Meet Me At Midnight

Meet Me At Midnight

Rintik Hujan

Siang itu, Brian meneduhkan diri di sebuah minimarket. Hujan deras yang turun membuatnya kedinginan. Harus berapa lama lagi ia menunggu hujan segera reda? Brian ingin pulang. Tapi jarak rumahnya masih cukup jauh jika ia nekat berlari dari sini.

Pintu minimarket itu pun terbuka. Seorang gadis cantik keluar dari minimarket. Rambut panjangnya terurai, tanpa polesan apapun diwajahnya. Brian merasa senang melihat gadis itu. Sesekali ia mencuri pandangannya untuk menatap sang gadis.

Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah hujan yang turun. Merasakan air hujan yang terasa menyenangkan. Gadis itu tersenyum ketika menyentuh air hujan.

"Suka hujan ya?" tanya Brian kelepasan. Ia langsung menutup mulutnya dan bersumpah tidak akan mengatakan apapun lagi.

"Iya. Kalau kamu?" tanya gadis itu masih dengan senyuman manisnya.

"Aku nggak terlalu suka. Karena hujan, aku jadi nggak bisa pulang ke rumah." jawab Brian.

Lagi-lagi gadis itu tersenyum dengan manisnya.

"Sebagian orang mungkin membenci hujan. Tapi sebagian lagi menyukai hujan. Bagiku hujan mempunyai nada yang indah. Mendengar suara hujan membuatku senang." sahut gadis itu.

"Lalu, kenapa kamu nggak bermain hujan?" tanya Brian dengan polosnya.

"Kamu lucu ya." Gadis itu kembali tersenyum dan tertawa kecil.

"Namaku Gisel." ucap gadis itu mengulurkan tangannya. Ia memperkenalkan diri pada Brian.

"Brian." sahut Brian menyambut uluran tangan gadis bernama Gisel itu.

"Kamu tinggal di daerah sini?" tanyanya.

"Aku di komplek Permata situ. Kalau kamu?" jawab Brian balik bertanya.

"Aku di komplek Buana. Dekat dong ya."

Gisel terlihat manis saat berbicara. Brian semakin berdebar ketika Gisel mengajaknya berbicara panjang. Sambil menunggu hujan reda, Gisel selalu bertanya pada Brian. Hingga akhirnya Brian pun tahu bahwa Gisel satu tahun lebih tua darinya.

Tahun ini, Gisel wisuda kelulusan di sekolah tingkat pertamanya. Entah dimana ia akan melanjutkan sekolahnya.

Hari - hari berlalu. Terkadang jika bertemu dengan Gisel, Brian akan memanggilnya dengan keras, hingga Gisel merasa malu dipanggil sekeras itu.

Suatu ketika, Brian ingin bertemu Gisel dan main ke komplek perumahannya. Gisel terlihat sedang bermain ayunan di taman. Brian yang membawa sepeda, menepikan sepedanya dan menghampiri Gisel.

"Hai, Gisel." sapa Brian. Gisel menoleh dan kembali mengulas senyum di wajahnya.

"Halo, Brian."

"Kenapa kamu duduk disini sendirian?" Brian ikut duduk di ayunan sebelah Gisel.

"Minggu depan aku mau pindah sekolah, Brian." kata Gisel.

"Pindah sekolah? Bukannya kamu sudah masuk ke sekolah Garuda?" tanya Brian tidak mengerti.

"Iya, Brian. Tapi Ayahku mendapatkan pekerjaan di daerah Kalimantan. Dan aku akan pindah ke sana."

Brian menelan ludahnya.

"Kamu serius?" tanya Brian tidak percaya. Baru saja ia mengenal Gisel lebih dekat. Baru saja ia merasa senang dengan Gisel yang selalu tersenyum. Tapi sekarang, Gisel bersedih dan masih tetap tersenyum.

"Maaf ya, Brian. Padahal kita sudah dekat." ucap Gisel.

"Jangan bilang begitu. Bagaimanapun, itu adalah keluargamu. Kamu harus ikut dengan keluargamu." kata Brian.

Gisel menatap Brian dengan sedih. Baru kali ini Gisel menatap mata Brian dengan dalam.

"Belajarlah yang rajin, Brian. Sampai kamu lulus sekolah." kata Gisel. Brian tertawa dan menganggap ucapan Gisel hanyalah candaan.

"Jangan bicara begitu. Aku pasti lulus apapun alasannya."

Tiba - tiba, Gisel memeluk Brian. Brian pun merasa terkejut.

"Aku sedih, Brian. Aku baru saja menyukaimu. Tapi aku harus pergi." kata Gisel. Senyum dibibir Brian pupus sudah. Mendengar Gisel menangis, bagaikan ada pisau yang menusuk jantungnya.

Brian mengelus punggung Gisel yang menangis tersedu. Lidahnya merasa kelu. Entah apa yang harus ia katakan pada Gisel.

"Nggak apa - apa, kita pasti bertemu lagi." kata Brian. Hanya itu yang bisa ia ucapkan.

"Kamu harus janji, kalau kamu melihatku, kamu harus mengenaliku. Ya?"

Brian tertawa mendengar suara Gisel yang terdengar manja.

"Brian! Jangan tertawa!"

"Iya, aku janji. Kamu juga harus janji, jaga kesehatan kamu dan rajin belajar."

Gisel mengulurkan kelingkingnya agar ia bisa menyatukan janji mereka. Brian mengikuti saja apa yang Gisel lakukan.

"Kamu harus tumbuh jadi wanita kuat, cerdas dan cantik." kata Brian.

"Kamu juga ya, Brian. Jadi lelaki sukses, terkenal dan tampan. Supaya kamu bisa mencari keberadaanku." kata Gisel dengan senyum lebarnya.

Brian pun ikut tersenyum. Bagi siapapun yang melihatnya, senyum Gisel adalah senyum terindah yang pernah dilihat. Menawan dan anggun. Gisel juga selalu mengenakan bandana di kepalanya. Sehingga menambah keanggunan Gisel saat ini.

Brian merasa sedih sebentar lagi ia akan ditinggalkan oleh Gisel. Walau hatinya ingin berteriak, tapi apa yang bisa Brian lakukan. Ia bukan siapa - siapa Gisel. Ia hanyalah seseorang yang tidak sengaja bertemu dengan Gisel di sebuah minimarket kemudian mengikat janji dengannya.

Keesokan harinya, Brian main ke komplek perumahan Gisel. Ia melihat barang - barang Gisel yang sudah dinaikkan keatas truk barang. Awalnya, Brian ingin menghampiri rumah Gisel dan menemui Gisel. Tapi Brian mengurungkan niatnya dan memutarbalikkan sepedanya lagi.

Hati Brian terasa hampa. Ia merasa kosong dan sedih Gisel akan pindah dari perumahan itu.

Hari ini hujan lagi. Lagi - lagi Brian tidak bisa pulang karena hujan dan ia tidak membawa payung. Brian meneduhkan diri di minimarket dan baru kali ini hatinya merasa pilu. Ia benar - benar membenci hujan. Dimana hujan akan membawanya pada kenangan pahit dalam hidupnya.

Sebuah mobil melaju dengan perlahan. Karena hujan deras dan takut menyiprati orang lain dengan air yang tersentuh dengan ban. Gisel melihat Brian yang sedang meneduh di minimarket. Hati Gisel kembali ingin menangis. Ini adalah terakhir kalinya ia melihat Brian. Ia melihat sosok Brian yang sedang menunggu hujan reda dengan menengadahkan tangannya untuk bermain air hujan.

"Gisel, jangan bersedih lagi." ucap Mama melihat Gisel yang sedang ingin menangis.

Dengan kerongkongan yang tercekat, Gisel hanya bisa menjawab pendek. "Enggak, Ma."

Mama dan Papa hanya bisa saling menatap. Mereka tahu ini seringkali melukai hati Gisel. Seringkali pula Gisel membohongi dirinya bahwa ia baik - baik saja, walaupun sebenarnya tidak.

Hujan sudah reda. Brian mengambil sepedanya yang sudah diparkir dan menaikinya. Ada hati yang terluka karena hujan dan ada yang berbahagia karena hujan.

Kali ini, Brian hanya mempunyai hati yang terluka karena hujan. Ia mengayuh sepedanya dengan perlahan. Ia perlahan meninggalkan minimarket yang mempertemukannya dengan Gisel. Seolah ia tidak ingin menoleh ke minimarket itu lagi.

Ia menatap kedepan, berharap suatu hari nanti Tuhan akan mempertemukannya kembali dengan Gisel. Dengan cara apapun, ia akan terus meminta pada Tuhan walau terpisah dengan jarak yang cukup tahu, hanya Gisel-lah yang selalu berada dalam lantunan doanya.

Terpopuler

Comments

suharwati jeni

suharwati jeni

baru awal sdh tertarik nih aq

2022-02-02

0

Cederilall__

Cederilall__

Allo kak, aku datang bawa paket komplit spesial tapi gak pakai telur😅
Semangat terus thor🔥
Jangan lupa mampir di lapakku
"My Sweety Infantry"

2020-05-20

1

Ishiba Aoi

Ishiba Aoi

btw ko ga bisa vote ya? yg trsdia cma tip doang, klo tip, aku ga pnya koin, mf kk aku ga bsa vote.. krna crita kk ga ada sstem vote'a, aku sndri jg bngung

2020-05-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!