Hari itu Gavin memutuskan untuk mengambil cuti dari kepadatan rutinitas kerjanya. Ia berniat mendatangi sebuah tempat yang sudah empat belas tahun lamanya tak pernah di kunjunginya itu.
Sepanjang perjalanan ia terus berdo'a dan berharap, jalannya untuk menemui gadis kecil yang dulu selalu menghiasi hari-harinya selama tinggal di tempat itu di permudah.
Sungguh, Gavin sudah sangat tidak sabar untuk bertemu gadis kecil yang mungkin kini telah beranjak dewasa yang di rindukannya itu.
Setelah selama berjam-jam menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya ia sampai di tempat tujuannya. Ia keluar dari dalam mobil mewahnya dan mulai melangkah menuju sebuah pintu rumah.
Tok... tok... tok....
Dua kali... tiga kali... empat kali.... Hingga ketukan ke lima, pintu itu tak juga terbuka.
"Sepertinya rumah ini kosong," gumam Gavin.
Ia sedikit mengintip melalui jendela depan rumah itu dengan menempelkan kening dan telapak tangannya sejajar pada kaca jendela tersebut.
"Benar, memang tidak ada orang."
Ia mulai gelisah. Berjalan mondar-mandir di teras kecil rumah sederhana itu. Satu tangannya menempel di pinggang dan satu lainnya memijit-mijit keningnya.
"Maaf, cari siapa, ya, Mas?" tanya seorang wanita paruh baya tiba-tiba datang menghampiri Gavin yang terlihat kebingungan.
Gavin menghentikan kegiatannya dan menoleh ke asal suara. "Maaf, Bu, apa rumah ini masih berpenghuni?" tanyanya.
"Masih, Mas. Tapi saat ini mereka sedang berada di rumah sakit."
"Rumah sakit? Memangnya siapa yang sakit?"
"Kakek Usman, Mas."
"Ouh. Apa Nilam ikut ke rumah sakit juga?" tanya Gavin lagi.
"Kalau Nilam, setahu saya, dia sudah tidak tinggal di sini lagi, Mas. Baru seminggu yang lalu dia di bawa paksa oleh Juragan Dahlan."
"Di bawa paksa, maksudnya? Maaf, saya sedikit kurang faham." Gavin mengernyit tak mengerti.
"Dari yang saya dengar, waktu itu Nilam akan di nikahi Juragan Dahlan, Mas."
"Juragan Dahlan itu siapa, Bu?"
"Dia pemilik perkebunan teh di sini. Orang terkaya di kampung ini. Dia sudah berumur, Mas. Kasian saya sama Nilam, dia cantik, baik, tapi harus menikah dengan Juragan lalim itu," ucap wanita itu prihatin.
Gavin terhenyak mendengar penuturan wanita itu. "Benarkah?"
"Iya, Mas. Maaf, kalau boleh saya tahu, si Mas ini, ke sini mau bertemu siapa?"
"Saya teman lama nya Nilam, Bu. Hanya ingin bertemu, sudah lama."
"Wah, sayang sekali ya, Mas. Pasti sekarang Nilam sudah menjadi isteri Juragan Dahlan."
Gavin terdiam sesaat. "Iya, tidak apa-apa, Bu. Terima kasih. Saya mau kembali saja."
"Ya sudah, Mas. Saya permisi."
Gavin mengangguk tersenyum.
Benar, gadis kecil yang di maksud Gavin dalam percakapannya bersama Kenzie beberapa waktu yang lalu di kantornya itu, tak lain adalah Nilam.
"Nilam, Dia di paksa menikah dengan laki-laki tua. Sudah pasti dia tidak mencintai laki-laki itu. Aku harus bisa menemui dia, apapun caranya," ucap Gavin penuh tekad.
Ia kemudian melangkah masuk kembali ke dalam mobil pribadinya yang terparkir tepat di depan halaman rumah itu. Dan mulai melajukannya perlahan. "Ah, aku lupa bertanya pada ibu itu, kemana Nilam di bawa. Sial. Tapi, lagi pula hari sudah mulai sore. Aku kembali saja besok." Gavin berbicara pada dirinya sendiri.
Pepohonan rindang berjejer di sepanjang jalanan pedesaan yang di lalui Gavin. Namun ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah jalanan kecil yang berada di samping jalan besar yang di laluinya itu.
Gavin menghentikan laju mobilnya lalu melenggang keluar dari dalam kendaraannya tersebut.
Ia mulai menuntun langkahnya melewati sebuah jalanan setapak itu yang entah akan kemana tujuannya.
Sesaat kemudian ia menghentikan langkahnya. "Tak ada yang berubah dari tempat ini. Semuanya masih terlihat sama seperti saat terakhir kali aku meninggalkannya."
Ia berdiri di atas sebuah batu besar. Matanya menatap kosong pada satu titik.
Hey, sudah... jangan sirami aku lagi. Badanku sudah basah kuyup. Suara seorang gadis kecil berusia delapan tahunan memeluk lututnya kedinginan di tepi sungai.
Ayolah peri kecil... kita main lagi. Aku belum puas bermain air. Kata-kata itu di ucapkan oleh Gavin kecil yang masih berusia sebelas tahunan yang tengah asyik bermain air sambil menciprat-cipratkannya ke arah gadis kecil itu.
Klise-klise bayangan masa kecilnya bersama gadis kecil, yang tak lain adalah Nilam itu, terus bermain dalam pikirannya. Ia melangkah turun mendekati air sungai yang mengalir jernih. Ia berjongkok, lalu menyentuh air yang mengalir itu sesekali.
"Aku rindu kamu Nilam. Apa kamu baik-baik saja sekarang?"
Ketika ia terlarut dalam melodi kerinduannya pada peri kecilnya itu, tiba-tiba....
Puk!
Seseorang menepuk pundaknya. Ia lantas menolehkan kepalanya ke belakang.
"Siapa kamu?" tanya Gavin pada orang itu yang ternyata adalah Didy.
Gavin mengernyit tak mengerti, karena Didy berbicara menggunakan gerak tubuh dan lengannya. "Maaf, aku tidak mengerti apa yang kamu ucapkan."
Didy begerak mundur, mengambil sesuatu dari dalam sebuah kantong plastik yang di taruhnya tak jauh dari tempatnya dan Gavin berada.
Gavin memperhatikan setiap gerak-gerik bocah gagu itu.
Setelah beberapa saat, Didy menyodorkan sebuah tulisan, yang di tulisnya dalam sebuah buku kecil yang selalu di bawanya kemana-mana.
Dalam buku kecil itu tertulis;
Kakak siapa? Sepertinya aku baru melihat Kakak di sini? Apa yang sedang Kakak lakukan di sungai ini?
Setelah membaca isi tulisan Didy, Gavin tersenyum kemudian menatap ke arah Didy yang sudah terduduk di sebuah batu berukuran sedang di sampingnya.
"Nama kakak, Gavin. Kakak datang dari kota A. dan Kakak ke sini mencari seseorang. Tapi saat Kakak hampiri ke rumahnya, dia tidak ada. Ibu tetangganya itu bilang, dia di bawa paksa oleh Juragan...? Juragan siapa ya...? Ah, Kakak bahkan lupa namanya."
Didy langsung merebut bukunya dari tangan Gavin, lalu menggoyangkan penanya kembali dan menuliskan sesuatu di sana. Setelah selesai ia menyerahkan kembali tulisannya itu pada Gavin untuk di bacanya.
Juragan Dahlan maksud Kakak? Trus, apakah orang yang kakak cari itu adalah kak Nilam?
Usai membaca tulisan Didy itu, Gavin mengangguk-anggukan kepalanya dengan ritme yang cepat. "Benar, Nilam. Kakak memang mencari Nilam. Kamu tahu kemana dia di bawa Juragan itu?"
Didy menunduk lesu.
"Ada apa?" Gavin memberikan kembali buku milik Didy. "Tulislah apapun yang ingin kamu katakan."
Didy meraih bukunya kembali dan mulai menggoreskan tintanya dengan ragu.
Kak Nilam, dia sudah melarikan diri dari rumah Juragan Dahlan. Tapi tak pernah kembali ke rumahnya. Dia menghilang, Kak.
Gavin tersentak setelah membaca goresan tinta Didy. Ia menatap nyalang lurus ke depan. "Nilam hilang? Lalu kemana aku harus mencarinya. Peri kecil, aku rindu kamu," gumam Gavin tetapi masih bisa di dengar Didy.
Apakah Kakak ini anak yang dulunya di asuh Almarhumah Mbok Nah? Isi tulisan Didy berikutnya, yang kembali di baca Gavin.
Gavin menatap Didy tak percaya, "Kamu tahu?" tanyanya pada Didy, yang kemudian di anggukinya.
"Apakah Nilam yang menceritakannya padamu?" Didy kembali mengangguk.
Dia bilang, dia sangat merindukan seseorang yang selalu menemaninya bermain air di tempat ini di waktu kecil. Orang yang selalu menghiburnya ketika bersedih. Dan selalu menggendongnya ketika pulang dalam keadaan menangis. Apakah orang itu adalah kakak?
Gavin tersenyum miris menatap tulisan Didy tersebut. Kemudian ia mengangguk.
"Dia masih mengingat aku?" Untuk kesekian kalinya Gavin menerima anggukan Didy.
Mata Gavin mulai terlihat berkaca-kaca. Jauh di dalam dadanya, gemuruh kerinduan mulai menguasai dirinya.
"Ya, Tuhan.... Aku harus segera menemukannya. Menemukan peri kecilku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Yeni Eka
Hadir like
2021-02-03
0
NA_SaRi
cari sampe dpt pokoknya🥺
2020-12-18
0
Zia Azizah
Nilammm😭😭
2020-12-17
0