali tidak berbohong. Oleh orang tuamu saja, kamu di buang. Apalagi aku yang bukan siapa-siapamu. Seharusnya kamu berterima kasih kepadaku. Karena aku membiarkan Bapak dan juga kakakku merawat dan membesarkanmu."
"Hentikan, Murni!" teriak kakek Usman.
Sekarang sudah saatnya kamu ikut dengan Juragan. Karena besok kamu harus menikah dengannya," ucap Murni tanpa memperdulikan teriakan bapaknya itu.
"Tidak, Bibi. Nilam tidak mau." Nilam berusaha berontak dari cengkraman tangan Murni.
"Diamlah!" bentak Murni.
"Murni, lepaskan Nilam, Murni. Bapak mohon," pinta kakek Usman lagi-lagi penuh permohonan.
"Tidak akan, Pak. Sudah saatnya dia berbalas budi untuk keluarga ini."
Di balik sebuah pintu kamar, Hana sudah menangis terisak. Murni mengunci pintu kamarnya itu dari luar. "Kak Nilam.... Ya Tuhan, tolong selamatkanlah dia dari kekejian ibu dan Juragan Dahlan."
"Kalian berdua, lepaskan si tua itu, dan bawa Nilam segera ke dalam mobil. Aku sudah tidak sabar untuk segera bersanding dengannya," perintah Dahlan dengan seringai mengerikan di wajahnya. Ia kemudian bangkit dan berjalan ke arah luar.
"Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak mau, Bibi. Aku mohon...."
Kedua orang suruhan Dahlan itu sudah melepaskan kakek Usman. Dan beralih mencekal kedua lengan Nilam.
"Jangan! Jangan bawa cucuku. Lepaskan dia!" teriak kakek membahana.
Murni menggantikan kedua anak buah Dahlan untuk menahan tubuh kakek Usman. "Sudahlah, Pak. Lepaskan dia. Dia sudah tidak berguna lagi."
"Tidak Murni, jangan jauhkan Nilam dariku. Dia cucuku, Murni."
"Cucu Bapak itu hanya satu, Hana!"
Sedangkan Nilam sudah di boyong keluar oleh kedua anak buah Dahlan. Ia kemudian di masukkan ke dalam mobil dengan Dahlan yang sudah berada di dalamnya.
Kedua anak buah Dahlan mengambil posisi di depan, salah dari mereka mengambil posisi kemudi. Mobil itu kemudian melaju meninggalkan rumah Nilam tanpa perduli dengan tontonan tetangga sekitar.
Kakek berlari keluar setelah berhasil melepaskan diri dari cekalan Murni.
"Nilaaaamm...!" teriak kakek. "Jangan tinggalkan Kakek, Nak." Suara kakek Usman melemah. Ia menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu menangis sejadi-jadinya.
Semua tetangga hanya terdiam menyaksikan kejadian itu, tanpa berani ikut campur. Karena mereka tak ingin berurusan dengan Juragan keji itu.
"Kakek." Hana berlari ke arah kakeknya setelah berhasil memaksa ibunya membukakan pintu kamarnya yang di kunci.
"Hana.... Nilam sudah di bawa pergi. Dahlan akan menikahinya besok. Bagaimana Kakek menyelamatkannya, Hana?"
Hana memeluk erat tubuh renta kakek Usman. "Hana juga tidak tahu, Kek."
"Ibumu benar-benar biadab, Hana. Aku sudah benar-benar gagal mendidiknya," ucap kakek Usman penuh penyesalan.
"Iya, Kek. Aku tidak tahu kenapa ibu bisa sampai setega itu pada kak Nilam."
***
Beberapa waktu kemudian.
Mobil Dahlan berhenti si sebuah halaman rumah mewah milik Dahlan sendiri.
Dahlan tinggal di rumah besar itu beserta ketiga isteri dan juga anak-anaknya.
Nilam hanya bisa pasrah, saat dirinya di cekal dan di bawa ke dalam rumah besar itu. Tatapan penuh kebencian pada Nilam di perlihatkan oleh ketiga isteri-isteri Dahlan yang sudah berjejer di ruang tengah rumah besar itu.
"Masukkan dia ke dalam kamar tamu. Dan kunci pintunya dari luar," perintah Dahlan tegas.
"Baik, Juragan."
"Siapa dia, Mas?" tanya Erna, isteri kedua Dahlan menghampirinya.
"Dia calon isteri ke empat ku." Dahlan menjawab santai.
"Kamu akan menikah lagi, Mas?"
Dahlan mengangguk. Ia sudah terduduk di sebuah sofa mewah, di bagian tengah rumahnya.
"Mas, apa ketiga isterimu ini belum cukup menyenangkanmu?" tanya Erna lagi.
"Jangan banyak bertanya. Kau hanya perlu diam, dan turuti semua keinginanku. Maka hidup dan fasilitasmu akan tetap aman. Kau mengerti?"
Erna terdiam. Dasar laki-laki buaya! Erna mengumpat dalam hati.
--
Waktu kini menunjukkan pukul 11.30 malam.
Namun Nilam masih tetap terjaga. Ia memikirkan bagaimana nasibnya esok hari.
"Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana caranya aku keluar dari sini? Pintu dan jendela pun semuanya terkunci. Aku tidak mau menikah dengan Juragan kebun teh itu. Ku mohon, tolonglah aku Tuhan...." Nilam berkata seorang diri.
Telapak tangannya saling meremas-remas karena rasa takutnya yang tak kunjung pergi.
"Sepahit inikah hidup yang harus aku jalani? Aku bukan anak dari almarhum ibu dan ayah, lalu aku anak siapa? Siapa orang tuaku? Benarkah, aku anak yang di buang?"
Ketika Nilam larut dalam pikiran tentang siapa orang tuanya. Pintu tiba-tiba terbuka. Nilam memundurkan tubuhnya perlahan, mengantisipasi siapa yang datang menemuinya.
Seorang gadis berusia 18 tahunan, berpenampilan tomboy dengan rambut bondol khas lelaki menghampirinya setelah menutup pintu kamar itu pelan dan sangat hati-hati.
"Hay," sapanya pelan. Kamu gadis yang akan di nikahi ayah besok, kan?" tanyanya berbisik.
"Kamu anaknya Juragan Dahlan?"
Gadis itu mengangguk. "Kenalkan, namaku Rani," ucapnya sembari mengulurkan tangannya ke arah Nilam.
Nilam menerima ulurannya tangan gadis itu.
"Aku Nilam. Rani, tolong aku. Aku tidak mau menikah dengan ayahmu."
"Pssssttt...." Rani menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. "Aku tahu. Aku datang ke sini, untuk membantumu keluar dari rumah ini."
Seketika mata Nilam berbinar. "Benarkah?"
"Iya. Ayo ikuti aku," ajak Rani.
Nilam mengangguk mengiyakan.
Rani membuka pintu itu kembali perlahan.
Setelah berhasil keluar kamar, mereka melangkah mengendap-ngendap.
"Rani aku takut." Nilam terus menggenggam tangan Rani yang menuntunnya untuk terus melangkah. Ia melihat para anak buah Dahlan tertidur sangat nyenyak, di sofa, tak jauh dari tempatnya di kurung.
"Kamu tenang saja, aku akan segera mengeluarkanmu. Kita lewat pintu belakang saja."
Nilam terus mengikuti Rani tanpa membantah. Mereka kini sedang melewati sebuah lorong, yang entah kemana tujuannya. Hingga tiba-tiba terdengar suara....
Prangggg!
Nilam dan Rani tersentak kaget. Mereka menghentikan langkahnya sejenak. "Suara apa itu, Rani?"
"Kamu tunggu disini. Jangan kemana-mana. Aku lihat dulu. Sepertinya dari arah dapur."
Rani melangkah meninggalkan Nilam.
Teng... teng... teng....
Suara lonceng jam dinding menunjukkan waktu kini tepat tengah malam. Nilam terus menunggu Rani dengan rasa takut yang tak terperi. "Kenapa Rani lama sekali."
Puk!
Nilam tersentak kaget luar biasa. Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Dengan perlahan Nilam memutar kepalanya, menoleh ke belakang.
"Ya, Tuhan.... Rani.... Kamu membuat jantungku hampir terlepas dari tempatnya." Nilam mengelus-elus dadanya. Mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Hehe... maaf."
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dewi Mudrika
kayak yg di sinetron"
2021-04-04
0
Caramelatte
eyo kakak author! Ku balik nih!🤭 Semangat yaa upnya! 🤗
2021-01-11
0
NA_SaRi
aku ikut bergidik. berasa aku yg dsitu😱
2020-12-18
0