NovelToon NovelToon

Meet Me At Midnight

Rintik Hujan

Siang itu, Brian meneduhkan diri di sebuah minimarket. Hujan deras yang turun membuatnya kedinginan. Harus berapa lama lagi ia menunggu hujan segera reda? Brian ingin pulang. Tapi jarak rumahnya masih cukup jauh jika ia nekat berlari dari sini.

Pintu minimarket itu pun terbuka. Seorang gadis cantik keluar dari minimarket. Rambut panjangnya terurai, tanpa polesan apapun diwajahnya. Brian merasa senang melihat gadis itu. Sesekali ia mencuri pandangannya untuk menatap sang gadis.

Gadis itu mengulurkan tangannya ke arah hujan yang turun. Merasakan air hujan yang terasa menyenangkan. Gadis itu tersenyum ketika menyentuh air hujan.

"Suka hujan ya?" tanya Brian kelepasan. Ia langsung menutup mulutnya dan bersumpah tidak akan mengatakan apapun lagi.

"Iya. Kalau kamu?" tanya gadis itu masih dengan senyuman manisnya.

"Aku nggak terlalu suka. Karena hujan, aku jadi nggak bisa pulang ke rumah." jawab Brian.

Lagi-lagi gadis itu tersenyum dengan manisnya.

"Sebagian orang mungkin membenci hujan. Tapi sebagian lagi menyukai hujan. Bagiku hujan mempunyai nada yang indah. Mendengar suara hujan membuatku senang." sahut gadis itu.

"Lalu, kenapa kamu nggak bermain hujan?" tanya Brian dengan polosnya.

"Kamu lucu ya." Gadis itu kembali tersenyum dan tertawa kecil.

"Namaku Gisel." ucap gadis itu mengulurkan tangannya. Ia memperkenalkan diri pada Brian.

"Brian." sahut Brian menyambut uluran tangan gadis bernama Gisel itu.

"Kamu tinggal di daerah sini?" tanyanya.

"Aku di komplek Permata situ. Kalau kamu?" jawab Brian balik bertanya.

"Aku di komplek Buana. Dekat dong ya."

Gisel terlihat manis saat berbicara. Brian semakin berdebar ketika Gisel mengajaknya berbicara panjang. Sambil menunggu hujan reda, Gisel selalu bertanya pada Brian. Hingga akhirnya Brian pun tahu bahwa Gisel satu tahun lebih tua darinya.

Tahun ini, Gisel wisuda kelulusan di sekolah tingkat pertamanya. Entah dimana ia akan melanjutkan sekolahnya.

Hari - hari berlalu. Terkadang jika bertemu dengan Gisel, Brian akan memanggilnya dengan keras, hingga Gisel merasa malu dipanggil sekeras itu.

Suatu ketika, Brian ingin bertemu Gisel dan main ke komplek perumahannya. Gisel terlihat sedang bermain ayunan di taman. Brian yang membawa sepeda, menepikan sepedanya dan menghampiri Gisel.

"Hai, Gisel." sapa Brian. Gisel menoleh dan kembali mengulas senyum di wajahnya.

"Halo, Brian."

"Kenapa kamu duduk disini sendirian?" Brian ikut duduk di ayunan sebelah Gisel.

"Minggu depan aku mau pindah sekolah, Brian." kata Gisel.

"Pindah sekolah? Bukannya kamu sudah masuk ke sekolah Garuda?" tanya Brian tidak mengerti.

"Iya, Brian. Tapi Ayahku mendapatkan pekerjaan di daerah Kalimantan. Dan aku akan pindah ke sana."

Brian menelan ludahnya.

"Kamu serius?" tanya Brian tidak percaya. Baru saja ia mengenal Gisel lebih dekat. Baru saja ia merasa senang dengan Gisel yang selalu tersenyum. Tapi sekarang, Gisel bersedih dan masih tetap tersenyum.

"Maaf ya, Brian. Padahal kita sudah dekat." ucap Gisel.

"Jangan bilang begitu. Bagaimanapun, itu adalah keluargamu. Kamu harus ikut dengan keluargamu." kata Brian.

Gisel menatap Brian dengan sedih. Baru kali ini Gisel menatap mata Brian dengan dalam.

"Belajarlah yang rajin, Brian. Sampai kamu lulus sekolah." kata Gisel. Brian tertawa dan menganggap ucapan Gisel hanyalah candaan.

"Jangan bicara begitu. Aku pasti lulus apapun alasannya."

Tiba - tiba, Gisel memeluk Brian. Brian pun merasa terkejut.

"Aku sedih, Brian. Aku baru saja menyukaimu. Tapi aku harus pergi." kata Gisel. Senyum dibibir Brian pupus sudah. Mendengar Gisel menangis, bagaikan ada pisau yang menusuk jantungnya.

Brian mengelus punggung Gisel yang menangis tersedu. Lidahnya merasa kelu. Entah apa yang harus ia katakan pada Gisel.

"Nggak apa - apa, kita pasti bertemu lagi." kata Brian. Hanya itu yang bisa ia ucapkan.

"Kamu harus janji, kalau kamu melihatku, kamu harus mengenaliku. Ya?"

Brian tertawa mendengar suara Gisel yang terdengar manja.

"Brian! Jangan tertawa!"

"Iya, aku janji. Kamu juga harus janji, jaga kesehatan kamu dan rajin belajar."

Gisel mengulurkan kelingkingnya agar ia bisa menyatukan janji mereka. Brian mengikuti saja apa yang Gisel lakukan.

"Kamu harus tumbuh jadi wanita kuat, cerdas dan cantik." kata Brian.

"Kamu juga ya, Brian. Jadi lelaki sukses, terkenal dan tampan. Supaya kamu bisa mencari keberadaanku." kata Gisel dengan senyum lebarnya.

Brian pun ikut tersenyum. Bagi siapapun yang melihatnya, senyum Gisel adalah senyum terindah yang pernah dilihat. Menawan dan anggun. Gisel juga selalu mengenakan bandana di kepalanya. Sehingga menambah keanggunan Gisel saat ini.

Brian merasa sedih sebentar lagi ia akan ditinggalkan oleh Gisel. Walau hatinya ingin berteriak, tapi apa yang bisa Brian lakukan. Ia bukan siapa - siapa Gisel. Ia hanyalah seseorang yang tidak sengaja bertemu dengan Gisel di sebuah minimarket kemudian mengikat janji dengannya.

Keesokan harinya, Brian main ke komplek perumahan Gisel. Ia melihat barang - barang Gisel yang sudah dinaikkan keatas truk barang. Awalnya, Brian ingin menghampiri rumah Gisel dan menemui Gisel. Tapi Brian mengurungkan niatnya dan memutarbalikkan sepedanya lagi.

Hati Brian terasa hampa. Ia merasa kosong dan sedih Gisel akan pindah dari perumahan itu.

Hari ini hujan lagi. Lagi - lagi Brian tidak bisa pulang karena hujan dan ia tidak membawa payung. Brian meneduhkan diri di minimarket dan baru kali ini hatinya merasa pilu. Ia benar - benar membenci hujan. Dimana hujan akan membawanya pada kenangan pahit dalam hidupnya.

Sebuah mobil melaju dengan perlahan. Karena hujan deras dan takut menyiprati orang lain dengan air yang tersentuh dengan ban. Gisel melihat Brian yang sedang meneduh di minimarket. Hati Gisel kembali ingin menangis. Ini adalah terakhir kalinya ia melihat Brian. Ia melihat sosok Brian yang sedang menunggu hujan reda dengan menengadahkan tangannya untuk bermain air hujan.

"Gisel, jangan bersedih lagi." ucap Mama melihat Gisel yang sedang ingin menangis.

Dengan kerongkongan yang tercekat, Gisel hanya bisa menjawab pendek. "Enggak, Ma."

Mama dan Papa hanya bisa saling menatap. Mereka tahu ini seringkali melukai hati Gisel. Seringkali pula Gisel membohongi dirinya bahwa ia baik - baik saja, walaupun sebenarnya tidak.

Hujan sudah reda. Brian mengambil sepedanya yang sudah diparkir dan menaikinya. Ada hati yang terluka karena hujan dan ada yang berbahagia karena hujan.

Kali ini, Brian hanya mempunyai hati yang terluka karena hujan. Ia mengayuh sepedanya dengan perlahan. Ia perlahan meninggalkan minimarket yang mempertemukannya dengan Gisel. Seolah ia tidak ingin menoleh ke minimarket itu lagi.

Ia menatap kedepan, berharap suatu hari nanti Tuhan akan mempertemukannya kembali dengan Gisel. Dengan cara apapun, ia akan terus meminta pada Tuhan walau terpisah dengan jarak yang cukup tahu, hanya Gisel-lah yang selalu berada dalam lantunan doanya.

Acara Peresmian

Brian sudah tumbuh dewasa. Dari usia remaja yang masih dibilang bau kencur, kini ia telah mewarisi perusahaan Ayahnya yang sepenuhnya diserahkan oleh Brian. Brian memenuhi janji dalam dirinya sendiri bahwa ia akan menjadi sukses dan mencari Gisel suatu hari nanti.

"Kau sudah siap?" tanya Bella pada Brian. Bella adalah kakak satu - satunya Brian, yang selalu mewakili perusahaan. Bella memakaikan jas pada Brian karena hari ini adalah acara resmi Brian ditunjuk sebagai direktur.

"Ya." jawab Brian pendek.

"Setelah kau menjadi direktur, kau akan bertanggung jawab penuh. Dan aku akan tetap mengawasi kinerjamu." lanjut Bella.

Brian mengelap keringatnya sedikit demi sedikit karena ia merasa sangat gugup.

"Kau gugup?" Bella tersenyum melihat adiknya begitu tampan menggunakan jas.

"Bagaimana tidak? Yang aku hadapi adalah para pemegang saham." jawab Brian agak kaku.

"Santai saja." Bella tertawa mencairkan suasana.

"Ada aku. Aku akan tetap disampingmu." jawab Bella.

"Kenapa tidak Kakak saja yang mengambil posisi ini?" tanya Brian bertanya ulang walaupun sudah pernah dibahas sebelumnya.

"Jangan dibahas lagi. Kau kan tahu pewaris akan selalu jatuh pada anak laki - laki. Jadi aku mengandalkanmu." kata Bella.

"Kau tidak marah?"

"Untuk apa marah? Selama aku masih punya kartu kredit dan mobil sendiri, hidupku aman." jawab Bella dengan santai. Iya, Bella berusaha mengikhlaskan bahwa dirinya adalah anak perempuan dalam perusahaannya. Bagaimanapun Ayahnya pasti akan mengutamakan Brian.

"Jadi, jangan coba - coba sakit dan melimpahkan semua pekerjaan padaku ya!" ancam Bella dengan tawanya yang renyah.

"Aku nggak akan mengecewakanmu, Kak." sahut Brian dengan senyum diwajahnya.

"Sudah siap. Ayo kita berangkat." Bella membalikkan badannya dan mengambil tas di meja rias kemudian keluar dari kamar Brian.

Brian menatap dirinya yang memakai jas lengkap dengan dasi di kaca. Ia merapikan rambutnya sekali lagi. Brian terlihat tampan. Siapapun yang melihatnya pasti akan terpesona. Badannya yang tegap dan tinggi, dadanya yang bidang serta alisnya yang tebal benar - benar impian semua wanita.

Tapi hanya satu yang ada di hati Brian. Sosok wanita yang selalu ia cari selama lima belas tahun, wanita anggun, cerdas dan cantik. Gisel. Dimanakah Gisel? Di umurnya yang matang ini, sudah seharusnya ia mencari keberadaan Gisel. Apa yang Gisel lakukan sekarang? Bekerja di kantoran kah? Membuka butik kah? Atau salon? Semua itu cocok dengan Gisel yang selalu memperhatikan pakaian dan riasan di rambutnya.

Brian kembali bersemangat ketika mengingat Gisel. Ia merasa harapannya yang selama ini ditunggu akan segera datang. Brian menegakkan bahu dan dadanya. Ia tersenyum di depan kaca dengan percaya diri. Sekali lagi ia merapikan jasnya.

"Aku siap."

*****

Ballroom yang akan mengadakan acara peresmian Brian sebagai direktur sudah siap dengan beberapa event organizer yang tengah sibuk menata ulang bunga yang sekiranya belum rapi. Beberapa orang dari event organizer memakai blazer hitam dan menggenggam walkie talkie sangat sibuk kesana kemari. Mereka ingin acara besar ini sukses.

Bella datang ke dalam Ballroom lima belas menit sebelum acara dimulai bersama sekretarisnya. Ia memastikan bahwa semua sudah disiapkan dengan benar.

Setelah para hadirin hadir termasuk para pemegang saham, acara segera dimulai. Bella memandu acara mulai dari pembukaan dan sambutan Ayahnya sebagai mantan direktur.

"Hari ini saya menyerahkan jabatan saya kepada ahli waris yang sah, Brian Adhitama Salim. Saya menyerahkan posisi ini juga atas pertimbangan saya dan Brian tidak menerimanya dengan cuma - cuma. Brian saya latih mulai dari karyawan biasa hingga ia bisa membuktikan dirinya pada saya bahwa ia layak menggantikan saya. Sedangkan putri saya, Bella Shahnaz Salim, tetap menjadi asisten direktur. Saya berterima kasih kepada hadirin yang datang pada hari ini. Dengan ini secara resmi saya mengumumkan bahwa putra saya, Brian, menjabat sebagai direktur." Ayahnya, Bernard Salim, menutup pidatonya dengan mengumumkan bahwa Brian telah resmi menjadi direktur.

Suara riuh tepuk tangan menyemarakkan isi ruangan yang terlihat megah dengan sorotan lampu dari kanan dan kiri. Acara peresmian Brian, ditutup dengan sedikit pidato dari Brian sendiri dan Brian tidak panjang mengucapkan pidatonya.

"Terima kasih kepada hadirin. Saya mengharapkan kerjasama yang baik. Saya berusaha semaksimal mungkin agar Salim Group tetap menjadi perusahaan terbaik dengan pelayanan yang ramah dan memuaskan. Itulah motto kami." Brian sedikit membungkukkan badannya, memberi hormat kepada hadirin yang kebanyakan usianya sudah jauh lebih tua darinya.

Suara tepuk tangan kembali meramaikan isi ruangan. Lampu sorot berwarna warni terlihat indah dengan gambar bunga yang berjalan - jalan. Acara pun ditutup dengan acara makan malam.

Brian duduk di meja makan bundar yang telah disiapkan. Hanya ada Brian, Bella, Bernard dan juga Ibunya, Silva. Tapi Brian tidak bisa langsung makan dengan lahap. Ia menyalami beberapa pemegang saham yang mengucapkan selamat kepadanya dan juga para klien yang senantiasa memberikan donasi untuk perusahaannya.

"Jadi kamu yang namanya Brian?" tanya seorang wanita ketika menyalami Brian. Cantik, langsing dan tingginya pun hampir sama dengan Brian. Bella yang mendampingi Brian melotot tajam ke arah wanita itu.

"Iya." Brian menyambut uluran tangan wanita itu dengan perasaan tidak nyaman.

"Liana Felisa." ucapnya dengan sorot mata yang tajam dan senyum yang terlihat anggun.

"Iya, Brian." jawab Brian singkat. Bella yang merasa risih dengan kedatangan Liana, menyentuh tangan Liana untuk melepaskannya dari Brian.

"Kau sudah cukup tahu Brian? Sekarang lepaskan tanganmu." kata Bella.

"Oh ya ampun, Bella. Aku hanya ingin berkenalan saja. Kenapa kamu melarangku?" kata Liana dengan nada manja yang dibuat - buat.

Bella hanya tersenyum melihat Liana yang menyebalkan. Ia tahu persis Liana hanya mendekati lelaki yang mempunyai jabatan dan uang yang banyak.

Bella mendekati Liana dan membisikkan sesuatu.

"Kamu mau aku lepas wignya di pesta ini?" tanya Bella.

Liana terdiam dan senyum diwajahnya langsung pudar.

"Pergi sana!" kata Bella dengan kesal. Liana pun merengut dan segera pergi dari hadapan Brian.

"Banyak wanita yang mendekatimu karena uang. Jangan lengah, Brian." nasihat Bella. Brian hanya mengangguk dan mengikuti langkah kaki Bella.

*****

Gisel mengepulkan asap di udara dengan bibirnya. Jarinya yang lentik memegang satu batang rokok yang baru saja ia nyalakan. Rambutnya terurai, gaun malamnya pun memperlihatkan lekukan tubuhnya yang ramping.

Ia menggeser - geser halaman di layar ponselnya. Membaca berita terbaru yang baru saja rilis. Ia mengamati berita tentang peresmian direktur baru di Salim Group.

"Lihat berita apalagi?" tanya seorang lelaki yang menghampirinya dengan setengah telanjang.

"Salim Group." jawabnya singkat.

Pria yang bersamanya tertawa kecil. Seolah menertawakan Gisel yang mencari mangsa terbarunya.

"Kamu nggak akan bisa ngedapetin direktur baru itu." ucap pria itu.

"Direktur itu sangat disiplin dalam pekerjaannya. Nggak sekalipun dia bolos kerja untuk bersenang - senang di kelab atau bersama wanita. Ya intinya dia bukan anak orang kaya yang manja seperti anak - anak lain." lanjut pria itu.

Gisel menghentikan jemarinya menggeser halaman berita di ponselnya. Ia tertegun dengan perkataan teman prianya.

"Benarkah?"

"Coba saja kalau kamu bisa mendapatkannya. Tapi aku yakin, dia termasuk orang yang gila kerja. Dia tidak mementingkan hiburan malam."

Gisel hanya mendengar pengakuan teman prianya mengenai direktur baru di Salim Group. Anak orang kaya yang ia incar telah berada di puncak kedudukannya. Walaupun terdengar tidak mungkin, tapi Gisel yakin , suatu hari ia pasti bisa mendapatkan anak dari perusahaan Salim Group.

Gisel berada di apartemen yang baru saja beberapa bulan ia tempati. Ia pindah dari Kalimantan beberapa bulan yang lalu untuk menyambung hidupnya. Kehidupannya yang awalnya terasa sulit, kini ia mulai terbiasa. Kehilangan orang tuanya memberikan sedikit beban keuangan dan ia mengalami cukup banyak penindasan karena tidak punya uang. Kini, ia ingin bangkit, menjadi Gisel yang berbeda. Menjadi Gisel yang bisa membeli apapun tanpa harus kehujanan dan kepanasan.

Gisel menatap jauh ke luar jendela. Lampu pada malam hari di tengah kota Jakarta, membuat hatinya semakin membara. Telah banyak yang ia lalui untuk menjadi Gisel yang sekarang. Gisel ingin berada di titik puncak pencapaiannya. Ia tidak ingin usahanya sia - sia.

Teman prianya kembali bergairah melihat lekuk tubuh Gisel yang indah. Gisel mematikan rokoknya dan menerima cumbuan hangat dari pria itu. Sedikit demi sedikit pria itu mencumbui Gisel dari lehernya. Ia tahu persis, Gisel paling lemah di tengkuknya. Suara desahan Gisel yang membuat pria itu semakin bergairah dan tidak ada hentinya ia mencumbu Gisel. Perlahan, dibukanya dress tipis milik Gisel, diraba payudaranya yang ranum dan indah. Desahan Gisel semakin terdengar jelas.

Aroma tubuhnya yang wangi membuat pria itu semakin menggebu merangkul pinggang Gisel.

"Kamu sangat nikmat." kata pria itu terus menjilati ** payudaranya. Jemarinya meraih **** Gisel yang bebas. Semakin mendengar Gisel mendesah, semakin ia merasa bergairah.

****

Brian meletakkan jasnya di kursi meja kerjanya. Melonggarkan dasinya yang terikat di lehernya dan merebahkan tubuhnya diatas kasur. Hari ini ia sangat lelah. Tapi semangatnya tidak berhenti disitu. Keesokan harinya ia pasti akan lebih lelah. Entah berapa jam yang akan ia habiskan untuk bekerja besok.

Tok. Tok. Tok.

Kamar Brian di ketuk. Tidak lama, Ayahnya, Bernard, muncul dari balik pintu.

"Ayah.." sambut Brian.

"Brian."

"Ada apa, Ayah, selarut ini?" tanya Brian membimbing Bernard agar duduk di pinggir kasurnya.

Setelah duduk dengan nyaman, Bernard mulai mengelus punggung Bernard.

"Kamu sudah siap untuk esok hari?" tanyanya.

Brian terlihat agak ragu, tapi ia menganggukan kepalanya.

"Iya, Ayah."

"Akan ada banyak persaingan. Tapi percayakan semuanya pada kakakmu. Kakakmu sudah tahu betul bagaimana posisi direktur. Sangat berat, tapi Ayah yakin kamu pasti bisa melakukannya." kata Bernard.

"Iya, Ayah, Brian mengerti."

"Kau harus kuat menghadapi beberapa orang yang akan menyerangmu dari belakang dan jangan jadikan itu ancaman. Ayah harap kamu akan selalu berhati - hati terhadap siapapun. Dan jangan pernah percaya pada siapapun. Karena sesungguhnya posisi itu sangatlah berbahaya." lanjut Bernard mengingatkan Brian.

Brian tertegun mendengarkan kata - kata Ayahnya. Awalnya, ia merasa ragu , tapi ia yakin, apapun yang ia lakukan nanti, ia pasti bisa melalui dan mengatasinya dengan secermat mungkin.

Kotak Kecil

Brian memulai hari kerjanya. Ia mengingat pesan Ayahnya semalam bahwa ia harus tetap waspada terhadap siapapun dan tidak perlu percaya pada siapapun. Bella akan mendampingi Brian dan Brian bisa berkonsultasi apapun dengan Bella.

Ketika Brian melewati para pegawainya, pegawai itupun memberi hormat pada Brian. Ada beberapa desas - desus diantara mereka bahwa Brian terlalu muda untuk menjabat sebagai direktur. Brian berusaha tidak memperdulikan hal itu.

"Pelajari tentang karyawan dulu disini. Kemudian peraturan yang ada di perusahaan ini. Ini adalah na staff manajer yang akan sering kau temui dan ini nama dewan pemegang saham." kata Bella memberikan beberapa file yang berisikan nama - nama dan juga foto.

"Sebanyak ini?"

"Ini belum seberapa. Ruanganku tepat disebelah ruanganmu jadi tanyakan apapun kalau kamu tidak mengerti. Kamu juga bisa menggunakan aplikasi messenger perusahaan kalau kamu tidak mau ketahuan kalau tidak paham." lanjut Bella. Brian sedikit merengut mendengar ucapan Bella.

"Kau tahu kan kalau kau adalah pewaris sah. Maka dari itu selalu berhati-hati terhadap dokumen yang kamu tanda tangani. Baca terlebih dahulu karena kita tidak tahu apakah itu penggelapan dana atau yang lainnya."

tegas Bella.

"Separah itukah sampai ada penggelapan dana?"

"Kamu harus tetap cermat dan jangan lengah."

Brian mengangguk mengerti dengan apa yang Bella ucapkan. Kemudian Bella memanggil seseorang untuk masuk ke ruangan Brian.

"Ini adalah Pak Liam. Sekretarismu. Kamu bisa mempercayakan beberapa urusan padanya. Aku yang merekrut dia. Jadi tidak usah khawatir." jelas Bella. Brian menjabat tangan Pak Liam sebagai tanda hormatnya.

"Semoga bisa bekerja sama dengan baik." kata Brian.

"Saya juga, Pak." jawab Pak Liam. Terdengar aneh, tapi Brian harus membiasakan diri dengan panggilan seperti itu.

"Tempat kerja Pak Liam tepat di depan kantormu. Kamu bisa memanggilnya melalui telpon." lanjut Bella.

Brian mengangguk. Ia tidak menyangka bahwa Kakaknya begitu terlihat keren. Di rumah ia terlihat mandiri, di kantor pun disegani banyak orang. Tidak heran kalau Ayah mempercayakan juga perusahaan ini pada Bella.

"Cukup sampai disini, selebihnya kamu bisa bertanya saat pekerjaanmu berlangsung." kata Bella yang kemudian pamit meninggalkan ruang Brian, begitu pula dengan Pak Liam.

Ruang kantor Brian yang terlihat sangat luas dengan cahaya matahari yang masuk ke dalam, membuat dirinya merasa nyaman tapi sepi. Biasanya ia bersebelahan dengan teman kantor lainnya dan bergosip tentang atasan mereka. Kini tidak bisa lagi ia lakukan. Posisi Brian sudah berbeda. Tidak ada teman bergosip lagi. Justru, dirinyalah yang akan digosipkan nanti.

Brian mulai membuka file yang diberikan Bella dan mempelajarinya satu persatu. Mulai dari nama - nama karyawan hingga dewan pemegang saham.

*****

Gisel berjalan dengan anggun menyusuri butik yang berada di pinggir jalan. Ia melewati toko gaun, perhiasan dan juga sepatu. Lekuk tubuh indah Gisel hanya dibalut dress floral yang indah membuatnya tampak cantik.

Gisel membuka pintu salah satu butik yang biasa ia datangi.

Tring!

Ketika membuka pintu, bel yang terpasang langsung berbunyi.

"Selamat da....." sapa seorang wanita muda dari dalam kemudian kata - katanya terhenti ketika melihat siapa yang datang.

"Kamu lagi." ucap wanita muda itu dengan helaan nafas yang panjang.

"Kenapa? Sepertinya kesal sekali melihat kedatanganku." kata Gisel menatap wanita itu.

"Tidak. Tapi kamu tidak pernah belanja. Kamu cuma melihat - lihat saja." jawab wanita itu mencari alasan.

"Kata siapa? Hari ini aku mau belanja, kok. Liana." sahut Gisel dengan senyum yang dibuatnya.

"Belanja yang banyak. Uangmu kan banyak." kata wanita bernama Liana itu dengan kesal.

"Kamu terlihat kesal sekali. Kalau kamu tidak bisa melayani pelangganmu dengan baik, untuk apa kamu membuka toko?" tanya Gisel tidak acuh sambil melihat dress yang ada di butik itu.

"Tidak. Aku baik - baik saja." jawab Liana berbohong.

"Lalu apa yang membuatmu kesal?" Gisel masih yakin ada sesuatu yang mengganjal hati Liana. Sebenarnya mereka bukan teman baik. Mereka hanya sering bertemu di kelab malam dan Liana terkenal sering berkata manja terhadap anak lelaki orang kaya.

"Ditolak anak muda lagi? Atau kali ini yang lebih tua?" tanya Gisel menatap Liana dengan bahagia. Kali ini ia bisa memberikan satu skakmat untuk Liana.

"Bukan urusanmu!"

"Kalau saja kamu tidak selalu memakai wig, para pria itu pasti akan menikmati permainan denganmu." sambung Gisel.

"Kenapa semua orang membahas wigku? Apa wigku terlihat buruk?"

"Jawab aku. Siapa targetmu kali ini?" tanya Gisel dengan tajam.

"Kenapa? Kamu mau mencuri targetku lagi?" tanya Liana mengulur jawabannya.

"Aku beli ini semua." tunjuk Gisel pada Liana.

"Katakan."

Tidak lama, Gisel keluar dari butik Liana, membawa beberapa paper bag yang ia beli dari Liana. Gisel melangkahkan kakinya dengan cepat. Hatinya tidak karuan. Ia mengingat kembali perkataan Liana dengan jelas.

"Namanya Brian. Dia lebih muda dari kita. Dia direktur perusahaan Salim Group. Dia tampan, menarik, tinggi. Ya idaman semua wanita termasuk kamu. Aku yakin melihatnya saja sudah membuatmu bergairah."

Gisel masuk ke dalam mobilnya dan memukul stir mobil dengan perlahan. Hatinya semakin tidak karuan. Mungkinkah Brian dari masa lalunya? Tidak mungkin. Dia hanya bocah ingusan yang tidak tahu apa itu dunia. Dia termasuk anak biasa saja. Bukan anak mewah dengan hidup berkecukupan. Jadi bagaimana bisa Brian jadi direktur Salim Group? Tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Gisel terus membatin dalam hatinya bahwa apa yang ia pikirkan selama ini bukanlah Brian dari lima belas tahun yang lalu.

Gisel menyalakan mobilnya, memasang seatbelt dan melajukan mobilnya dengan perlahan. Perlahan penglihatannya kabur. Dihapusnya airmata yang mengalir di pipinya. Ia menepis semua kemungkinan yang terjadi. Yang ia yakini, seseorang yang bernama Brian di Salim Group bukanlah Brian yang ia tinggalkam lima belas tahun yang lalu.

*****

Brian meletakkan kotak kecil dengam nuansa bunga di pojok lacinya. Seringkali Bella menceramahi kebodohannya selalu membawa benda itu kemanapun ia pergi. Tapi Brian selalu menganggap ucapan Bella hanyalah angin lalu. Brian tersenyum menatap kotak kecil itu. Kotak kecil yang ia temukan di ayunan taman pada saat ia kembali dari minimarket untuk terakhir kalinya. Terkadang ia bahagia mengingat kotak itu dari Gisel, terkadang ia juga sedih karena itu adalah hadiah terakhir dari Gisel.

*****

Oktober, 2004

Brian tidak bisa membohongi hatinya yang sedih karena hari ini Gisel pergi meninggalkan kota ini. Ia kembali lagi ke rumah Gisel walaupun ia tahu, sudah pasti tidak ada lagi truk pindahan barang ataupun mobil Gisel.

Hati Brian terlalu bodoh untuk bisa menerima kenyataan. Ia memarkirkan sepedanya dipinggir taman dan menuju ayunan yang biasanya ia naiki bersama Gisel. Ayunan itu basah karena hujan tadi. Dan, ada sebuah kotak kecil disana. Brian meraihnya dengan secepat kilat dan membuka kotak itu. Dua buah pulpen pasangan dengan gambar bulan dan bintang diatasnya juga ada secarik kertas yang dilipat rapi dibawah pulpen itu.

----

*Hai, Brian.

Aku pergi dulu ya.

Ingat janji kita, kamu harus bisa menemukanku suatu hari nanti. Kamu juga harus belajar lebih giat agar bisa sukses suatu saat nanti.

Ini kenangan kecil dariku.

Jaga kesehatanmu dan tumbuhlah dengan tampan.

Gisela Aina Zahran*.

----

Brian menghapus air matanya yang mengalir di pipinya. Ia tidak menyangkali bahwa kepergian Gisel memberikan luka yang dalam. Ia tidak bisa berkata apapun lagi karena Gisel sudah pergi. Brian menangis sesengukan dan memeluk kotak kecil itu. Kotak kecil berisi sepasang pulpen dengan gambar bulan dan bintang diatasnya.

Gisel pindah ke sebuah tempat yang ia tidak kenal sama sekali. Terkadang ia menangis karena merindukan kota lamanya. Ia sama sekali tidak bisa beradaptasi di sebuah kota di Kalimantan. Tapi bagaimanapun, mau tidak mau, suka tidak suka, Gisel harus bisa beradaptasi.

Terkadang, ia teringat dengan Brian dan menangis sendiri di dalam kamar. Mama selalu khawatir dengan apa yang Gisel tangisi.

"Gisel..."

Panggil Mama dengan lembut. Mama mengelus rambut Gisel yang panjang terurai. Gisel langsung menghapus airmatanya ketika Mama datang menghampirinya.

"Mama tahu kamu sedih. Tapi kamu harus terbiasa disini, Sayang..." ucap Mama menarik kursi dan duduk di sebelah Gisel.

Gisel menatap Mama dengan mata yang manja. Ia ingin memprotes kedua orang tuanya.

"Gisel nggak bisa sekolah disini, Ma. Gisel takut dan nggak ngerti apa yang mereka omongin..." kata Gisel.

"Perlahan saja, Gisel. Semua perlu adaptasi. Nggak apa - apa kalau suatu hari nanti kamu sedih lagi. Tapi ingat, kamu harus kembali tersenyum." lanjut Mama. Gisel menghapus lagi air matanya yang masih saja mengalir.

"Kenapa? Kamu kangen ya sama Brian?" tanya Mama dengan senyum yang hangat. Gisel selalu menceritakan Brian. Anak lelaki baik yang selalu main ke perumahannya dulu.

"Iya, Ma."

"Doakan dia, Sel. Kalau suatu hari nanti kalian memang harus dipertemukan, pasti dipertemukan." kata Mama.

"Iya, Ma..." Gisel mengangguk perlahan.

Semenjak hari itu, Gisel rajin sekali menulis surat untuk Brian setiap kali merindukannya, tapi karena ia tidak tahu alamat lengkap Brian, ia hanya menyimpan surat - surat itu di kotak yang ia sediakan khusus berisi surat untuk Brian. Entah sudah berapa surat yang Gisel tulis sekadar menceritakan tentang kesehariannya atau pun kerinduannya pada Brian.

****

Gisel membuka mata dari tidurnya. Dahinya lagi - lagi berkeringat. Sudah beberapa hari ini hatinya terasa gelisah. Masih terbayang mimpinya saat ia tinggal di Kalimantan dulu. Matanya melihat jam dinding. Jam setengah dua malam. Kenapa kepalanya terasa pusing? Apakah karena tiba - tiba terbangun?

Gisel bangun dari tempat tidurnya dan mengambil gelas di meja pinggir tempat tidurnya. Ia meneguk sampai habis hingga tidak terasa haus lagi.

Ia menatap bingkai foto yang terpajang di meja kecilnya. Foto dirinya bersama Mama dan Papa pada saat di Kalimantan dulu. Sungguh, dulu Gisel sangat hidup bahagia bersama orang tuanya. Tapi ketika tragedi itu terjadi, seketika itulah kebahagiaannya hancur bersama asap yang mengepul hitam di udara.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!