Siang menjelang sore, suara kicau burung masih terdengar saling bersahutan, mengisi keheningan yang kosong dengan hiruk pikuk gerak manusia.
Kraak... kraak... kraak....
Suara gemerisik telapak kaki menginjak dedaunan kering yang berserakan di bawah pohon besar yang di pijaki Nilam di dalam hutan yang kini di tinggalinya bersama nenek Samiah.
Ya, sudah hampir tiga minggu lamanya Nilam berada di hutan tersebut.
Nilam menaruh ranting - ranting kering yang sudah di kumpulkannyanya dari sekitaran hutan dekat gubuk nenek Samiah.
"Ini, Nek, kayu bakarnya."
"Taruh saja disitu. Sekarang makanlah ini, kamu pasti lapar."
Usai menaruh ranting - ranting itu di tempatnya, Nilam mengambil makanan itu dari tangan nenek Samiah. Ia sudah mendudukan tubuhnya di bale kecil di dalam gubuk itu. "Terima kasih, Nek," ucap Nilam tersenyum.
Nenek mengangguk membalas senyuman Nilam.
Nilam menatap satu buah ubi bakar yang di berikan nenek Samiah itu di tangannya. Kemudian mengalihkankan pandangannya pada nenek Samiah, ragu.
"Nek, apa aku boleh tahu, darimana Nenek mendapatkan semua makanan-makanan ini? Selama di sini, hampir setiap aku menelusuri hutan, tapi aku tidak pernah menjumpai apapun yang bisa di makan," ucap Nilam ingin tahu.
"Kamu tidak perlu tahu, Nilam. Makanlah ubi bakar itu. Isi perutmu hingga kenyang. Setelah itu, kamu pergilah dari sini."
Degg!
Nilam yang baru saja hendak memasukan makanan itu ke mulutnya tersentak, mendengar kalimat terakhir nenek Samiah. Ia menurunkan tangannya kembali mengurungkan niatnya untuk memakan makanan yang di berikan nenek Samiah tersebut.
"Ma- maksud Nenek, a- apa? Apa Nenek mengusirku? Apa selama aku di sini, aku banyak merepotkan Nenek?" tanya Nilam terbata.
Nenek Samiah menggeleng pelan.
"Tidak, Nilam. Kamu memang sudah saatnya keluar dari hutan ini."
"Maksud Nenek?"
"Kamu harus melanjutkan hidupmu, Nak. Di sini bukan tempatmu."
"Tapi aku nyaman di sini, Nek. Di sini aku bisa melepaskan segala ketakutan yang selalu membayangiku setiap hari saat berada di desa."
"Tidak bisa, Nilam. Ada banyak kehidupan yang menunggumu di luar sana. Kehidupan yang nantinya akan memberimu kebahagiaan. Kamu juga harus memiliki seorang pendamping yang bisa melindungimu. Yang tidak bisa kamu temukan di sini."
"Aku tidak butuh itu, Nek. Aku hanya butuh ketenangan. Dan hanya di sini lah aku bisa mendapatkannya. Bersama Nenek," sahut Nilam sendu.
Tangan Nenek Samiah sudah memegang sehelai kain berwarna hitam berukuran persegi panjang. Kemudian ia memberikan kain hitam itu pada Nilam.
"Ini, pakailah untuk menutupi kepalamu. Jangan lepaskan. Ikat rambutmu seluruhnya sebelum kamu mengenakannya. Ini akan membantumu terhindar dari mata Dahlan dan anak-anak buahnya yang tersebar di mana-mana."
Nilam menatap nanar kain hitam yang sudah berada ditangannya itu.
"Jadi Nenek benar - benar menyuruhku pergi?" tanyanya getir.
"Ini semua demi kebaikanmu, Nak."
"Lalu Nenek, apakah akan selamanya di sini?"
Nenek Samiah menggeleng. "Tidak."
"Lalu, Nenek akan kemana?"
"Ada urusan yang harus Nenek selesaikan. Kelak, Nenek akan membutuhkan bantuanmu. Tetapi setelah kamu menemukan laki-laki yang benar - benar akan menjadi pelindung bagimu."
"Aku tidak mengerti sama sekali ucapan Nenek. Laki-laki? Laki-laki siapa yang Nenek maksud?" Nilam mengernyitkan dahinya bingung.
"Suatu saat kamu akan tahu. Sekarang, pergilah. Bawa baju - baju ini untukmu," pinta nenek Samiah tegas. Ia memberikan beberapa helai pakaian yang sudah di kemasnya di dalam sebuah kain persegi yang sudah di ikatnya rapi membentuk sebuah buntalan.
"Tapi, Nek, bukankah baju - baju itu milik putri Nenek. Bagaimana kalau suatu saat dia kembali?"
"Tidak apa - apa, ini semua untukmu."
"Baiklah," ucap Nilam. Ia dengan ragu meraih buntalan kain berisi helaian - helaian pakaian itu dari tangan nenek Samiah. "Nek... tidak bisakah menunggu sampai esok pagi? Ini sudah mau sore."
Nenek Samiah menggeleng lagi - lagi.
"Tidak ada waktu lagi, Nilam. Ini, Nenek sudah menyiapkan bekal makananmu untuk di perjalanan. Sekarang ikatlah rambutmu, lalu pakailah kain itu untuk menutupi kepalamu."
Nilam tak mampu berkata-kata lagi. Ia bangkit, lalu mengikat seluruh rambut indahnya, hingga membentuk cepolan. Kemudian menutupkan kain hitam itu ke kepalanya. "Sudah, Nek."
"Ini bekal dan baju - bajumu. Berhati-hatilah. Dan jangan lupa, pergilah ke arah utara. Karena arah itu berlawanan dengan arah ketika kamu datang ke sini. Jangan banyak bertanya lagi. Cepatlah pergi!"
Nilam terdiam sesaat. "Baiklah, Nek. Terima kasih, selama ini Nenek sudah mau menerimaku di sini."
Nenek Samiah mengangguk tersenyum. Menatap Nilam penuh haru.
"Ingatlah pesan Nenek, kesulitan hidup apapun yang akan kamu hadapi nantinya, tetaplah kuat dan jangan mudah menyerah. Karena cepat atau lambat, kebahagian itu pasti akan datang, menyongsongmu di masa depan."
"Iya, Nek. Terima kasih."
Nilam memapah langkahnya gontai keluar dari gubuk itu, ia menoleh ke arah Nenek Samiah lagi dan lagi. Kemudian melambaikan tangannya di iringi air mata yang mulai menitik sedikit demi sedikit.
"Selamat tinggal, Nenek."
---
Beberapa saat sepeninggal Nilam dari gubuk itu.
Bruuukkk!!!
Seorang lelaki menendang pintu gubuk nenek Samiah dengan paksa.
"Bagaimana, apa ada orang di dalam?" tanya laki-laki lainnya yang masih berada di area luar gubuk itu.
Segerombol lelaki berjumlah enam orang, menggerebek gubuk tempat tinggal nenek Samiah.
"Tidak ada siapa-siapa, Bos!" sahut si penendang pintu. "Tapi sepertinya gubuk ini belum lama berpenghuni," lanjutnya.
"Maksudmu?"
"Tungku perapian ini masih panas. Juga ada sisa ubi bakar di bale reot itu."
"Sepertinya gadis itu benar - benar tinggal di sini," ucap pria lainnya yang sudah bergabung di dalam gubuk.
"Apa ada yang lain yang kau temukan?"
"Ini sehelai pakaian wanita. Sepertinya... baju ini yang di gunakan gadis itu terakhir kali sewaktu Juragan membawanya ke rumahnya."
"Kau benar. Tapi dimana gadis itu sekarang?"
"Mungkin ke sungai."
"Bisa jadi. Baiklah, kita berpencar. Sebagian ke sungai, sebagian menunggu di sini. Berjaga bila sewaktu-waktu gadis itu kembali kemari."
"Baiklah."
***
Malam mulai tiba...
Nilam kini sudah berada di tepi hutan.
Ia memapah langkahnya tanpa menoleh.
Menuju sebuah perkampungan yang di lihatnya dari kejauahan, terdapat lampu-lampu yang menyala di sana.
"Ya, Tuhan... aku sudah lelah. Tapi sepertinya tempat itu sudah tidak terlalu jauh. Sebaiknya aku melanjutkan perjalananku."
Ia terus melangkah dengan segenap tenaganya yang tersisa.
Hingga sampailah ia di sebuah kedai kecil yang menjual berbagai makanan dan minuman sederhana.
"Permisi, Pak," ucap Nilam pada lelaki tua pemilik kedai.
"Ia, ada apa, Nduk?"
"Boleh saya minta air putihnya. Sedikiit... saja, Pak," ucap Nilam lembut.
Seorang wanita paruh baya muncul dari dalam kedai tersebut.
"Kenapa? Kamu haus?"
"Iya, Bu."
"Mari, masuklah. Sepertinya kamu lelah."
Nilam mengangguk pasrah.
Bapak tua suami dari wanita itu menarik lengan isterinya sedikit menjauh dari Nilam.
"Bu, jangan mudah percaya pada orang lain. Bagaimana kalau dia berniat jahat?"
"Bapak ini ada - ada saja. Gadis polos lembut begitu, kok, di bilang jahat," ujar wanita paruh baya itu, kemudian berjalan kembali ke arah Nilam. "Mari masuk, Nak. Ini minumlah. Tidak apa - apa. Duduk di sini."
Nilam tersenyum mengangguk. Ia langsung meneguk segelas air putih yang di berikan wanita itu hingga tandas. "Terima kasih, Bu."
"Sama-sama, Nak. Kamu ini, malam-malam begini, dari mana, hendak kemana?" tanya ibu itu penasaran.
Sang suami hanya memperhatikan.
Nilam menunduk kemudian menggelengkan kepalanya lemah. "Saya tidak tahu, Bu. Saya tidak punya tujuan."
"Maksudmu?"
"Saya pergi dari rumah."
"Tunggu... apa maksudmu, kamu kabur dari rumahmu?" tanya ibu itu sedikit terkejut.
Nilam hanya mengangguk.
"Kenapa?"
Nilam terdiam sesaat, mencoba mencari jawaban yang tepat. "Karena saya tidak mau di nikahkan paksa oleh bibi saya dengan seorang lelaki tua, Bu," aku Nilam. Meski tak sepenuhnya ia berbohong.
"Benarkah?" Nilam mengangguk.
"Ya, Tuhan.... Kasian sekali kamu, Nak."
Sang suami mulai tertarik dengan percakapan Nilam dan isterinya.
"Lalu, akan kemana kamu sekarang, sedangkan ini sudah malam?" tanya lelaki tua berbadan kurus itu.
"Saya juga tidak tahu, Pak."
"Ya sudah, kamu ikut kami saja ke rumah. Kamu bisa istirahat di sana," ucap lelaki itu memberi empati.
"Benar kata Bapak, Nak. Kamu mau?"
Mata Nilam berbinar seketika, ia lalu mengangguk. "Saya mau. Terima kasih, Bu, Pak."
"Kalau tidak keberatan, kamu juga bisa bekerja di sini. Membantu kami menjaga kedai ini mulai besok," tawar sang isteri.
"Benarkah, Bu?" tanya Nilam sumringah.
"Benar. Kalau siang kedai cukup ramai. Kamu bisa bantu - bantu kami di sini." Sang suami menimpali.
Nilam mengangguk bersemangat.
"Saya mau, Pak, Bu. Saya mau. Terimakasih."
"Sama-sama. Oiya, siapa namamu, Nak?"
"Nama saya....Ni--
Oh tidak, kalau aku memberitahu namaku yang sebenarnya, Juragan Dahlan pasti akan dengan mudah menemukanku.
"Emm... panggil saja, saya... Nuri."
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Yeni Eka
Ternyata Gavin jodoh ya Nilam
2021-02-03
0
Desrayanii
Isi absen lagi... 5 Like mendarat buatmu semangat 💕💕💕
Salam "Kasih Yang Tertunda & Detektif Cinta Anti Cinta"
2020-12-22
0
NA_SaRi
si nenek kok gak ada di gubuknya? kmna dia thor?
nilam..baek2 ya naaak
2020-12-18
1