“Pergi sekarang?” tanya raka yang sudah berada di samping Reva.
“Hem...” sahut Reva yang hanya melirik sekilas.
Kaki jenjangnya melangkah dengan yakin.
Raka mulai melajukan mobilnya menuju Adiyaksa Corp. Sesekali ia melirik Reva yang tampak sibuk dengan benda persegi di tangannya.
“Re,...”
"Hem...” Reva mulai menaruh handphonenya dan menatap Raka. “Kenapa?”
“Jeremy... Suka ya sama lo?” tanya Raka dengan ragu.
“Iya.” Sahut Reva tanpa ragu. Ia kembali menatap jalanan yang ramai di depannya.
“Sepertinya kalian juga berteman baik kan, Dia paling sering ngajak lo jalan.” lanjut Raka yang kembali fokus dengan jalanan di depannya. Tangannya tampak erat memegangi kemudi. Entahlah, dadanya terasa sakit mendengar ucapannya sendiri.
“Lo tau dari mana dia paling sering jalan sama gue?”
“Dari....” Raka mengusap tengkuknya sendiri. Ia bingung harus memberi jawaban seperti apa.
“Group kumbang kan?” Reva kembali menatap Raka seraya tersenyum.
“Lo tau?”
Reva hanya mengangguk. “Itu group yang di bikin Jeremy.” Reva menyandarkan tubuhnya dengan santai. Nafasnya berhembus pelan. “Dia ibarat petani yang bikinin gue kolam ikan. Dia nawarin cowok-cowok buat mancing gue, tapi kalo ada hal yang bisa bikin gue sedih, celaka atau terluka, dia bakalan jadi orang pertama yang dateng nolongin gue. Dia bilang, cara ngobatin sakit karena cinta adalah dengan mencari cinta yang baru, hahahaha... Dia ngasih gue jalan, tapi dia sendiri buntu dan kesakitan.” Terang Reva dengan senyum pilunya.
“Kenapa lo gag jadiin dia cinta yang baru?” Rasanya baru saja Raka merasa hatinya patah mendengar pertanyaannya sendiri..
Reva hanya menggeleng. “Gue pengen dia selalu jadi sahabat. Gue gag mau kalo suatu saat gue terpaksa harus ngelukain dan ngelupain dia karena satu kesalahan. Dan kesalahan itu karena gue gag punya perasaan apa-apa buat dia.” Kali ini raut wajahnya terlihat sendu.
Dalam hatinya, ia lebih memilih untuk tidak membuka pintu untuk Jeremy karena ia tidak bisa menjanjikan suatu saat hatinya akan menjadi milik Jeremy.
Ingin sekali Raka menggenggam tangan Reva yang saling memilin. Ia tidak pernah tau sedalam apa luka yang pernah Reva rasakan namun jika Reva kini memilih untuk sendiri, tentu bukan karena hal yang mudah dan bisa ia lewati.
Reva menolehnya, Raka berusaha tersenyum dan kembali fokus pada jalanan.
****
Siang menjelang sore, 6 orang mahasiswa yang akan magang di Adiyaksa Corp tampak tengah menunggu di depan ruang HRD. 1 orang mahasiswa tengah menjalani wawancara, tidak terdengar sedikitpun pembicaraan di dalam sana.
Reva yang duduk di samping Raka tampak sedikit gusar. Berkali-kali ia menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia menatap Raka yang tengah serius memandangi handphone canggihnya. Air mukanya tenang, tidak ada kebimbangan sama sekali.
Pintu ruang wawancara terbuka, tampak seorang laki-laki keluar dengan wajah pucatnya. Reva membenarkan posisi duduknya, ia membayangkan serumit apa wawancara di dalam.
“Gimana Dimas, lancarkan?” tanya seorang gadis yang terlihat akrab dengan laki-laki bernama Dimas tersebut.
Dimas terangguk, namun wajahnya masih tetap lesu.
“Dia ngeliat tato ini, padahal katanya kalo mau magang di sini harus berpenampilan rapi dan gag boleh ada tato.” Sahutnya dengan frustasi.
“Ya lagian lo pake tato segala. Kenapa gag di hapus dulu sih?”
Obrolan demi obrolan terus bergulir antara Dimas dan gadis tersebut. Reva yang sedikit mendengar pembicaraan mereka segera merapikan penampilannya. Ia berusaha mengikat rambutnya agar terlihat lebih rapi.
Satu per satu sakunya ia rogoh untuk mencari ikat rambutnya, namun nihil, ia tidak menemukannya. Raka mengambil sapu tangan yang ada di saku celananya. Ia melipatnya membentuk segitiga lalu melipatnya hingga menyerupai tali.
“Ini, pake ini..” Raka menyerahkan sapu tangannya pada Reva.
“Thanks...” Reva segera mengikat rambutnya dengan sapu tangan milik Raka.
Raka menyenderkan tubuhnya ke dinding, ia bisa melihat dengan jelas leher putih Reva yang tampak jenjang dengan rambut terikat ekor kuda. Entah mengapa, sudut hatinya merasa tidak rela jika orang lain melihatnya. Namun kali ini, ia tak punya pilihan lain selain membiarkannya.
****
Reva telah selesai dengan wawancaranya. Berbeda dengan Raka yang keluar dari ruangan tersebut tanpa ekspresi, sebuah senyuman manis tergambar jelas di wajah Reva.
“Lancar?” tanya Raka yang segera berdiri menyambut Reva.
“Iyaaa.., Ayo kita makan malam dulu. Gue laper banget.” Sahut Reva seraya mengusap perutnya yang keroncongan. Setelah stresnya hilang ia baru sadar kalau perutnya kosong dan belum di isi apapun siang ini.
Raka hanya tersenyum melihat tingkah Reva yang begitu menggemaskan baginya.
Reva dan Raka memang mendapat giliran wawancara terakhir dan baru selesai menjelang malam. Menunggu memang tidak hanya membuat pegal tapi juga membuat lapar, seperti yang di rasakan Reva saat ini.
Mereka berjalan beriringan menuju tempat parkir. Beberapa pasang mata laki-laki melirik Reva yang tengah asyik bercerita selama ia wawancara. Raka benar-benar tidak suka dengan tatapan yang tertuju pada Reva. Ia menarik sapu tangan yang Reva gunakan untuk mengikat rambutnya dan membuat rambut Reva terurai begitu saja dan menutupi sebagian wajahnya.
“Astaga Raka, kenapa lo tarik rambut gue sih?” Reva segera merapikan rambutnya yang berantakan.
“Kalo lama-lama nanti sapu tangan gue bau shampoo lo.” Seru Raka seraya berlari menuju mobilnya.
“Haiisshh emang lo ngeselin yaaa!” seru Reva yang berlari mengejar Raka, Raka hanya terkekeh melihat wajah kesal Reva.
“Makan dimana?” tanya Raka yang sedang memasangkan safety belt melingkar di perutnya.
“Apapun yang penting nasi.” Sahut Reva seraya tersenyum.
Raka terdiam sejenak, ia merasa familiar dengan ucapan tersebut. Ia menatap kedua manik hitam milik Reva, pikirannya berputar entah kemana.
“Kenapa?” Reva menyentuh wajahnya sendiri saat Raka menatapnya.
Raka hanya menggeleng lalu tersenyum. “Gag pa-pa, Okeeyy, sesuai aplikasi...” timpal Raka yang di sahuti gelak tawa Reva.
****
Menjelang tengah malam, Raka baru sampai di rumahnya. Lampu-lampu sudah mulai di padamkan dan hanya diterangi pijar kecil di sudut rumahnya yang luas. Ia berjalan menuju kamarnya. Ia meregangkan badannya berulang kali karena tubuhnya terasa sangat lelah.
Raka memutar handle pintu kamarnya, sebuah bayangan tengah duduk di pinggir tempat tidurnya.
“Malem sayang...” sapa Niken yang kemudian menaruh foto Raka di meja samping ranjangnya.
“Malem mah, belum tidur?” sebuah kecupan mendarat di pucuk kepala Niken.
“Mamah nungguin kamu pulang. Kok malem banget pulangnya?’
“Iya mah, habis makan dulu sama temen.” Sahut Raka seraya menaruh jam tangannya di atas meja.
Niken hanya mengangguk-angguk. Matanya memandangi sosok sang putra yang terlihat tampan dengan baju formalnya.
“Kamu bisa nemenin mamah ketemu tante Nida?” tanya Niken yang kembali meraih foto Raka kecil yang tengah duduk bersama seorang anak perempuan.
“Tante Nida udah pulang mah?” Raka duduk di samping Niken dan ikut memandangi foto yang ada di tangan Niken.
Niken mengangguk. “Putrinya juga ada di indonesia.” Tutur Niken seraya menatap Raka.
Raka merebahkan tubuhnya dengan malas di atas tempat tidur. Matanya menerawang memandangi langit-langit kamarnya.
“Mamah mau di temenin ketemu tante Nida apa mau nemenin aku ketemu putrinya?” tanya Raka dengan malas.
Terdengar Niken menghembuskan nafasnya dengan kasar. Ia mengusap rambut Raka yang masih terlihat rapi.
“Sayang, kamu tau kan kalo mamah pengen banget punya anak perempuan di keluarga kita. Sejak dia pergi, kita sama-sama tidak bisa berharap lagi dia kembali. Kenapa nggak kamu segera menikah jadi mamah gag kesepian.” Terang Niken dengan tatapan seriusnya.
Raka berusaha bangkit dan kembali duduk di samping Niken. Ia menggenggam erat tangan wanita yang menjadi cinta pertamanya lalu mengecupnya dengan lembut.
“Mah, Raka pasti bakal nikah. Tapi dengan gadis pilihan Raka sendiri. Jadi untuk hal ini, tolong kasih Raka kepercayaan untuk mencari sendiri. Raka ingin hidup dengan wanita yang mencintai Raka juga Raka cintai. Dan Raka cuma mau nikah sekali aja seumur hidup Raka.” Terang raka dengan tatapan penuh kesungguhan.
“Kalo gitu, segera kenalin mamah sama gadis itu. Atau mamah benar-benar akan memilihkan seorang gadis buat kamu.” Sahut Niken dengan senyum lembutnya.
Raka hanya terdiam, ia memang belum bisa mengenalkan gadis manapun pada sang ibu. Ia menghembuskan nafasnya dengan kasar dan kembali menatap fotonya saat ia bersama seoarang gadis kecil berusia 5 tahun yang tengah tersenyum dengan cantik. Wajah dingin Raka menatapnya dari samping, hatinya berdesir mengingat senyum polos yang belasan tahun tidak bisa lagi dilihatnya.
“Raka mau istirahat dulu mah. Kita ngobrol lagi lain kali ya...” timbal Raka seraya merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur dan menutup matanya dengan lengan kanan.
Niken hanya tersenyum. Ia mengusap lembut bahu Raka lalu bergegas pergi membiarkan sang putra sendirian dalam lamunannya.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Bunda dinna
Mungkin Reva putri dr Nida
2023-03-02
1
Etik Widarwati Dtt Wtda
kenapa g dr kemrn y bacanya
2022-09-03
2
Reni Rinjani
gila ya novel sekeren ini kok bisa ga ada yang tau
2022-08-31
4