Brian sampai di taman hias. Melihat apakah Gisel masih menunggunya atau tidak. Brian bimbang dengan hatinya. Ia bingung bagaimana harus menghadapi Gisel. Tapi menghindarinya bukanlah jawaban yang tepat untuknya. Karena semakin Brian menghindarinya, hati Brian semakin bingung dan bimbang apakah ia harus melangkah maju atau mundur.
Tapi di taman hias sudsh tidak ada bayangan Gisel. Apakah ia telah membuat Gisel terlalu lama menunggu sehingga Gisel pergi dan kembali bekerja?
Brian melihat disekeliling taman yang sudah semakin sepi. Sudah pukul sepuluh malam. Tiga jam berlalu sejak waktu mereka janjian.
"Sudah datang?"
Brian mendengar suara wanita yang ia kenal. Suara itu terdengar lembut dan familiar ditelinganya. Wanita dengan dress bunga yang manis terlihat begitu sempurna dimata Brian.
"Kamu masih menunggu?" tanya Brian. Wajah Gisel terlihat lelah tapi ia masih tetap mengulas senyum diwajahnya.
"Iya. Kamu pasti sibuk bekerja. Jadi aku tetap tunggu walau aku tahu kamu akan terlambat...." Belum selesai Gisel bicara, Brian memeluk Gisel dengan kerinduan yang amat sangat. Ia tidak bisa menahan dirinya lagi untuk tidak memeluknya.
"Maaf. Maaf aku datang terlambat." ucap Brian. Gisel hanya tersenyum memeluk Brian yang merasa menyesal malam itu.
Hari semakin malam. Gisel dan Brian duduk di bangku taman. Ingin memulai pembicaraan tapi hati Brian merasa sedikit kecanggungan. Begitu pula dengan Gisel.
Akhirnya, keduanya mencoba mengutarakan pembicaraan satu sama lain berbarengan.
"Aku mau..."
"Brian, aku..."
Tersadar mereka berbicara secara bersama, mereka pun terdiam.
"Kamu saja yang berbicara duluan." kata Gisel tersenyum.
"Kamu saja dulu." Brian pun ikut tersenyum kecil melihat tingkahnya sendiri yang canggung.
Gisel terdiam sesaat, kemudian ia memulai pembicaraannya.
"Maaf, membuatmu terkejut dengan pekerjaanku. Aku hanya harus bertahan hidup melakukan pekerjaan seperti ini."
Brian terdiam, entah harus bicara apa.
"Orang tuaku meninggal. Dan aku kesulitan hidup sendiri. Pada saat di Kalimantan, aku bekerja di rumah orang sebagai pembantu dan aku tidak bisa melakukan itu dengan benar." Gisel menatap langit yang hitam. Tidak ada banyak bintang disana. Tapi matanya jauh memandang ke langit yang luas.
"Pasti sulit ya, menjalani itu semua?" tanya Brian. Brian menatap Gisel dengan teduh. Hatinya terasa disirami oleh hujan. Seperti tanaman yang senang ketika harus bermandikan air hujan.
"Apa yang bisa menjadi pilihanku? Aku putus sekolah. Aku tidak bisa menjalani kehidupan sesuai keinginanku." Gisel menatap Brian dengan tatapan yang rindu. Tapi seakan ada tembok besar yang menghalangi pandangannya.
"Aku minta maaf, Brian. Kalau bisa, jangan terlalu ada harapan besar diantara kita. Aku nggak mau kamu terluka karena pekerjaanku." kata Gisel. Brian meraih tangan Gisel dan menggenggamnya.
"Berhentilah dari pekerjaanmu." ucap Brian spontan. Entah mengapa dirinya mengatakan hal seperti itu. Gisel memandang mata Brian yang terlihat sungguh - sungguh.
"Aku akan memberimu pekerjaan..."
"Brian, aku tidak punya keahlian apa - apa." ucap Gisel menyanggah permintaan Brian.
"Pasti ada. Pasti ada keahlian yang kamu punya." Brian terlihat serius mengatakan itu. Gisel menurunkan pandangannya. Ia sangat takut bahwa perasaannya semakin dalam pada Brian.
"Brian..." panggil Gisel. Kini ia tidak memandang Brian lagi. Brian menunggu Gisel mengatakan kalimat selanjutnya.
"Kita baru bertemu setelah lima belas tahun. Bisakah kita meyakinkan perasaan kita lagi? Mungkin saja perasaan yang dulu kita punya hanyalah perasaan sesaat."
JDAR!!!
Hati Brian terasa ingin meledak. Kenapa Gisel mengatakan hal seperti ini seolah tidak yakin dengan Brian.
"Gisel, aku mencarimu selama lima belas tahun. Kamu masih meragukan perasaanku?" tanya Brian.
"Kamu yakin bisa menerimaku, Brian? Tubuhku sudah bukan milikku lagi. Tapi milik mereka yang membayarku. Sudah seringkali aku berganti pasangan. Kamu nyaman dengan hal itu?" Gisel menghadapkan Brian pada realita. Realita bahwa Gisel tidak memiliki pekerjaan yang diimpikan oleh orang banyak. Pekerjaan yang harus merelakan tubuhnya dijamah pria lain ketika mereka membayarnya.
Brian terdiam menatap mata Gisel yang yang berwarna coklat. Hatinya kembali hancur. Inilah yang tidak bisa Brian hadapi. Kenyataan bahwa Gisel adalah wanita malam.
"Jadi, kamu yakin kamu tidak bisa berhenti dari pekerjaanmu?" tanya Brian tidak melepas pandangannya dari Gisel.
"Aku tidak bisa. Itulah pekerjaanku."
"Kalau begitu, aku yang akan membuatmu lepas dari pekerjaan itu."
Tangan Gisel terasa berkeringat dan sedikit bergetar. Gisel sadar. Waktu sudah berlalu. Brian bukanlah anak yang ia kenal dari minimarket. Sekarang, Brian bisa melakukan apa saja yang ia ingin lakukan. Bahkan membeli kelab malam itupun bisa saja ia lakukan.
*****
Bella masih mengerjakan beberapa pekerjaan kantor yang belum sempat ia selesaikan. Ia membolak - balikkan kertas dan menulis beberapa catatan. Suara mobil terdengar dari lantai bawah. Bella kenal betul itu adalah suara mobil Brian yang baru saja pulang.
Bella merasa akhir - akhir ini Brian lebih sering pulang malam. Tapi jika Brian lembur di kantor tidak mungkin. Karena Pak Liam mengatakan bahwa ia sudah pulang bersama Brian pukul delapan malam.
Bella menuruni anak tangga dan berpura - pura mengambil minum ke dapur.
"Baru pulang?" tanya Bella begitu melihat Brian memasuki rumah.
"Belum tidur?"
"Masih banyak pekerjaan dan aku haus." jawab Bella singkat.
"Ada teman yang harus aku temui." Brian menjawab pertanyaan Bella sesingkat mungkin agar tidak ada pertanyaan yang lain. Kemudian ia langsung menaiki anak tangga dan hilang dari pandangan Bella.
Walau masih penasaran, Bella menahan rasa keingintahuannya demi privasi Brian. Suatu hari ia akan menanyakannya sendiri apa yang Brian lakukan hingga lewat tengah malam baru pulang.
*****
Esok hari, rumah Gisel dihujani dengan bel yang tidak kunjung henti berbunyi. Ia merasa waktu tidurnya terganggu. Ia segera bangun dari tidurnya dan membukakan pintu yang sejak tadi sudah sangat bising.
Wajah Liana terlihat cerah dengan senyum di wajahnya. Sedangkan Gisel merengut kesal karena Liana datang pagi saat Gisel sedang tidur.
"Ngapain sih pagi - pagi datang? Berisik tahu!"
Tanpa mempedulikan ucapan Gisel, Liana masuk dan langsung duduk di sofa yang sangat nyaman di rumah Gisel.
"Yuhu! Aku sudah menggantikanmu semalam! Sekarang waktunya menagih janji. Ayo kita be-lan-ja." seru Liana dengan semangat.
"Belanja apa? Ini masih pagi tahu! Masih ngantuk!" Gisel kembali ke kamarnya dan rasanya ingin melanjutkan tidurnya.
"Hei, hei, hei. Nggak bisa dong. Janji tetap janji. Lagipula ini sudah jam sepuluh tahu! Masih mau tidur lagi?" Liana menarik tangan Gisel agar tidak kembali ke kamarnya dan segera membuka matanya. Ia mendudukkan Gisel di sofa.
"Memang siapa yang datang semalam?" tanya Gisel setelah duduk bersandar dengan nyaman di sofanya.
"Heboh! Heboh! Tahu nggak, semalam ada orang pengusaha datang! Ya ampun, dia banyak maunya deh. Maunya gadis yang bisa melayani dia, mulai dari meraba sampai menuangkan minum. Dan dia seolah - olah mencari kesalahan kami. Ada yang salah dikit, komplain. Salah begini dikit, komplain. Aku yakin kalau ada kamu, pasti semua bisa teratasi." cerita Liana dengan semangat.
"Ribet banget. Baru pertama kali dia kesitu?" tanya Gisel.
"Iya. Kita juga baru liat dia semalam kok. Dia pesan ruang VIP, mau ditemani sama empat gadis. Katanya 'tenang aja, saya bayar!' tapi kasih tip cuma seratus ribu! Sudah banyak maunya, komplain terus, kasih tip sedikit! Nggak mau lagi melayani dia!" lanjut Liana membuat Gisel tertawa.
"Terus, komplain apa aja dia?"
Liana mencoba mempraktekkan apa yang terjadi semalam di kelab dengan dialog yang diucapkan oleh kliennya dan sukses membuat Gisel tertawa. Kemudian tawanya berhenti ketika mengingat kejadian semalam bersama Brian.
"Li." panggil Gisel. Liana yang masih tertawa dan tidak menyadari dengan perubahan ekspresi wajah Gisel masih saja tertawa.
"Kenapa sih, serius banget?" tanya Liana dengan tawanya.
"Bagaimana kalau aku berhenti dari kelab malam?" tanya Gisel dengan tiba - tiba. Liana pun terkejut dengan apa yang Gisel katakan.
"Hah? Berhenti? Kenapa? Kamu sudah cocok kerja di kelab malam itu. Untuk apa berhenti?"
"Entahlah. Tiba - tiba itu ada di pikiranku saja." kata Gisel memandang jauh ke jendela. Menatap gedung tinggi yang terlihat dan langit yang luas.
"Memang kamu mau kerja apa kalau kamu berhenti? Disini kita dapat uang banyak lho. Di tempat lain kamu harus berjuang dulu selama sebulan untuk mendapatkan gaji yang pantas." kata Liana. Kemudian Liana menebak asal jika ada sesuatu yang terjadi karena Gisel mengambil libur kemarin.
"Apa ada yang membuatmu berubah pikiran?" tanya Liana. Gisel sedikit sadar dengan pertanyaan Liana.
"Apa maksudmu? Tidak ada kok!" jawab Gisel dengan sedikit nada tidak yakin.
"Kamu nggak jatuh cinta sama salah satu klienmu kan?" tanya Liana menatap Gisel semakin dalam.
"Kamu ngomong apa sih? Ngomongnya jangan yang nggak masuk akal dong." Gisel mengalihkan pandangannya dari Liana. Ia tidak ingin terlihat bahwa dirinya sedang berbohong.
"Ingat ya, Gis. Mungkin kamu bisa bohongin aku. Mungkin juga kita berantem setiap kali ketemu. Tapi aku yang paling dekat denganmu dan aku tidak bisa dibohongi olehmu." kata Liana. Gisel terdiam mendengarkan apa yang Liana katakan dan tetap berusaha menyangkal apa yang dikatakan.
"Nggak, Li. Nggak mungkin aku jatuh cinta pada salah satu klien."
"Regas!" seru Liana tiba - tiba. "Bagaimana dengan Regas? Pengusaha ban yang terkenal. Dia sering mendatangimu tapi tidak pernah memesan ruang VIP. Dia ya yang jadi masalahmu?" tebak Liana sok tahu.
"Nggak ada hal semacam itu antara aku dan Regas. Dia hanya sedang bersedih kehilangan istrinya yang sudah lama sakit dan dia nggak pernah tega bersenang - senang diatas penderitaan istrinya. Jadi dia hanya butuh ngobrol melepaskan beban dihatinya saja. Tapi dia tetap membayarku." jawab Gisel menjelaskan.
"Berarti Regas itu duda kaya keren dong?"
"Jangan lihat begitu! Kasihan tahu dia itu. Apalagi sudah punya anak. Dia kebingungan mengurus anaknya seperti apa karena istrinya sudah nggak ada."
"Hm. Berarti bukan Regas dong ya masalahnya." Liana terlihat berpikir mencari jawaban mengapa Gisel tiba - tiba ingin berhenti dari pekerjaannya. Dia menemukan segala kemungkinan setiap pria yang ditemuinya. Kemudian, Liana terpikirkan satu pria yang pernah bertemu dengan Gisel.
"Mungkinkah... Brian?" tebak Liana. Gisel terdiam dan tidak bisa bicara lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
suharwati jeni
paksa gisel utk berhenti, brian
2022-02-03
0
indahpurnamasari
iya brian lyyyy
2020-05-27
0