Reva berjalan di trotoar dengan arah yang tak tentu. Pikirannya melayang entah kemana. Seperti ini biasanya perasaan yang ia rasakan saat ada kata-kata yang menampar sudut hatinya. Perih namun ia tak bisa mengingkarinya.
Di belakang Reva, tampak Raka yang mengikutinya dengan mobil dan berjalan perlahan. Sejak Reva pergi dari pesta, Raka memutuskan untuk mengikuti Reva. Entah untuk alasan apa, ia pun tak pernah tahu.
Semilir angin sore, menerbangkan helaian rambut Reva yang tergerai indah. Ia meliuk seolah melambai pada Raka untuk terus mendekat. Reva menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Pakaian minim yang dipakainya membuat ia merasa kedinginan. Berkali-kali ia bergidik.
Kakinya mulai terasa sakit karena heels yang dikenakannya. Di depan matanya ada sebuah taman yang dengan langit berwarna kuning keemasan sebagai payungnya. Reva memilih untuk berhenti sejenak, mendudukan tubuhnya di salah satu bangku yang saling membelakangi. Ia menengadah, menatap langit jingga yang akan segera di telan malam.
Melihat Reva yang tengah duduk sendirian, Raka segera menghentikan laju mobilnya. Ia berjalan mendekati Reva dan memasangkan jaketnya di bahu Reva. Reva hanya menoleh, tampak Raka duduk di sampingnya dan saling membelakangi.
“Mau minum?” tawar Raka yang menyodorkan botol air mineral pada Reva.
“Thanks…” Reva menerima air pemberian Raka. Ia memang membutuhkannya untuk sedikit menurunkan emosianya.
Reva mengusap air matanya kemudian meneguk minumannya tanpa ragu. Terlihat gerakan otot di tenggorokannya yang begitu seksi membuat Raka tersenyum.
"Lo gag perlu ngikutin gue sampe sejauh ini. Gue gag akan ngelakuin hal gila cuma karena omongan Theo.” Ujar Reva yang mulai bisa mengendalikan dirinya.
Ia tahu, sejak ia keluar dari rumah Alea, Raka mengikutinya diam-diam.
“Gag ada yang ngikutin lo, gue cuma pengen cari angin aja.” Kilah Raka seraya menoleh Reva.
Tak di sangka, Reva tengah menatapnya, pandangan keduanya bertemu dan berakhir dengan senyuman seketika sebelum keduanya memalingkan wajah.
“Gue terbiasa menemani, bukan di temani. Gue juga terbiasa mendengarkan, bukan di dengarkan. Tapi gue juga terbiasa dinilai, bukan menilai sesuatu. Jadi tidak ada yang bisa merubah kebiasaan gue selain gue sendiri.”
Terdengar hembusan nafas kasar dari bibir Reva. Ia berusaha tersenyum untuk dirinya sendiri. Mencoba kuat tentu tidak apa-apa baginya karena hal ini bukan kali pertama ia alami. Setelah ini, ia bisa kembali melupakan hal tidak menyenangkan ini, seperti biasa ia lakukan.
“Pernah gag lo berfikir bahwa, tampil sebagai seseorang yang baik-baik saja bukan berarti dia memang baik-baik saja dan tak berarti juga dia seseorang yang baik. Ironis memang, buat sebuah pencitraan baik-baik saja terkadang kita ada dalam posisi tidak baik. Dan itu sangat menyebalkan.” Lanjut Reva yang kemudian terkekeh.
“Apa sekarang lo mau merubah kebiasaan lo?” Raka menatap Reva dengan penuh kesungguhan.
Reva menggelengkan kepalanya. “Gue hanya butuh untuk menyediakan waktu buat diri gue sendiri. Gue terlalu sering mendengarkan cerita orang, keluhan orang, berpura-pura dan hal menjengkelkan lainnya. Sampai saat ini, gue ngerasa gue gag ngenalin diri gue sendiri.” Sampai pada titik ini, Reva masih bisa tersenyum, mengingat dirinya yang entah seperti apa saat ini.
“Setiap satu kumbang selesai bercerita sama gue, keesokan harinya gue akan berusaha melupakan cerita mereka, seperti cara mereka melupakan rasa sakit yang hilang setelah bercerita sama gue. Termasuk melupakan wajah dan nama mereka. Mereka bisa menganggap gue tempat sampah atau tempat persinggahan. Tapi, gue bukan pelac*r.”
Reva terpekik, untuk pertama kalinya ia meratapi semua yang telah ia lakukan. Raka membiarkan Reva melewati masa paling menyakitkan baginya. Mungkin, saat ini Reva hanya ingin di dengarkan.
Raka mengambil sapu tangan dari saku celananya dan memberikannya pada Reva. Reva menangis sesegukan , dengan Raka yang setia menemani di sampingnya.
“Reva, menangislah… Buang semua rasa sakit yang selalu ganggu lo. Tapi setelah itu, kuatlah seperti Reva yang pertama kali gue liat.” Batin Raka seraya menatap Reva yang masih berair mata.
Raka tidak pernah menyangka, ia akan melihat gadis ceria yang dikenal sebagai fck girl ini akan menangis sesegukan di hadapannya. Ia hanya tau bahwa gadis ini melakukan semua kegiatannya hanya atas dasar suka atau hobby membuat para laki-laki bertekuk lutut. Hingga pada satu titik ia sadar, Reva saat ini adalah pilihan dari sebuah kenyataan yang harus ia hadapi.
****
“Gue turun di depan…” tunjuk Reva pada sebuah bangunan kost-kostan berlantai 3.
“Lo tinggal di sana?” Raka menepikan mobilnya dan menginjak pedal rem dengan segera.
“Ya, ini tahun ke empat gue tinggal di sana.” Reva melepas safety belt yang melingkari tubuhnya. “Makasih atas tumpangannya. Dan berapa biaya lo dengerin gue curhat?” sambung Reva dengan senyum manisnya.
“Gue bikinin dulu bill nya, nanti gue tagih.” Sahut Raka yang ikut tersenyum.
“Okey, gue tunggu tagihannya. Dan 1 lagi, lo ganteng jadi lo gag usah ngerasa insecure.” Tukas Reva seraya menepuk bahu Raka.
Raka tergelak, rupanya pertanyaan Fery benar-benar membekas di benak Reva.
“Thanks, lo bisa anggap kita impas karena udah ngehibur gue.”
“Okey, see you…” Reva bergegas turun dan lambaian tangan menjadi akhir pertemuan mereka.
Raka masih tersenyum, memandang ke arah Reva berlalu. Ia mengusap dada kirinya yang bertalu tak menentu.
“Apa besok lo juga bakal lupain nama dan muka gue re?” gumam Raka dengan frustasi.
Ada ketidakrelaan dalam hatinya. Ia tidak ingin dilupakan ia pun tidak ingin melihat Reva kembali menangis. Untuk alasan apa?
"Gue tersentuh..." lirihnya lagi yang sudah tidak bisa melihat sosok Reva di hadapannya.
*****
Malam sudah terlalu larut bagi Reva. Setelah membersihkan wajah dari sisa riasan yang berantakan karena air mata, Reva segera berganti baju dengan piyama tidurnya. Ia menelentangkan tubuhnya di atas Kasur yang hanya muat untuk dirinya sendiri.
Putihnya langit-langit kamar menjadi pemandangan yang biasa ia lihat sesaat sebelum tidur. Pikirannya berputar, mengingat semua kejadian yang ia alami selama ini. 3 tahun lebih ia menjadi pendengar dan teman bagi banyak kumbang, begitu ia menyebutnya.
Sudut hatinya meringis, tatkala mengingat alasan ia berada pada kondisi saat itu. Ia tak pernah bisa melupakan setiap rasa sakit yang ia rasakan saat mengingat kejadian paling menyakitkan baginya. Perasaannya masih sama, perih. Kalaupun lukanya telah sembuh, tapi ingatan tentang rasa sakit itu masih belum bisa ia lupakan.
Flash back On
Jatuh cinta, kata asing yang kini Reva rasakan saat melihat sosok Adrian yang santun. Setiap minggu, ia akan masuk ke kelas kuliah umum hanya untuk mendengarkan materi yang di sampaikan Dosen tamu yang menjadi idola banyak mahasiswi.
Seperti sebelumnya, hari ini pun Reva duduk di jajaran tengah baris ketiga dari depan, tempat paling strategis bagi dosen untuk menanyai mahasiswanya. Ia kembali teringat, saat pertama kali ia mengikuti kuliah umum karena ajakan sahabat barunya, Riana.
“Re, sarapan dulu. Nyokap gue bikinin roti isi buat kita sarapan.” Tawar Riana yang segera menjejalkan roti isi ke mulut Reva.
“Engak…” sahut Reva dengan mulut penuh makanan.
“Hem, habisin…” lagi-lagi Riana menjejalkan roti isi ke mulut Reva.
Reva mengunyah semua makanan yang sudah mengisi rongga mulutnya. Sementara tangannya masih sibuk mencatat materi dari dosen yang belum selesai ia rangkum.
“Lo yakin duduk di tengah gini? Jadi sasaran Prof Armand lo baru tau deh!” ledek Riana yang sangat tahu dengan cerita horror dosen kuliah umum yang terkenal killer.
Reva menelan paksa sisa makanan di mulutnya.
“Justru biar gag di tanya, kan kesannya gue siap banget di tanya apapun.” Sahut Reva dengan penuh percaya diri.
“Ya udah, gue duduk di belakang yaa, mau sambil nonton drakor, hahaha…”
"Kebiasaan..." Reva hanya menggelengkan kepalanya melihat sahabatnya yang sangat kecanduan nonton drama korea.
Riana segera pindah ke belakang dan meninggalkan Reva yang duduk sendirian di barisan tengah.
Sebaris Reva, memang tidak ada satupun mahasiswa lain yang duduk di sana. Barisan belakang adalah yang paling banyak di isi, sementara barisan depan di isi oleh mahasiswa tingkah 2 atau 3.
Prof Armand masuk ke kelas dan memulai materinya. Suasana hening dan mencekam mulai terasa di ruang yang luas tersebut. Sepertinya kalau di tambah suara gamelan akan lebih dramatis aura Prof Armand ini.
30 menit berlalu, banyak mahasiswa yang sudah mulai kendur semangatnya. Mata belel menjadi ciri khas dari kelas Prof Armand.
“Tok tok tok..”
Sebuah ketukan pintu menjadi perhatian baru para mahasiswa.
“Ya masuk!” sahut Prof Armand tanpa mengubah raut wajahnya.
Terlihat seorang laki-laki tampan masuk ruangan dengan tampilan rapi dan rambut klimis.
“Uuhhhh…..” seru para mahasiswi yang merasa seperti mendapatkan oase di tengah gurun yang kering.
Laki-laki itu mengangguk ke arah Prof Armand lalu berjalan menuju tempat duduk. Tak di sangka, ia berjalan ke arah Reva dengan gerakan slow motion, semua mata tertuju padanya dan duduk persis di samping Reva.
“Astaga, jantung gue…” dengus Reva sambil memegangi dadanya.
Laki-laki itu tersenyum dan menaruh beberapa buku di hadapannya.
“Siapa namamu?” bisik laki-laki tersebut dengan lembut.
“Hah?” Reva menganga tidak percaya dengan yang di dengarnya.
“Namamu siapa?” laki-laki itu mengulang pertanyaannya dengan jarak yang sangat dekat dengan wajah Reva.
Seketika jantung Reva rasanya mau copot. Wajahnya memerah melihat wajah rupawan dengan aroma tubuh yang wangi.
“Re,, va… kak…” sahut Reva yang segera menutup wajahnya dengan buku.
“Hem… Adrian…” sahutnya seraya menjabat tangan Reva.
Rasanya Reva akan mati sekarang karena jantungnya berdetak tak karuan. Selama materi Prof Armand Ia salah tingkah karena sosok Adrian yang begitu menganggu konsentrasinya.
“Menang banyak lo re!” begitu isi pesan yang dikirim Riana.
Reva kemudian berbalik menatap Riana yang tengah tersenyum sinis. Ia mengigit bibirnya sendiri sambil menggelengkan kepala, tak kuat menahan pesona Adrian di sampingnya.
“Baik anak-anak, mulai minggu depan, kuliah umum akan di isi oleh Dosen tamu. Ayo silakan perkenalkan diri dulu Pak Adrian…” ujar Prof Armand.
Dengan segera Adrian berdiri. Betapa Reva benar-benar akan mati hari ini, laki-laki yang ia panggil “Kak” ternyata adalah dosen tamu yang akan mengajar di kampusnya. Reva membenamkan wajahnya di balik buku yang di pegangnya. Semua mata tertuju pada Adrian dan dirinya.
“Baik, perkenalkan saya Adrian Ditya. Saya dosen tamu di kampus ini dan mulai efektif mengajar minggu depan. Ada yang ingin di tanyakan?”
“Status pak….” Seru Riana dari belakang yang di sambut riuh mahasiswi lain.
Adrian hanya tersenyum, ia tak menjawab sama sekali. “Baik terima kasih, mohon kerjasamanya agar proses belajar mengajar berjalan lancar.” Tukas Adrian.
“Ad ri an…” perlahan, tangan Reva menulis nama tersebut di bukunya, saat Adrian meliriknya, Reva segera menutup bukunya dan memasukannya ke dalam tas.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Kisti
apa reva jln ama adrian dan dilabrak istrinys yaaa....yg bikin reva jadi gini 😅nebak2 ini crt nyaaa 🤦
2023-03-11
0
Bunda dinna
Adrian,,cinta pertama Reva kah?
2023-03-01
1
De'Ran7
palingan dia dha ada yg punya
2022-10-24
0