“Eden, kau benar-benar akan pergi?”
Eden menoleh sekilas kearah gadis kecil di sebelahnya sambil memasukan barang-barangnya yang sedikit kedalam tas jinjingnya yang kecil.
“Pria baik hati itu telah mengadopsiku Sasha, jadi aku harus pergi.”
Eden terlihat berjalan kesana kemari untuk memasukan beberapa barang-barangnya yang masih tertinggal di dalam kamarnya. Semua barang itu adalah satu-satunya barang berharga miliknya yang dulu pernah diberikan oleh orang tuanya. Sayang, kecelakaan itu telah merenggut ayahnya, sehingga selama beberapa tahun ini ia harus merasakan sulitnya tinggal di panti asuhan. Terkadang ia merasa marah pada Tuhan karena Ia dengan teganya mengambil seluruh kebahagiaanya dan juga satu-satunya keluarga yang ia miliki. Saat ia berusia dua tahun ibunya pergi bersama pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Ayahnya selama ini selalu berkata jujur padanya jika sang ibu memang telah meninggalkan mereka untuk pria lain. Dan untung saja gadis seusianya telah mengerti akan hal itu, sehingga ia tidak pernah lagi mengungkit-ungkit mengenai ibunya di depan ayahnya. Hanya saja ia juga terkadang ingin merasakan bagaimana kasih sayang keluarga lengkap. Ibunya pergi disaat ia belum bisa merasakan apa itu kasih sayang, dan saat ia duduk di bangku sekolah dasar, ia mulai merasa iri pada teman-temannya yang memiliki keluarga lengkap. Kemudian kemalangan mulai menimpanya lagi. Di suatu malam yang mencekam polisi tiba-tiba mendatangi rumahnya dan mengatakan jika ayahnya telah meninggal. Saat itu ia bagaikan disengat oleh ribuan volt listrik, seluruh tubuhnya terasa kaku dan ia tidak bisa melakukan apapun selain menangis di dalam pelukan bibi Claire, asisten rumah tangganya yang selama ini selalu ada untuk menemaninya di rumah. Sayangnya setelah ayahnya meninggal ia tidak bisa ikut bibi Claire pulang ke kampung halamannya. Polisi justru memasukannya kedalam sebuah panti asuhan kecil yang berada di pinggir kota. Sempat terbersit dibenaknya jika polisi-polisi itu berniat untuk membuangnya. Namun pada akhirnya ia mencoba menerima seluruh nasibnya dan beradaptasi dengan lingkungan barunya yang keras.
Empat tahun berada di panti asuhan, membuat Eden merasa hidupnya benar-benar berat. Setiap ia menginginkan sesuatu, ia tidak bisa langsung mendapatkannya seperti dulu. Ia harus menahan keinginan itu berbulan-bulan lamanya hingga datang seorang donatur baik hati yang akan menyumbangkan sedikit uang mereka untuk kehidupan anak-anak panti. Dan biasanya saat ia telah mendapatkan uang, maka barang yang ia inginkan sudah habis dibeli oleh orang lain. Jadi pada akhirnya ia hanya mampu menahan kepedihan hatinya sambil menangis tersedu-sedu di dalam kamarnya yang gelap. Namun semua kesedihan itu langsung menguap begitu saja setelah ia mendapatkan kabar gembira mengenai keluarga baru yang akan mengadopsinya. Ia sungguh telah melupakan semua masa-masa kelamnya yang pahit, dan saat ini ia hanya sibuk membayangkan masa depan yang akan segera menjemputnya sebentar lagi.
“Kalau kau pergi, lalu bagaimana denganku?” Tanya Sasha sedih. Gadis kecil itu terduduk lesu di atas kasur kapas lusuh milik Eden sambil menggoyang-goyangkan kakinya pelan. Selama ini ia hanya memiliki Eden sebagai satu-satunya teman yang memahami dirinya. Jika Eden pergi bersama keluarga barunya, lalu apa yang akan terjadi dengannya?
“Maafkan aku Sasha, aku memang harus pergi. Bergabunglah bersama yang lain, mereka pasti akan menerimamu sama baiknya denganku.”
“Tapi mereka tidak pernah sebaik dirimu Eden. Jangan pergi.” Ucap Sasha pelan. Gadis itu hampir saja mengeluarkan butiran-butiran bening itu dari pelupuk matanya sebelum ibu panti tiba-tiba datang dan menyuruh Eden untuk segera keluar.
“Eden, tuan Lutherford telah menunggumu di depan.”
“Baik ibu, aku akan berpamitan dengan Sasha terlebihdahulu.” Ucap Eden dengan nada berat sambil melirik Sasha sedih. Sejujurnya ia juga merasa berat untuk kehilangan Sasha, tapi ini adalah satu-satunya kesempatan untuk dapat merasakan kehidupan yang lebih baik di luar panti. Kehidupannya di panti jelas tidak akan bisa membawanya menjadi seorang Eden Morel yang sukses karena pada kenyataanya mereka semua selalu hidup dalam kekurangan. Dengan berat hati ia memang harus meninggalkan Sasha untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik lagi bersama tuan Lutherford, ayah angkatnya.
“Sampai jumpa Sasha. Semoga kita bisa bertemu lagi.”
Eden memeluk tubuh Sasha singkat dan segera berjalan pergi meninggalkan Sasha yang masih tersengguk-sengguk di dalam kamarnya, namun ia tidak memiliki pilihan lain selain terus berjalan lurus sambil mengeraskan hatinya agar ia tidak tergiur untuk berbalik dan memeluk tubuh kecil Sasha yang masih
tersengguk-sengguk.
“Eden, kau sudah siap?”
“Sudah, aku sudah siap.”
Eden menjawab mantap sambil memamerkan senyum manisnya pada ayah barunya yang sedang berdiri di ambang pintu. Pria berjas itu tampak angkuh dengan kacamata hitam yang membingkai kedua mata sendunya. Namun hal itu tidak membuat Eden ragu sedikitpun untuk berjalan mengekori Aciel menuju mobil sedan hitam yang telah menunggu mereka di halaman depan panti asuhan. Ketika ia mulai masuk kedalam mobil, seluruh teman-temannya mulai riuh mengucapkan selamat tinggal padanya sambil melambaikan tangannya berkali-kali. Dengan wajah sedih, Eden hanya menatap itu semua dalam diam tanpa bisa membalas lambaian tangan mereka karena kaca mobil di sampingnya sama sekali tidak bisa dibuka.
“Bagaimana cara membuka ini? Aku ingin berpamitan pada mereka untuk terakhir kali.” Tanya Eden
dengan wajah sendu. Ia berkali-kali mencoba menekan tombol hitam di sebelahnya, namun tombol itu seperti tidak berfungsi dan hanya sekedar menjadi pemanis dari mobil itu. Sedangkan Aciel, ia sejak tadi hanya menatap lurus kedepan tanpa sedikitpun menghiraukan Eden yang tampak gelisah di sebelahnya.
* “Mereka sudah tidak terlihat, percuma saja kau membuka jendelanya.” Jawab Aciel dingin sambil menatap kedepan. Eden kemudian menundukan kepalanya sedih sambil ***-remas tanganya dengan gugup. Ini bukanlah awal mula yang ia harapkan. Ia ingin mengenal ayah angkatnya dengan baik dan bercengkeraman layaknya sebuah keluarga yang bahagia. Namun melihat Aciel yang sangat dingin seperti itu, membuat Eden ragu dan memilih untuk menghibur hatinya dengan melihat pemandangan indah yang tersaji di sisi kanannya.
“Jangan terlalu banyak berharap.”
Eden refleks menoleh sambil menatap Aciel tak mengerti.
“Maksud ayah?”
“Aku bukan ayahmu.” balas Aciel ketus. Sungguh itu adalah panggilan paling menggelikan yang pernah ia dengar seumur hidupnya.
“Lalu, aku harus memanggil anda siapa?” Tanya Eden ketakutan dengan suara bergetar. Untuk pertama kalinya, Aciel menatap kedua manik karamel Eden intens sambil menyeringai licik pada gadis polos itu.
“Jangan pernah panggil aku apapun. Dan jangan pernah berharap terlalu banyak padaku.”*
Eden membuka matanya perlahan sambil membayangkan mimpinya yang sangat mengerikan. Pertemuan pertamanya dengan Aciel dan awal mula ia menjadi bagian dari pria brengsek itu. Ia sungguh membencinya
hingga hal itu menjadi mimpi buruk baginya setiap kali ia merasa tertekan atau merasa begitu marah pada pria keparat yang saat ini tengah duduk santai di sofa hitam di dalam kamarnya.
“Kau sudah bangun....”
Pernyataan itu dilayangkan oleh Aciel sambil menyesap winenya pelan. Pria itu dengan penuh kuasa terlihat mengamati Eden sambil menunjukan sinar kecokalatan dari matanya yang tertimpa oleh cahaya rembulan dari jendela besar di ujung ruangan. Melihat Aciel yang masih berada di dalam kamarnya, membuat Eden mendengus sebal sambil bangkit berdiri untuk mengenakan kembali gaun tidurnya yang dibuang asal oleh Aciel sebelum mereka bercinta.
“Pergilah, kau sudah mendapatkan apa yang kau mau.” usir Eden kasar. Tanpa mempedulikan Aciel yang masih menatapnya, Eden terus menggunakan gaun tidurnya hingga tiba-tiba sebuah tangan membelai punggung telanjangnya dan mulai menaikan resleting gaun tidurnya perlahan.
“Jangan sungkan untuk meminta bantuan Eden.”
“Aku bisa melakukannya sendiri tanpa bantuanmu.” Desis Eden tajam. Ia menyingkirkan tangan Aciel dari tubuhnya dan segera berjalan menjauh menuju ranjangnya yang nyaman.
“Sombong dan keras kepala..... berhati-hatilah Eden, karena dua sifat itu dapat menghancurkanmu perlahan-lahan.”
“Huh, benarkah? Aku justru merasa sebaliknya.” sangkal Eden cepat. Dari atas tempat tidurnya ia menatap Aciel sengit sambil mengepalkan kedua tangannya di balik selimut. Dulu, dirinya yang lugu dan baik hati justru selalu dimanfaatkan oleh orang-orang tak bertanggungjawab untuk kepentingan mereka masing-masing. Sejak saat itu ia bertekad untuk menjadi seorang wanita yang angkuh agar ia tidak lagi dimanfaatkan oleh orang lain, terutama dimanfaatkan oleh ayah angkatnya.
“Dua sifat itulah yang melindungiku saat ini. Kepolosan dan kebaikan hatiku justru sering dimanfaatkan oleh orang-orang jahat di luar sana.”
“Siapa? Kau tidak pernah mengatakannya padaku? Jika kau mengatakannya, aku dapat menghancurkan orang-orang yang telah melukaimu dengan mudah.”
Eden tertawa hambar di atas ranjangnya sambil berbalik memunggungi Aciel. Ternyata pria itu cukup bodoh
untuk menyadari jika orang jahat yang ia maksud adalah pria itu sendiri. Aciel Lutherford memang seorang pria yang buta menurut Eden. Disaat ia telah melakukan banyak kesalahan pada Eden, ia justru selalu menyalahkan orang lain dan menghancurkan orang lain yang ia anggap sebagai pihak yang menyakiti Eden.
“Keluarlah, aku ingin tidur.”
Eden lagi-lagi mengusir Aciel sambil menatap nyalang pada pemandangan gelap di kamarnya. Sejujurnya ia sama sekali tidak mengantuk. Ia hanya ingin pria itu pergi dan meninggalkannya sendiri di sini untuk berpikir. Ada banyak masalah yang berjubel di dalam pikirannya, yang ingin segera ia selesaikan. Keberadaan Aciel di kamarnya jelas membuat seluruh akal sehatnya hilang karena sejak tadi ia sedang menahan seluruh amarahnya untuk pria itu.
“Andrew menghubungimu. Aku mengatakan padanya jika kau sedang tidur. Apa kau sekarang memilih untuk berhubungan serius dengannya?”
“Kenapa kau ingin tahu? Itu urusanku. Jangan lakukan apapun pada Andrew, ia pria yang baik.”
“Hmm, jika ia tidak berbuat macam-macam padamu, aku tidak akan melukainya.”
“Kenapa kau selalu membatasi ruang gerakku dengan kekasih-kekasihku? Aku bahkan tidak pernah membatasimu pergi dengan wanita manapun.” ucap Eden datar. Saat ini hatinya benar-benar merasa sesak. Ia merasa sikap Aciel terlalu membingungkan untuknya. Pria itu selalu melarangnya berdekatan dengan pria-pria brengsek di luar sana, bahkan ia tidak segan-segan melakukan tindakan kotor untuk memberi pelajaran pada pria-pria brengsek itu. Namun di satu sisi ia selalu bertanya-tanya, untuk apa Aciel melakukan hal itu padanya jika pria itu sama sekali tidak memiliki perasaan apapun untuknya?
“Itu berbeda, kau adalah wanita lugu yang tidak bisa membedakan mana pria brengsek dan mana pria baik-baik.”
“Apa kau pikir kau bukan salah satu dari mereka, pria brengsek yang tega meniduri anak angkatnya sendiri.” Marah Eden berapi-api. Masih dengan membelakangi Aciel, Eden tampak terengah-engah sambil mengatur napasnya karena terlalu emosi dengan sikap Aciel yang selalu membingungkannya.
“Aku tidak pernah menganggapmu anakku Eden, kau sendiri yang menyimpulkannya sejak pertama kali aku menjemputmu di panti.”
Eden tampak diam. Ia tidak lagi menanggapi ucapan Aciel dan memilih untuk memejamkan matanya. Percuma saja ia membalas setiap ucapan pria itu jika kenyataanya pria itu selalu memiliki seribu satu jawaban untuk membolak balikan jawabannya.
“Aku tahu kau belum tidur.”
“Lalu apa yang kau harapkan dariku jika aku memang belum tidur. Kau ingin memulai pertengkaran denganku?” tanya Eden sengit. Pria bermata coklat itu benar-benar telah menguji kesabarannya malam ini.
“Jika sejak awal kau tidak berniat untuk menjadi ayah angkatku, lalu untuk apa kau mengadopsiku? Kau membuatku berharap lebih akan masa depanku, tapi nyatanya justru kehidupan seperti ini yang kudapatkan.”
“Kau akan tahu suatu saat nanti. Tidurlah Eden, kurasa kau memang seharusnya mengistirahatkan pikiranmu yang kacau.”
Dengan santai Aciel melenggang pergi, meninggalkan botol winenya yang masih tersisa separuh begitu saja di dalam kamar Eden sambil memakai jubah tidurnya untuk membungkus tubuh tegapnya yang polos. Malam ini ia benar-benar puas dengan permainan panasnya dengan Eden. Wanita itu selalu berhasil memberikan sensasi yang berbeda dari jalang-jalang murahan di luar sana. Dan Eden memang bukanlah seorang jalang, sehingga wanita itu jelas memiliki rasa yang berbeda dari mereka semua.
“Aciel...”
Aciel menaikan alisnya sekilas dan memutuskan untuk berhenti di ambang pintu. Tanpa menoleh ke belakang, pria itu menunggu Eden menyelesaikan kalimatnya yang terdengar seperti menggantung di udara.
“Apa kau mencintaiku?”
Hening... Untuk beberapa saat suasana di dalam kamar itu menjadi lebih hening dan mencekam. Aciel tidak pernah suka dengan kalimat sentimentil semacam cinta. Tidak pernah ada cinta di dalam kamus hidupnya. Sayangnya Eden masih saja menanyakan hal itu padanya setelah lebih dari sembilan tahun mereka hidup bersama.
“Kau tahu pasti bagaimana perasaanku Eden. Kosong!”
“Lalu untuk apa semua ini? Kau seharusnya membiarkanku memilih priaku sendiri tanpa harus mengganggu
kehidupanku.”
“Kau adalah tanggungjawabku. Dan aku sudah mengatakan hal ini sejak awal Eden, jangan pernah berharap lebih padaku. Apalagi mendapatkan cinta dariku.”
Eden tertawa hambar di dalam kegelapan kamarnya sambil mencengkeram selimut putihnya erat-erat. Kalimat yang baru saja diucapkan oleh Aciel, adalah kalimat yang sama dengan yang pernah diucapkan oleh pria itu tiga tahun yang lalu ketika ia dengan tololnya memiliki perasaan laknat itu untuk si pria bermata coklat, Aciel Lutherford.
Flashback
Tahun demi tahun berlalu begitu cepat untuk Eden. Tak terasa ia telah menghabiskan enam tahun waktunya dengan hidup di bawah tanggungjawab Aciel Lutherford sebagai ayah angkatnya. Namun selama ia tinggal di mansion mewah itu, tak pernah sedikitpun ia bertemu dengan sosok ayah angkatnya yang mengerikan itu. Setiap hari sebelum ia berangkat ke sekolah, ia tidak pernah pernah menemukan ayah angkatnya berada di meja makan
untuk sarapan bersamanya. Dan saat malam haripun, ia juga tidak pernah melihat sosoknya berada di rumah itu. Sempat ia bertanya pada kepala pelayan mengenai keberadaan Aciel selama ini, namun pria tua itu hanya menjawab jika tuan Aciel memang jarang menghabiskan waktu di rumah.
Bosan.... dengan rasa ingin tahunya itu, akhirnya Eden memutuskan untuk mengabaikan
semuanya. Ia menganggap keberadaan Aciel di rumah itu sudah tidak penting lagi dan memilih untuk menjalankan hidupnya dengan baik. Diam-diam ia memiliki cita-cita untuk keluar dari mansion mewah itu suatu saat nanti dan memiliki kehidupannya sendiri. Ia sadar jika ia tidak mungkin akan selamanya seperti ini, tinggal di rumah Aciel sendiri tanpa status yang jelas dan merepotkan pria mengerikan itu hingga ia tua. Ia ingin belajar untuk mandiri, dan setelah itu menemukan pria yang tepat untuk menemani kehidupannya yang selalu sendiri ini.
“Ini jus jeruk anda nona.”
“Terimakasih.”
Eden tersenyum ramah pada Tina dan segera meminum jus jeruknya sebagai bagian dari sesi terakhir sarapannya. Hari ini ia memiliki mata kuliah pagi yang harus ia hadiri, sehingga ia harus cepat menyelesaikan sarapannya sebelum ia mendapatkan masalah karena keterlambatannya pagi ini.
Tap tap tap
Suara ketukan sol sepatu dan lantai marmer putih yang nyaring itu membuat Eden menoleh cepat kearah sumber suara sambil menatap sang pemilik sepatu itu heran. Akhirnya setelah enam tahun lamanya ia tidak melihat Aciel Lutherford di mansionnya, kini ia dapat melihat pria itu lagi di hadapannya dengan wajah angkuh khasnya yang tidak pernah berubah sedikitpun.
“Selamat pagi.... ayah.” Sapa Eden ragu. Ia sebenarnya masih ingat dengan jelas kata-kata pria itu enam tahun yang lalu, namun ia tidak memiliki sebutan lain selain ayah, yang cocok untuk memanggil pria itu. Mungkin jika ia memang tidak suka jika dipanggil ayah, maka ia akan memanggilnya dengan panggilan yang lebih formal.
“Aku bukan ayahmu.”
Tepat seperti dugaan Eden, pria itu tidak suka dipanggil ayah. Dan dengan tatapan tajamnya pria itu menatap Eden sambil mendudukan dirinya dengan tenang di atas kursi utama yang berada di ujung meja.
“Selamat pagi tuan Aciel Lutherford.” Sapa Eden dengan suara pelan. Dari raut wajahnya ia tidak bisa berbohong jika saat ini ia sangat takut dengan tatapan tajam yang dilayangkan oleh Aciel padanya. Namun ia tidak bisa mengelak sedikitpun karena pria itu memiliki aura mendominasi yang begitu ditakutinya.
“Bagaimana kehidupanmu selama ini?”
“Baik.” Jawab Eden singkat. Ia benar-benar tidak menyangka jika hari ini akan tiba. Hari dimana Aciel Lutherford akan duduk di meja yang sama dengannya sambil menanyakan bagaimana kehidupannya selama ini.
“Aku.. tidak pernah melihat anda selama enam tahun terakhir ini, sebenarnya anda berada dimana?”
Eden berusaha memberanikan diri untuk menanyakan kemana perginya Aciel selama enam tahun ini, karena ia merasa ganjil dengan pria itu. Ia yakin jika sebenarnya Aciel selalu berada di mansionnya. Hanya saja pria itu tidak pernah menunjukan batang hidungnya. Atau mungkin Aciel selama ini memang menghindarinya karena pria itu tidak terlalu menyukai keberadaanya di mansion ini.
“Aku selalu berada dimanapun yang aku mau Eden. Dan bahkan aku juga berada di mansion ini.”
“Tapi aku tidak pernah melihat anda.” Balas Eden cepat. Ia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa
penasarannya terhadap pria itu. Rasanya selama enam tahun tinggal di mansion mewah itu tidak bisa membuat Eden mengenal bagaimana sosok Aciel yang sebenarnya. Ia justru semakin buta dengan semua hal yang berkaitan dengan pria itu. Ditambah lagi tidak ada satupun yang bersedia membagikan informasi mengenai ayah angkatnya itu padanya. Kepala pelayan Kim tidak pernah mau menceritakan hal-hal detail mengenai Aciel dan hanya berbicara seperlunya jika ia bertanya mengenai keberadaan pria itu.
“Kita hanya hidup di waktu yang berbeda Eden. Saat aku berada di sini, kau mungkin sudah terlelap, dan saat kau membuka matamu, aku sudah pergi untuk bekerja.”
“Begitukah? Tapi, bukankah itu memang perintah anda? Anda yang memintaku melalui tuan Kim untuk selalu mematuhi jam malam yang telah anda tetapkan. Aku tidak diperkenankan untuk tidur lebih dari jam sembilan malam dan aku harus pulang tepat waktu dari kampus. Tuan, sebenarnya aku ingin hidup seperti gadis-gadis seusiaku pada umumnya. Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu di kampus untuk melakukan kegiatan sosial yang sering diadakan oleh rekan-rekanku atau bergabung di salah satu klub olahraga yang kusukai.”
“Jenis olahraga apa yang kau sukai?”
Sambil memasukan makanan kedalam mulutnya, Aciel bertanya serius mengenai jenis olahraga yang disukai Eden. Sementara itu, Eden terlihat tidak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya karena pria itu untuk pertama kalinya lagi menanyakan sesuatu yang terdengar aneh untuk ditanyakan oleh seorang Aciel yang acuh.
“Aku menyukai voli. Dulu aku pernah mengikutu klub voli, tapi sejak ayahku meninggal, aku tidak mengikutinya lagi karena di sekolahku yang baru mereka tidak memiliki klub voli.”
“Sedikit banyak itu karena salahku, maafkan aku Eden.”
“Maksud anda?” Tanya Eden tidak mengerti. Ia benar-benar dibuat pusing dengan sikap pria matang yang saat ini sedang menyantap menu sarapannya dengan tenang di depannya. Pagi ini benar-benar sebuah pencapaian yang begitu luar biasa untuknya, karena untuk pertama kalinya ia dapat berbicara cukup panjang dengan Aciel. Namun ia sedikit sedih dengan dirinya sendiri karena sepanjang ia berbicara dengan pria itu, tak ada satupun hal yang bisa ia pahami dari pria itu. Semua hal yang ditanyakan oleh Aciel padanya terkesan ambigu dan sebenarnya menyimpan sebuah makna tersembunyi di belakangnya.
“Lupakan saja. Apa kau tidak ingin pergi ke kampus? Dosen Rider akan segera memulai perkuliahannya lima menit lagi.”
“Aa apa?”
Eden memekik terbata sambil melirik jamnya heboh. Sungguh ia lupa jika pagi ini ia memiliki jadwal kuliah dengan dosen killer yang paling dihindarinya. Namun si misterius Aciel Lutherford justru tiba-tiba datang dan membuatnya melupakan dosen killer yang pagi ini pasti akan memberikan hukuman karena keterlambatannya.
“Tidak perlu panik seperti itu Eden, aku akan mengantarmu.”
“Apa?”
Eden lagi-lagi memekik terkejut tanpa menutupi sedikitpun raut heran yang tercetak jelas di wajahnya.
Lagi-lagi, ayah angkatnya melakukan sesuatu yang membuatnya terheran-heran dan juga terkejut di saat yang bersamaan. Setelah enam tahun lamanya mereka tidak pernah saling bersua, pria-pria itu tiba-tiba menawarkan diri untuk mengantarkannya ke kampus. Terlebih lagi pria itu juga mengetahui jadwal dosen killernya yang sangat menyebalkan itu.
Apa selama ini ia diam-diam memperhatikanku?
Eden refleks menjeritkan hal itu di dalam kepalanya sambil terus mengikuti langkah lebar Aciel di depannya. Pria itu tanpa kata terus memimpin jalannya dengan gaya angkuh khas seorang pria aristrokat yang begitu mendominasi. Dan ketika tiba di depan mobil, Aciel tiba-tiba membukakan pintu mobil silver untuknya sambil memberikan seulas senyum yang tanpa sadar juga membuat Eden ikut tersenyum kearah pria itu.
“Terimakasih. Anda baik sekali tuan Aciel.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments