Raka tengah duduk di dalam mobilnya, menunggu Reva yang hampir selesai dengan pekerjaannya. Matanya begitu fokus menatap arah pintu masuk dan keluar pameran. Garis bibirnya melengkungkan senyum tatkala ia melihat Reva yang keluar dari tempat pameran dan menuju tempat motornya terparkir.
Raka segera turun dari mobilnya pura-pura berjalan ke arah Reva. Reva masih fokus dengan handphonenya yang menerima pesan agar tidak menukarkan vouchernya karena Mela sudah memasak makanan kesukaan Reva.
“Pluk.” Reva menjatuhkan kunci motornya dari dalam tas. Dengan segera Raka mengambilnya dan memberikannya pada Reva.
“Lo?” Reva menunjuk Raka yang berdiri di hadapannya.
"Hay, apa kabar? Kebetulan ya ketemu di sini…” tutur Raka seraya mengusap tengkuknya.
“Iya kebetulan banget.” Sahut Reva seraya tersenyum.
“Lo kerja di sini Re?” Raka pura-pura tidak tau dan mencoba berbasa basi.
“Iya, gue kerja di stan Mobil, sebagai SPG nya…” jawab Reva tanpa ragu. “Lo kerja di sini juga?”
“Oh enggak, Gue habis nemuin temen di salah satu stan juga.” Sahut Raka yang masih merasa canggung.
Sebenarnya ia ingin sekali bertanya, apa Reva masih mengingatnya atau tidak. Namun ia urungkan karena tidak tahu harus memulainya dari mana.
“Okey, kalo gitu gue duluan ya Raka. Sampe ketemu lain waktu.”
Ucapan Reva membuat jantung Raka melonjak kegirangan. Ia benar-benar tidak menyangka Reva masih mengingatnya.
“Apa ini berarti gue bukan kejadian buruk yang coba lo lupain?” batin Raka yang masih menatap Reva dengan lekat.
“Raka, hey, Raka…” Reva mengibas-ibakan tangannya di hadapan Raka yang masih terpaku.
“Hah, iya Re?” Raka terlihat gelagapan saat tersadar dari lamunannya.
“Lo ngelamunin apa sih malem-malem gini? Hati-hati kesambet lagi.” Reva terkekeh geli melihat tingkah konyol Raka.
Raka menggaruk kepalanya walau tidak terasa gatal.
“Lo udah makan malem Re?” tanya Raka tiba-tiba. Reva menggelengkan kepalanya. “Mau makan malem gag? Gue yang traktir deh.” Ajak Raka dengan semangat.
“Wah kakak gue masak banyak hari ini. Lain kali aja ya…”
“Oh okey kalo gitu…” Walau merasa kecewa, Raka coba menyembunyikannya.
“Ya udah, gue duluan ya…” Reva bergegas pergi menuju motor maticnya. Raka melambaikan tangannya dengan diiringi senyuman.
Setelah Reva terlihat agak jauh, Raka segera menyusulnya. Ia mengikuti Reva dengan jarak yang lumayan jauh. Sudut hatinya ikut terenyuh, melihat Reva yang pekerja keras dan apa adanya.
“Lo indah, bener-bener indah Re…” gumam Raka.
*****
Beberapa hari ini, Raka memiliki rute baru yang ia lalui. Sebelum berangkat ke kampus ia akan mampir ke rumah Mela, menunggu berjam-jam sampai Reva keluar dari rumah itu dan memulai aktivitasnya. Entah itu menyapu lantai, menjemur pakaian, mengepel lantai atau menyapu halaman dan mengantar Rio ke sekolah.
Ia mulai mengetahui ritme pekerjaan Reva. Jam berapa ia berangkat dan jam berapa ia pulang. Saat Reva bekerjapun ia akan memperhatikannya dari stan miliknya hingga memastikan Reva kembali ke rumahnya dengan selamat.
Raka telah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mengikuti Reva layaknya seorang penguntit. Namun entah mengapa, melihat Reva berada dalam pandangannya, ada rasa bahagia yang mengisi dadanya. Ia tak lagi merasa sepi dan mulai memiliki arah.
Ia memperhatikan Reva yang mulai menyalakan sepeda motornya hendak mengantar Rio ke sekolah.
“Rio bekal makanannya gag lupa kan?” tanya Reva saat Rio sudah berada di boncengannya.
“Nggak tante rere, tadi ibu udah masukin semuanya ke tas Rio.” Sahut Rio seraya mengencangkan tali helm kecilnya.
“Okey, ayo kita berangkat. Bismilahirohmanirrohim…” tutur Reva dengan semangat.
“Bismilahirohmanirrohim…” sahut Rio.
Reva mulai melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Di belakang Raka mengikutinya. Hanya saja di persimpangan jalan, Raka menuju arah kampus dan Reva menuju sekolah Rio. Seperti itulah setiap hari dan itu cukup membuat Raka bahagia.
Tiba di sekolah Rio, tampak ibu-ibu sedang berkerumun di depan sekolah. Seorang wanita tengah berteriak sambil menangis. Dengan segera Reva memarkirkan motornya.
“Bu ada apa ini?” tanya Reva yang kebingungan melihat ibu-ibu berkerumun.
“Itu tante Rere, ada anak yang lagi disekap di sekolah sebelah. Anak laki-laki umurnya 3 tahunan gitu.” Terang salah satu orang tua murid.
“Terus udah lapor polisi bu?”
“Udah, tapi dari tadi anaknya nangis kenceng banget. Mba susternya sampe ketakutan, takut di apa-apain.” Lanjut wanita tersebut dengan wajah panik.
Sekolah Rio memang berdampingan dengan sekolah Elit yang menerima siswa mulai dari umur 3 tahun di playgroup mereka. Beberapa anak orang ternama bersekolah dan dititipkan untuk belajar di sana.
Reva mendekati wanita yang tengah menangis sesegukan.
“Ibu, itu anak ibu yang di dalem?” tanya Reva dengan perlahan.
“Bukan Neng, itu anak majikan saya. Orang tuanya sedang keluar kota. Aduh gusti Allah, saya harus gimana?” pekik ibu itu dengan berurai air mata.
“Orang tuanya udah tau bu?”
“Sudah saya telpon, dalam perjalanan pulang katanya.” Terang wanita tersebut.
Terdengar suara jerit ketakutan yang memekakan telinga, membuat para ibu bergidik ngeri. Reva segera menghampiri security sekolah tersebut yang ikut ketakutan mendengar lengkingan tangis anak tersebut.
“Pak, berapa anak yang di sekap di dalem?” tanya Reva dengan segera.
“2 orang non. Yang 1 umur 5 tahun yang 1 lagi umur 3 tahun.” Terang laki-laki paruh baya tersebut.
“Guru-gurunya dimana?”
Laki-laki tersebut menunjuk sebuah ruangan yang bersisi sesak guru. Tidak ada yang berani mendekat karena sang penyekap memegang sebilah pisau.
“Bapak punya denah sekolahnya gag? Coba saya lihat.”
Laki-laki itu menunjukkan sebuah denah. Ia juga memperlihatkan rekaman CCTV. Seorang anak duduk di atas kursi dan di ikat dengan tali, sementara anak yang lebih kecil di gendong dengan pisau di dekat lehernya. Entah apa yang laki-laki itu coba teriakan kepada para guru.
“Pak, tolong telpon salah satu guru dan coba pecahin jendela yang paling deket sama mereka. Nanti saya masuk
lewat jendela yang ini.” Tunjuk Reva pada sebuah jendela yang terbuka.
“Tapi nanti bahaya Non…”
“Tapi semakin lama juga kasian anak itu di cekik gitu. Kalau dia kehabisan nafas gimana?”
“Oh iya non..”
Security itu pun hanya bisa menurut pada permintaan Reva. Ia menghubungi salah satu guru dan meminta melakukan yang Reva lakukan. Dengan cepat Reva masuk ke dalam sekolah membawa helm yang tadi di pakainya.
Reva bisa melihat dengan jelas laki-laki itu. Tak lama berselang,
“PRANK!!!” terdengar pecahan kaca yang di hantam benda keras.
“Heh siapa itu yang berani melawan?!” teriak laki-laki itu seraya menurunkan anak berusia tiga tahun dan mendudukannya di pojokan.
“Lo diem di sini, kalo berani pindah, gue abisin lo bocah!” teriak laki-laki tersebut hingga membuat kedua bocah terkencing-kencing.
Melihat laki-laki itu mendekati pintu, Reva segera naik ke jendela, melempar helm ke udara dan menendangnya hingga mengenai kepala laki-laki tersebut. Tubuhnya mulai oleng, dengan cepat Reva masuk melalui jendela dan menghajar laki-laki tersebut hingga babak belur. Laki-laki itu terkapar tidak sadarkan diri.
Dengan segera Reva membuka ikatan sang anak dan mengikatkannya pada laki-laki tersebut. Sementara satu anak lainnya masih terdiam di pojokan dengan wajah pucat pasi dan tubuh yang gemetar ketakutan.
“Mamih... mamiihhh takutt...” hanya itu yang keluar dari mulut kecilnya.
Reva segera menggendong anak kecil itu dan membawanya ke dalam pelukannya ia mengusap tubuh kecil itu bersama satu anak lagi yang tidak pernah jauh dari langkah kaki Reva. Mereka menangis tersedu di pelukan Reva.
“Tenang sayang, kalian baik-baik aja. Ayo ikut tante keluar.” Ujar Reva seraya membawa kedua anak keluar ruangan.
Reva membawa kedua anak tersebut berlari keluar sekolah yang cukup luas. Para guru yang sedang menunggu, segera berlari menghampiri Reva.
“Ya allah mba… terima kasih banyaakkk” ujar sang guru seraya memeluk satu per satu anak yang di bawa Reva.
Keduanya tak henti menangis karena ketakutan.
“Pak, pelakunya udah saya ikat, tapi sebaiknya di kunci dulu ruangannya, sampai polisi datang dan menangkapnya.
Dengan segera beberapa guru laki-laki mengikuti perintah Reva. Mereka mengurung laki-laki tersebut di ruang kelas.
“Den Kean, ayo ikut sama bibi Den…” ujar wanita paruh baya yang tadi di temui Reva.
Namun anak itu malah memilih untuk berada di samping Reva. Ia memeluk Reva dengan erat, tubuhnya masih gemetar ketakutan. Wanita yang akrab di panggil bi asri itu menangis sesegukan melihat tuan mudanya yang ketakutan dengan wajah pucat pasi.
“Kean sayang, mana yang sakit nak? Coba tante Rere liat…” bujuk Reva yang berusaha melepaskan pelukannya.
Namun Kean semakin erat memeluk Reva. Ia menggelengkan kepala, saat orang-orang membujuknya.
“Sepertinya kean masih ketakutan. Tolong ada minum gag buat Kean?” pinta Reva.
“Ada nak Rere, ini…” ujar salah satu guru yang menyerahkan tumbler berbentuk beruang pada Reva.
“Kean, liat deh, tante Rere punya botol minum bagus. Kean mau minum?” bujuk Reva dengan lembut.
Perlahan Kean melirik botol minum yang ada di tangan Reva. Mata sayunya menatap Reva penuh ketakutan.
“Kean gag usah takut, orang jahatnya udah tante Rere iket. Dia gag bisa jahatin kean lagi. Sekarang kean minum. Kalo ada yang sakit, kasih tau tante Rere yaa…” tutur Reva dengan lembut.
Kean yang polos hanya mengangguk. Perlahan ia meneguk air di dalam botolnya lalu kembali memeluk Reva.
“Mba Rere, bisa tolong Keannya di bawa ke ruang daily care aja. Biar dia bisa istirahat.” Tutur salah satu guru.
Reva mengangguk mengiyakan. Ia membawa Kean ke ruangan yang dimaksud.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Kisti
aduch jangan anak adrian dong.kasian reva 🤲🙏
2023-03-11
1
Bunda dinna
Anak siapa yg di sekap?
2023-03-02
1
Etik Widarwati Dtt Wtda
reva hebat ..tp tsktnys itu anak adrian
2022-09-02
2