[Prosesi injak telor pada adat Sunda dilangsungkan dengan cara pengantin laki-laki yang menginjak sebuah telur ayam, dan setelah itu pengantin wanita membasuh kaki sang pengantin pria. Prosesi ini melambangkan jika nantinya, hanya sang pengantin pria lah yang berhak untuk memecah keperawanan dari sang pengantin wanita]
Setelah terdiam cukup lama sambil terus tersenyum-senyum sendiri, Elang pun akhirnya mengeluarkan suaranya.
"Apa kau berniat memberikan tubuhmu untukku?"
Ava menggeleng, ia menolak untuk memberi jawab pertanyaan Elang. "Bukan ... bukan begitu! Aku ... aku ...."
"Baiklah, apapun alasannya aku tidak peduli. Jangan berharap lebih pada pernikahan kita. Ayo kita pulang!" Elang membetulkan dasinya sendiri.
Ava membeku, bagaikan pisau yang tumpul, lidahnya tak mampu bicara. 'Ada apa denganku? Kenapa aku merasa sakit? Ayolah hati, berdamailah, berdamailah!' Ava membatin sambil menghirup banyak udara dan mengembuskan napasnya. Tangannya menepuk-nepuk dada dengan rongga yang sedang kembang kempis.
"Pak, semua keluarga bapak bermarga Lee. Kenapa Bapak sendiri yang namanya Elang?" tanya Ava mengalihkan pembicaraan.
"Aku pun bermarga Lee." Elang berkata tanpa melihat ke Ava.
"Lee Elang?" tanya Ava lagi sambil terkekeh.
"Mana ada nama seperti itu?"
"Lalu?"
"Young Jae. Jika ada keluargaku yang menyebut Lee Young Jae, itu artinya yang dimaksud adalah aku."
Ava menatap tak percaya, kenapa orang di hadapannya ini punya dua nama?
Tanpa memedulikan pertanyaan yang terlihat dari ekspresi Ava, Elang pun berdiri dan melangkah meninggalkan meja.
"Kau tidak mau pulang?" Elang menghentikan langkah saat menyadari Ava tidak mengikutinya.
"I-iya! Tunggu!" Ava terkejut dan langsung berdiri mengikuti Elang.
"Anuuu, Pak," bisik Ava sambil berusaha mensejajarkan langkah dengan Elang. "Apa Bapak sudah membayarnya? Bapak tidak lupa?" Ava berpikir jika ia sedang mengingatkan Elang, karena posisi mereka sudah berada di luar restoran.
Elang menghentikan langkahnya, dan menatap ke arah Ava dengan menundukkan pandangan karena Ava lebih dari dua puluh senti meter jauh lebih pendek darinya.
"Aku tidak perlu membayarnya! Jangan banyak tanya!" Elang terus melangkah tanpa mempedulikan Ava.
"Kenapa Bapak seperti itu?" Ava mengernyitkan alisnya.
Bersamaan dengan itu seorang pelayan laki-laki sedikit berlari mengejar mereka berdua. "Nona ... Nona ... tunggu!"
Ava sempat menoleh ke belakang, namun ia tidak yakin jika yang dipanggil oleh pelayan itu adalah dirinya. Ia juga bingung karena jika ia ingin memastikan, maka Elang akan meninggalkannya, karena pria itu sudah melangkah jauh dengan kaki panjangnya.
"Pak Elang! Jangan tinggalin aku!" Ava mencoba menyusul Elang, dia pun sepertinya tak ingin berinteraksi dengan pelayan yang terus berlari dan melambaikan tangan ke arahnya.
'Duh, jangan-jangan gara-gara bill nya belum di bayar. Mati aku! Pak Elang pake ninggalin malah!' Ava ketakutan dan menggerutu sendiri sambil mencoba menyusul Elang.
"Nona! Ini hand bag Nona tertinggal! Huuuh ... huuuh!" Sang pelayan seakan begitu lega dapat meraih Ava, nafasnya masih terengah-engah saat ia bisa meraih Ava.
"O-ooh! I-iya!" Ava menerima hand bag nya dengan sedikit kikuk, ia merasa malu karena sudah menghindar bahkan berlari tanpa menghiraukan panggilan dari pelayan ini. "Terima kasih! Maaf sudah membuatmu berlari-lari seperti ini," ucap Ava.
"Tidak apa, ini kewajiban saya Nona! Saya undur diri!" Pelayan itu membungkuk lalu mencoba meninggalkan Ava.
Kini Ava benar-benar merasa malu, pelayan itu malah bersifat sangat sopan padanya.
"Berarti bill nya sudah dibayar?" gumam Ava sendiri. "Kapan, ya? Apa dia menyelipkan uang atau kartu pada buku menu? Setauku tidak! Entahlah." Ava mengendikkan bahunya.
Ava mencoba terus berjalan ke arah mobil Elang. "Semoga Pak Elang tidak meninggalkanku," harap Ava.
"Dari mana saja?" Laki-laki bertubuh tinggi itu sedang menyesap rokok sambil bersandar pada Bugatti miliknya.
"Eeem ... hand bag ku tertinggal. Ada pelayan yang memanggilku untuk mengembalikannya, jadi aku ... berhenti sejenak," jelas Ava pada Elang yang sedang menatap dingin menggunakan ekor mata padanya. "Terima kasih Pak Elang sudah menungguku," lanjut Ava kemudian.
"Aku tidak mungkin meninggalkan calon istriku." Elang membuang rokoknya dan tangannya mengusap kepala Ava.
Tercium bau tembakau yang maskulin dan menguar dari lengan kekar milik pria di hadapan Ava. Ava hanya bisa menunduk sambil melihat bayangan jam tangan Rolex menempel pada pergelangan tangan yang sedang mengusapnya.
'Dia mulai lagi!' Debaran dalam jantung Ava mulai terpacu kembali lebih cepat. 'Bisakah dia berhenti membuat berdebar?' gumam Ava yang tak bisa mengendalikan jantung untuk memompakan darah seakan hanya tertuju ke pipinya dan menimbulkan rona yang begitu merah di sana.
Tak dapat dipungkiri Ava yang polos ini, begitu mudah tersentuh hatinya hanya karena perlakuan kecil seperti ini. Walau dia menyadari, jika dia tak boleh larut dalam perasaan untuk hubungan yang tak mungkin bertahan lama ini.
"Ayo pulang, Pak!" Ava menjauhkan kepalanya dengan segera dan menuju ke pintu kiri mobil milik Elang.
***
Ava yang tersenyum-senyum membuat Elang sering meliriknya dengan perasaan khawatir.
"Hihi, Pak. Kau tau, aku tadi dikejar-kejar pelayan yang mau mengembalikan hand bag. Namun si pelayan itu malah kutinggal dan aku berlari cukup kencang untuk menjauh." Entah setan apa yang merasuki Ava, kini dirinya berusaha menceritakan kisah konyol yang baru saja ia alami di pelataran sebuah restoran mewah.
"Kau tau kenapa? Karena aku mengira pelayan itu mengejarku karena menagih billnya. Makanya aku takut dan berlari." Ava masih cengengesan sementara Elang masih tak bergeming.
"Ternyata malah aku yang salah. Aku sudah meminta maaf, tapi aku tetap merasa tak enak!" ujar Ava lagi.
"Jika dipikir-pikir lagi, tadi itu sangat lucu!" Ava pun tertawa lagi sambil menutup mulutnya.
"Oh, ya! Ngomong-ngomong, kenapa Bapak tidak membayar billnya, padahal aku jelas lihat Bapak tidak membayar ke kasir atau memberikan kartu debit pada pelayan yang menawarkan menu," heran Ava.
"Benar, kan? Pak jawab!"
"Apa aku perlu membayar pada restoran milikku sendiri?"
Ava tersentak, dirinya terkejut dan langsung membentuk huruf O menggunakan mulutnya. "Bagaimana bisa, restoran semewah itu?"
"Apa kau tidak ingin pulang?" tanya Elang sambil menatap lekat pada Ava.
"Maksudnya?"
"Apa kau tidak mau pulang ke rumahmu?" Elang mengulang pertanyaannya untuk Ava.
"Eh, ti-tidak mungkin, kita belum resmi menikah, jadi tolong antarkan saya pulang, saya tidak bisa ikut dengan Bapak." Ava begitu salah tingkah mendengar penawaran Elang. Dirinya memang tak pernah ingin pulang ke rumahnya, tapi mengapa Elang tiba-tiba bertanya demikian, mana mungkin pria dingin ini akan mengajaknya bermalam bersama.
"Kau ini! Memangnya di matamu aku ini seperti apa? Jangan pikirkan yang macam-macam!" seru Elang sambil memuntirkan leher Ava ke arah dan melihat ke luar mobil. "Maksudku, apa kau tidak mau pulang? Karena kita sudah berada di rumahmu sejak tadi, namun kau malah asyik bercerita!" lanjut Elang.
Ava tergagap, ia kembali dibuat malu oleh seorang Elang. "Baiklah aku turun!" Ava pun melepas seat belt yang terikat di tubuhnya dan langsung turun dari Bugatti mewah tersebut.
"Lain kali jangan suka berpikir yang aneh-aneh!" ujar Elang yang juga turun dari mobilnya.
"Apa sebegitu mudahnya menangkap ekspresiku?" Ava bertanya pada Elang.
"Jangan pernah kau tunjukkan hal yang seperti tadi pada orang lain, atau kau akan dimanfaatkan." Kali ini Elang membiarkan Ava berjalan mendahuluinya. Kaki panjangnya melangkah santai dengan kedua telapak tangan yang ia sembunyikan pada saku celana.
Ava yang salah tingkah langsung menuju ke arah gerbang, dan mencoba membukanya dengan brutal. Ia ingin segera berpisah dari makhluk yang pandai mempermainkan hatinya.
Elang yang memperhatikan kekonyolan gadis di hadapannya ini benar-benar tidak tahan ingin tertawa, namun ia mencegah agar tawa itu tidak terlepas.
Elang menyingkirkan Ava sejenak, lalu mengambil pengunci pagar yang bisa ia raih melalui celah. Tangan kekarnya langsung menarik engsel pengunci itu agar gerbang dapat dibuka.
Setelah masuk Ava pun memencet bel. 'Kenapa orang-orang lama sekali!' Ava menggerutu karena ia masih salah tingkah.
"Aah, Ava! Kau sudah datang? Ah kau datang bersama calon menantu?" sambut nyonya Hans yang tiba-tiba ramah.
Sambil menahan penasaran akan perubahan perilaku ibunya, Ava mendapati seseorang mendekat ke belakang ibunya.
"Kak Dewa?" Ava terkejut melihat siapa yang ada di rumahnya. "Bukannya beberapa hari kemarin kakak ada di Jakarta?"
"Ya, aku sudah pulang lebih cepat. Aku barusan sedang main kemari, namun tante Hans menawariku makan. Aku tak bisa menolak!" jawab laki-laki berambut tipis itu. "Kau sehat?" Laki-laki itu mengusap pucuk kepala Ava.
"Ya, aku sangat baik!" ucap Ava lebih bersemangat.
"Tentu saja, dia harus selalu sehat menjelang hari pernikahan." Sepertinya Ava melupakan jika dirinya sedang bersama Elang. Laki-laki berhidung tajam, dengan pakaian serba mewah yang melekat pada tubuhnya.
"Ah, kalian! Mengapa mengobrol di pintu? Kemarilah!" Nyonya Hans mempersilahkan mereka bertiga untuk segera masuk.
"Perkenalkan, ini Dewa. Teman bermain Ava dan Maura sejak kecil. Dia adalah tetangga kami, rumahnya tepat di samping rumah ini. Dan Dewa, perkenalkan ini-" Penjelasan wanita bertahi lalat di ujung mulutnya itu terhenti oleh sebuah suara bariton yang begitu dingin dengan aura mendominasi.
"Saya Elang! Laki-laki yang akan menikah dengan Ava."
***
Bersambung ...
Bagaimana readers? Lanjutkan oke?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Dede Anggun
ngakak
2022-03-12
0
Arninyon
cemburu bilang bos..
2021-08-28
0
Sofwan Sofwan
bau bau cemburu nih pak dosen
2021-06-13
1