Matahari mulai meninggi. Angin berhembus kencang, menyapu dedaunan kering yang terjatuh dari tangkainya, hingga berserak memenuhi jalanan di depan kantor milik Gavin.
Beberapa pekerja kebersihan sedikit kewalahan, karena dedauan itu terus beterbangan, membuat jalanan yang di bersihkannya lagi dan lagi berantakan.
Gavin baru saja keluar dari dalam lift di lantai dasar kantornya, ia berjalan hendak keluar menuju tempatnya memarkirkan kendaraannya.
"Tuan Gavin!" panggil seseorang menghentikan langkahnya.
Gavin menoleh ke arah suara. Seorang gadis berpenampilan cukup terbuka, dengan shift dress berwarna putih yang sangat pass di tubuhnya yang seksi, serta rambut curly panjangnya yang di biarkan tergerai begitu saja.
Gavin menelisik gadis yang kini tengah berjalan ke arahnya itu.
"Tuan mau kemana?" tanya gadis itu.
"Maaf, Anda siapa, ya?" Gavin menjawab dengan pertanyaan.
"Anda lupa, ya?" Tersenyum. "Pasti begitu banyak wanita cantik yang Anda kenal. Wajar saja, jika Anda melupakan salah satu diantaranya," ucap gadis itu penuh percaya diri.
Gavin memicingkan matanya. "Maaf, saya benar - benar lupa."
"Oh, tidak apa - apa, Tuan. Saya akan mengulang memperkenalkan diri." Ia mengulurkan tangannya ke arah Gavin. "Kenalkan, saya Shinta. Model yang di daulat sebagai Brand Ambassador produk minuman terbaru yang di produksi perusahaan Anda itu."
Gavin berpikir sejenak. "Oh, iya, Nona Shinta. Maaf, saya terlalu sibuk sepertinya. Jadi tidak terlalu fokus pada urusan seperti ini." Gavin memasang senyum terpaksa.
Shinta sedikit kecewa mendengar ucapan Gavin. Namun tak di perlihatkannya di hadapan pemuda tampan incarannya itu.
"Tidak apa - apa, Tuan. Saya faham. Lalu Anda mau kemana sekarang?"
"Saya ada keperluan sedikit di luar."
"Tidak bisa di tunda, kah? Saya ada sedikit pembicaraan mengenai konsep iklan yang akan segera kita garap beberapa hari lagi itu, Tuan," ujar Shinta penuh harap.
"Sayang sekali Nona Shinta. Saya sangat terburu - buru. Untuk masalah iklan itu, Anda bisa bicarakan dengan Kenzie, dia wakil saya. Dia ada di dalam. Silahkan tanya pada bagian receptionist, dimana ruangannya. Maaf, saya permisi." Gavin berjalan ke arah mobilnya, lalu masuk, kemudian melaju meninggalkan Shinta dengan perasaan dongkolnya.
"Sialan, kamu Gavin! Demi kamu, aku sampai rela menolak kerjasama dengan perusahaan yang lebih besar dari pada perusahaanmu ini. Tapi kamu, sedikitpun tak tertarik padaku," gumam Shinta. Ia lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya dan menghubungi seseorang.
"Hallo, Ayah," ucap Shinta.
"Iya, Sayang. Ada apa menelpon Ayah?" tanya seseorang di seberang sambungan telpon Shinta.
"Ayah, tolong carikan dukun yang lebih pintar lagi untukku."
"Dukun? Untuk apa lagi, Nak?"
"Aku ingin menambah susuk dalam tubuhku."
"Memangnya yang kemarin kurang bagus? Bukankah kamu sudah berhasil menarik perhatian banyak perusahaan di kota itu?"
"Tapi pria itu, sama sekali tak tertarik padaku, Ayah. Aku memang sudah berhasil kontrak dengan perusahaannya. Tapi dia.... Ah, Ayah... tolong aku. Aku sangat suka lelaki itu."
"Baiklah, Ayah akan carikan dukun susuk yang paling hebat untukmu. Dan Ayah akan pastikan, lelaki bodoh itu akan bertekuk lutut di hadapanmu."
"Benar ya, Ayah? Aku tidak mau tahu, pokoknya Ayah harus berhasil!"
Shinta menutup telponnya sepihak.
Tepat sekali! Shinta menghubungi Ayahnya sendiri, yang tak lain adalah Juragan Dahlan, lelaki tua yang hingga kini masih belum berhenti mencari keberadaan Nilam.
****
Nilam baru saja selesai membersihkan diri. Ia tampak lebih segar dengan wewangian aromatherapy yang di gunakannya dalam ritual mandinya. Rambut basahnya di biarkan tergerai bebas begitu saja.
Ia kini mengenakan midi dress berwarna coklat berlengan pendek, yang panjangnya sedikit melewati lutut. Hingga menampilkan kaki putih dan jenjangnya. Baju yang di kenakannya itu, adalah baju yang di berikan oleh Nenek Samiah, milik anak gadisnya yang tak pernah kembali. Namun tetap terlihat cantik di tubuh Nilam meskipun model dan gayanya terbilang kuno.
Sejenak Nilam menikmati waktu berharganya, yang tak pernah di dapatnya selama di desa. Ia berdiri di atas balkon luar kamar Gavin yang terdapat di lantai dua rumah mewah itu.
Pemandangan taman yang terletak di samping rumah itu, terlihat indah, dengan berbagai jenis bunga berwarna - warni yang tertata apik di sekelilingnya. Menyegarkan mata Nilam yang biasanya hanya melihat hamparan daun teh dalam kesehariannya di desanya.
Apa? Daun teh?
Seketika ingatan Nilam berlari jauh ke desanya. Ia merindukan....
"Kakek.... Aku rindu Kakek. Aku juga rindu Hana dan juga Didy. Bagaimana keadaan mereka sekarang...?" Sebulir bening terjun bebas menuruni pipinya yang halus.
Ketika Nilam larut dalam kerinduannya.
Tanpa di sadarinya, sosok Gavin sudah berdiri di belakangnya.
Gavin terpaku di tempatnya. Ia memicingkan mata menelisik sosok gadis yang berdiri membelakanginya itu. Dengan rambut panjang, hitam, dan lurusnya yang terburai indah, serta wanginya yang tercium semerbak menusuk indera penciuman Gavin.
Gavin memapah langkahnya gontai, menghampiri ke arah Nilam, yang masih belum menyadari kehadirannya.
"Nuri...."
Mendengar suara halus itu, Nilam membalikkan tubuhnya seketika.
"Tu- Tuan Gavin." Ia terkejut bukan kepalang.
"A- Anda sudah kembali?"
Ya, Tuhan.... Benarkah dia ini Nuri? Gavin membatin. Ia menatap wajah Nilam lekat dan tak lepas. Sejuta kekaguman berpendar memenuhi hatinya. "Nuri," panggilnya pelan.
Nilam tertunduk bingung. Telapak tangannya saling meremas. Ia ingat, kepalanya polos tanpa kerudung hitamnya. Namun apa mau di kata, Gavin sudah terlanjur melihatnya.
"I- iya, Tuan," sahutnya terbata.
Gavin memasang senyum manisnya. Sepertinya ia mulai keluar dari dunia kekagumannya. "Kamu cantik, Nuri," ucapan itu terdengar tulus tanpa nada menggoda sedikitpun.
Namun kalimat pujian yang di lontarkan Gavin itu malah membuat Nilam bergetar ketakutan. Bayangan pengalaman buruknya akan pujian para lelaki di desanya, yang selalu berujung dengan kejadian hendak di lecehkan, membuatnya trauma.
"Ma- maaf, Tuan. Ak- aku akan ambil kerudungku dulu di dalam."
Nilam hendak melangkah melewati Gavin. Namun tindakannya kalah cepat dengan pergerakkan yang di lakukan pria tampan itu.
Gavin lebih dulu meraih tangannya.
"Jangan gunakan penutup kepalamu itu lagi di depanku. Aku suka kamu yang seperti ini. Dan satu lagi, bukankah tadi pagi sudah ku bilang, jangan memanggilku Tuan."
"Ma- maaf, Tu... oh, maksudku Gavin. Tolong lepaskan tanganku."
"Oh, iya, maaf." Gavin melepas cekalan tangannya cepat.
"Nuri, ada apa denganmu?" tanya Gavin, ia mulai menangkap sirat ketakutan di wajah Nilam, di tambah tubuhnya yang terlihat bergetar. "Nuri, Kamu baik - baik saja?" Gavin mulai khawatir. Ia berniat menyentuh pundak Nilam, namun di urungkannya, karena Nilam beringsut menghindar.
Nilam mulai mengeluarkan air matanya sedikit lebih banyak, dari hanya sekedar tetesan. "Aku... aku takut. Aku tidak mau dengar itu. Jangan memuji ku lagi. Aku mohooon...."
Gavin mengernyit heran. "Takut? Memuji?" Jeda sesaat. "Maksudmu, kamu takut karena aku menyebutmu cantik, begitukah?"
Nilam mengangguk.
"Ya, Tuhaan.... Kamu ini aneh sekali. Semua wanita di dunia ini, ingin di puja dan di puji kecantikannya. Tapi kamu, kamu malah tidak mau dan malah ketakutan seperti ini." Gavin tak habis fikir.
"Karena setiap aku mendengar lelaki yang memujiku, pasti berujung niat pelecehan mereka terhadapku," ujar Nilam muram.
Gavin tersentak mendengar penuturan gadis itu. "Be- benarkah? Seburuk itu?"
"Iya, Gavin."
"Lalu, apakah kau sempat di lecehkan mereka?"
Nilam menggeleng. "Aku beruntung, Tuhan selalu melindungi aku. Hingga tak ada satupun dari mereka yang berhasil dengan niat jahatnya terhadapku.
Tanpa di duga, Gavin menarik tubuh Nilam ke dalam pelukannya. Mendekapnya erat.
"Mulai sekarang, aku yang akan melindungimu. Dari apapun dan dari siapapun yang berniat jahat padamu. Walaupun itu ibuku sekalipun. Aku akan pastikan itu," ujar Gavin penuh keyakinan.
Nilam merasakan kehangatan dalam hatinya.
Kehangatan yang bahkan tak pernah di rasakannya ketika bersama Danu, mantan kekasihnya di desa itu. Tanpa sadar, ia melingkarkan lengannya, membalas pelukan hangat lelaki itu. Ketakutannya sirna dalam sekejap, berganti perasaan nyaman dan tenang. "Terimakasih... Gavin."
"Jangan takut lagi. Ada aku yang akan selalu menjagamu."
Nilam menangis penuh haru. Sosok Gavin seperti sebuah melodi penawar, untuk rasa takut dan resahnya. Entah mengapa dalam hatinya, ia merasakan seperti sudah sangat dekat begitu lama dengan lelaki yang baru di temuinya kemarin pagi itu.
♡♡♡♡
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dewi Ansyari
Wah benih2 cinta nih😊😊😊
2021-10-20
0
NA_SaRi
aaah aku jd mesem-mesem sendiri😍
2020-12-20
0
Zia Azizah
yuhuuuuuu
2020-12-17
0