15 menit berlalu, Adrian masih belum keluar dari kamar mandi. Rekor mandinya mengalahkan Reva yang biasanya mentok di angka 10 menit.
“Lulur aku jangan kamu habisin ya bey…” seru Reva sambil tertawa geli.
Tidak ada jawaban dari Adrian. Tak lama, handle pintu kamar mandi terbuka. Adrian hanya mengenakan celana hitamnya tanpa atasan sehelai benangpun. Reva yang sekilas melihat barisan roti sobek tertata rapi di perut Adrian, segera memejamkan matanya. Ia tak ingin mata perawannya melihat sesuatu yang belum seharusnya ia lihat. Sambil menutup matanya Reva memberikan sweater yang menurutnya cukup untuk Adrian.
“Nih!”
Adrian mengambilnya dan segera memakainya.
“Aku udah bikinin minuman anget. Kamu udah makan?” Reva menyodorkan segelas besar minuman hangat untuk Adrian.
“Aku udah makan kok tadi sebelum ke sini.” Sahut Adrian yang masih mengeringkan rambutnya.
“Duduk sini, aku bantuin keringin, biar gag lama, nanti kamu masuk angin.”
Reva mendudukan Adrian di atas tempat tidurnya lalu berdiri di hadapan Adrian seraya mengacak rambut Adrian dengan handuk kecil. Adrian memandangi wajah Reva yang menyunggingkan senyuman manis di bibirnya. Perasaannya terasa hangat, seperti setiap saat Reva ada di sampingnya.
Tanpa Reva duga, Adrian memeluknya dan membenamkan wajahnya di perut Reva.
“Bey, jangan gini dong, susah nih ngeringin rambutnya..” protes Reva.
Namun Adrian tak menghiraukannya. Ia menarik tubuh Reva hingga telungkup di atas tubuhnya. Tak lama ia berguling, membuat tubuh Reva berada tepat di bawah tubuhnya. Mata Reva membelalak melihat wajah Adrian yang semakin dekat dengan wajahnya.
Adrian menyelipkan jemarinya di antara jemari Reva lalu mengcengkramnya dengan lembut. Sedetik kemudian, bibir keduanya bertemu, saling mengalirkan rasa hangat. Reva memejamkan matanya, nafasnya terasa sesak tak menentu. Adrian melepaskan kecupannya untuk beberapa detik, namun kemudian kembali menggigit lembut bibir Reva namun kali ini terasa begitu mendesak dan penuh gairah hingga tanpa terasa tangannya mulai menelusur perut Reva dengan lembut dan membuat tubuh Reva bergetar. Suara lenguhan Reva, membuat Adrian semakin bergairah.
Reva segera membalik tubuhnya.
“Bey! Jangan kelewatan!” uja Reva yang segera menjauh dari Adrian.
Ia merasa takut Adrian akan melewati batasnya.
Adrian segera berdiri mengimbangi Reva. Ia mengacak rambutnya frustasi.
“Maafin aku bey, maaf…” lirih Adrian seraya mengecup pucuk kepala Reva.
“Kamu kenapa sih, gag biasanya kayak gini.” Selidik Reva yang merasa ada kejanggalan dalam diri Adrian.
“Aku cuma kangen aja sama kamu. Maafin aku, aku janji gag akan ngulang hal kayak tadi.” Tutur Adrian dengan penuh kesungguhan.
Reva menghembuskan nafasnya kasar, ia menatap Adrian yang tertunduk diam. Ia mengambil minuman yang telah di buatnya dan memberikannya pada Adrian.
“Bukannya ngusir, tapi setelah minum, kamu pulang ya… Hujannya juga udah reda. Aku gag mau ibu kost mikir yang macem-macem kalo kamu nginep di sini.” Terang Reva.
Adrian hanya mengangguk lalu menatap Reva dengan sendu. Reva berusaha memalingkan wajahnya, ia merasa tak tega juga menyuruh Adrian pulang selarut ini. Namun memang tidak ada pilihan lain.
Selesai meneguk segelas minuman hangat, Reva membantu Adrian memakai jaket miliknya. Walau sedikit kekecilan, tapi paling tidak, tidak akan membuat Adrian kedinginan.
“Aku pulang ya bey, ketemu besok di kampus.” Pamit Adrian seraya mengecup pucuk kepala Reva.
“Iya, kabarin kalo udah sampe kostan…” Reva melambaikan tangannya ke arah Adrian yang berlalu pergi.
Setelah bayangan Adrian tidak lagi terlihat, Reva kembali ke kamarnya dan menutup pintunya rapat-rapat. Ia menyandarkan tubuhnya ke daun pintu, meraba dadanya yang masih berdetak tak menentu. Ia tersenyum tipis saat mengingat sentuhan lembut dari bibir Adrian, betapa kali ini sensinya terasa berbeda.
“Reva, lo baru 18 tahun, jangan terlalu mesum bisa gag sih!” batin Reva mengupati dirinya sendiri.
Sementara di luar sana, Adrian masih duduk di atas motornya, memandang ke arah kamar Reva yang lampunya masih menyala. Sudut bibirnya tersenyum, namun ada tangis yang ia coba tahan.
Adrian memekik, ia menekan sudut matanya yang tiba-tiba meneteskan butiran air mata. Pikiran dan perasaannya kalut tak menentu.
“Re, apa aku bisa tanpa kamu….” Lirih Adrian yang berusaha menengadahkan wajahnya , menahan deraian air mata yang masih menetes.
****
Suasana kelas masih senggang. Dari pintu masuk, Reva melihat Riana yang sedang berbicara dengan Linda. Melihat kedatangan Reva, Linda segera pergi dan duduk di bangku paling belakang. Matanya mengerling menunjukkan rasa tidak suka.
“Re,…” sapa Riana yang tiba-tiba menghampiri.
“Hay Ri, gimana kabar lo?” Reva berusaha tersenyum lalu duduk di kursinya.
Riana mengangguk. Ia meraih tangan Reva kemudian mengenggamnya dengan erat.
“Re, soal malem itu…” Riana terlihat ragu-ragu. Ia menoleh Linda yang duduk di belakang.
“Gue tau lo lagi mabok, jadi gue anggap lo gag pernah ngomong apapun. Tapi, gue harap lo tau, kalau gue gag pernah mencoba merebut siapapun dari lo. Kalo lo seneng , gue juga ikut seneng, jadi buat apa gue nyakitin lo.” Terang Reva seraya menatap Riana dengan hangat.
“Thanks Re… Maafin gue, mungkin gue banyak nyakitin lo.” Riana tertunduk malu di hadapan Reva.
“Udah lah Ri, lo gag salah apa-apa, gag perlu minta maaf juga.” Timpal Reva seraya mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas.
Riana hanya mengangguk, ia duduk di samping Reva dan sesekali melirik Reva yang mulai asyik dengan buku-bukunya.
“Re, lo di panggil ke ruangan Dekan.” Tutur Jeremy dengan nafas terengah.
“Gue di suruh ke ruang dekan? Ada apa?” Reva menatap Jeremy dengan bingung.
"Gag tau juga, coba aja lo ke sana dulu. Mau gue temenin?” tawar Jeremy.
“Gag usah, gue bisa sendiri. Lo temenin aja Riana.” Sahut Reva yang bergegas pergi.
Terlihat Riana menoleh Linda yang duduk di belakang, namun Linda hanya tersenyum seraya mengacungkan ibu jarinya.
“Si Reva ada urusan apa sama Dekan Ri?” tanya Jeremy yang juga kebingungan. Riana seperti menyembunyikan sesuatu.
Riana hanya menggelengkan kepala lalu bergegas menyusul Reva.
****
Reva sudah berada di depan Ruang Dekan dengan pintu yang terbuka lebar. Dari pintu terlihat Dekan dengan beberapa Dosen dan seorang wanita yang tidak ia kenali.
“Permisi pak, bapak manggil saya?” sapa Reva saat memasuki ruangan Dekan.
“Oh Reva, ayo masuk.” Ujar pak Amri seraya tersenyum.
Reva masuk ke ruang Dekan tanpa ragu, namun tiba-tiba wanita yang tidak ia kenali menghampirinya.
“Jadi kamu yang namanya Reva?” tanya wanita tersebut dengan mata membulat.
“Iya bu, ada apa ya?”
“PLAK!” sebuah tamparan menjadi jawaban ambigu bagi Reva.
Reva menyentuh wajahnya yang terasa panas. Semua pandangan tertuju pada Reva yang sesaat begitu terintimidasi dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.
Wanita di hadapannya menatap dengan sinis dan lelehan air mata di pipinya.
“Ibu kenapa nampar saya? Saya salah apa sama ibu?”
Reva merasa tidak terima dengan perlakuan wanita tersebut. Terlebih ia tidak mengenal wanita ini sedikitpun.
“Aaww…” Tanpa memberi jawaban wanita tersebut memegangi perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri, membuat seorang wanita paruh baya segera menghampirinya.
“Arini, duduk dulu. Kita bicarakan baik-baik.” Tutur wanita itu dengan tatapan tak kalah sinis pada Reva.
“Reva, duduklah..” Intan, salah satu dosennya menarik tangan Reva dan memintanya untuk duduk.
Dengan diliputi kebingungan Reva duduk di samping Intan. Pipinya masih terasa perih dan kemerahan.
“Reva, saya akan bertanya dengan baik-baik, kamu tolong jawab dengan jujur.” Suara pak Amri terasa penuh penekanan.
Reva mengangguk, mencoba berdamai dengan kondisi yang dihadapainya.
“Saya mendapat pengaduan, kamu sering menggoda seorang dosen yang sudah beristri, pergi jalan bersama dan mengiriminya pesan-pesan cinta, apa itu benar?” tanya Amri dengan tatapan tajamnya.
“Saya? Enggak pak…” kilah Reva dengan wajah polosnya.
“Jangan bohong kamu, kemaren malem saya liat kamu kirim pesan cinta buat suami saya. Bilang kangen lah, ngajak jalan lah, dasar perempuan gag tau diri!” teriak Arini dengan air mata yang tidak bisa ia tahan.
“Maaf bu, ibu jangan asal bicara. Saya tidak pernah menganggu suami orang! Masih banyak laki-laki lajang yang mau sama saya.” Sahut Reva dengan angkuh. Bagaimanapun ia harus menjaga harga dirinya.
“Oh begitu? Terus ini apa?” teriak wanita itu seraya melemparkan beberapa lembar foto ke hadapan Reva.
Reva mengambil salah satu foto yang ia yakini adalah dirinya. Disampingnya laki-laki yang tidak asing baginya. Terlihat senyuman kelu di bibir Reva yang mulai bergetar.
“Arini!” seru seorang laki-laki yang tak lain adalah Adrian.
Ia mengambil semua foto yang terserak di atas meja termasuk yang di genggaman Reva.
“Apa maksud kamu? Kamu ingin mempermalukan saya?!” teriak Adrian.
Arini hanya terpaku. Ia menjatuhkan tubuhnya di samping sang ibu.
Reva menghela nafasnya perlahan. Ia berusaha menahan tangis yang hampir meledak di dadanya.
“Sudah berapa lama ibu menikah dengan pak Adrian?” tutur Reva seraya menatap Arini dan tersenyum selebar mungkin.
“2 bulan, dan sekarang saya sedang mengandung anaknya mas Adrian!” sahut Arini dengan suara bergetar.
Reva terangguk, ia menatap Adrian yang berdiri di hadapannya. Wajah Adrian terlihat pucat pasi, dengan mata yang kemerahan.
“Reva, apa benar kamu menjadi selingkuhan pak Adrian? Kalau kamu benar menjadi selingkuhannya, beasiswa kamu akan di cabut dan Pak Adrian akan di berhentikan sebagai Dosen tetap di sini.” Ujar Intan dengan perlahan.
Reva menarik nafas dalam-dalam. Ia berusaha menguasai emosinya yang tak bisa ia jelaskan. Di pintu masuk, ia melihat Riana, Linda dan Jeremy yang juga menunggu jawaban Reva.
“Saya memang menggoda Pak Adrian.” Kalimat itu yang pertama keluar dari bibir tipis Reva yang masih tetap tersenyum. Seisi ruangan menggeleng tidak percaya, termasuk Adrian. “Saya menggodanya untuk mendapatkan uang. Saya wanita cantik, bisa menarik siapapun yang saya inginkan. Tapi pak Adrian tidak tertarik pada saya, bahkan ia tidak pernah berpaling dan tidak meninggalkan ibu bukan? Itu berarti, pak adrian benar-benar mencintai ibu.” Tutur Reva yang berusaha menegakkan kepalanya menatap Arini yang menatapnya dengan penuh kebencian.
“Plak!” lagi, satu tamparan mendarat di pipi Reva, kali ini tangan Ibunya Arini yang memberikan tanda merah di pipinya.
“Wajah kamu cantik, tapi hati kamu busuk! Berapa harga kamu semalam hah? Berapa banyak uang yang pernah Adrian berikan sama kamu hah? Jawab saya!” Teriak wanita tersebut sambil memukul Reva dengan tas tangannya.
“Bu, sudah bu… Masalah ini akan kami selesaikan.” Intan berusaha menahan tangan yang kembali hampir menghabisi Reva.
“Saya mohon maaf atas kesalahan saya. Semoga ibu dan bayi dalam kandungan ibu selalu sehat. Saya permisi.” Ujar Reva yang bergegas pergi meninggalkan orang-orang yang memandangnya rendah.
“Reva!” Adrian menghadang langkah Reva. Matanya terlihat merah dan berkaca-kaca. Ia sadar, yang Reva lakukan adalah demi melindunginya.
Reva hanya tersenyum seraya menggelengkan kepalanya. Butiran air matanya hampir jatuh. Kenapa orang yang ia cintai harus memilih menikah dengan wanita lain? Dimana kata-kata cinta yang selama ini Adrian ucapkan untuknya? Namun pada akhirnya, teka-teki Reva selama ini terjawab sudah. Urutan waktu yang tidak ia lewati bersama Adrian, itu karena Adrian tengah mengukir janji sehidup sematinya dengan wanita lain.
“Permisi Pak Adrian, saya mau lewat.” Ucap Reva dengan penuh ketegasan. Ia berusaha untuk kuat, ya sekuat yang ia bisa.
“Mulai saat ini, kita adalah dua orang asing yang hanya ditakdirkan bertemu tanpa pernah bisa bersatu.” Batin Reva. Dengan langkah pastinya ia meninggalkan Adrian yang masih mematung.
****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 191 Episodes
Comments
Kisti
mungkin memang bneran adrian cinta,tapi takdir tdk berpihak pd cinta kalian....revaaaaa smg raka pelindungmu yaaa 🥰
2023-03-11
0
Ririn
duhhh nyeseg beud
2023-03-02
1
Bunda dinna
Adrian sudah menikah tp masih mendekati Reva
2023-03-01
1