Sepulang dari kampus Ava langsung membersihkan diri. Dalam kamar mandi, Ava begitu memikirkan maksud dari dosen muda nan tampan itu memanggil ke ruangannya. Jelas sama sekali dosen tampan itu tidak memarahinya tentang peristiwa di basemen.
“Dia hanya menanyakan namaku, lalu orang tuaku?” Ava mengendikkan bahunya tak mengerti.
Gadis itu memilih berendam pada lautan busa yang telah ia buat dari sabun beraroma lavender kesukaanya. Seluruh tubuhnya ia tenggelamkan pada bathtub dan menyisakan kepalanya saja. Sesekali ia mengeluarkan tangannya yang penuh dengan busa putih lalu meniup dan memainkannya.
“Dia sengaja menyebutku gadis korek api di depan teman-teman. Katanya dia tidak ingin ada yang tau bahwa aku sedang membawa rokok. Lagipula kalau ada yang tau juga nggak papa, itu kan rokok Kak Dewa.” Ava menjadi sedikit tidak tenang setelah identitasnya diketahui oleh dosen killer itu.
Gadis itu bangkit dari bathtub dan menuju shower untuk membersihkan busa dari seluruh tubuhnya. Guyuran air membasahi kepala hingga ujung kakinya. Tidak ada yang tau, jika Ava yang hidup dengan fasilitas serba mewah ini sering diperlakukan tidak adil di keluarga ini. Semua itu karena Ava yang selalu menunjukkan dia bahagia dan baik-baik saja atas perlakuan keluarga angkatnya.
Budaya di negeri ini cukup tabu bila terdapat anak gadis yang merokok. Dan orang akan memandang negatif terhadap seorang gadis yang suka melakukannya. Mungkin itu tujuan Elang hanya menyebut gadis korek api pada Ava, untuk melindungi Ava dari prasangka buruk kawan-kawannya.
Kini Ava berbaring di atas kasur miliknya sambil memeluk guling. “Apa dia akan mengadukan aku pada ayah dan ibu?” Ava bangun secara tiba-tiba dari tidurnya. Matanya melotot sendiri membayangkan apa yang akan ayah dan ibunya katakan jika dosen tersebut mengadukannya.
Ayah dan ibu Ava saat ini bukanlah orang tua kandung Ava, melainkan mereka adalah paman dan bibi Ava dari pihak mendiang ayahnya. Orang tua kandung Ava meninggal dunia saat Ava berusia lima tahun. Namun Ava sudah benar-benar menganggap mereka adalah orang tua kandungnya sendiri, sehingga Ava memanggil mereka dengan sebutan, ayah dan ibu.
Ava tidak bisa membayangkan, hukuman apa yang akan diterima oleh dirinya jika dia ketahuan jalan berdua dengan Dewa dan membawa sebatang rokok yang sedang menyala. Ava menggigit kecil-kecil pada ujung jarinya, ia begitu gelisah karena panggilan Elang tadi siang.
Kemudian terdengar suara mendekat pada kamarnya.
Tok Tok Tok
Suara pintu kamar Ava diketuk dari luar.
“Nona Ava, Tuan dan Nyonya sedang ingin berbicara pada anda.” Seorang asisten rumah tangga terdengar memanggil Ava dari luar kamar.
“Iya, Bi! Aku akan segera keluar.” Ava bergegas membenahi piyama dan rambutnya yang sempat berantakan, lalu turun dari kasur dan menuju ke ruang keluarganya. Tempat ayah dan ibunya kini berada.
Ava masih memikirkan tentang Elang. "Apa panggilan ibu kali ini terkait dengan?" Gumam Ava dalam hati.
Tidak seperti biasa, jika hari-hari kemarin raut muka milik nyonya rumah ini tidak pernah terlihat ramah di depan Ava. Kali ini dia begitu tersenyum saat melihat kedatangan Ava.
“Ava, kemarilah dan berbicara dengan kami!” ajak wanita berambut pendek dengan dress biru selutut.
Ibu tersenyum sambil merangkulku? Ini pertanda baik? Atau sebaliknya?
***
Keesokan harinya
"Tidak salah jika banyak yang iri padamu, Ava!" Lena, seorang teman Ava yang paling setia berucap demikian setelah Ava menceritakan obrolannya bersama kedua orang tuanya semalam.
"Kau ini cantik, pintar, dan juga anak orang kaya. Anak pemilik distro terkenal se-Indonesia!" lanjut Lena begitu antusias, dia bahkan melebar-lebarkan langkah kakinya demi bisa berjalan mendahului Ava dan bergerak mundur di depan sahabatnya.
"Kau terlalu melebih-lebihkan, Lena!" Ava mengibaskan tangannya sekilas di hadapan Lena, dan kemudian mendaratkannya di ujung bibirnya yang sedang tersenyum tipis.
"Selama ini kau bilang, ibumu mengacuhkan dirimu. Namun, aku tak menyangka ibumu akan mengajakmu dinner keluarga, biasanya kan hanya kakakmu saja."
"Jangankan kamu, akupun begitu heran. Maukah kamu menemaniku mencari gaun bersamaku sepulang kuliah?"
"Boleh saja ...! Asal jangan lupa kau harus traktir aku."
***
Yang terjadi semalam ketika Ava dipanggil ke ruang keluarga oleh ayah dan ibunya.
Ava merasa sedikit canggung ketika lengan ibunya mengapit tangannya dan membawa Ava untuk duduk di sampingnya.
Nyonya Hans, atau yang Ava panggil sebagai ibu itu mengelus rambut dan punggung Ava dengan lembut. Ini adalah perlakuan yang baru pertama kali Ava terima selama sembilan belas tahun ia hidup di keluarga ini.
Ava adalah pribadi yang riang meski ia cukup pendiam, dia begitu tulus pada semua orang. Seakan tidak ada filter dalam dirinya yang menyaring agar apa yang berada dalam hatinya tidak semuanya nampak di permukaan.
Meski sering kali diperlakukan tak baik oleh ibu dan kakaknya, Ava tetaplah menganggap bahwa mereka adalah dua perempuan terbaik dalam hidupnya dan selalu berharap mendapat perlakuan lembut dari keduanya.
"Besok malam kita akan dinner keluarga, kamu bersiaplah dengan dandanan terbaikmu. Kita akan dinner di Hotel Wilson." Ayah Ava, Tuan Hans, kini berbicara setelah ia meletakkan surat kabar dan membetulkan kacamatanya.
Ava tersenyum begitu riang, matanya berbinar-binar mendengar perkataan ayahnya. Berbeda dengan ibunya, Hans, atau lebih tepatnya adalah paman, adik kandung dari ayah kandung Ava yang sebenarnya, memiliki perangai yang lebih lembut terhadap Ava. Setidaknya pria paruh baya inilah, satu-satunya di rumah ini yang menganggapnya sebagai bagian dari anggota keluarga.
"Hotel Wilson adalah hotel bintang lima yang ternama, waaah, ini akan menjadi makan malam yang bersejarah di hidupku," gumam Ava sambil tersenyum sendiri.
"Kamu mau kan, sayang?" tanya nyonya Hans untuk memastikan ketersediaan Ava, yang sudah jelas Ava tidak akan menolaknya.
Ava memberi jawaban dengan anggukkan yang kencang dari kepalanya, senyumnya mengembang begitu lebar, menampakkan bagaimana perasaan dalam hatinya sekarang.
***
"Ava, ayoooo! Kau yang tadi mengajakku," rengek Lena pada Ava yang masih memoleskan liptint di wajahnya.
"Sebentar, Len. Aku sedang mencoba untuk berdandan. Nanti aku juga akan membeli make-up seperti milikmu ini."
"Oh, begitu? Baguslah! Jadi ada gunanya juga uang-uangmu yang banyak itu sekarang."
Ava terkekeh mendengar selorohan Lena. "Memang sejak kapan uang itu tidak berguna, Len?"
"Sejak uang itu menjadi milikmu. Uang yang banyak itu hanya kau simpan, tanpa pernah kau gunakan, selama di kampus kau tidak pernah jajan atau membeli makanan mewah, kau juga tidak pernah terlihat membeli baju, skin care, make up, apalagi perhiasan. Jadi untuk apa sebenarnya uang-uangmu itu?"
Lagi-lagi Ava terkekeh mendengar celoteh sahabatnya.
"Aku bukannya tidak ingin menggunakan, tapi aku ... hanya ... berjaga-jaga." Ava melirihkan suaranya.
"Berjaga-jaga?" Lena menaikkan sebelah alisnya.
"Aku hanya berjaga, jika ... suatu saat, keluarga ini mengusirku. Bahkan sampai detik ini, aku masih merasa sebagai orang asing dalam keluarga mereka, "jelas Ava lirih, ada sebuah rasa sedih yang terpendam dalam hatinya.
"Ooh, Ava ku yang cantik. Bukannya hari ini kamu ada makan malam dengan keluargamu? Kamu tidak harus bersedih memikirkan mereka. Karena mereka sepertinya sudah menerima dirimu! Mereka akhirnya menyadari akan adanya permata cantik ini di keluarga mereka." Lena mencoba menghibur sahabatnya, gadis itu menaikkan bahunya hingga menyentuh ujung rambut hitamnya yang berkilauan.
Kedua telapak tangan Lena, ia simpan di atas pundak Ava dan sedikit meremasnya. "Kita harus bersenang-senang," hibur Lena lagi sambil memberi senyum terbaik untuk sahabatnya.
"Eem!" seru Ava mengiyakan ajakan Lena.
Kedua gadis itu pun berjalan bersama. Tangan mereka yang bertautan pun berayun ke depan ke belakang seirama dengan langkah kaki mereka. Perasaan Ava menjadi hangat, karena Lena selalu membuatnya percaya diri, dia memang sahabat yang pandai menghibur Ava.
"Kalau begitu aku akan memesan taksi!" ujar Lena yang langsung mengotak-atik ponselnya dengan sebelah tangan karena sebelah tangannya lagi masih bergandengan dengan Ava.
Ponsel Ava pun berdering, gadis itu segera melepaskan tautan jemarinya. Dan beralih pada tas nya untuk mengambil benda pipih yang sedang berdering tersebut.
"Pak Manji?" Ava pun menggeser layar telponnya ke atas begitu membaca orang yang menelponnya adalah sekretaris dari ayahnya.
"Halo, Pak Manji?"
"Nona Ava, hari ini anda harus segera pulang. Tolong sebutkan lokasi anda, agar kami segera menjemput anda." Suara dari seberang terdengar begitu datar, walau isi perkataan yang sebenarnya adalah sebuah perintah.
"Saya masih di depan kampus, Pak. Ada apa? Kenapa harus pulang cepat?" tanya Ava heran.
"Tuan Hans memutuskan untuk memajukan jadwal perjamuan keluarga. Jadi anda harus segera bersiap."
***
Bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 132 Episodes
Comments
Rose_Ni
mau ketemu ama keluarga Eagle Group tuh
2021-12-12
0
Syahlia Aida
mau ketemu sama dosen ya?
2021-01-23
0
Kimyumi
penasarannn
2021-01-10
0