Gisel dan Pekerjaannya

Suasana kelab hari itu seperti biasanya. Banyak sekali anak muda yang datang hanya sekedar melepas penat. Iya, kebanyakan yang datang adalah anak dari konnglomerat yang haus akan pengakuan. Sedangkan Gisel, melayani siapa saja yang berada di kelab itu dengan bayaran yang tinggi.

Gisel sudah lama bekerja seperti ini. Sejak orang tuanya meninggal, ia tidak mempunyai pilihan melakukan pekerjaan malam. Biasanya, Gisel akan datang ke ruang VIP, dimana tamu disana memberikan bayaran dua kali lipat pada Gisel. Dan kali ini, Gisel sangat beruntung, tamunya adalah anak muda dipertengahan usia tiga puluh yang sedang gelisah karena pacarnya lebih mementingkan pekerjaannya.

"Selamat malam." sapa Gisel dengan lembut. Tidak ada wanita yang tahan dengan anak muda ini karena terlalu arogan ketika sudah mulai mabuk.

"Gisel... Aku sudah yakin kamu pasti datang..." kata anak muda itu dengan senyum di wajahnya. Gisel tersenyum dan menghampiri anak muda yang seusia dengannya itu dengan sopan.

"Kamu selalu yang terbaik melayaniku." kata anak muda itu mengacungkan jempol pada Gisel.

"Tapi, kali ini aku boleh kan minta bayaran di muka?" tanya Gisel pelan menyentuh bahu anak muda itu.

"Kenapa? Kita bisa bermain dulu." jawab anak muda itu dengan tenang. Tapi tidak dengan Gisel. Gisel menegaskan di awal pertemuan jika anak muda itu tidak ingin membayarnya di muka, ia akan bergantian dengan wanita lain.

"Farshall..." panggil Gisel lembut tetapi matanya tajam menatap anak muda yang dipanggil Farshall itu.

"I.. iya.." Farshall mulai tidak nyaman dengan Gisel yang menatapnya dengan tajam.

"Kamu tahu kan seperti apa kamu kalau mabuk?" tanya Gisel pelan tetapi tetap tersenyum.

"Kamu akan membentakku kemudian pergi meninggalkan ruangan ini tanpa membayarku. Pikirmu aku sampah?" Gisel menatap tajam Farshall sehingga Farshall tidak berani berkutik.

"Tapi, Sayang... Kalau kamu mau membayarku dimuka dengan dua kali lipat, aku jamin malam ini kamu bisa melupakan pacarmu yang sibuk karena pekerjaannya." sambung Gisel memberi janji pada Farshall.

"Kamu bisa jamin itu semua?" Farshall tergiur dengan apa yang baru saja Gisel katakan.

Gisel meraba dada Farshall dengan lembut, membuka satu kancing yang paling atas, hal itu sudah membuat milik Farshall menegang dan ingin segera disentuh.

"Bagaimana? Tidak perlu berlama - lama. Kamu bisa transfer sekarang, sebelum aku melanjutkan ini semua." Gisel kembali menatap Farshall dengan tatapan lembut dan senyum yang menggoda.

"Baik, baik. Aku akan transfer sekarang." Farshall segera mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening Gisel. Setelah Farshall mentransfer, ia memperlihatkan layar ponselnya pada Gisel.

"Surah berhasil." kata Farshall. Gisel surah merasa adil sekarang. Ia tidak membatasi dirinya lagi pada Farshall. Di dekatinya pria itu dan dielus milik Farshall yang sudah menunggunya sejak tadi.

"Kasihan sekali kamu selalu ditinggal kerja oleh kekasihmu." kata Gisel menatap mata Farshall dengan dalam. Gisel mengecup leher Farshall yang terbuka beberapa kali hingga Farshall mendesah dengan lembut.

"Mau kamu lanjutkan dimana? Disini saja atau...."

Farshall menarik pinggang Gisel agar bisa lebih dekat dengannya. Menciumi bibir Gisel dengan lembut. Meraba dada Gisel yang kencang dan ranum, membuat Farshall semakin bergairah.

"Aku sudah terlanjur menginginkannya disini. Kita selesaikan disini." jawab Farshall dengan lemah. Ia tidak bisa menahan lagi sensasi nikmat yang Gisel berikan padanya. Perlahan, Gisel membuka kancing bajunya yang langsung disambut dengan hangat oleh bibir Farshall.

*****

Semakin hari, pekerjaan Brian terasa semakin menumpuk. Brian menyudahi pekerjaannya hari ini dan membereskannya agar bisa segera siap untuk pulang ke rumah. Sudah dua hari ini ia lembur sampai pukul sembilan malam. Pak Liam juga jadi ikut lembur, karena apapun yang Brian lakukan, Pak Liam pasti menemaninya.

"Anda bisa langsung pulang, Pak." kata Pak Liam.

"Iya, Pak Liam. Bapak juga bisa langsung pulang." jawab Brian mempersilakan Pak Liam pulang terlebih dulu.

"Iya, Pak, tapi...." Pak Liam terbata ketika melihat seorang wanita anggun berjalan ke arah Brian. Wanita ceria itu langsung menyambut Brian yang baru saja pulang kerja dengan kopi yang ia bawa.

"Taraa!!" wanita itu menyodorkan segelas kopi pada Brian disusul dengan wajah Brian yang sedikit terkejut.

"Edith.. Sedang apa kamu disini?" tanya Brian. Wanita yang dipanggil Edith oleh Brian tersenyum dan mempersilakan Pak Liam untuk meninggalkan mereka.

"Aku belum pernah melihatmu bebas sejak kamu jadi direktur. Jadi ku pikir, daripada aku menunggu waktu luangmu, lebih baik aku yang mendatangimu." jawab Edith dengan senyum.

"Kamu menungguku dari jam berapa?" tanya Brian merasa tidak enak hati.

"Nggak penting. Yang penting sekarang kita jalan pulang aja." kata Edith tertawa. Tapi Brian tetap diam.

"Oke. Aku tadi nunggu dari jam tujuh. Tapi tadi aku makan dulu kok disana. Jadi aku nggak nunggu - nunggu kamu banget." jawab Edith dengan santai. Edith selalu berasa senang jika berada didekat Brian. Aura bahagianya selalu muncul dan siapapun yang melihatnya pasti akan mengira mereka adalah sepasang kekasih.

Brian mengajaknya duduk di bangku taman dekat kantor.

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Baik?" tanya Brian. Terkadang Edith selalu menyalahartikan kebaikan dan perhatian Brian padanya, walau begitu, Edith paham, tidak mungkin Brian menyukainya secepat itu. Pasti membutuhkan waktu untuk bisa menyukai satu sama lain.

"Kamu tahu sendiri, aku seorang desainer. Banyak komplain yang datang dari kanan kiri dan moodku hari ini tidak begitu baik." jawab Edith terlihat sedih.

"Kamu selalu mengerjakan pekerjaanmu dengan baik. Memang sulit, tapi pasti ada saat dimana kesulitan itu akhirnya bisa kita atasi." respon Brian dengan teduh. Semilir angin yang menerpa tubuh mereka terasa menyegarkan. Sudah seharian ini Brian merasa pengap berada di dalam kantor. Berada di luar kantor, terasa lebih menyenangkan.

"Aku merindukan angin malam ini." kata Brian. Edith memperhatikan wajah Brian yang terlihat lelah.

"Pasti sulit ya, jadi direktur?"

"Begitulah." Brian mengangguk dan menyandarkan kepalanya dibangku taman.

"Sewaktu menjadi karyawan biasa, aku masih punya waktu luang untuk pergi makan dengan teman kerja atau pun ke karaoke. Tapi sekarang, aku sudah pusing dengan tumpukan kertas itu." kata Brian.

"Semua sudah jalannya, Brian." kata Edith menepuk bahu Brian.

"Aku tahu pasti sulit tapi kamu pasti berhasil. Kamulaj yang pantas menduduki kursi itu."

Brian tersenyum kecut mendengar ucapan Edith. Mungkin ada benarnya, tapi ia merasa hampa saat ini. Kesibukannya membuatnya tidak mempunyai waktu luang.

"Tapi dinikmati saja, Brian. Kalau kamu jenuh, kamu bisa ambil istirahat sebentar dan makan makanan enak." lanjut Edith.

"Terima kasih ya. Berkat kamu, aku bisa istirahat sebentar dari urusan kantor." kata Brian. Edith menatap sedih Brian yang kehilangan keceriaannya. Tapi apapun itu, sudah seharusnya jalan Brian seperti ini.

"Sudah makan, Brian?" tanya Edith. Merasa dikhawatirkan oleh Edith, perut Brian langsung berbunyi segera minta diisi oleh makanan.

"Sepertinya perutku sudah menjawab." Brian tertawa renyah begitu pula Edith.

"Yuk kita makan. Mau makan apa? Disana ada soto, disitu ada sate."

Begitulah Edith, selalu mengisi hari - hari Brian yang terasa hampa. Ia tahu betul dimana ia harus menghibur Brian dan bagaimana untuk menghiburnya. Walau Edith tahu, cintanya sampai saat ini belum terbalaskan oleh Brian.

*****

Gisel mengancingkan bajunya kembali. Merapikan rambutnya yang berantakan dan membersihkan sisa cairan yang tumpah di kursi. Sedangkan menghela napas dengan panjang karena sudah merasa terpuaskan oleh layanan Gisel malam ini.

"Aku lelah sekali. Panggilkan supirku, aku akan langsung pulang malam ini." kata Farshall. Setelah rapi, Gisel bangkit dari duduknya dan memanggilkan supirnya di depan kelab.

Setiap malam, Gisel bisa melayani dua sampai tiga pria berbeda. Setelah melayani satu pria, biasanya dia langsung membersihkan diri dan merapikan riasannya lagi. Jika ia harus melayani diatas jam 3 pagi, ia akan meminta biaya ekstra untuk itu.

"Dia tidak arogan?" tanya seorang wanita yang juga bekerja di kelab malam bersama Gisel.

"Siapa? Anak galau itu?" tanya Gisel.

"Iya. Apa dia sama sekali tidak bentak - bentak kamu?" tanyanya dengan penasaran.

"Kenapa? Kamu penasaran?" Gisel mulai risih jika harus ditanya seperti ini.

"Aku cuma heran. Kenapa kalau aku temani dia..."

"Mei..." potong Gisel sebelum pembicaraan itu diselesaikan.

"Kalau kamu ingin bertahan lama melayani seorang pria, kamu harus memberinya servis yang lebih. Aku tahu kamu berusaha sekali untuk anak itu. Tapi, Mei... besok aku akan mengajari kamu, bahwa menemani pria hidung belang, tidak cukup dengan hanya menuangkan bir." kata Gisel. Meidi mengangguk mendengarkan apa yang Gisel katakan.

"Tapi aku takut mereka akan...."

Gisel memegang kedua lengan Meidi. Meyakinkan Meidi bahwa apa yang dikerjakannya untuk menghasilkan uang.

"Kamu tidak perlu takut. Karena mereka hanya butuh pelayanan." Meidi mengangguk mendengarkan apa yang Gisel katakan. Gisel memoles bibirnya dengan lipstik sekali lagi. Kemudian mengajak Meidi keluar dari toilet.

*****

Brian dan Edith makan sate di pinggir jalan.Brian makan dengan lahap dan hal itu membuat Edith tertawa melihatnya.

"Pelan - pelan saja. Apa kamu selapar itu?" tanya Edith.

"Aku sudah lama nggak makan sate ayam ini." kata Brian sambil terus memakan lontongnya.

Edith merasa senang bisa menemani Brian makan malam seperti ini. Rasanya seperti mengulang masa kuliah dulu. Brian selalu saja tidak punya waktu untuk makan sehingga Edith selalu mengajaknya makan diluar.

Edith mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan memberikannya pada Brian.

"Apa ini, Edith?"

"Ambillah. Mungkin pekerjaanmu nanti akan lebih banyak mencatat. Anggap saja ini ucapan selamat dariku untukmu." kata Edith memberikan sebuah buku catatan dengan sampul kulit yang lembut. Brian menyukainya. Tampilan buku itu tampak elegan dan sepadan dengan yang seharusnya dibawa oleh seorang laki - laki.

"Kamu tidak perlu repot menyiapkan ini...."

"Aku hanya ingin memberimu hadiah. Aku rasa wajar karena kita berteman sudah cukup lama." ucap Edith.

"Terima kasih ya. Bahkan aku lupa hal sepenting ini. Aku selalu saja menulis catatan di sticky note." jawab Brian. Edith tertawa.

"Baguslah pilihanku tidak salah."

Kemudian mereka menghabiskan satenya dan bersiap pulang

Terpopuler

Comments

suharwati jeni

suharwati jeni

lanjut ya.....
suka

2022-02-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!