Keluar Dari Kelab

Hari ini adalah hari libur. Walaupun libur, tetapi pekerjaan Bella seakan tidak pernah libur. Bahkan Ibu selalu mengatakan bahwa Bella berpacaran dengan pekerjaan. Seperti pagi menjelang siang hari ini. Bella membawa proposal sebuah universitas yang ingin disponsori oleh Salim Group padahal sebelumnya tidak pernah ada cerita Salim Group mensponsori kegiatan seperti itu.

Bella, Brian, Ayah dan juga Ibu telah duduk di sofa secara bersama. Meminta pendapat satu sama lain agar menemukan jalan keluar dari permasalahan ini.

Ayah terdiam mendengar masing - masing penjelasan. Ada yang pro dan juga kontra. Ayah terlihat berpikir bagaimana ia harus mengambil keputusan.

"Kalau kamu bagaimana, Brian? Kalau kamu mengkordinir mahasiswa magang yang baru, ada berapa mahasiswa yang akan bisa masuk ke dalam perusahaan? Akan kamu batasi jumlahnya atau kamu masukkan semua yang daftar?" tanya Ayah membuat Brian kembali berpikir.

"Biasanya ada dua atau tuga universitas dengan mahasiswa nilai terbaik yang bisa magang. Kalau kamu? Bagaimana dengan standar kamu?" tanya Ayah meminta pendapat Brian.

"Bagaimana kalau kita seleksi dengan sistem wawancara dan ditempatkan sesuai keahliannya? Jika memang dia memang bagus, dia bisa bekerja di perusahaan kita. Tentunya diperkecil lagi jumlahnya sesuai dengan penilaian semasa mereka magang." jawab Brian.

Kini, Ayah kembali berpikir. Antara masih setengah hati dengan jawaban Brian.

"Begitukah?"

"Aku rasa itu cukup adil agar nilai magang yang diserahkan ke kampus juga terlihat akurat." jawab Brian kembali yakin.

"Tapi Ayah, jika semakin banyak yang mendaftar, perusahaan kita akan membludak dengan karyawan magang." sahut Bella.

"Anggap saja kita sedang merekrut karyawan baru untuk kedepannya." kata Ayah. Kemudian Bella cemberut dan kali ini Brian benar. Bahwa ide ini sebenarnya tidak terlalu buruk. Hanya merubah sedikit sistem yang salah agar lebih terlihat efisien.

Bella tidak banyak bicara lagi. Ia mengikuti keputusan yang sudah dibuat. Kali ini ia juga harus percaya bahwa Brian bisa memimpin perusahaan dengan baik.

*****

Gisel kembali teringat perdebatannya dengan Brian semalam. Ia tidak menyangka bahwa Brian bisa seberani itu mengungkapkan isi hatinya.

"Mulai besok, jangan datang ke kelab lagi. Hentikan pekerjaanmu disini dan aku akan membayar semua kerugianmu." ucap Brian. Gisel menggeleng tidak percaya.

"Dan jangan pernah coba - coba tubuhmu disentuh lagi oleh mereka. Karena mulai detik ini, hanya aku yang akan menyentuhmu." lanjut Brian. Gisel tidak bisa berkata banyak lagi. Kemudian Brian melepas genggaman tangannya dan Gisel kembali ke dalam kelab.

Gisel meraih tasnya dan mengambil kunci mobilnya. Ia menuju butik Liana untuk mengetahui apa saja yang sudah ia bicarakan dengan Brian selama berada di dalam kelab.

Setelah sampai di butik Liana, Liana yang sedang merapikan beberapa baju umtuk display di manekin, terkejut dengan kedatangan Gisel yang tiba - tiba.

"Gisel?"

Gisel yang masuk dan duduk di sofa tanpa basa - basi, menunggu sebentar sampai pekerjaan Liana selesai.

"Aku baru buka dan kamu langsung datang. Apa aku dapat traktiran hari ini?" tanya Liana dengan ceria.

Wajah Gisel tidak secerah biasanya. Wajahnya kini penuh dengan kekhawatiran dan kecemasan. Ia baru tahu belakangan kalau Brian ternyata suka memperhatikannya di dalam kelab.

"Apa yang Brian katakan ketika dia bersamamu?" tanya Gisel. Ada nada kegelisahan dalam cara bicara Gisel kali ini. Liana merasa sedikit bersalah ketika Gisel menanyakan itu padanya.

"Sudah berapa lama Brian datang ke kelab? Tidak. Dari jam berapa Brian datang ke kelab? Dan apa yang ia lihat selama berada di kelab? Apakah ia melihatku bersama Regas?"

Semakin banyak pertanyaan yang Gisel tanyakan membuat hati Liana semakin sedih. Sejujurnya, ia sudah tahu bahwa suara Gisel terdengar bergetar. Gisel tidak tahu kemana lagi ia mencurahkan perasaannya. Hatinya yang sakit karena cintanya pada Brian dan juga harga dirinya yang meronta karena status pekerjaannya.

Liana memeluk Gisel dengan erat. Ia sudah paham betul bahwa Gisel hanya butuh ketenangan untuk hatinya saat ini.

"Menangislah Gisel. Aku tahu hatimu pasti terluka. Aku tahu itu." Liana menjatuhkan air mata di pipinya. Tapi Gisel masih bersikap tegar.

"Aku hanya ingin tahu seberapa jauh Brian memperhatikan pekerjaanku. Hei. Kasih tahu aku. Jangan diam saja." ucap Gisel. Suaranya semakin bergetar. Kemudian Gisel tidak bisa menahan tangisnya lagi.

"Brian mencintaimu, Gisel. Dia sangat mencintaimu. Tapi ia tidak bisa mengatakan karena kamu tidak mengizinkannya. Tolong turunkan sedikit egoismu. Berbahagialah dengan orang yang kamu cintai Gisel." kata Liana mengelus punggung Gisel.

Gisel tidak menjawab perkataan Liana. Ia terus menjatuhkan air mata di pipinya hingga matanya merah. Sampai hatinya merasa tenang, ia barulah menyandarkan punggungnya di sofa.

"Brian selalu melihatmu ketika Regas menyentuh rambutmu dan juga bahumu. Matanya seperti terbakar api. Selalu saja melihat Regas dengan tatapan sinis. Sesekali ia juga menahan emosinya ketika kamu tersenyum pada Regas." cerita Liana.

Gisel hanya mendengar cerita Liana dan air matanya terus mengalir.

"Walaupun aku duduk di samping Brian, tetap saja aku bisa merasakan kemarahan Brian. Terkadang ia juga meletakkan gelas di meja dengan kasar. Ia kesal melihat kamu harus bekerja seperti itu."

Gisel menghapus air matanya yang tumpah. Membayangkan betapa tulusnya Brian mencintai dirinya.

"Aku pikir kalau kamu bersama dia, masalah uang tidak akan menjadi kekhawatiranmu lagi." ucap Liana.

"Bukan uang masalah utamanya." ujar Gisel dengan suara yang bergetar. Matanya sudah terlihat sedikit bengkak karena sejak tadi ia sudah mengeluarkan air mata.

"Hidupku berada di kehidupan kotor. Sedangkan dia pewaris dari perusahaan terbesar di negeri ini. Bagaimana bisa seorang wanita sepertiku masuk ke dalam kehidupannya? Aku tidak bisa membayangkan kalau aku adalah penyebab kehancuran hidup Brian nantinya." jelas Gisel. Liana hanya memaklumi apa yang telah menjadi keputusan Gisel terhadap Brian.

"Mungkin, aku juga akan keluar dari kelab." kata Gisel.

"Apa? Keluar dari kelab?" Liana terkejut dengan apa yang Gisel katakan.

"Tapi kenapa? Kenapa kamu harus...." Liana terdiam sendiri ketika mengucapkan pertanyaan itu. Gisel punya alasan apalagi selain melakukan semua itu untuk Brian? Tidak seharusnya Liana melontarkan pertanyaan seperti itu.

"Tapi kontrakmu baru akan berakhir empat bulan lagi. Bagaimana kamu akan membayar penalti itu?" Liana menjadi khawatir dengan keadaan Gisel saat ini.

"Liana. Semalam Brian memintaku keluar dari kelab. Aku tidak berpikir aku bisa melakukannya. Tapi ketika melihat tatapan matanya yang serius padaku, kuputuskan agar aku tidak terlalu egois pada diriku sendiri. Sudah lebih dari tujuh tahun aku menjalani ini dan aku putuskan untuk berhenti." kata Gisel. Kemudian ia tersenyum kecut.

"Apa kamu akan tetap menjadi Gisel yang aku kenal setelah kamu sudah nggak bekerja di kelab?" tanya Liana merasa sedih akan kehilangan rekan kerjanya.

"Kenapa? Apa kamu takut nggak punya teman?" tanya Gisel setengah tertawa.

"Bukan itu maksudku."

Gisel tertawa dan memeluk Liana.

"Haruskah aku berterima kasih padamu saat ini, Liana?"

Gisel tersenyum memeluk Liana. Begitu pula dengan Liana sendiri.

*****

Pak Liam menerima berkas yang sudah selesai ditandatangani oleh Brian. Ia mengecek kembali semua berkas itu sebelum keluar dari ruangan Brian.

"Pak Liam." panggil Brian.

"Ya, Tuan?"

"Bagaimana ketika Pak Liam mendapatkan istri Bapak dulu?" tanya Brian. Pak Liam sedikit berpikir ketika Brian menanyakan hal itu.

"Bagaimana harus menjawabnya..." ucap Pak Liam menutup berkas yang belum selesai dibaca dan menanggapi perkataan Brian.

"Pada saat itu saya sedang kuliah dan melihat hasil nilai kami di dinding pengumuman. Kami saling mengeluh karena mendapat nilai yang rendah. Kemudian kami ujian ulang dan berada di ruang yang sama." cerita Pak Liam. Brian terlihat antusias dengan cerita Pak Liam.

"Kami juga saling bertukar informasi dan membicarakan tentang mata kuliah. Sampai akhirnya saya mengatakan kalau saya menyukainya. Dia juga wanita yang tidak terlalu cerdas. Tapi kepribadiannya yang bisa mendengarkan beberapa cerita saya membuat saya selalu nyaman bercerita dengannya." Pak Liam bercerita dengan hati yang senang. Karena istrinya sudah memberikan dua orang anak yang cerdas dan punya ambisi untuk masa depannya.

"Sangat menyenangkan ya." ucap Brian menanggapi cerita Pak Liam.

"Apakah Tuan juga mau menyatakan cinta Tuan pada seorang gadis?" tanya Pak Liam dengan senyum sedikit menggoda Brian begitu menyelesaikan ceritanya.

Kini, Brian terlihat salah tingkah. Ia merasa telah tertangkap basah dan matanya melihat ke arah luar jendela.

"Menyatakan apa? Saya tidak punya siapa - siapa untuk menyatakan apapun." jawab Brian.

"Ya, baiklah, Tuan. Saya hanya akan mendengar cerita dari Tuan saja nanti." kata Pak Liam menahan sedikit tawa.

"Cerita apa? Tidak ada yang perlu saya ceritakan kok." kata Brian mengelak. Tapi Pak Liam masih saja menahan tawanya.

"Saya serius, lho!" ujar Brian meyakinkan Pak Liam. Namun Pak Liam benar - benar tidak bisa dibohongi oleh Brian.

*****

"Aku sudah mengundurkan diri dari kelab." kata Gisel menunjukkan surat dari Kelab SevenSix. Brian mengambil surat itu dan membaca isinya.

"Kontrakku tersisa empat bulan lagi dan aku harus membayar penalti."

"Sebulan kamu dibayar berapa disana? Diluar dari tips pelangganmu." tanya Brian.

"Sekitar lima juta."

"Kamu mengorbankan semuanya dan kamu hanya mendapat lima juta dari sana?" tanya Brian tidak percaya. Gisel merasa sedikit tersinggung. Ia merebut kembali kertas itu dan menatap kesal pada Brian.

"Aku akan membayar penalti dari kontrak itu. Jangan khawatir." kata Gisel kesal.

"Nggak perlu." jawab Brian dengan santai.

Gisel menoleh kembali ke arah Brian menatap dengan tatapan tidak percaya.

"Aku sudah membayarnya. Dua puluh juta kan?" kata Brian santai dan tersenyum.

"Bagaimana kamu bisa membayar itu semua tanpa sepengetahuanku?" Sekarang, Gisel benar - benar tidak mengerti dengan kekuasaan yang Brian miliki.

Baru saja kemarin Brian mengatakan agar Gisel keluar dari pekerjaannya. Dan hari ini Gisel mendapat surat agar membayar penalti. Setelah itu, Brian mengatakan bahwa ia sudah membayar penaltinya.

"Aku sudah bilang. Aku akan lakukan apapun agar kamu keluar dari kelab itu." jawab Brian.

Sekarang Gisel sudah menyadari kekuasaan apa yang Brian miliki. Apapun bisa ia lakukan dalam sekejap. Bahkan dua puluh juta tidak ada artinya sama sekali untuk mengeluarkan Gisel dari kelab itu. Gisel hanya bisa menatap Brian. Dan Brian pun tersenyum melihat tatapan Gisel.

Terpopuler

Comments

suharwati jeni

suharwati jeni

syukur gisel sudah keluar dari klab malem

2022-06-01

0

suharwati jeni

suharwati jeni

kayaknya regas mantannya si bella

2022-02-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!