Flashback
Eden merosot, tubuhnya terasa melemah setelah ia mendapatkan satu fakta, bahwa ia tengah mengandung. Dua garis merah terlihat jelas di tiga tes pack yang ia gunakan malam ini. Hasilnya ia positif hamil. Ia mengandung anak dari Aciel. Dengan tangan bergetar Eden mencoba mengambil semua tes pack itu dan langsung membuangnya kedalam tempat sampah. Ia tidak ingin orang-orang tahu jika ia sedang hamil karena mereka pasti akan membencinya. Ia wanita murahan yang telah tidur dengan ayah angkatnya sendiri. Ia seorang jalang, dan pria itu jelas tidak akan menerima bayi yang sedang dikandungnya karena pria itu tidak pernah mau terikat dengan wanita manapun.
“Ayah, maafkan aku.”
Eden menangis terisak sendirian di dalam kamar mandi sambil meratapi nasibnya yang malang. Akhir-akhir ini Aciel terus membawa teman-teman kencannya ke rumah. Pria itu sudah melupakannya dan sering bersikap kasar padanya. Ia sekarang benar-benar bingung. Seseorang yang seharusnya menjadi walinya dan melindunginya, justru terus menyakitinya seperti ini. Ia menyesal telah memiliki harapan yang besar pada Aciel. Ia pikir semua ini akan berakhir bahagia hingga ke altar pernikahan. Tapi nyatanya, semua itu hanya angan-angan semunya yang tidak mungkin akan menjadi kenyataan.
Tok tok tok
“Nona, saatnya makan malam.”
Suara tuan Kim yang mengetuk pintu kamar mandinya membuat Eden tersadar dari lamunannya dan ia segera menghapus sisa-sisa air mata yang masih membekas di pipinya. Ia harus tetap bersikap biasa dan seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi.
“Yyya tunggu sebentar, aku akan segera ke bawah.”
Eden bergegas berdiri sambil merapikan pakaiannya agar tuan Kim atau pelayan yang lain tidak menaruh curiga padanya. Setelah itu ia segera berjalan keluar dari kamarnya dengan sedikit mengintip terlebihdahulu di ambang pintu karena ia takut untuk bertemu Aciel saat ini.
“Apa yang kau lakukan di sana?”
“Hahhh..”
Eden terperanjat kaget dan langsung menemukan Aciel di belakangnya. Pria itu terlihat sedang menatap aneh kearahnya, namun kemudian memilih untuk bersikap acuh tak acuh sambil berjalan mendahuluinya untuk turun ke bawah.
“Apa yang baru saja kau lakukan?”
Eden sedikit menggigit bibir bawahnya gugup sambil mengikuti langkah lebar Aciel yang tampak cepat di
depannya. Ia ingin sekali mengatakan padanya jika saat ini ia sedang hamil. Tapi ia takut. Banyak bayangan buruk yang menari-nari di dalam kepalanya. Termasuk penolakan Aciel yang tidak pernah mau terikat dengan wanita manapun.
“Hanya memastikan sesuatu.” Jawab Eden pelan.
“Memastikan apa?”
“Memastikan.... bukan apa-apa, lupakan saja.” Jawab Eden masam. Hatinya sakit saat ini. Dan ia sebenarnya sangat berharap agar tidak bertemu Aciel, karena setiap melihat pria itu ia selalu teringat malam-malam percintaan panas mereka dan semua sikap manisnya dulu.
“Apa kau masih berhubungan dengan Tranz?”
Eden tanpa sadar berdecak kesal saat Aciel menanyakan hal itu. Tentu saja saat ini ia masih berhubungan dengan Tranz karena hanya pria itulah satu-satunya teman yang ia miliki. Meskipun Tranz tidak bisa dikatakan sebagai teman yang baik atau senior yang baik, tapi pria itu selalu ada untuknya. Disaat ia sedang terpuruk atau disaat ia sedang bahagia, Tranz selalu ada untuknya. Tidak seperti pria brengsek di depannya, yang hanya muncul disaat ia sedang menginginkan tubuhnya.
“Aku hanya memiliki Tranz sebagai satu-satunya teman, jadi aku masih berhubungan dengannya.”
“Kau boleh berteman dengannya, hanya teman.” Tekan Aciel sambil menolehkan kepalanya sedikit ke belakang. Eden tampak diam tanpa menggerakan sedikitpun kepalanya untuk menanggapi doktrin menyebalkan pria itu. Lagipula pria itu sama sekali tidak berhak untuk mengatur dengan siapa ia boleh berteman karena ini adalah hidupnya. Miliknya!
“Siapa dia?”
Eden berhenti di ambang pintu dan tampak enggan untuk masuk kedalam ruang makan ketika ia melihat seorang wanita cantik berambut pirang keemasan sedang duduk manis di sana sambil membaca sebuah majalah fashion dengan tenang. Mendengar suara sedikit berisik yang berasal dari ujung pintu membuat wanita itu refleks mendongakan kepalanya sambil tersenyum manis kearah Aciel. Hanya pada Aciel.
“Kenapa lama sekali?”
“Hai Sica, Eden sepertinya sedikit gugup untuk bertemu denganmu.”
Dengan penuh paksaan Aciel mendorong bahu Eden ke depan dan menuntun wanita itu untuk duduk di sebelah Jessica. Ia tahu jika Eden hendak kabur beberapa saat yang lalu, oleh karena itu ia sengaja mendorong bahu Eden kuat-kuat agar wanita itu tidak bisa pergi kemanapun.
“Oooo jadi ini putri Brexton? Hmm... ia sudah lebih dewasa dari yang kulihat terakhir kali.” Komentar Jessica sambil memperhatikan postur tubuh Eden yang memang lebih tinggi darinya.
“Kau mengenal ayahku?” Tanya Eden begitu saja di depan Jessica.
“Sangat mengenalnya, kami dulu adalah teman dekat.” Jawab Jessica ringan. Eden mengangguk kecil menanggapi jawaban Jessica, dan setelah itu ia hanya fokus pada makanannya yang sama sekali tidak terlihat menggiurkan di matanya. Ia hanya mencoba menyibukan diri di tengah-tengah dua orang manusia dewasa yang sedang asik mengobrol tanpa menghiraukan keberadaanya di sana.
“Aku tidak menyangka kau akan memenuhi permintaan terakhir Brexton untul merawat putrinya.”
“Aku juga tidak. Tapi aku tidak memiliki pilihan lain.”
Eden menghentikan gerakan tangannya untuk mengiris daging ketika dirasa hatinya terasa berdenyut. Sejak awal perasaan bodoh itu hanya ia yang memilikinya, sedangkan Aciel, pria itu hanya menganggapnya sebagai wanita penghibur sama seperti yang lainnya. Jadi pantas saja jika pria itu bisa dengan mudah memperlakukannya semena-mena tanpa memikirkan bagaimana hatinya saat ini yang sedang terluka.
“Aku sudah selesai.”
Eden tiba-tiba berdiri dan pergi begitu saja dari ruang makan. Ia tidak mau lagi mendengarkan apapun cerita dari Aciel atau Jessica. Keduanya saat ini justru saling menurunkan kondisi psikisnya dengan cerita-cerita mereka yang terdengar asik, namun tanpa sedikitpun melibatkannya di dalamnya.
“Kau belum menghabiskan makananmu.”
“Aku kenyang. Besok akan ada ujian, jadi aku harus belajar malam ini.” Jawab Eden beralasan sambil menyentak tangan Aciel dari pergelangan tangannya. Dengan lunglai Eden mulai menaiki satu persatu anak tangga menuju ke kamarnya. Memang mencintai seseorang di saat orang lain tidak akan membalas perasaanmu itu sangat berat.
Sesampainya di kamar, Eden langsung berbaring di atas ranjangnya sambil memikirkan banyak hal yang memusingkan pikirannya akhir-akhir ini. Tiba-tiba air matanya menetes dan ia mulai menangis lagi untuk yang ke sekian kalinya. Semua ini terasa berat untuknya. Ia menyesal pernah bahagia dengan perubahan sikap Aciel dan meminta pria itu untuk menjadi keluarga yang sesungguhnya untuknya.
“Halo... Tranz?”
Eden menyapa Tranz dengan suara serak yang terdengar megkhawatirkan. Berkali-kali ia mencoba menghapus lelehan air matanya yang mengaburkan mata, namun semua itu rasanya hanya sia-sia. Apalagi dengan keadaan hatinya yang teramat menyedihkan seperti ini.
“Eden, apa yang terjadi? Hey.. kau menangis?”
“Tranz, apa penawaranmu masih berlaku? Aku ingin menjadi model.”
“Penawaran? Tentu, penawaran itu akan terus berlaku untukmu Eden. Tapi ada apa, kenapa kau tiba-tiba ingin menjadi model?”
“Aku...”
Eden menghembuskan napasnya berat sambil mencoba merangkai kata-kata di dalam kepalanya. Masalah ini jelas bukan masalah sederhana yang bisa ia umbar pada siapapun. Namun ia harus menceritakannya sekarang pada Tranz.
“Tranz, aku membutuhkan pekerjaan agar aku bisa segera lepas dari ayah angkatku.”
“Kenapa? Kau ada masalah dengannya?”
“Masalah? Selalu ada masalah di setiap hidupku.” Jawab Eden dengan suara lemah. Air matanya telah mengering, namun perih di hatinya masih belum usai, dan justru semakin sakit menggerogoti hatinya.
“Ceritakan padaku, mungkin aku bisa membantumu.”
“Bantu aku untuk menjadi model dan menjadi terkenal.”
“Aku pasti akan membantumu. Tapi ada apa sebenarnya?”
“Kau akan tahu nanti. Kalau begitu terimakasih.”
Tanpa menunggu jawaban dari Tranz, Eden langsung mematikan sambungan teleponnya dan melempar asal ponselnya entah kemana. Malam ini ia terlalu lelah dengan hatinya hingga ia merasa tak memiliki tenaga sedikitpun untuk melakukan aktivitas. Tapi kerongkongannya terasa kering sekarang karena ia terlalu banyak menangis untuk seorang pria tak penting seperti Aciel.
“Ck, aku benci harus kembali ke bawah.”
Eden sedikit merapatkan mantel tidurnya sambil berjalan lunglai ke bawah. Suasana hening yang begitu kental di mansion itu terasa sudah tak asing lagi untuknya. Ini adalah potret nyata kehidupan Aciel yang suram dan tanpa warna.
“Apa kau yakin tidak melibatkan perasaanmu?”
“Kau masih menanyakan hal itu? Sudah berapa tahun kita menjadi partner Sica?”
Eden berhenti di ujung tangga dan memilih untuk mencuri dengar pembicaraan antara Aciel dan Jessica. Rasanya apa yang mereka bicarakan sangat menarik, dan mungkin saja ia bisa mendapatkan informasi baru yang belum pernah ia dengar.
“Setelah aku bertemu sendiri dengannya, kurasa sedikit mustahil jika kau tidak memiliki perasaan untuk Eden.”
Deg
Eden semakin menajamkan pendengarannya untuk mencuri dengar seluruh percakapan Aciel dan Jessica. Sejak awal ia sudah menduga jika kedua orang itu memang aneh dan mencurigakan.
“Huh, omong kosong macam apa itu? Menggelikan, aku hanya memanfaatkan tubuhnya.”
Eden menggigit bibir bawahya kuat sambil menahan isak tangis yang hampir lolos dari bibirnya. Tanpa sadar ia mengelus perut ratanya sendiri, dan setelah itu ia meremasnya dengan perasaan benci yang telah bercampur dengan tangis yang tak bisa ia bendung lebih lama lagi.
“Kupikir kau akan memperlakukan putri Brexton dengan berbeda. Ia bukan wanita liar seperti teman-teman kencanmu Ace.”
“Kau juga bukan, tapi kita sering menghabiskan malam bersama.”
“Aku dan Eden berbeda. Kita hanya sebatas memenuhi nafsu kita tanpa pernah melibatkan perasaan di dalamnya. Tapi Eden, ia mencintaimu.”
“Aku tidak mau berkomitmen Sica, aku tidak butuh cinta. Aku hanya butuh tubuh mereka untuk memuaskanku.”
“Brexton pasti akan marah jika ia masih hidup.”
“Dan aku juga tidak mungkin akan menyentuh putrinya jika si brengsek itu tidak menitipkan putrinya padaku.” Balas Aciel kasar.
Eden memejamkan matanya dalam dan semakin menggigit bibirnya untuk menghalau setiap denyutan nyeri yang ia rasakan. Ini semua bukanlah jalan hidup yang ia inginkan selama ini. Ia mungkin terlalu polos untuk memaknai kehidupan yang ia kira akan selalu lurus dan dipenuhi kebahagiaan, padahal nyatanya kehidupan itu sangatlah kejam. Bahkan sewaktu-waktu kehidupan ini bisa saja membunuhnya dengan keji.
“Aaakkhh... kita tidak bisa melakukannya di sini Ace. Eden bisa terbangun karena suara kita.”
“Aku tidak peduli. Kita selesaikan ini secepatnya, dan aku akan segera terbang ke Australi malam ini.”
Eden memalingkan wajahnya cepat dari dua manusia yang sedang bergumul intim di atas sofa dengan suara desahan yang membuatnya mual. Sorot jijik dan juga terluka tampak jelas di kedua mata Eden yang saat ini tampak kosong tanpa cahaya. Dengan wajah datar, Eden berjalan naik ke kamarnya sambil mencengkeram perut ratanya erat. Sepertinya ia sudah tahu apa yang akan ia lakukan saat ini. Melanjutkan hidup rasanya terlalu berat
untuk dilakukan. Jadi ia memang lebih baik mati dan menjadi santapan hewan-hewan menjijikan di dalam tanah daripada ia harus hidup, namun terus menjadi santapan monster jahat seperti Aciel Lutherford.
-00-
Dengan air mata yang meleleh di kedua pipinya, Eden terus berjalan menyusuri jalanan sekitar kampusnya yang sepi. Siang ini ia begitu sedih ketika ingatannya memutar seluruh kejadian semalam yang sangat menyakitkan. Hingga pukul satu pagi ia belum bisa memejamkan mata, dan saat ia keluar dari kamarnya untuk mengambil minum di bawah, ia bertemu Jessica di ruang tamu yang saat itu sedang menatapnya dengan penuh senyuman. Sayang senyuman itu hanyalah sebuah senyuman palsu yang sarat akan pengasihanan. Ia sama sekali tidak butuh sikap munafik seperti itu. Ia hanya butuh kebahagiaan dan ketenangan untuk hidupnya.
Tiiiinnnnn!!!
Eden terduduk kaku di pinggir jalan dengan seluruh mata yang menghujam kearahnya. Ia baru saja ingin
mengakhiri hidupnya. Tapi sayang semua itu gagal karena ulah seseorang yang berhasil menarik tubuhnya menjauh dari tengah jalan.
“Apa yang kau lakukan? Kau ingin mati!” Bentak pria itu geram. Eden masih menangis tersengguk-sengguk di atas aspal dan tampak tak peduli dengan bentakan yang sedang dilayangkan kearahnya. Saat ini di pikirannya hanya ada kata mati, mati, dan mati. Ia sama sekali tidak ingin hidup. Apalagi dengan aib besar yang saat ini sedang membayang-bayangi hidupnya.
“Aku ingin mati….”
“Astaga, kau berdarah!”
Sian langsung menyeret tubuh Eden untuk berdiri dan mulai memeriksa kondisi tubuh Eden satu persatu. Tak sengaja siang ini ia melihat Eden yang sedang berjalan lunglai di pinggir jalan. Niat hati ia ingin menyapa, namun ia justru dikejutkan dengan sikap Eden yang tiba-tiba menyebrang begitu saja ketika lampu untuk pejalan kakimasih menunjukan tanda merah.
“Sian… sakit…”
Eden meremas kuat perut bawahnya sambil menangis di dalam dekapan Sian. Kedua kakinya terasa lemas dan ia merasa tidak bisa menopang berat tubuhnya lagi. Ia hampir saja ambruk di atas tanah jika Sian tidak sigap untuk menopangnya dan langsung mengangkatnya untuk di bawa ke dalam mobil.
“Kita ke rumah sakit sekarang, ada sesuatu yang tidak beres denganmu.” Putus Sian panik. Di tengah
ketidaksadarannya Eden terus mencengkeram bahu Sian untuk menyalurkan seluruh rasa sakitnya. Ini sungguh rasa sakit yang sama mengerikannya dengan rasa sakit yang ia rasakan semalam. Dan kemudian ia baru sadar jika saat ini darah sedang merembes turun membasahi pahanya.
“Sian, aku hamil…” Ucap Eden lirih sebelum ia kehilangan seluruh kesadarannya dan membuat Sian menjadi panik.
“Eden! Eden! Sadarlah…. Eden!!”
Flashback end
Eden membuka matanya pelan sambil mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya terang yang menusuk
matanya. Kedua matanya yang belum sepenuhnya menemukan fokus membuatnya harus mengernyit berkali-kali sebelum akhirnya ia benar-benar bisa melihat seluruh isi dari kamarnya yang sunyi.
“Kau tidur sangat lama.”
Suara itu… Eden rasanya tidak ingin mendengar suara itu lagi untuk selamanya. Ia terlalu muak untuk melihat mata coklat pria itu.
“Aku tidak ingin melihatmu lagi, sebaiknya kau pergi dari hidupku selama-lamanya.”
“Kau menginginkanku pergi dan kau akan menggugurkan anak itu? Jangan harap kau bisa melakukannya Eden karena aku akan selalu mengawasimu agar kautidak bertindak bodoh seperti tadi.”
“Tapi aku tidak mau mengandung anakmu! Kau yang telah membuatku seperti ini.”
Aciel menggeram kesal dari tempat duduknya dan ia memutuskan untuk bangkit menghampiri Eden. Kali ini ia perlu berbicara empat mata dengan wanita itu agar permasalahan diantara mereka segera menemukan titik terang.
“Aku akan menikahimu.”
Eden menatap tajam Aciel sambil memberikan tatapan mencemooh pada pria itu.
“Cih, menikah hanya untuk status? Aku tidak mau.” Balas Eden sengit. Ia telah bersiap untuk berbalik dan memunggungi Aciel, namun hal itu gagal karena Aciel langsung menahan pundaknya kuat.
“Anak itu tidak bersalah. Meskipun aku brengsek dan tidak pernah mau terikat dengan wanita manapun, tapi dia tetap anakku. Aku akan mempertanggungjawabkan semua perbuatanku selama ini.”
“Aku tidak mau. Pernikahan bukan sesuatu yang mudah seperti yang kau ucapkan. Jika aku menikah
denganmu, aku hanya akan menjadi sampah di hidupmu seperti dulu. Kau hanya akan mencampakanku dan membuatku menjadi penonton dalam setiap malam-malam panasmu dengan seluruh jalangmu di luar sana.” Ucap Eden sengit. Mungkin jika Aciel menawarkan hal itu tiga tahun yang lalu, ia pasti akan langsung menerimanya dengan senang hati. Tapi sekarang ia bukan lagi gadis polos bodoh yang bisa dimanfaatkan dengan mudah. Semua hal yang ia lakukan selama ini bersama Aciel semata-mata hanyalah untuk membalaskan rasa sakitnya karena pernah disakiti oleh pria itu berkali-kali. Ia ingin membuat Aciel bertekuk lutut di kakinya, dan setelah itu ia akan menghempaskan pria itu dengan kejam, sama seperti apa yang pria itu lakukan padanya selama ini.
“Aku bukan satu-satunya pihak yang bersalah dalam hal ini Eden, kau yang terlalu ceroboh karena tidak meminum pil pencegah kehamilanmu.”
“Aku sibuk, dan aku lelah dengan seluruh pekerjaanku. Apa aku masih bisa memikirkan pil kontrasepsi bodoh yang semua itu hanya untuk kesenanganmu semata. Ingat, aku bersedia mengikuti kemauanmu untuk menjadi partner sex, tapi bukan berarti aku mencintamu. Semua perasaan itu telah mati tiga tahun yang lalu bersama darah dagingmu yang menjijikan itu.”
Aciel hampir saja melayangkan tangannya untuk menampar mulut Eden yang sangat kasar. Beruntung
akal sehatnya mampu mencegah hal itu, hinggasaat ini tangannya hanya berhenti di udara tanpa benar-benar menyentuh pipi mulus Eden yang kini tampak biru karena tamparannya siang tadi.
“Kau tidak pernah mengatakannya padaku Eden.”
“Mengatakan kau bilang? Kuyakin kau juga tidak akan mempedulikannya.” Balas Eden acuh tak acuh. Wanita itu akhirnya memutuskan untuk memunggungi Aciel sambil menaikan seluruh selimutnya hingga sebatas dada. Ia lelah untuk melanjutkan perdebatan itu lebih lama dengan Aciel. Semua masalah ini membuatnya semakin pusing dan tidak bisa berpikir jernih. Tanpa sadar ia mengelus perut ratanya sendiri sambil menghitung usia kandungannya dalam hati. Anak itu tidak mungkin terjadi karena percintaanya beberapa hari yang lalu. Itu pasti karena kejadian satu bulan yang lalu saat ia tengah lelah dan Aciel langsung menyusup begitu saja kedalam kamarnya. Ia memang tidak pernah melarang Aciel untuk menyentuhnya, karena ia pikir hal itu akan lebih mudah untuk membuat Aciel bertekuk lutut di bawah kakinya. Dan setelah dua tahun berjalan, ia merasa rencananya sudah sedikit berhasil karena Aciel mulai kehilangan minat dengan teman-teman kencannya dan pria itu juga semakin posesif padanya. Namun ia lupa jika rencananya itu juga akan memberikan risiko yang sangat besar seperti ini.
“Apapun yang terjadi aku akan tetap bertanggungjawab.”
“Aku bersedia untuk menikah denganmu, tapi…”
Eden sengaja menjeda kalimatnya sambil menyeringai licik dengan rencana yang baru saja dipikirkannya.
“Tapi apa?”
“Buktikan padaku jika kau memang pantas menjadi ayah untuknya.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments