"Gaviinn...!!" teriak Briana membahana. "Siapa yang mengizinkanmu membawa masuk wanita busuk itu?!"
Gavin terus melangkah, menaiki tangga, sambil terus menarik lengan Nilam tanpa menggubris teriakan sang mama.
"Tuan.... Tolong lepaskan aku. Jangan seperti ini...." Nilam terus berusaha melepaskan cekalan tangan Gavin yang begitu kuat.
"Diaaam! Dan berhenti memanggilku Tuan!" bentak Gavin.
Tubuh Nilam di dorong masuk ke dalam sebuah kamar yang syarat dengan nuansa manly, berbalut cat biru pekat. Berbagai miniatur motor dan robot ala Transformer tertata apik di dalam sebuah lemari kaca yang terpasang miring di pojok ruangan.
Ya, Gavin membawa Nilam masuk ke dalam kamar pribadi miliknya.
Nilam mulai menangis, tubuhnya meringsut ketakutan. Bentakan keras Gavin membuat jiwa rapuhnya semakin mencuat ke permukaan. Setelah pandangan rendah pelayan resto, ucapan kasar Briana, kini di tambah bentakan keras Gavin, membuatnya semakin ingin tenggelam dan... mati.
Sepertinya orang - orang di kota ini lebih jahat dari Juragan Dahlan dan Bibi Murni....
Suara hati Nilam.
Gavin berjongkok menyamakan posisinya dengan Nilam yang terduduk memeluk lututnya di ujung ranjang.
"Hey... ku mohon jangan menangis. Maafkan aku. Aku tidak bermaksud berkata kasar padamu," ucap lembut Gavin.
"Aku ingin pulang. Aku ingin bersama kakek. Aku tidak mau di sini," ujar Nilam sendu. Tetesan demi tetesan air matanya mulai menganak sungai.
"Tenanglah...." Gavin menarik Nilam ke dalam pelukannya. "Maaf... maafkan aku. Dan maafkan ucapan mamaku," ucap Gavin lembut seraya mengelus - elus punggung Nilam yang bergetar karena tangisnya mulai berubah sesenggukan.
Setelah puas menyuarakan kepiluannya, tubuh Nilam mulai melemas. Ia tertidur di pelukan Gavin karena lelah.
Gavin berdiri mengangkat Nilam dalam pangkuannya, kemudian membaringkan tubuh ringkih itu perlahan di atas ranjang miliknya. Setelah menyelimutinya, ia melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Waktu kini menunjukkan pukul 01.00 dini hari.
Gavin masih terjaga. Matanya terus menatap wajah Nilam yang tertidur lelap di sampingnya.
"Seandainya kamu adalah Nilam, maka aku akan menjadi laki - laki yang paling bahagia di muka bumi ini," gumam Gavin, karena yang ia tahu, gadis di sampingnya itu bukanlah Nilam melainkan Nuri.
"Dimana kamu, Nilam? Aku benar - benar merindukanmu. Kamu pasti sangat cantik sekarang...." Gavin meracau.
Matanya mulai berat. Pemandangan wajah cantik Nilam yang tenang, seakan menjadi melodi penghantar tidur baginya. Hingga tanpa terasa, ia ikut terlelap di samping tubuh gadis desa berkerudung hitam itu.
---
Cahaya matahari pagi mulai berpendar masuk melalui celah - celah kecil fentilasi jendela yang berjejer di ruangan pribadi milik Gavin tersebut.
Pantulan cahaya sang surya itu menyilaukan pandangan Nilam yang baru saja membuka matanya yang masih terlihat sembab, sisa ia menangis semalam.
Nilam hendak bangkit dari baringnya, namun ia merasakan tubuhnya terasa berat, seperti ada sesuatu yang menindihnya. Ia menoleh perlahan ke sisi kanannya. Dan.... "Ya, Tuhan!" pekiknya.
Gavin terkejut mendengar teriakan kecil Nilam. Buru - buru ia menurunkan lengannya yang melingkar di atas perut rata Nilam.
Dengan terbata, Gavin hanya mampu mengucapkan satu kata, "Ma- maaf."
Nilam langsung bangkit dan terduduk. Begitupun Gavin.
"Kenapa Anda bisa di sini?" tanya Nilam dengan wajah bingung.
Gavin tersenyum kikuk, ia menggaruk - garuk pelipisnya yang tidak gatal.
"Semalam kamu menangis lama sekali, hingga kamu tertidur di pelukanku, di situ." Gavin menunjuk lantai tempat ia memeluk Nilam yang terus menangis semalam.
Nilam terperangah. Pikiran sehatnya mulai bekerja kembali.
Ya,Tuhaaan, aku ingat, semalam aku memang menangis di pelukannya. Lalu kenapa aku harus tertidur juga? Nilam merutuki dirinya sendiri dalam hati.
"Sudah ingat?" tanya Gavin.
Nilam menunduk malu, kemudian mengangguk sesaat kemudian.
Gavin terkekeh lucu. "Tidak apa - apa. Tenang saja. Aku tidak akan memarahimu," candanya.
"Tapi, Tuan, apa kamu juga yang sudah memindahkan aku ke ranjang ini?" tanya Nilam polos. Ia melirik Gavin sekilas, kemudian menunduk kembali.
Gavin kembali terkekeh. "Lalu menurutmu, apa tubuhmu yang kurus dan lembek itu bisa melayang sendiri ke tempat ini, hmm?"
Nilam terdiam sesaat, jari - jari tangannya saling bertaut. "Maafkan aku merepotkanmu," ucapnya. Ia lalu mendongak, memberanikan diri menatap wajah Gavin. "Tapi kenapa kamu juga ikut berbaring bersamaku? Bukankah itu sungguh tidak sopan."
Gavin sedikit tersentak. "Hey, tapi aku tidak melakukan apapun padamu. A- aku... aku hanya...."
"Apa?"
"Aku terlalu mengantuk. Jadi tidak berfikir untuk tidur di tempat lain. La- lagipula... ini, kan tempat tidurku. Sudah bagus kamu mau ku tampung di sini. Di kamarku lagi," kelakar Gavin.
Nilam sedikit terperangah, ia menundukkan kepalanya malu. "Maaf. Dan... terima kasih."
Gavin terkekeh. "Hmm, baiklah. Aku mandi dulu. Hari ini aku akan ke kantor." Gavin bangkit dari tempat tidurnya, kemudian berjalan ke arah kamar mandinya.
"Lalu aku... bagaimana?" tanya Nilam bingung.
Gavin menghentikan langkahnya. Kemudian berbalik badan menghampiri Nilam kembali.
Ia membungkuk memegang kedua pundak gadis cantik itu. "Kamu di sini saja, ya."
"Tapi ibumu?"
"Jangan keluar dari kamarku. Aku akan meminta pelayan mengantarkan makanan untukmu. Okay...."
Nilam hanya mengangguk, tanpa bisa menyembunyikan keresahannya.
Beberapa saat kemudian....
Gavin keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya lilitan handuk di pinggangnya. Menampakkan dada bidang dan sekatan - sekatan roti sobek di perut ratanya. Rambut basah acak - acakan semakin menambah aura maskulinnya.
Nilam yang tengah asyik membereskan ranjang milik Gavin, refleks menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya kala melihat pemandangan nan indah yang muncul dengan tiba - tiba di hadapannya.
"Kenapa?" tanya Gavin heran.
"Kenapa bertelanjang dada di depanku?"
"Loh, aku kan baru saja selesai mandi. Ya, pasti seperti ini. Mana mungkin aku mandi menggunakan jas kerjaku, kan?"
Nilam berbalik badan membelakangi Gavin. "Lekaslah pakai bajumu. Aku tidak akan melihatnya."
Kekehan kecil Gavin kembali terdengar.
"Baiklah. Tunggu sebentar dan tetap seperti itu. Aku tidak akan lama."
"Baiklah, cepat."
Beberapa menit kemudian....
"Sudah. Balikan badanmu."
Nilam memutar tubuhnya perlahan. Ia terkesiap, rona kekaguman menghiasi wajah cantiknya. Begitu di lihatnya wajah tampan Gavin. Tubuh tinggi dan tegapnya, dengan setelan kemeja putih berbalut jas hitam dan celana panjang berwarna senada, di padu padankan dengan dasi berwarna mocca bercorak garis - garis biru. Serta rambut yang di sisir rapi ke belakang, berdiri tepat di hadapannya.
Sungguh mahakarya Tuhan yang sangat indah....
"Kenapa? Apa aku terlihat sangat tampan?" goda Gavin.
Mendapat pertanyaan itu, Nilam mengerjap. "O- oh, ti- tidak..." jawabnya kikuk.
"Tidak salah lagi maksudmu?" Gavin terkekeh senang.
"Tid--"
Tok... tok... tok....
Suara ketukan pintu memotong jawaban kaku Nilam. "Tuan Muda, ini makanan yang Anda minta!" teriak seorang pelayan dari luar pintu kamar Gavin.
"Iya, sebentar." Gavin melangkah ke arah pintu.
Ceklek... pintu terbuka. Menampakkan sesosok wanita paruh baya bertubuh gempal. Menenteng nampan besar berisi makanan, minuman, serta buah - buahan segar yang tertata apik di atasnya.
"Taruh saja di situ." Gavin menunjuk sebuah meja berukuran kecil persegi panjang yang terletak tak jauh dari pintu kamarnya itu.
"Baik, Tuan Muda." Sebelum berlalu pelayan itu menyempatkan diri melihat ke arah Nilam. Kemudian tersenyum. "Selamat makan, Nona."
"Terima kasih," sahut Nilam membalas senyuman pelayan tersebut.
Selepas kepergian sang pelayan.
"Makanlah, Nuri. Kamu boleh menggunakan apapun yang ada di kamar ini. Jika ingin mandi, itu kamar mandinya," Gavin menunjuk sebuah pintu. "Untuk baju - bajumu...."
"Aku masih punya beberapa helai, Tuan," sergah Nilam cepat.
"Baiklah. Aku harus pergi." Gavin melirik jam tangannya sekilas.
"Kamu tidak sarapan, Tuan?"
"Aku akan sarapan di kantor."
Ia meraih tas kerjanya yang terletak di atas sofa. "Oya, satu lagi...." Gavin mendekat ke arah Nilam yang berdiri di samping ranjangnya.
"Berhentilah memanggilku Tuan."
"Lalu aku harus memanggilmu apa?"
"Gav. Itu saja. Mangerti?"
"Ta- tapi...."
"Aku tidak mau tahu! Ayo, cobalah. Aku ingin dengar." Gavin sedikit memaksa.
"Ba- baiklah.... Gav," ucap Nilam kaku.
"Good. Anak pintar." Gavin tersenyum, ia mengusap pucuk kepala Nilam yang masih di tutupi kerudung hitamnya itu sekilas.
"Emm, Nuri...."
Nilam mendongak menatap wajah yang lebih tinggi darinya itu. "Kenapa?"
"Emm... kain penutup kepalamu ini... bisakah di lepas saja?" tanya Gavin ragu.
Nilam memundurkan tubuhnya. Sedikit menjauh dari Gavin. Kemudian menggeleng pelan. "Aku tidak bisa."
"Kenapa?"
"Karena... Nenek Samiah bilang, aku tidak boleh melepasnya. Kain ini akan membantuku terhindar dari...."
"Dari apa?" Gavin menatapnya ingin tahu.
"Dari seseorang yang terus mengejarku."
"Maksudmu, siapa?"
"Sudahlah. Ini sudah siang. Sebaiknya kamu pergi, sebelum terlambat," ucap Nilam meghentikan rasa penasaran Gavin terhadapnya.
"Oh, baiklah. Tapi ingat, kamu masih berhutang penjelasan padaku," ujar Gavin seraya melangkah pergi dari ruangan itu, meninggalkan Nilam yang masih terlihat kebingungan.
Gavin memutuskan untuk mengunci pintu kamarnya dari luar.
"Kalau tidak begini, Mama pasti akan berbuat yang tidak - tidak pada Nuri," gumamnya seraya memasukan kunci pintu kamarnya itu ke dalam saku bagian dalam jasnya.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
Dewi Ansyari
Kalo Nilam melepaskan penutup kepalanya di depan Gavin apa yg akan terjadi?
2021-10-20
0
sun flower
dikunci dari luar 😂😂😂 pinter
2021-07-14
0
NA_SaRi
oh..gavin🥰
2020-12-20
0