"Bagaimana? Apa Elang memperlakukanmu dengan baik?" sambut Nyonya Hans tiba-tiba saat melihat Ava pulang.
Ava menghentikan langkahnya dan menjawab, "Eee ... i-iya."
"Kau tidak mengecewakan kami kan?" tanya Nyonya Hans dengan tatapan penuh curiga. Wanita itu memicingkan matanya sambil menyesap teh dalam cangkir keramik berhiaskan melati, memperlihatkan jemarinya yang ramping dengan kuku berwarna merah menyala. Wanita bertahi lalat di atas bibir kanannya itu menyilangkan kaki jenjangnya, menguatkan aura kearoganan dalam dirinya.
Ava hanya berjalan menunduk, mana mungkin saat ini ia menceritakan mengenai kontrak pernikahan pada wanita yang sedang mengintimidasinya saat ini.
Nyonya Hans tersenyum miring, sebelah bibirnya tersungging, menaikkan tahi lalat itu dari posisinya. Dia terlihat bahagia melihat Ava memasang wajah tertekan.
'Aku sudah tahu bagaimana perangai dinginnya putra pewaris dari Eagle Group ini, kujamin pasti, Ava tidak akan pernah merasa bahagia,' batin Nyonya Hans.
"Saya permisi!" ujar Ava sambil berlalu tanpa melihat ke arah orang tua angkatnya lagi.
Tuan Hans pura-pura tak melihat Ava. Dia terus membaca dan membolak-balikkan koran yang ada di hadapannya. Sedikit rasa bersalah terbersit dalam hatinya, namun ia berharap Ava bisa kuat menjalani perjodohan ini. Itulah penyebab diamnya ia sedari tadi.
***
Ava menyimpan tas di atas meja belajarnya. Kemudian ia membuka baju dan menuju ke kamar mandi miliknya. Sambil berjalan menuju bathtub ia sempat mengaca.
Dia memegangi lehernya sendiri, terbayang dalam benaknya bagaimana jika suatu saat nanti dia harus melakukan 'itu' dengan Elang, sementara lelaki itu menceraikannya tak lama kemudian. Gadis itu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mengusir pikiran buruk itu.
"Itu pasti tidak akan terjadi!" Ava mencoba meyakinkan diri. Namun bayangan saat Elang mencoba menyentuh bagian intim miliknya terulang lagi.
"Aaaah, dia hampir saja memperkosa!" Ava mengacak-acak rambutnya.
Gadis itu pun langsung pergi ke bathtub dan berendam di sana. Aroma lavender langsung menghujani tubuhnya dengan beribu kenyamanan. Ava menikmati terapi yang diberikan oleh essential oil dari dalam air mandinya, ia hampir saja tertidur jika ia tidak mendengar ponselnya berbunyi nyaring.
Ava meraih ponsel yang ia simpan di pinggir bathtub. Lalu menerima setelah tau jika Lena yang memanggilnya.
"Hai Len?"
"Hai Len, hai Len! Seharian aku menghubungimu, sejak pulang dari kampus kau dibawa kemana saja oleh dosen perjaka tua itu? Mengapa sampai kini kau baru angkat telponku!" teriak Lena dari seberang.
Ava menjauhkan telinganya dari ponsel yang mengeluarkan suara nyaring memekakkan telinga tersebut.
"Ok Lena! Maafkan aku, besok aku traktir kamu steak, oke?" jawab Ava sambil terkekeh.
"Tidak!" Suara di seberang masih terdengar merajuk. "Apa sahabatmu ini hanya seharga potongan steak di matamu?" rajuk Lena kemudian.
Ava meniup gelembung yang menempel di pergelangannya, ia tertawa mendengar sahabatnya amuk-amukkan seperti ini, itu artinya Lena tidak benar-benar marah. Jika gadis berambut sebahu itu marah, maka sudah dipastikan dia akan tak akan mengajak Ava bicara. "Aku akan menceritakannya sambil kita makan steak, besok. Bagaimana?" rayu Ava.
"Kau tidak akan menghindar lagi kan?" tanya Lena meragukan rayuan sahabatnya.
"Hahahah" Ava tertawa. "Iya aku akan ceritakan semuanya padamu, aku janji!" Kali ini suara Ava terdengar sendu, tawa yang ia lancarkan beberapa detik yang lalu tiba-tiba menghilang.
"Ini ... bukan sesuatu yang buruk, kan? Ava?" Lena menyadari perubahan suara Ava.
"Besok kau akan menilainya sendiri. Apakah ini buruk atau tidak! Aku tutup dulu ya, aku sedang mandi."
"Jam segini kau baru mandi? Darimana saja kau? Kemana dosen tua itu ...."
'Tuuut'
Ava mematikan sambungannya, ia menyadari jika di seberang sana sahabatnya pasti sedang menggerutu. Gadis itu pun keluar dari bathtub dan menuju ke bawah shower.
Guyuran air membasahi tubuhnya. Buliran-buliran bening itu merayap di setiap inci tubuh Ava. Kesegaran yang ia rasakan setelah berendam, mampu menghilangkan sebagian penat dan lelahnya.
Ava menuju ke lemarinya sambil menggunakan bathrobe. Dia mengambil pakaian tidurnya dan langsung mengenakannya.
Malam ini ia akan langsung tidur, persetan dengan tugas kuliah. Ia sudah terlalu lelah.
***
"Apa? Dosen killer itu berlaku demikian padamu?" Gebrakan meja dan teriakan Lena membuat para pengunjung kedai menoleh pada mereka berdua.
"Sssst!" Ava memegang tangan Lena dan memintanya agar sahabatnya itu duduk kembali. Lalu Ava menepuk-nepuk pundak Lena agar sahabatnya itu tenang kembali. "Jangan mengundang perhatian! Kita terlalu berisik," bisik Ava.
Lena memegangi mulutnya sambil melirik kanan kiri. "Uups, maaf! Aku hanya ... sangat marah!"
Ava menarik napas dan menghembuskannya. Sudah tidak aneh jika sahabatnya akan merespon demikian.
"Aku sudah menyangka, orang tuamu suatu saat akan melakukan ini padamu karena dia sangat sangat membencimu," lanjut Lena. "Tenanglah Ava, tunjukkan bahwa kau tidak akan terpuruk setelah pergi dari keluarga mereka. Kebebasan yang diberi oleh pak Elang, jangan kau sia-sia kan. Kau harus bahagia sahabatku!"
"Terima kasih Lena! Aku ingin tiga tahun segera berlalu. Aku akan pergi baik dari keluarga angkatku juga dari keluarga Elang."
"Kau jangan lupakan aku, jika saat itu kau butuh bantuan, kau bisa katakan padaku."
"Sekali lagi terima kasih, Lena!" Ava hampir menitikkan air mata. Karena selama ini Lena selalu tulus membantunya. Mereka mulai berteman saat mereka SMA, kemudian dilanjut kuliah di universitas yang sama dan jurusan yang sama sehingga kini Lena dan Ava bisa satu kelas bersama.
"Memang orang tuamu itu super tega! Mereka pikir ini jaman Siti Nurbaya apa? Keterlaluan."
"Iya, tapi sudahlah ... kau juga tau pak Elang akan memberikan kebebasannya padaku."
"Iya ... iya aku tau! Tapi tetap saja ini keterlaluan." Lena menyahut sambil memonyongkan bibirnya. "Eh Ava ... kemarilah!" Lena meletakkan sebelah telapak tangan pada samping pipinya dan mendekatkan wajahnya ke arah meja.
Ava langsung mengerti dan mendekatkan telinganya ke araha sahabatnya. "Apa ... apa?"
"Apa ada perjanjian tentang ... eeum ... hubungan suami istri?" bisik Lena.
Ava mendelik mendengar pertanyaan Lena. Dia menggeleng lemah.
"Kau harus membuatnya, tidak boleh ada kontak fisik antara kalian berdua! Jika tidak ada kontrak takutnya dia melanggar!"
"Iya juga ya ... kemarin saja dia sudah berani melakukan itu padaku."
"Uhuk." Lena terbatuk saat sedang minum karena mendengar kata melakukan itu dari Ava. "Melakukan itu? Apa maksudmu?"
"Emmm ... dia sudah menyentuhnya," ucap Ava dengan wajah polos yang sendu.
"Menyentuh ini?" Lena menunjuk ke arah dadanya dengan dua telunjuk yang sengaja dijauhkan di depannya.
Ava menggeleng lagi. "Menyentuh itu ...," jawab Ava sambil menunjuk bagian bawah Lena dengan tatapannya.
"Ini?" Kini jari Lena bergerak menunjuk ke bawah. Lalu ia histeris lagi. "Apa?"
"Sssst! Jangan berisik!" larang Ava sekali pada sahabatnya.
"Bagaimana dia menyentuhnya?" Kini Lena kembali pada mode bisik-bisik di atas meja sambil ditutupi oleh kedua telapak tangannya. Mengabaikan hot plate yang sudah habis steaknya dari tadi.
Ketika mereka sedang asyik berbisik-bisik. Tiba-tiba sebuah jari telunjuk menggeser telapak tangan Lena dan menurunkannya. "Kau menghalangi pemandanganku untuk melihat calon istriku!" Suara itu membuat kedua gadis saling mendelik bersamaan.
"Pak Elang?" sahut mereka bersamaan sambil mendongak ke arah samping kanan melihat orang yang baru saja datang.
"Ada apa Bapak kemari?" tanya Ava kaget.
"Aku menjemputmu! Ayo pergi!"
"Tapi aku sedang bersama temanku! Bolehkah aku mengajaknya bersama?"
"Ajak saja!"
"Kita mau kemana?"
"Kita mau fitting wedding dress, my bride!" ujar Elang sambil mengangkat dagu Ava dan mendekatkan wajah mereka untuk membuat iri orang sekitar.
***
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Arninyon
lena sahabat sengklek tapi lucu dan tulus
2021-08-28
0
Alfia Amira
kalo ada sahabat yg hebring gini mesti lucu
2021-04-05
3
Yati
menarik....
2021-03-27
0