Mengendalikan Diri

Gisel mulai bekerja lagi. Walaupun dirinya sudah bertemu dengan Brian, tapi ia tetap melakukan pekerjaannya seperti biasa. Gisel mengerti bahwa dalam lubuk hatinya tertulis jelas nama Brian. Tapi, realita tetaplah realita. Gisel tetap menjalani pekerjaannya sebagai wanita malam.

Malam sebelum Gisel kembali bekerja....

"Bagaimana jika aku ingin bertemu denganmu?" tanya Brian yang telah sampai mengantar Gisel ke depan gedung apartemennya. Gisel terlihat berpikir sejenak kemudian ia tersenyum.

"Kamu bisa mengirimiku pesan." ucap Gisel. Brian terlihat bingung.

"Apa boleh aku kirim pesan?"

"Kenapa tidak? Setidaknya kita janjian dulu sebelum bertemu. Aku dan kamu juga sama - sama bekerja. Kita bisa menentukan waktu untuk bertemu." kata Gisel. Brian mengangguk setuju dan mereka saling bertukar nomor telpon.

"Dimana kamu bekerja sekarang?"

DEG! Gisel tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Apakah ia mrnjawab saja kalau ia bekerja di kelab malam?

"Aku akan memberitahumu suatu hari nanti."

Brian mengangguk mengerti. Ia tidak banyak bertanya lagi dan membiarkan Gisel masuk ke dalam apartemen.

----

Sampai saat ini, Gisel masih belum menceritakan pada Brian tentang pekerjaannya ataupun kehidupan malamnya. Brian hanya tahu jika Gisel saat ini bekerja saja.

Gisel meneguk minumannya di meja bar. Ia meminum sedikit demi sedikit menyingkirkan perasaannya saat bekerja.

"Tumben minum - minum saat jam kerja." kata Liana yang ikut duduk disampingnya.

"Kenapa kamu lagi sih?" tanya Gisel kesal.

"Aku mau kasih tahu, kalau kemarin ada salah satu pengusaha datang dan mencarimu." kata Liana.

"Siapa?"

"Kamu masih ingat Regas nggak? Pria tampan usia empat puluhan yang istrinya sakit - sakitan? Nah itu dia." ujar Liana.

"Oh, yang punya usaha ban itu ya."

"Iya. Katanya hari ini dia mau kesini. Kamu siap - siap deh kalau nanti dia minta kamu ke ruangan VIP."

Gisel kembali meneguk minumannya lagi, menatap botol - botol minuman yang dipajang di rak etalase dan menunggu Regas yang Liana ceritakan barusan.

*****

Brian mengecek ponselnya sesekali. Ia penasaran mengetahui kabar dari Gisel. Terlebih ia juga ingin menelpon dan mengajaknya makan malam. Apakah Gisel sudah selesai bekerja? Ataukah sudah berada di jalan pulang? Brian membolak - balikkan ponselnya dan merasakan kegelisahan. Menit demi menit berlalu, tidak terasa sudah malam hari dan waktunya untuk pulang.

"Tuan." panggil Pak Liam. Brianpun langsung menengok dan melihat Pak Liam.

"Sudah jam 7 malam lewat. Anda tidak pulang?" tanya Pak Liam. Brian lalu melihat jam tangannya dan sudah beberapa jam ini ia terus memikirkan Gisel.

"Baiklah, Pak. Kita pulang sekarang saja." ujar Brian terburu - buru merapikan beberapa kertas yang berserakan di meja kerjanya.

Begitu sampai lobby kantor, Brian menoleh ke kanan dan juga ke kiri. Ia berharap bahwa ada bayangan Gisel disekitar kantornya. Tapi rasanya tidak mungkin. Walau harapan itu ada, tapi seperti kata Gisel, memulai semuanya dengan pelan - pelan.

Pak Liam mengklakson Brian yang setengah melamun. Kemudian ia segera memasuki mobilnya. Sudah tiga hari sejak ia bertemu dengan Gisel dan ia belum bertemu lagi dengannya.

Di dalam kelab, seorang laki - laki menyentuh bahu Gisel, setengah memeluknya, menandakan bahwa ia sudah datang.

"Regas?" tanya Gisel.

"Kemarin kamu nggak datang? Kenapa?" tanya Regas memesan segelas minuman.

"Aku ada perlu jadi aku ambil libur sehari." jawab Gisel.

"Malam ini kamu temani aku ya. Nggak perlu macam - macam. Temani aku saja." kata Regas meneguk minumannya.

"Oke." Gisel mengiyakan tanpa banyak bertanya.

"Mau kupesankan ruang VIP?" tanya Gisel.

"Nggak perlu. Karena sebentar lagi aku juga mau ke rumah sakit." jawab Regas sedikit sedih.

"Sakit apa istrimu?"

"Kanker usus. Sebenarnya aku cukup kasihan melihat keadaannya. Jadi terkadang aku tidak tega dan merasa stress." Regas meneguk lagi minumannya.

"Jangan minum terlalu banyak. Kasihan istrimu."

"Entah, aku harus bagaimana. Anakku juga aku titip kesana dan kesini karena aku harus mengurus istriku. Pekerjaanku juga semakin menumpuk."

Gisel mengelus punggung Regas yang terlihat lelah. Tidak lama kemudian, ponsel Regas berbunyi. Setelah ia melihat layar pada ponselnya siapa yang menelpon, Regas langsung buru - buru mengangkatnya.

"Ya, halo? Apa? Iya, saya kesana." Regas terdengar khawatir dan terburu - buru pergi meninggalkan Gisel.

"Aku ke rumah sakit dulu. Nanti kamu ku transfer ya."

Belum sempat Gisel menjawab, Regas langsung pergi meninggalkan Gisel. Gisel jadi teringat bagaimana ia harus merawat dan banting tulang kesana dan kemari agar ibunya bisa sembuh dari sakitnya.

*****

Regas terburu - buru memarkirkan mobilnya di dekat lobby rumah sakit, setengah berlari menuju ruang ICU yang terletak di lantai dua. Ia menaiki eskalator dan tidak bisa diam di tempat menunggu tangganya naik. Ia berjalan di atas eskalator agar semakin cepat sampai di lantai dua. Kemudian ia setengah berlari lagi menuju ruang ICU.

Disana, kondisi istrinya menurun drastis. Terlihat dokter sedang berusaha menyelamatkan nyawanya dengan menggunakan defibrilator.

"150 joule! Shoot!" kata sang dokter setengah berkeringat. Ia berusaha semaksimal mungkin agar napas istri Regas kembali normal.

"200 joule! Shoot!"

Regas terlihat panik ketika melihat istrinya berada dalam kondisi yang cukup memprihatinkan. Beberapa selang sudah dipasang sana - sini, bahkan sekaranf dokter telah berusaha mengembalikan detak jantungnya. Sesekali dokter memompa detak jantungnya dengan cara manual. Tapi, Tuhan berkehendak lain. Wanita cantik yang telah mendampingi Regas, jantungnya tidak bisa berdetak lagi.

Tiiiiiiiiiiiiiit

Dokter mengumumkan waktu dan tanggal kematian istrinya. Regas berteriak memanggil nama istrinya yang sudah tiada.

"Iya, Pah. Amanda sudah tiada. Baik. Baik, Pah. Regas tunggu di rumah sakit."

Regas duduk di kursi di depan ruang ICU. Membenamkan wajahnya dengan kedua tangannya. Menangisi kepergian istrinya, Amanda, yang sudah pergi meninggalkannya ke surga.

*****

"Regas sudah datang?" tanya Liana begitu melihat Gisel yang masih duduk sendiri.

"Sudah. Tapi tidak lama dia pergi lagi." jawab Gisel sambil meneguk minumannya kembali. Liana merasakan ada yang aneh pada Gisel. Mengapa hari ini ia begitu banyak minum. Saat Gisel, lagi - lagi ingin meneguk minumannya, Liana mengambil gelas yang Gisel genggam.

"Ada apa, Gisel? Kenapa kamu seperti ini? Nggak biasanya kamu minum sebanyak ini!" tanya Liana.

"Kenapa? Apa disini yang boleh minum cuma pelanggan saja? Para pekerja disini nggak boleh?" tanya Gisel tidak terima dengan apa yang Liana katakan.

"Gisel, ada apa denganmu? Ada apa sebenarnya? Sejak kamu datang sampai detik ini kamu sudah minum hampir satu botol!" Nada kekhawatiran Liana terdengar jelas ditelinga Gisel membuat Gisel semakin jengkel.

"Kenapa, Liana? Apa di dunia ini yang bisa punya masalah hanya kamu saja? Kamu pikir aku tidak bisa punya masalah juga jadi aku tidak boleh minum - minum?"

Liana sudah mulai tidak mengerti dengan apa yang Gisel bicarakan.

"Aku akan antar kamu pulang saja malam ini. Aku akan menggantikanmu dan kamu bisa istirahat di rumah." kata Liana meraih tangan Gisel, tetapi Gisel menepisnya.

"Jangan sok perhatian atau pun mencoba menggantikan posisiku." Gisel menatap Liana dengan tajam.

"Kalau kamu tidak mau digantikan, maka dari itu sadarlah! Kenapa kamu seperti ini?" Liana mulai kehabisan kesabarannya. Gisel bangkit dari duduknya, menunjuk wajah Liana. Tidak lama kemudian, Gisel terjatuh dilantai.

"Ya ampun, Gisel!" seru Liana kemudian ia memanggil security untuk membantunya membawa tubuh Gisel ke dalam mobilnya. Liana juga mengambil barang - barang Gisel di dalam loker karyawan.

*****

Brian sudah cukup lama menunggu Gisel di depan gedung apartemennya. Ia menelpon Gisel berkali - kali. Meminta Gisel untuk segera keluar dari apartemennya. Tapi tidak ada tanggapan sedikitpun. Brian memutuskan menunggu sebentar lagi.

Sebuah mobil dengan lampu yang cukup terang membuat Brian hampir kehilangan pandangannya. Seorang wanita dengan gaun yang minim, turun dari kemudi mobil, kemudian membuka salah satu pintu penumpang. Brian mengenali wanita itu. Wanita yang pertama kali mengenalkan dirinya sebagai Liana di pesta peresmian perusahaannya. Lalu, siapa yang ia coba turunkan dari kursi penumpang?

Dengan susah payah, Liana menurunkan Gisel yang tidak sadarkan diri. Melihat Liana kesulitan, Brian menghampirinya.

"Liana!" seru Brian sedikit berlari. Liana menoleh ke arah suara itu dan belum sempat mengeluarkan Gisel dari dalam mobil.

"Brian? Kamu sedang apa disini?" tanya Liana dengan bingung.

"Aku menunggu temanku."

"Jam segini?" Liana melihat jam tangannya sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam.

"Ada yang bisa aku bantu? Kelihatannya kamu butuh bantuan." tanya Brian.

"Iya. Temanku ini entah tertidur, entah pingsan. Yang pasti sekarang dia nggak sadar." kata Liana. Brian kemudian melihat kondisi Gisel yang tertidur di kursi penumpang dengan sedikit membungkukkan badannya. Betapa terkejutnya bahwa yang ada di mobil Liana adalah Gisel.

"Gisel?" ucap Brian yang kemudian terdengar oleh Liana.

"Lho, kamu kenal Gisel?" tanya Liana bingung.

Brian menegapkan badannya kembali dan berbicara pada Liana.

"Iya, aku kenal dia." ucap Brian.

"Sebagai apa?"

"Sebagai apa maksudmu?" Brian tidak mengerti dengan ucapan Liana.

"Ya, aku tanya, kamu kenal Gisel sebagai apa? Teman atau klien?"

"Aku kenal sebagai teman." jawab Brian walau ia masih penasaran dengan apa yang Liana katakan. Kemudian ia melihat lagi kondisi Gisel yang mengenakan dress minim, sama seperti Liana.

"Kalian habis darimana? Kenapa kamu dan Gisel berpakaian seperti ini?" tanya Brian merasa heran.

"Kerja. Memang habis darimana lagi?" jawab Liana membuka pintu mobil kembali, kemudian Brian menahan tangan Liana.

"Kerja? Kerja apa maksudmu? Memang Gisel bekerja sebagai apa dan kenapa jam segini kalian baru pulang?" tanya Brian seperti kereta, tiada hentinya ia menanyakan ini dan itu pada Liana.

"Ah benar - benar! Kenapa begitu banyak pertanyaanmu? Aku harus menjawab yang mana dulu?" ujar Liana mulai merasa sebal.

Brian menatap Liana dengan tajam. Berharap Liana mengerti dengan pertanyaannya dan menjawab dengan seserius mungkin.

"Baiklah. Aku pikir kamu tahu. Tapi ternyata tidak. Gisel bekerja di kelab malam bersamaku. Dia pulang karena tadi dia minum banyak sekali dan tidak sadarkan diri." jelas Liana dengan santai.

Brian merasa terkejut dengan apa yang Liana katakan. Ia merasa adrenalinnya berpacu ketika Liana menyebutkan bahwa Gisel bekerja di sebuah kelab malam. Hatinya meronta dan ingin mengatakan tidak. Tapi, dilihat dari pakaian Gisel dan Liana, sudah cukup menjelaskan, dimana mereka bekerja dan apa yang mereka lakukan.

Terpopuler

Comments

suharwati jeni

suharwati jeni

kasihan Gisel.
jangan benci Gisel ya, Brian

2022-02-03

0

Hesti Sulistianingrum

Hesti Sulistianingrum

jangan benci Gisel, Brian

2021-03-22

0

indahpurnamasari

indahpurnamasari

akhirnya brian tauuu

2020-05-27

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!