Dengan mata mengantuk, Gisel menunggu camilan dan minuman coklat yang ia beli di scan oleh kasir minimarket. Liana menunggu di mobil karena ia juga lelah. Setelah membayar dengan uang pas, Gisel langsung pergi dari minimarket itu.
"Gis, aku nginep ya di rumah kamu." kata Liana terlihat lelah sekali.
"Kenapa nggak langsung pulang?" tanya Gisel melihat keadaan Liana.
"Cape banget, Gis. Aku ngantuk banget. Kalo bawa mobil takut ketiduran."
"Yaudah, tapi jangan aneh - aneh ya." ucap Gisel terlihat waspada.
"Apaan sih, Gis. Memang mau apa? Aku cuma mau tidur doang kok."
Sebenarnya Gisel sudah tahu kalau semalam Liana menemani Brian. Semalam, saat mengantar Regas pulang, Gisel sempat melihat ke arah Liana duduk. Entah kenapa sampai sekarang Liana belum menceritakannya. Gisel sengaja tidak menanyakannya. Ia menunggu agar Liana sendiri yang bercerita.
*****
Brian menyelesaikan beberapa pekerjaan di kantornya. Dan tiba - tiba kembali tidak berkonsentrasi. Pak Liam bolak - balik keluar masuk ruangan Brian, untuk mengecek apakah Brian bisa mengerjakan pekerjaan dengan baik atau tidak. Jika tidak, bisa - bisa ia di tegur oleh Bella. Pak Liam sangat menghindari itu. Maka dari itu setiap berkas yang ditanda tangani oleh Brian, selalu ia cek ulang.
Seperti halnya saat ini. Pak Liam mengecek berkas yang Brian tanda tangani mengenai menjadi sponsor untuk sebuah acara pentas seni di universitas. Baru pertama kali ini Brian melakukan keteledoran.
"Tuan. Apa Tuan yakin ingin menjadi sponsor untuk pentas seni?" tanya Pak Liam tidak percaya.
"Kenapa memangnya, Pak?" tanya Brian dengan polosnya.
"Mohon maaf, Tuan. Biasanya kita hanya memberi sponsor untuk acara konser besar saja. Tapi kalau untuk pentas seni di sebuah universitas rasanya..."
"Kita bisa mencari calon karyawan magang baru, Pak. Kenapa kita tidak menggunakan saja kesempatan itu?" tanya Brian.
"Kenapa Tuan berpikir bahwa bisa mendapatkan karyawan magang dari universitas itu?" tanya Pak Liam mencoba mengerti maksud dari Brian.
"Iya. Kita bisa memberikan mereka kesempatan bahwa mereka bisa masuk ke perusahaan besar dan magang disini tanpa kesulitan. Karena biasanya yang saya tahu perusahaan ini mendapatkan karyawan magang dan diseleksi cukup sulit." jelas Brian.
Pak Liam terdiam. Ia mulai mengerti dengan apa yang Brian maksud.
"Saya ingin memberikan tiket kemudahan bagi mereka yang mau magang disini tanpa seleksi dan mereka bekerja langsung dibawah saya." lanjut Brian.
"Apakah ada sesuatu yang spesial dari universitas itu, Tuan?"
"Iya, Pak Liam. Itu universitas saya dulu."
Pak Liam tersenyum dan merasa Brian memiliki inovasi baru untuk perusahaannya. Kemudian, Bella masuk dan menghampiri meja Brian.
"Brian, tadi ada lima berkas. Salah satunya ada permintaan untuk menjadi sponsorship kampus kamu dulu. Aku harap kamu nggak menandatangani berkas itu. Karena nggak ada sejarahnya kita mensponsori sebuah universitas." kata Bella mengarahkan Brian.
Tapi mendengar apa yang Bella ucapkan, Brian terlihat menentang. Melihat situasi yang tidak beres antara Bella dan Brian, Pak Liam segera keluar dari ruangan.
"Nggak ada sejarahnya, Kak?" ulang Brian menanyakan kembali Bella.
"Iya." jawab Bella yakin.
"Kita harus merubah sejarah itu."
"Maksud kamu?" Bella tidak mengerti dengan apa yang Brian bicarakan.
"Maksudku, Kak. Selama aku menjabat menjadi karyawan biasa disini, yang ingin magang disini dan masih berstatus sebagai mahasiswa, selalu dipersulit. Aku tidak ingin hal ini terjadi lagi sedangkan mereka juga harus mendapatkan nilai untuk kampusnya." Brian menerangkan lebih rinci.
"Kamu ingin merubah peraturan yang sudah Ayah buat?" tanya Bella tidak percaya.
"Bukan, Kak. Aku hanya memperbaiki yang salah. Akibat seleksi itu, mereka kesulitan mendapatkan tempat untuk magang dan juga nilai untuk kampus mereka. Dan menjadi sponsor mereka, hanya sebagai tiket untuk mereka agar mereka bisa magang di perusahaan kita tanpa perlu diseleksi. Mereka juga akan berkerja langsung dibawahku."
"Itu bukan urusan kita, Brian. Biarkan apa yang telah dibuat aturannya, kita jalani. Dan tidak perlu merubah apapun." Bella masih tetap ingin berdebat dengan Brian.
"Motto perusahaan kita apa, Kak? Mempermudah kegiatan sehari - hari Anda. Tapi kenapa menjadi mepersulit?" Brian pun tidak ingin kalah dengan Kakaknya.
"Oke. Hold berkas itu dulu. Kita rundingkan dulu dengan ayah. Kalau Ayah setuju, kamu boleh ambil keputusan. Karena belum ada cerita dalam perusahaan kita mensponsori universitas." jawab Bella pada akhirnya.
"Baik. Aku yakin Ayah bisa menerima peraturanku yang baru."
Bella keluar dari ruang Brian dengan kesal. Dan menatap Pak Liam yang duduk di meja kerjanya.
"Pak Liam, tolong di hold dulu berkas universitas itu. Sampai ada info lebih lanjut." kata Bella yang kemudian kembali ke ruangannya. Pak Liam hanya mengangguk karena tidak ingin menambah masalah untuk atasannya.
Pak Liam mengerti maksud Brian baik. Tapi Bella tidak begitu saja menerima karena perubahan aturan yang secara mendadak dan tidak ada perundingan terlebih dahulu.
*****
Regas kembali mendatangi bar dan ditemani oleh Gisel. Kesekian kalinya pula Brian memperhatikan Gisel hanya dari jauh. Tapi kali ini, Regas tidak hanya memegang bahu ataupun tersenyum pada Gisel. Ia juga terkadang membisikkan sesuatu pada Gisel.
Liana melihat wajah Brian semakin merah menahan emosi karena Regas begitu intim dengan Gisel.
"Oh ya. Aku dengar Regas itu sedang mengajukan proposal ke perusahaan kamu. Kamu sudah baca proposal itu?" tanya Liana sambil meminum sedikit minumannya.
"Oh ya? Memang dia punya usaha apa?" tanya Brian tidak melepas pandangannya dari Gisel.
"Ban mobil."
"Oh, ya, aku tahu. Ada satu perusahaan ban mobil proposalnya yang masuk ke perusahaanku. Tapi aku belum selesai mengoreksi semua proposal itu." jawab Brian.
"Lalu, bagaimana? Apa kamu mau acc proposal usaha punya Regas?" tanya Liana.
"Apa ada alasan aku harus acc proposalnya?" tanya Brian penasaran.
"Kamu tahu? Dia duda. Punya anak satu. Ditinggal oleh istrinya karena sakit." jawab Liana.
Brian terlihat mempertimbangkan apa yang Liana bicarakan.
"Bisa jadi aku menerima proposalnya." jawab Brian.
"Wow. Enak ya punya teman yang jadi direktur perusahaan. Cuma dari omongan saja, bisa mempertimbangkan proposalnya diterima atau tidak." ucap Liana disambut dengan tatapan sinis oleh Brian.
"Kata siapa cuma dari omongan?"
Liana terdiam mendengar Brian berbicara sinis seperti itu.
"Aku akan terima proposalnya, kalau dia bisa menyerahkan Gisel malam ini untukku." kata Brian dan Liana membelalakkan matanya.
"Kamu serius? Katanya kamu cuma mau memperhatikan Gisel dari jauh. Jangan bilang kamu mau kesana." kata Liana terdengar khawatir.
Tidak lama untuk membulatkan tekad Brian menghampiri Gisel. Sejujurnya Brian masih menaruh hati pada Gisel. Tapi ia selalu menahan dirinya untuk tidak mengungkapkan isi hatinya.
Ia bangkit dari duduknya dan mulai menghampiri Gisel dan Regas yang sedang asyik tertawa dan saling berbisik. Sedangkan Liana merasa takut bahwa sebentar lagi akan ada keributan di dalam kelab.
"Halo, Gisel." sapa Brian berdiri di belakang tempat duduk mereka. Gisel dan Regas terkejut dengan kedatangan Brian. Gisel mengendalikan emosinya agar tidak terlihat bahwa ia mengenal Brian.
"Iya, ada apa?" tanya Regas merasa terganggu dengan kedatangan Brian.
"Boleh saya gantian ditemani oleh Gisel?" tanya Brian dengan polosnya. Ia juga tahu sekarang wajah Regas setelah dilihat dari dekat. Tapi Regas tetap tidak mengenali siapa Brian.
"Anda siapa?" tanya Regas mulai terlihat tidak sabar.
"Saya? Saya Brian. Klien barunya Gisel." jawab Brian dengan enteng semakin membuat Regas kesal.
"Benarkah? Tapi Gisel bilang hari ini kliennya hanya saya. Dan saya juga sudah bersama dia sejak lama. Jadi kenapa tiba - tiba Anda datang untuk merebut Gisel dari saya?" tanya Regas semakin menaikkan nada bicaranya.
Gisel merasa tidak nyaman dengan situasi ini. Ia juga heran kenapa tiba - tiba Brian datang dan memintanya untuk menemaninya dengan mendadak.
"Maaf, maaf. Regas, maaf ini membuat kamu tidak nyaman. Tapi boleh nggak aku bicara sama orang ini dulu?" tanya Gisel pada Regas. Gisel berbicara dengan selembut mungkin agar Regas tidak terlalu marah karena Brian tiba - tiba datang dan ingin meminta dirinya untuk menemani Brian.
"Iya, Gisel. Aku tunggu sini ya." jawab Regas sedikit meredakan emosinya. Kemudian ia duduk dan meneguk minumannya. Sedangkan Gisel menarik Brian keluar dari kelab agar bisa leluasa berbicara tanpa suara musik yang terdengar bising. Liana hanya bisa menatap dari jauh dengan mata khawatir.
Di luar kelab, Gisel menghela napas panjang sebelum berbicara dengan Brian. Ia sedikit menenangkan perasaannya karena suasana seperti ini sebenarnya membuat Gisel tidak nyaman.
"Apa yang coba kamu lakukan disini, Brian?" tanya Gisel menatap Brian.
"Aku hanya ingin datang kesini dan melihat kamu bekerja." jawab Brian yang juga menatap Gisel dengan lurus.
"Brian ini tempat kerjaku. Kamu tidak seharusnya datang kesini dan membuat keributan."
Jujur saja, baru kali ini Gisel berdebat dengan Brian. Gisel merasa sesak ketika harus berdebat dengan Brian seperti ini.
"Lelaki itu sudah setiap hari datang dan setiap hari juga menyentuh kamu. Aku hanya ingin lelaki itu berhenti menyentuhmu seperti itu." ujar Brian sedikit merasa kesal.
"Dia klienku. Dia membayarku dan aku harus menemani dia. Dia juga apapun yang dia minta aku akan melakukannya. Karena aku sudah dibayar oleh dia!" jelas Gisel.
"Walaupun kamu diminta tidur dengannya? Kamu akan melakukan itu semua?" tanya Brian mulai tidak percaya kata - kata itu keluar dari mulut Gisel yang ia kenal selama ini.
"Iya, aku akan lakukan itu meskipun dia memintaku tidur dengannya dan aku akan melakukan apapun sesuai berapa banyak dia membayarku!" jawab Gisel kemudian.
"Seperti itukah pekerjaan yang kamu lakukan, Gisel? Dan haruskah kamu melakukan pekerjaan ini demi uang?" Brian memelankan suaranya. Ia merasa teriris bahwa wanita yang ia cintai selama lima belas tahun terakhir ternyata lebih memilih pekerjaannya sebagai wanita malam.
"Iya. Dan aku harus melakukannya demi bertahan hidup. Aku sebatang kara sekarang. Dan aku juga nggak punya kekayaan atau kepintaran apapun seperti kamu. Jadi berhenti mengharapkan cinta remajamu dan kembalilah pada kenyataan. Aku berada di dunia yang berbeda denganmu. Aku harap kamu bisa mengerti dan tinggalkan aku." jawab Gisel membuat hati Brian semakin sakit.
"Lima belas tahun aku mencarimu seperti orang gila! Dan saat kita bertemu kamu memintaku meninggalkanmu. Apa itu masuk akal?" Brian ingin menangis mengatakan itu semua. Usaha apapun yang ia lakukan seperti percuma dan sia - sia.
"Lalu bagaimana? Apa keluargamu yang mewarisi perusahaan sebesar itu padamu akan dengan mudahnya menerima wanita jalang seperti aku menginjakkan kaki ke rumahmu?" tanya Gisel menyadarkan Brian dengan cinta butanya selama ini.
"Nggak akan semudah itu, Brian. Nggak semudah itu kamu sebagai pewaris menjadikanku sebagai pendampingmu. Orang seperti kamu pasti akan dijodohkan dengan wanita manapun yang setara denganmu." lanjut Gisel yang ternyata sudah tidak tahan dengan air matanya. Ia menangis. Hatinya hancur mengatakan itu semua pada Brian.
"Maka dari itu. Tinggalkan saja aku. Jangan mencoba mencariku. Biarkan saja aku, Brian." Gisel menghapus air matanya yang jatuh dan berusaha tegar dihadapan Brian.
Kemudian Brian meraih tangan Gisel. Ia sudah merasa putus asa dengan apa yang ia lakukan. Mungkin, kali ini adalah cara terbaik untuk mempertahankan Gisel.
"Kalau begitu, berapa aku harus membayarmu agar kamu bisa bersamaku? Sepuluh juta? Dua puluh juta? Katakan. Apapun aku akan lakukan untuk mengeluarkanmu dari sentuhan laki - laki di dalam sana agar kamu bisa menjadi milikku." ucap Brian dengan mata yang menatap Gisel dengan semakin dalam.
Mata mereka bertemu satu sama lain. Brian bisa melihat jelas mata Gisel yang cemas dan merasa khawatir. Mata yang berlinang dengan air mata dan mata yang penuh dengan kerinduan pada dirinya.
*****
"Apa yang mereka bicarakan?" tanya Regas ketika sudah menunggu cukup lama di meja bar. Liana hanya diam saja menemani Regas yang sedang merasa khawatir.
"Aku rasa sampai hari ini saja kamu mendatangi Gisel." kata Liana pada Regas. Regas tidak langsung menerima ucapan Liana.
"Kenapa? Kenapa begitu? Aku cukup membayar Gisel dan Gisel tidak pernah mengeluh akan hal itu." jawab Regas.
Liana hanya menggeleng tidak mengerti dengan Regas saat ini.
"Regas. Aku rasa sudah jelas kalau Gisel tidak menggunakan perasaan ketika bersamamu. Tapi mengapa sekarang kelihatannya kamu menyukai Gisel?" tanya Liana melihat mata Regas seperti ketahuan mencuri.
"Apa yang kamu katakan? Aku nggak ngerti." jawab Regas sedikit gelagapan.
"Maksudku adalah ketika salah satu klien Gisel sudah bermain perasaan, Gisel nggak akan segan - segan untuk meminta klien itu menjauhinya. Karena bermain tanpa perasaan itu adalah motto Gisel selama ini. Tapi bagaimana? Kamu sudah bermain perasaan dengan Gisel. Apa yang Gisel lakukan kalau dia tahu kamu menyukainya?" Ucapan Liana terdengar seperti ancaman untuk Regas.
Tapi Liana tidak perduli. Gisel sudah terlalu menderita selama ini dengan Brian. Ia mencoba melakukan apapun agar Gisel tidak perlu menderita lagi karena cintanya.
"Baiklah. Katakan pada Gisel kalau hari ini aku pulang dulu. Besok aku akan datang lagi dan menemui Gisel. Aku akan bicara padanya besok malam." kata Regas buru - buru pergi meninggalkan bar.
Liana hanya tersenyum melihat sikap Regas yang seperti itu. Liana hanya berpikir selama ini Regas ingin menghilangkan rasa sedihnya karena ditinggal oleh istrinya. Siapa sangka kalau ternyata Regas punya niat lain.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
suharwati jeni
ayolah gisel dengerin brian. sudahin pekerjaanmu
2022-06-01
0