Malam yang dingin ketika itu.
Hujan turun dengan derasnya mengguyur jalanan yang di lalui mobil Gavin dalam perjalanan pulang ke kotanya.
Di samping kursi kemudinya, seorang gadis dengan kerudung hitam yang di pasangnya membentuk simpul tali di bawah dagunya, memeluk lengannya sendiri. Kepalanya menghadap kaca di sampingnya, menatap jalanan yang tertimpa guyuran air kehidupan itu.
Benar, Gavin membawa Nilam pergi menuju ke Kota A. Sebuah kota besar dengan segala hiruk pikuknya.
Ibu pemilik kedai dengan senang hati menerima syarat yang di ajukan Gavin untuk membawa Nilam bersamanya. Toh, gadis itu bukanlah siapa - siapanya, pikir wanita paruh baya itu.
Namun tidak dengan Nilam, perasaannya berubah resah. Apa yang akan terjadi lagi padanya setelah berada di kota itu? Pikirnya.
Ia mengikuti keinginan Gavin, karena lelaki itu menggunakan hutang sebagai alasannya.
Ketika larut dalam sejuta persepsi dalam pikirannya. Sebuah suara membuyarkan kediamannya.
"Hey, apa kamu kedinginan, Nuri?" tanya Gavin.
Nilam menoleh ke arah Gavin di sampingnya.
"Sedikit."
"Kita berhenti sebentar," kata Gavin. Ia menghentikan mobilnya sesaat di pinggir jalan yang sepi.
"Mau apa?" tanya Nilam bingung.
"Ada sweaterku di belakang. Sebentar aku ambilkan untukmu." Gavin melepas safety beltnya kemudian memutar tubuhnya meraih sebuah sweater rajut yang tergeletak di kursi bagian belakang mobilnya. "Ini, pakailah."
Nilam mengambil sweater itu dari tangan Gavin. "Terima kasih," ucapnya kemudian mulai membalutkan baju hangat itu di tubuhnya.
"Sudah hangat?" tanya Gavin.
Nilam hanya mengangguk tersenyum.
"Oke, kita jalan lagi." Gavin memasang kembali sabuk pengamannya. Lalu mulai melajukan mobilnya perlahan.
Berikutnya perjalanan panjang mereka di lalui dengan senyap, tanpa kata, tanpa percakapan. Karena Nilam mulai tenggelam di alam bawah sadarnya. Ia tertidur.
Gavin tersenyum melihat wajah tenang Nilam. Hingga tanpa sadar ia menyentuh pipi gadis tersebut. Menaik turunkan jari telunjuknya membelai halus pipi lembut itu.
Merasakan ada sesuatu yang terasa hangat membelai wajahya, Nilam mengerjap seketika, dan mendapati telapak tangan Gavin yang melayang di depan wajahnya.
"Tuan sedang apa?" tanya Nilam terkejut.
Dengan cepat Gavin menurunkan lengannya. "Ti- tidak. Ak- aku.... Kita makan dulu sebentar. Kamu pasti lapar. Hanya itu saja. Iya, itu saja." Gavin dengan salah tingkahnya turun dari dalam mobilnya yang sudah terparkir di halaman sebuah restoran mewah.
Ya, mereka kini sudah memasuki kawasan besar kota A.
Nilam menatap Gavin heran. Ia kemudian mengikuti Gavin keluar dari dalam mobil milik Gavin tersebut.
"Ayo masuk," ajak Gavin mulai terlihat santai kembali.
Nilam hanya mengangguk mengikuti Gavin yang mulai melangkah memasuki area restoran mewah tersebut.
"Selamat datang, Tuan." Sambutan seorang pelayan wanita dengan seragam ketatnya yang menonjolkan setiap bagian lekuk tubuhnya, menarik sebuah kursi mempersilahkan Gavin untuk mendudukinya.
"Terima kasih," balas Gavin seraya mendudukkan bokongnya di kursi tersebut.
"Anda mau pesan apa, Tuan?" tanya pelayan itu tanpa memperdulikan Nilam yang masih berdiri di tempatnya.
"Nuri, kenapa masih berdiri? Ayo duduk," pinta Gavin pada Nilam.
Pelayan itu tersentak. "Dia datang bersama Anda, Tuan?" tanya pelayan itu heran.
"Iya, kenapa?" tanya Gavin balik.
"Saya kira dia ini pengantar ayam potong restoran ini," ucap pelayan itu enteng sembari menaik turunkan pandangannya, menatap penampilan Nilam yang hanya mengenakan rok payung selutut, di padu sweater rajut milik Gavin. Dan yang lebih membuatnya merasa aneh, ialah kerudung hitam yang di kenakan Nilam.
Nilam terhenyak mendengar perkataan pelayan itu. Ia mengikuti pandangan sang pelayan yang mengarah pada penampilannya.
"Bisa Anda menjaga ucapan Anda, Nona." Gavin menatap pelayan itu tajam.
"Ma- maaf, Tuan," ucap pelayan itu ketakutan melihat tatapan elang Gavin. "Silahkan duduk, Nona."
"Tuan Gavin, sepertinya aku tidak pantas berada di tempat ini. Sebaiknya aku tunggu di luar saja," ujar Nilam, ia berbalik badan berniat melangkah ke arah pintu keluar.
Gavin bangkit dari tempatnya. Ia meraih telapak tangan Nilam yang terasa dingin.
"Tidak ada yang tidak pantas di sini, Nuri. Tempat ini terbuka untuk siapapun. Iya, kan, Nona?" Gavin melirik pelayan itu.
"I- iya, Nona. Tuan, benar. Maafkan saya...."
Semua orang di dalam restoran itu menatap ke arah Gavin dan Nilam.
"Kamu dengar itu? Ayo duduk," pinta Gavin kembali.
"Tapi aku akan mempermalukanmu, Tuan," ucap Nilam muram.
"Tidak ada yang mempermalukanku. Duduklah," ujar Gavin menenangkan. "Saya pesan makanan dan minuman yang paling enak di restoran ini." Ucapan Gavin mengarah pada pelayan resto.
"Ba- baik, Tuan. Kami akan segera siapkan." Pelayan itu berlalu cepat ke arah dapur restoran.
Nilam sudah terduduk di samping Gavin. Namun masih dengan perasaan yang kacau.
"Tenanglah, ada aku di sini," ucap Gavin lembut.
Nilam menatap Gavin sesaat. "Terima kasih." Kemudian membuang pandangannya ke arah berlawanan.
Beberapa saat kemudian, makanan dan minuman yang di pesan Gavin pun datang. Gavin menyantap makanannya dengan santai. Sedangkan Nilam berada dalam mode kakunya.
"Kenapa? Apa makanannya tidak enak?" tanya Gavin sambil memasukkan makanan itu ke mulutnya.
"Tidak, Tuan. Ini sangat enak."
"Lalu, kenapa wajahmu muram begitu?"
"Aku hanya ingat kakekku. Apakah dia bisa makan dengan baik di sana?" Pikiran Nilam melayang pada sosok renta kakek Usman. Kakek yang sangat di rindukannya.
"Kakekmu?" Gavin bertanya bingung.
"Iya. Aku sudah cukup lama meninggalkannya." Nilam menunduk sendu. "Aku rindu kakek.... Meskipun aku tahu, bahwa dia bukanlah...." Air matanya mulai keluar dalam balutan kerinduan yang mendalam, menghentikan ucapannya yang tercekat di tenggorokan.
Hati Gavin mencelos melihat air mata gadis yang baru di temuinya beberapa jam itu.
Perasaan apa ini? Kenapa hatiku terasa sakit melihatnya menangis? Sedangkan gadis ini, baru ku kenal pagi tadi. Batin Gavin
"Sudahlah.... Tidak baik menangis di depan makanan. Berdo'alah, agar Tuhan selalu melindungi kakekmu. Sekarang, habiskan dulu makanannya," ucap Gavin tanpa banyak bertanya, meskipun pertanyaan itu telah tertumpuk tinggi di dalam pikirannya.
Nilam mengusap pipinya yang basah. "Iya, maafkan aku."
"Tidak apa - apa. Aku mengerti. Makanlah."
Nilam mengangguk patuh. Dan mulai dengan ritual pengisian lambungnya, yang sebenarnya sudah berteriak - teriak meminta haknya.
Gavin tersenyum melihat Nilam yang makan dengan cukup lahap. Gadis ini menarik sekali.
--
Setelah selesai dengan urusan perut mereka, Gavin mengajak Nilam untuk kembali melanjutkan perjalanannya.
Di dalam mobil, Nilam kembali terdiam. Ia mulai bergelut dengan pemikiran dan perasaannya.
Akan kemana pria ini membawaku? tanya hati Nilam.
Satu jam kemudian, mobil yang di kendarai Gavin masuk ke dalam pelataran sebuah rumah megah bergaya Eropa. Dan berhenti di sana.
"Ayo turun," ajak Gavin. Nilam mengangguk tanpa membantah. Mereka berjalan beriringan menuju teras besar rumah itu.
Nilam mengedar pandangan ke sekeliling.
"Ini rumah siapa, Tuan?" tanya Nilam terkagum - kagum.
"Ini rumahku," jawab Gavin enteng.
"Benarkah?"
Gavin mengangguk tersenyum. " Ayo masuk." Ia mulai membuka pintu setinggi hampir tiga meter itu. Dan menuntun Nilam masuk ke dalam rumah besarnya.
"Gav. Darimana saja kamu, Sayang?" tanya seorang wanita paruh baya berwajah cantik, dengan balutan kimono selututnya, tiba - tiba datang menghampiri Gavin.
"Mama...." Gavin mencium pipi kanan dan kiri wanita itu. Wanita yang tak lain adalah Briana, ibunya Gavin.
"Kamu kemana saja seharian ini, Gav? Mama khawatir." Briana menangkup kedua pipi pemuda kesayangannya itu.
"Aku ada keperluan di luar, Ma."
"Kenapa tidak mengabari Ma--" Seketika mata Briana menangkap sosok gadis yang berdiri menunduk di belakang Gavin. "Gav, siapa dia?" tunjuk Briana pada Nilam.
"Oh, dia ini Nuri. Temanku." Gavin menjawab ringan.
Briana mengernyit heran. "Teman...?"
"Hmm..."
"Sejak kapan kamu bergaul dengan gadis busuk seperti ini, Gav?" Briana memasang wajah jijik.
Tubuh Nilam sudah bergetar. Gelisah mulai merasuki jiwanya. Perkataan Briana menohok hati terdalamnya. Sakit.
"Mama.... Gavin mohon, jaga bicara Mama. Mama sudah membuatnya takut."
"Itu kenyataan, Gav. Mama tidak menakut - nakutinya. Dia memang gadis yang bus--"
"Stop, Ma!" Gavin sedikit membentak. "Ayo Nuri." Gavin menarik lengan Nilam dan membawanya pergi dari hadapan sang ibu.
"Gaviiiiiinnn...!!"
Bersambung...
~○○○~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 137 Episodes
Comments
H!@t>🌟😉 Rekà J♡R@
Sepertinya ada yg menaungi Nilam.. orang yg jahat atau gak tulus akan jijik melihat dia..
2021-08-18
1
NA_SaRi
aku kira mamanya gavin bakal baik, eh ternyata sm2 nenek sihir kayak Murni🥴
2020-12-20
0
Zia Azizah
Alway in here kakk🥰
2020-12-17
0