Reva masuk ke dalam toilet wanita. Ia membasuh wajahnya yang terlihat bodoh dan menyebalkan. Ingin sekali ia berteriak, tapi tidak ada suara yang bisa ia pekikan, ingin menangispun, air matanya tak ingin menetes.
Reva menyandarkan tubuhnya pada dinding toilet. Ia menangis tanpa air mata, hanya bahunya yang bergerak naik turun.
Betapa bisa semuanya begitu menyakitkan bagi Reva. Laki-laki yang ia kenal sebagai cinta pertamanya, berpaling ke lain hati bahkan sedang menanti buah hatinya. Apa artinya ia selama ini di dalam hati Adrian selain selingan yang tidak akan pernah sampai pada titik saling memiliki satu sama lain.
Setelah bergelut dengan batinnya, Reva berusaha kuat untuk dirinya sendiri.
“Ya, kamu hanya orang asing buatku bey….” Tegas Reva dengan wajah sendunya.
Dengan langkah pasti, ia keluar dari toilet, memasang senyum bodoh yang selalu ia jadikan tameng bahwa dirinya kuat. Terdengar desas desus tentang dirinya, namun tidak ia hiraukan.
“Reva….” Panggil Jeremy yang sedari tadi menunggunya di depan toilet wanita.
Reva menghentikan langkahnya. Di hadapannya terlihat Adrian yang juga menunggunya. Reva membalik tubuhnya menghadap Jeremy. Tanpa Reva duga, tiba-tiba Jeremy memeluknya dengan erat.
“Jer, lepasin gue!” berontak Reva.
“Bukannya asal gue bisa bayar, gue bisa minta lo kapan aja kan?” bisik Jeremy dengan suara sengaunya. Ia tau rasa sakit yang coba Reva tahan saat ini.
Reva terpaku di tempatnya. Ia melihat Adrian yang menatapnya dengan nanar. Pikiran jahatnya mulai berputar. Hatinya sudah terlalu sakit dengan semua tuduhan dan rasanya ia harus membuat keputusan.
“Tentu, asal lo punya duit, gue bisa nemenin lo kemanapun lo mau, asal jangan minta tidur bareng.” Tegas Reva dengan seringai pedih yang coba ia ukir.
Terdengar Jeremy menghembuskan nafasnya dengan kasar di telinga Reva. Untuk sejenak, biarkan mereka melihat Reva yang seperti ini. Reva sang penggoda, Reva sang perusak hubungan orang dan Reva yang tidak mudah disakiti.
“Lo boleh nangis kalo lo mau Re, gue akan temenin lo.” Lirih Jeremy yang semakin mengeratkan pelukannya.
Reva menelan ludahnya dengan kasar, ya ia harus kuat. “Nangis? Jangan harap gue nangis buat perasaan sesaat.” Kilah Reva. “Lepasin gue, lo kena cas khusus kalo meluk gue!” lanjut Reva seraya melepaskan tubuhnya dari rangkulan Jeremy.
Dengan terpaksa Jeremy melepaskan pelukannya. Sepasang mata Jeremy menatap Reva dengan lekat.
“Lo mau pergi kemana? Biar gue temenin….” Tawar Reva seraya tersenyum.
Dengan segera Jeremy menarik tangan Reva dan membawanya berjalan melewati Adrian yang masih terpaku melihat Reva berlalu.
“Re….” lirih Adrian yang diacuhkan begitu saja oleh Reva.
****
Malam ini, Reva terpaku sendirian di kamarnya dengan fotonya dan Adrian yang tengah ia pandangi. Ia merangkul kedua kakinya dengan air mata yang menetes dari kedua matanya. Ini kali pertama ia menangisi cerita cintanya setelah tadi ia menahan perasaannya yang remuk redam di hadapan semua orang.
Ternyata, ada satu titik dimana Reva merasa dirinya hanya manusia biasa yang bisa merasakan sakit atas sebuah pengkhianatan. Tetesan air mata mungkin bisa mewakili perasaan sakitnya saat ini. Dalam hatinya ia berharap, esok tidak ada lagi alasan baginya untuk menangisi Adrian yang hanya akan menjadi kenangan baginya.
Cinta, entah seperti apa bentuknya, hingga bisa membuat hati remuk redam dan sakit yang tak berkesudahan.
Reva menyeka air mata yang perlahan mulai mengering. Ia melihat bayangan dirinya yang pucat pasi dengan kedua mata sembab dan merah.
“Adrian, kenapa kamu tega nyakitin aku? Apa salah aku sama kamu bey?”
Hanya itu kata-kata yang terus berulang di kepala Reva.
Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Reva masih merasa enggan untuk beranjak dari tempatnya.
“Bey… Buka pintunya… Kita perlu bicara…” suara Adrian terdengar jelas di rongga telinga Reva. Namun, ia benar-benar tidak ingin melihat wajah laki-laki yang membuatnya jadi seorang pesakitan karena cinta.
“Bey, kamu harus dengerin dulu penjelasan aku… Aku mohon izinkan aku masuk…” lagi-lagi suara Adrian terdengar lebih nyaring dengan diiringi ketukan di daun pintu.
Reva melirik jam yang ada di dinding kamarnya. Jam 10 malam, penghuni kost yang lain pasti tengah beristirahat. Ia tidak ingin masalahnya menganggu orang lain yang tidak ada hubungannya.
Dengan mengumpulkan sisa tenaganya, Reva membukakan pintu untuk Adrian.
“Bey…” seru Adrian yang segera memeluk Reva.
Namun secepat itu pula Reva menghindar. Reva melirik Adrian yang berdiri di hadapannya. Ia tampak kacau dengan penampilan yang berantakan dan mata yang merah.
“Aku bukain kamu pintu karena gag mau kamu menganggu penghuni kost-an yang lain. Jadi kalau kamu masih mau bicara, bicaralah dengan cepat, aku lelah.” Tutur Reva tanpa memandang Adrian sedikitpun.
“Bey, …” Adrian meraih tangan Reva dan menggenggamnya dengan erat. “Aku cinta sama kamu…” lanjut Adrian seraya menahan isak di dadanya.
“Cinta? Dimana, aku gag liat? Sebuah pengkhianatan, itu yang kamu bilang cinta?!” sahut Reva seraya mengibaskan tangan Adrian. Sumpah demi apapun, ia muak mendengar kata cinta dari mulut Adrian.
“Bey, aku bisa jelasin semuanya. Aku Cuma cinta sama kamu. Dan perempuan itu adalah wanita yang orang tuaku siapkan untuk menjadi istriku. Aku gag cinta sama Dia, aku bener-bener cuma cinta sama kamu!” cerocos Adrian dengan penuh kesungguhan.
“Gag cinta? Gag cinta kamu bilang? Terus apa yang dia kandung saat ini? Kamu gag mungkin kan ngelakuinnya dalam keadaan terpaksa dan tidak sadarkan diri seperti di cerita-cerita drama atau novel?” gertak Reva dengan tatapan yang nyaris membunuh.
“Aarrgghh!” Adrian mengacak rambutnya sendiri karena frustasi. “Reva, selama aku sama dia, cuma kamu yang ada di pikiran aku re, gag ada yang lain. Aku bisa ngomong sama arini, aku akan bertanggung jawab sama anak itu, asal kamu tetep sama aku Bey, aku mohon kasih aku kesempatan.” Adrian berlutut di hadapan Reva tanpa ragu.
“Astaga Adrian, lo bener-bener bikin gue jijik! Lo bisa punya istri atau selingkuhan sebanyak yang lo mau!
Tapi gue gag akan pernah menjadi salah satunya!” tegas Reva dengan kasar.
Adrian sudah benar-benar menjadi orang asing baginya, hingga kata-kata kasar itu terlontar begitu saja dari mulutnya.
“Kalo gitu aku akan ninggalin Arini, dan kamu hanya akan menjadi satu-satunya buat aku!” sahut Adrian tanpa menyerah.
“Gila! Lo gila! Gue gag bisa hidup dengan orang gag punya hati kayak Lo! Sekarang Lo pergi, mulai sekarang kita hanyalah orang asing yang tidak perlu mengingat apapun yang udah terjadi di masa lalu.” Tegas Reva dengan penuh penekanan.
Adrian jauh terduduk, rasanya tulang penyangga tubuhnya sudah melebur bersama air mata yang terus menetes.
Sudut hati Reva terasa begitu perih tatkala kata-kata itu keluar begitu saja. Tidak hanya Adrian, Reva pun ikut terisak saat menyadari semuanya memang harus berakhir.
Reva berusaha menguasai dirinya yang ikut terlarut dalam pusaran kecewa.
“Adrian, Kamu harus tanggung jawab sama istri dan anak kamu. Terlepas seperti apa asal hubungan kalian, saat ini kamu adalah tiang bagi mereka. Jangan sakiti mereka seperti kamu nyakitin aku. Walaupun sulit, aku harus melepaskan kamu dan membiarkan kamu memulai hidup kamu yang baru bersama mereka. Tolong, jangan buat aku merasa berdosa karena merebut sesuatu yang tidak seharusnya aku harapkan.” Tutur Reva dengan penuh ketegaran.
Air mata yang menetes tinggallah air mata yang mungkin akan menjadi akhir dari rasa sakit yang Reva rasakan.
Adrian mencoba untuk bangkit, kakinya terasa lemas seperti kehilangan tenaga. Semua yang telah ia jalin bersama Reva, memang terpaksa harus berakhir. Ia tak bisa lagi menyentuh wajah yang kerap muncul di pikirannya, ia tak lagi bisa memeluk tubuh yang selalu menghangatkannya dan ia pun tak lagi bisa menatap mata damai yang selalu mengusir kegundahannya, terlebih ia tak bisa lagi mendapat cinta dari Reva Anasya yang begitu dicintainya.
Adrian meraih tangan Reva lalu mengusap pipinya dengan lembut. Ia menghapus setiap sisa air mata yang membekas di wajah Reva. Reva tertunduk, ia tak mampu menahan rasa sedih yang menggerogoti hatinya.
Untuk terakhir kalinya, Adrian mengecup lembut kening Reva dengan penuh perasaan. Bahunya terlihat naik turun, menggambarkan tangis yang sedang di tahannya. Di peluknya Reva dengan erat.
“Maafin aku,… Aku ngelepasin kamu. Bahagialah dengan yang lain, cukuplah aku yang jadi alasan kamu menangis. Love you bey….” Bisik Adrian dengan suara paraunya.
Reva hanya mengangguk, ia berusaha melepaskan semua perasaannya pergi bersama Adrian. Terasa sakit memang, tapi tidak ada pilihan lain baginya. Sejenak , biarkan ia menjadi egois, menikmati pelukan hangat Adrian untuk terakhir kalinya. Dan tangis yang menetes ini, biarkan menjadi pengiring kepergian Adrian menuju kebahagiaannya yang baru.
Flash Back Off
****
Huhuhu... Aku nulisnya sambil nangis jugaaaa, yang sabar yaaa reader sekalian...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
mang tri
ya ampuuunn nyesek banget sih 😭
2024-03-06
0
Mystera11
😭😭😭😭😭😭
2023-07-07
1
Kisti
😭😭😭krn mncintai kekasih dan dijodohkn ortu itu qta sering mengalahkn perasaan,dan ortu qta mnangkn....jangan spt aq ya anak2,adik2 mungkin...melepas cinta spt adrian dan reva,terima prjodohn dmi ortu punya 2anak cowok.dan kndas juga rumahtangga krn hti tdk bisa dpaksa dan anak2 korban itu pasti 😭😭😭😭
2023-03-11
0