Flashback
Sepekan berlalu sejak Aciel mulai membuka diri untuk menjadi salah satu bagian dari keluarga Eden. Kini setiap pagi mereka selalu menghabiskan waktu bersama untuk sarapan dan beberapa kali mereka juga menghabiskan waktu di malam hari untuk makan malam. Dan malam ini ada satu hal yang sedikit berbeda dari makan malam sebelumnya, karena kali ini Aciel tidak hanya sekedar makan malam, tapi juga ingin mengajak Eden minum untuk merayakan keberhasilannya dalam berbisnis.
“Apa kau yakin aku boleh meminum ini?”
Eden tampak sangsi sambil menatap cairan merah yang berada di dalam gelas bening tinggi di depannya. Selama ini ia belum pernah mengonsumsi semua jenis alkohol apapun. Ia lebih suka meminum aneka macam jus daripada meminum alkohol yang bisa membuat kepalanya berputar. Namun kali ini Aciel memaksanya untuk minum dengan alasan agar ia terbiasa meminum cairan merah itu. Lagipula umurnya sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk mengonsumsi segelas alkohol, hanya saja ia terlalu takut untuk melakukannya karena ini adalah pengalaman pertamanya meminum alkohol bersama seorang pria.
“Kau sudah dewasa Eden, mari kita bersulang. Cheers!”
Ting
Aciel membenturkan ujung gelasnya pada ujung gelas Eden dan langsung meminum winenya sendiri dengan santai. Pria itu melirik Eden sekilas yang tampak ragu sambil tetap menegak cairan merah itu dengan gaya aristrokatnya yang khas. Tak berapa lama, ia melihat Eden mulai mendekatkan ujung gelas itu ke dalam mulutnya, dan perlahan-lahan cairan merah itu mulai ditegak oleh Eden sedikit demi sedikit. Melihat Eden yang sedang menikmati cairan merah itu untuk pertama kali, membuat Aciel merasa gemas dengan berbagai ekspresi yang sedang ditunjukan Eden. Padahal malam ini Eden baru meminum wine, ia belum memperkenalkan Eden pada berbagai jenis alkohol berkadar tinggi seperti vodka, martini, tequilla, dan berbagai jenis alkohol lainnya yang pasti akan membuat Eden semakin mengernyit dalam saat meminumnya.
“Bagaimana? Bukankah itu enak?”
“Aku sepertinya lebih menyukai jus anggur daripada wine ini.” Dengus Eden pelan sambil meletakan gelas bening itu jauh-jauh dari hadapannya. Namun Aciel segera menahan tangan mungil itu dan kembali mendekatkan gelas milik Eden yang masih terisi setengah cairan wine.
“Habiskan!” Perintah Aciel mutlak. Pria itu menatap Eden tajam dan meminta Eden untuk segera menghabiskan minumannya melalui sorot matanya yang tajam. Sambil mendengus kesal, Eden lantas menegak
cairan merah itu dengan cepat hingga ia tanpa sadar memekik tertahan kala cairan merah itu mulai terasa membakar kerongkongannya perlahan-lahan.
“Aku menyuruhmu untuk menghabiskan, bukan meminumnya dalam sekali teguk. Kau akan terbakar jika seperti itu.”
Aciel berucap datar sambil mengambil alih gelas wine milik Eden yang telah kosong. Pria itu kemudian berjalan menuju rak minuman miliknya dan segera mengambil salah satu botol minuman beralkohol yang seluruh cairannya berwarna putih bening.
“Itu apa? Air putih?” Tanya Eden polos. Aciel refleks terkekeh pelan saat melihat betapa polosnya Eden saat
melihat sebotol minuman beralkohol yang sedang dipegangnya. Ia tidak tahu, apa saja yang telah dilakukan Eden selama enam tahun ini, namun ia telah bertekad pada dirinya sendiri jika ia perlahan-lahan akan memperkenalkan pada Eden bagaimana kehidupannya selama ini.
“Ini vodka, salah satu minuman beralkohol favoritku. Kau harus mencobanya.”
“Tapi itu terlihat seperti air putih. Kau yakin itu bukan air putih?” Tanya Eden sambil mengamati gerakan
tangan Aciel yang sedang membuka tutup botol vodkanya. Beberapa detik kemudian terdengar bunyi “flop” dari tutup botol yang sedang dibuka Aciel dan pria itu langsung menuang isinya sedikit kedalam gelas milik Eden yang telah ia siapkan.
“Kalau begitu kau harus merasakannya, apakah ini air putih atau bukan.”
Eden mengamati gelas bening miliknya lekat-lekat dengan tangan ragu yang mulai meraih gelas itu. Diciumnya permukaan cairan bening itu sebentar, sebelum akhirnya ia meneguk cairan itu perlahan sambil mengernyitkan dahinya dalam-dalam. Ia sepertinya tidak suka dengan salah satu minuman favorit Aciel berwarna bening itu.
“Yiekss!! Apa ini, akhhh... ini tidak enak!” seru Eden keras sambil menjauhkan gelas bening itu dari hadapannya. Ia benar-benar tidak suka dan tidak akan mau lagi meminum cairan menjijikan itu karena rasanya benar-benar terasa mengerikan di dalam mulutnya.
“Bukankah kau ingin mengenalku? Kau seharusnya memulainya dari hal-hal kecil seperti ini karena aku sangat suka minum. Bisa jadi aku akan selalu memintamu menjadi teman minumku. Jadi kau harus mulai berlatih dari sekarang.”
“Tapi ini tidak enak! Ini seperti segelas racun. Kau saja yang menghabiskan!”
Eden mendorong gelas beningnya kearah Aciel dan tidak mau lagi meminum cairan itu. Namun Aciel justru mengangsurkan gelas bening itu kedalam tangan Eden dan dengan gerakan sedikit memaksa pria itu mengajak Eden untuk bersulang bersama.
Ting
“Kau harus meminumnya Eden.”
Dengan pasrah Eden meminum cairan itu hingga tandas sambil menunjukan berbagai macam ekspresi jijik yang terasa seperti sebuah hiburan untuk Aciel. Melihat Eden yang sedang meminum alkohol dengan gaya kaku seperti itu membuat Aciel tak bisa menyembunyikan wajah gelinya. Eden yang lugu, perlahan-lahan ia rusak dengan gaya hidupnya yang tak sehat.
“Bagaimana perasaanmu sekarang?”
“Pusing. Kurasa aku sudah mulai mabuk.” Jawab Eden sambil memijit-mijit kepalanya pelan. Tiba-tiba Aciel menjulurkan tangannya kearah Eden, dan ia mulai membelai pipi Eden lembut dengan raut datar yang berhasil menghipnotis Eden.
“Kau belum terlalu mabuk.”
“Aa apa?”
“Kita minum sekali lagi.”
Dengan gerakan cepat Aciel langsung berdiri menuju rak minumannya dan mengambil salah satu botol lagi yang berisi cairan berwarna coklat terang. Sambil mengernyit heran, Eden mengamati setiap gerakan Aciel yang terlihat lincah di depannya sambil menerka-nerka rasa minuman yang sebentar lagi akan meluncur ke dalam kerongkongannya.
“Ini, brandy.”
Tanpa mengajak Eden bersulang, Aciel langsung meneguk cairan coklat itu cepat dan meletakan gelasnya dengan gerakan halus hingga membuat Eden terpana saat melihatnya. Ia kemudian ikut menegak minumannya cepat dan langsung membanting gelas itu refleks kala ia merasakan rasa tidak enak itu kembali mengalir di kerongkongannya.
“Ini benar-benar tidak enak.”
“Kau akan terbiasa. Sekarang tidurlah, ini sudah malam.”
Aciel berjalan pergi meninggalkan Eden begitu saja tanpa mempedulikan kondisi Eden yang terlihat pusing di atas meja. Wanita itu dengan malas justru merebahkan kepalanya di atas meja dan mulai memejamkan matanya untuk tidur. Malam ini ia merasa begitu pusing. Seluruh cairan memabukan itu telah mengambil alih seluruh kesadarannya dan membuatnya tidak mampu bangkit untuk hanya sekedar berjalan menuju kamarnya di lantai dua.
“Erghh... Kepalaku pusing dan berat. Aciel... kau harus bertanggungjawab.” Racau Eden sebelum kesadarannya hilang dan digantikan dengan suara dengkuran halus yang berasal dari mulutnya.
-00-
Keesokan paginya Eden masih merasa sedikit pusing saat berada di kampus. Wajahnya yang biasanya berbinar cerah, kini tampak pucat dan lesu. Semalam ia benar-benar tidur di dapur dengan posisi yang membuat punggungnya sakit saat bangun. Tidak ada satupun pelayan yang membangunkannya untuk pindah. Bahkan sang tersangka utama yang membuatnya mabuk justru pergi begitu saja tanpa sedikitpun mempedulikan kondisinya yang
mengenaskan.
“Eden, selamat pagi.
Dengan gerakan malas Eden langsung menoleh kesamping sambil memberikan senyuman seadanya pada sang pemanggil yang langsung terheran-heran.
“Ada apa dengan wajahmu? Kau terlihat pucat.”
Pria itu mengulurkan tangan kanannya kearah dahi Eden dan mulai merasakan suhu tubuh Eden yang ternyata normal.
“Aku baik-baik saja, hanya sedikit mabuk semalam.” Jawab Eden jujur. Wanita itu benar-benar tidak memperhatikan bagaimana raut wajah Zyan yang langsung berubah terkejut saat ia mengatakan jika semalam ia baru saja mabuk.
“Kau minum? Siapa yang mengajakmu minum?”
“Ayah angkatku.” Jawab Eden lagi dengan jujur. Ia kemudian berjalan gontai menuju kelasnya, meninggalkan Zyan sendiri yang masih sibuk berpikir di belakangnya.
“Ayah angkatmu adalah pria yang waktu itu menjemputmu?”
“Hmm, dia ayah angkatku. Kenapa?”
“Tidak. Hanya saja, ia terlihat belum terlalu tua.”
Eden menganggukan kepalanya setuju dengan pernyataan yang baru saja dilontarkan oleh Zyan. Beberapa minggu menghabiskan waktu bersama Aciel membuatnya perlahan-lahan merubah cara pandangnya terhadap pria itu. Sekarang ia tidak lagi menganggap Aciel sebagai pria tua yang lebih cocok menjadi ayahnya, tapi sekarang ia justru menganggap Aciel sebagai pria dewasa matang yang benar-benar tampan. Tak pernah sekalipun ia
melihat teman-teman prianya memiliki aura seksi yang begitu pekat seperti Aciel. Pria paling populer di kampusnya pun tidak akan bisa menyaingi ketampanan Aciel yang selalu dilapisi oleh kabut misterius yang terlihat begitu menawan di matanya. Sayang, ia tidak mungkin memiliki perasaan untuk ayah angkatnya sendiri. Jadi ia memutuskan untuk membuang jauh-jauh semua pikiran picik itu dari dalam kepalanya, dan memutuskan untuk fokus pada materi kuliahnya yang kian hari kian mencekiknya. Lagipula ia juga ingin segera lepas dari bayang-bayang Aciel. Setelah lulus ia ingin hidup mandiri dan bekerja sesuai dengan bidang perkuliahan yang saat ini ia ambill.
“Zyan aku masuk ke kelas dulu, sampai jumpa.”
Zyan tampak tidak rela saat Eden meninggalkannya begitu saja untuk masuk ke dalam kelas. Padahal ia pikir mereka bisa pergi bersama karena mereka saat ini berada di kelas yang sama. Sayangnya Eden lebih memilih untuk masuk terlebihdahulu dan meninggalkannya sendiri dengan raut kecewa yang tercetak jelas di wajahnya.
-00-
Sebulan berlalu dengan cepat. Hubungan Eden dan Aciel semakin lama semakin dekat. Eden yang dulunya selalu terlihat takut saat berhadapan dengan Aciel, pelahan-lahan ia mulai berani menunjukan sikap aslinya di hdapan pria itu. Tak ada lagi kecanggungan yang terselip diantara mereka. Justru Eden semakin lama semakin terlihat manja pada Aciel karena pria itu juga memberikan perhatian yang cukup banyak pada Eden semenjak ia memutuskan untuk menampakan diri di hadapan Eden.
“Kakak, saatnya sarapan.”
Eden melongokan kepalanya kedalam ruang fitness milik Aciel sambil tersenyum cerah pada pria itu. Tapi saat melihat tubuh seksi Aciel yang dipenuhi banyak keringat, Eden merasa tertarik dan memutuskan untuk menyusul Aciel kedalam ruang fitness pria itu.
“Saatnya sarapan.”
“Aku tahu, makanlah lebih dulu. Tidak usah menungguku.”
Eden tanpa sadar meneguk salivanya kagum saat ia melihat wajah serius Aciel yang sedang sibuk berlatih dengan bulir-bulir keringat yang terus turun di atas permukaan kulit coklatnya. Dan entah mendapatkan keberanian dari mana, tangan kanan Eden tiba-tiba saja telah terulur untuk mengelus bisep keras milik Aciel yang menggiurkan.
“Apa yang kau lakukan?”
Gerakan tangan Eden seketika terhenti kala pria itu justru mencengkeram pergelangan tangannya sambil menatapnya tajam dengan kedua manik coklatnya yang mengerikan.
“Aa aaku... Aa aku...”
Eden terlihat kesulitan untuk berkata-kata sambil mencoba mengalihkan tatapannya dari tatapan Aciel yang mengerikan. Ia pun dengan gerakan memohon meminta Aciel untuk melepaskan pergelangan tangannya dan ia langsung beringsut mundur beberapa meter ke belakang.
“Maaf.”
Eden berseru pelan dalam kegugupannya sambil memilin ujung kausnya pelan. Ia kemudian berniat untuk
segera pergi dari ruangan yang menyesakan itu, namun gerakannya langsung ditahan oleh Aciel kala pria itu menarik tubuhnya dan membuat tubuh kecilnya membentur tubuh berotot Aciel yang dipenuhi oleh keringat.
“Kau menginginkan ini bukan?”
“Hah? Tti tidak. Tolong lepaskan aku, aku harus menghabiskan sarapanku di meja makan.” Bohong Eden beralasan. Jelas-jelas ia sama sekali belum memulai sarapannya karena ia memang ingin mengajak Aciel untuk sarapan bersama. Tapi melihat Aciel yang memperlakukannya seperti ini, membuatnya gugup setengah mati dan ingin segera pergi dari kungkungan pria berbahaya ini.
“Jangan menggodaku lagi dengan wajah polosmu Eden. Sekarang pergilah.”
Aciel berbisik pelan di telinga kiri Eden, lalu ia melepaskan begitu saja tubuh Eden yang telah dibuat lemas
olehnya. Sekilas ia melihat tubuh Eden sedikit limbung saat ia melepaskan tangannya dari pinggang wanita itu. Namun tak berapa lama, Eden dapat kembali mengendalikan dirinya dan segera berlari terbirit-birit keluar dari ruang fitness yang membuat jantungnya tiba-tiba berdetak dua kali lipat lebih brutal.
Sementara itu, Aciel hanya menatap datar kepergian Eden sambil melirik lengannya yang sempat dibelai oleh Eden. Desir-desir halus yang tadi sempat ia rasakan saat Eden mengelus lengannya, masih ia rasakan samar-samar setelah kepergian wanita itu dari ruangan fitnessnya. Dengan seringaian licik, Aciel segera mengakhiri aktivitas olahraganya sambil menyusun berbagai rencana yang tiba-tiba muncul di otaknya.
“Maafkan aku Brexton, tapi mungkin putrimu akan menjadi salah satu mainanku.”
-00-
Eden bergerak-gerak gelisah dalam tidurnya sambil menutup kedua telinganya yang merasa terganggu dengan bunyi petir yang saling bersahut-sahutan. Malam ini Vegas diterpa badai hebat hingga suara gemuruhnya terdengar begitu keras dan saling bersahut-sahutan di luar kamarnya.
“Ahh... aku tidak bisa tidur!”
Eden mendengus gusar dan segera melangkah turun untuk mengambil air di dapur. Ia mungkin perlu membuat segelas minuman hangat agar malam ini ia bisa segera terlelap dengan nyaman. Besok pagi-pagi sekali ia sudah harus berada di kampus karena ia memiliki jadwal kuis pukul delapan pagi.
Dengan langkah pelan, Eden mulai berjalan menyusuri lorong gelap yang terasa begitu mencekam untuknya. Namun ia terus memberanikan diriya sendiri untuk turun ke bawah karena ia perlu membuat segelas minuman hangat yang bisa membuatnya segera tertidur nyenyak malam ini. Ketika melewati pintu kamar Aciel yang berada di ujung lorong, Eden tiba-tiba saja merasa penasaran dan ingin masuk kedalam kamar itu. Ia perlahan lahan memegang kenop pintu kamar Aciel, dan mulai memutarnya dengan gerakan yang sangat pelan agar tidak membangunkan siapapun yang mendengarnya. Setelah berhasil membuka pintu kayu itu, Ia kemudian mengintip sedikit isi kamar ayah angkatnya yang gelap itu sambil mengernyitkan dahinya heran. Ternyata Aciel belum pulang dari kantornya. Kamar itu terlihat kosong dan gelap. Ia pun akhirnya memutuskan untuk menutup pintu kayu itu kembali karena ia merasa dirinya sudah melebihi batas malam ini. Ia tidak seharusnya memiliki keinginan
untuk masuk ke dalam kamar milik ayah angkatnya dan bertingkah seperti seorang pencuri yang hendak melakukan kejahatan.
“Apa yang kau lakukan di depan kamarku?”
Eden langsung berjengit kaget sambil memutar tubuhnya cepat. Di belakangnya, ia menemukan Aciel sedang menatapnya tajam dengan rambut dan ujung kemeja atas yang sedikit basah karena air hujan. Dengan gelagapan Eden langsung mencari-cari alasan di dalam kepalanya untuk menghilangkan kecurigaan Aciel terhadapnya.
“Aku... aku hanya ingin memastikan kau sudah pulang atau belum. Aku mengkhawatirkanmu.” Ucap Eden terbata-bata. Ia terlihat cukup kesulitan untuk mencari alasan yang logis di depan Aciel. Dan pada akhirnya hanya alasan itulah yang bisa ia berikan untuk menyamarkan
perbuatannya malam ini.
“Apa yang kau lakukan malam-malam di luar kamarmu?”
“Aku hanya ingin membuat minuman hangat di dapur. Malam ini aku tidak bisa tidur karena suara badai yang sangat mengerikan di luar sana. Oh! Kau terluka.”
Eden refleks menjulurkan tangannya untuk membelai ujung bibir Aciel yang sedikit mengeluarkan darah, tapi hal itu langsung ditepis Aciel dengan kasar hingga membuat Eden terkejut.
“Ambilkan aku kotak obat, aku membutuhkannya sekarang.”
Dengan langkah tergesa Eden segera melesat pergi menuju dapur untuk mengambil kotak obat yang selalu berada di sudut dinding di ruangan itu. Sejak awal kepindahannya ke mansion itu, tuan Kim selalu memberitahunya jika ia meletakan kotak obat itu di sana sebagai antisipasi jika salah satu pekerjanya di dapur terluka.
Tok tok tok
Eden mengetuk pintu kamar Aciel pelan dan segera membukanya setelah ia mendengar suara samar Aciel yang menyuruhnya untuk masuk. Pria itu tampak sedang memejamkan mata lelahnya di atas sofa hitam di sudut kamarnya dan tampak belum mengganti bajunya sedikitpun. Saat Eden berdiri di sisi tubuhnya, Aciel refleks membuka matanya nyalang dan langsung menarik tangan Eden untuk duduk di sebelahnya.
“Kau bisa mengobatinya?”
“Bb bisa, aku bisa melakukannya.”
Eden mulai membuka kota obat itu dengan cekatan dan langsung mengeluarkan beberapa kapas dari dalam kotak obat itu. Ia kemudian menuangkan obat merah ke atas kapas itu dan hendak menempelkannya pada luka terbuka di sudut bibir Aciel. Tapi ia kemudian mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk mencari handuk di lemari Aciel untuk mengeringkan kepala Aciel yang basah terlebih dahulu.
“Aku akan mengeringkan rambutmu dulu sebelum mengobati lukamu. Apa itu terasa sakit?”
“Tidak.”
“Apa yang kau lakukan hingga bibirmu bisa terluka seperti ini?”
“Aku hanya melakukan salah satu rutinitas malamku. Ini bukan masalah serius.”
Eden memilih untuk diam dan lebih fokus pada kegiatannya mengeringkan ujung rambut Aciel yang basah. Perlahan tapi pasti, gerakan tangan Eden yang lembut membuat Aciel terbuai hingga pria itu memejamkan matanya nikmat. Dan samar-samar Eden dapat mendengar suara erangan Aciel yang terdengar begitu seksi di telinganya. Namun sebisa mungkin ia segera menghilangkan pikiran nista itu dari dalam kepalanya agar hal-hal gila itu tidak semakin merusak otak warasnya. Setelah rambut Aciel cukup kering, Eden lantas mengambil kapas putihnya dan
mulai mengobati ujung bibir Aciel dengan obat merah yang telah ia bubuhkan di atas kapas putih itu. Dengan penuh kelembutan, Eden mulai menekan ujung bibir itu pelan sambil menundukan kepalanya di depan wajah Aciel. Kedua mata Aciel yang terpejam membuat Eden sangat bersyukur karena dengan begitu ia tidak perlu dibuat gugup oleh tatapan Aciel yang mematikan. Namun ketika tiba-tiba Aciel membuka matanya dan menatap kedua matanya tajam, Eden langsung memalingkan wajahnya kearah lain sambil menahan rasa panas yang mulai menjalar di seluruh wajahnya.
“Aku tahu kau gugup.”
“Hah? Ttti tidak. Aku hanya sedang melihat-lihat isi kamarmu.”
“Kalau begitu lihat aku.”
Eden dengan terpaksa memalingkan wajahnya lagi kearah Aciel sambil menelan salivanya gugup saat iris coklat itu mulai menatapnya dengan tatapan tajam. Pria itu kemudian menekan tengkuknya kuat dan memaksa bibir merah muda miliknya beradu dengan bibir tipis dingin milik pria itu yang mulai melumatnya dengan lembut. Untuk beberapa saat Eden tidak bisa berpikir jernih dan hanya membiarkan Aciel menguasai bibirnya. Dan saat ia mulai sadar dengan apa yang sedang dilakukan oleh Aciel, ia langsung mendorong tubuh Aciel kuat-kuat sambil menatap pria itu ketakutan.
“Apa yang kau lakukan padaku?” Tanya Eden getir. Apa yang baru saja dilakukan oleh Aciel membuatnya takut dan juga gugup. Ini adalah pengalaman pertamanya berciuman dengan seorang pria. Dan parahnya pria yang telah mencuri ciuman pertamanya adalah Aciel Lutherford, ayah angkatnya sendiri.
“Menciummu tentu saja. Kau terlihat menginginkannya sejak tadi, apa aku salah?”
“Seharusnya kau tidak menciumku. Ini salah.”
Eden terisak pelan di depan Aciel sambil menutup seluruh wajahnya dengan kedua tangannya. Ia merasa sangat malu sekarang karena telah mencium ayah angkatnya sendiri. Namun Aciel langsung membawanya ke dalam pelukannya dan mengelus surai coklat itu pelan agar Eden merasa lebih tenang.
“Tidak ada yang salah dalam hubungan ini, kita tidak memiliki hubungan darah apapun. Jadi kau bisa menciumku sebanyak yang kau mau.”
“Tapi kau adalah...”
“Aku bukan ayah angkatmu jika itu yang ingin kau katakan. Aku hanyalah walimu karena ayahmu menitipkanmu padaku sebelum ia meninggal. Jadi berhenti untuk mengatakan padaku jika aku adalah ayah angkatmu.” Geram Aciel kesal. Ia kemudian melepaskan tubuh Eden dari dekapanya dan langsung melumat bibir tipis itu kuat penuh nafsu. Sejak awal ia memang telah menginginkan Eden. Gadis kecil polos yang dulu ia ambil dari panti asuhan itu, perlahan-lahan mulai tumbuh menjadi seorang wanita dewasa mengagumkan yang mampu menggetarkan hatinya. Dan keputusannya untuk menunjukan sosoknya di depan Eden setelah selama enam tahun lamanya ia bersembunyi dari wanita itu adalah untuk mendapatkan wanita itu kedalam genggamannya. Ia ingin
menjadikan Eden sebagai salah satu mainannya, ia ingin mencicipi bagaimana rasa gadis polos seperti Eden, dan bagaimana nikmatnya tubuh mungil itu berada di bawah kuasanya.
-00-
Jangan pernah berharap lebih padaku Eden, semua ini hanyalah bagian dari kesenangan duniawi semata. Kau hanya perlu menikmati semua permainan ini tanpa memasukan sedikitpun perasaanmu kedalamnya. Karena jika kau melakukannya, maka kau akan hancur.
Eden terisak pelan di dalam kamarnya sambil memeluk tubuhnya sendiri seperti seorang bayi. Bayangan percintaanya dengan Aciel tak pernah sedikitpun hilang dari ingatannya, meskipun semua itu telah berlalu sejak dua bulan yang lalu. Setiap hari ia selalu memikirkan bagaimana nasibnya setelah semua ini berlalu karena Aciel terlanjur merusaknya menjadi seorang wanita murahan.
Malam itu ia berhasil mendorongnya kedalam jurang kenikmatan hingga ia lupa akan kehidupan nyata yang telah menunggunya dengan berbagai masalah pelik yang sebentar lagi akan memangsanya. Dan sialnya, setelah malam itu sikap Aciel padanya mulai berubah. Pria itu kembali menjadi Aciel yang dingin dan acuh seperti dulu. Bahkan beberapa hari kemudian pria itu menghancurkan seluruh cintanya dengan membawa seorang jalang ke mansionnya, dan mereka bermain di dalam ruang kerja pria itu hingga suaranya berhasil membuat kepala Eden terasa pening. Ia telah menghancurkan dirinya sendiri dengan membiarkan Aciel menyentuh tubuhnya, dan membuatnya kehilangan kesempatan untuk meraih mimpi-mimpinya di masa depan. Ia tidak akan pernah bisa lagi meraih semua itu dengan kondisinya yang begitu hina dan kotor. Namun ia juga tidak bisa terus berdiam diri seperti ini sambil menyesali kebodohannya tanpa melakukan apapun. Ia sekarang harus bangkit. Keluar dari semua keterpurukan yang telah membelenggunya selama ini dan mulai menjadi seorang Eden Morel yang berbeda.
Dengan gerakan cepat ia segera mengambil ponsel putihnya dan mulai mengetikan pesan untuk Tranz. Ia akan mengambil tawaran yang diberikan pria itu untuk menjadi seorang model. Ia tidak boleh lagi terlihat kacau dan lemah seperti ini. Aciel Lutherford, tidak boleh lagi menginjak-injak harga dirinya. Dan ini adalah saatnya ia menunjukan pada dunia jika Eden Morel bukanlah seorang gadis polos yang terlihat lemah, tapi ia adalah seorang wanita berbahaya yang begitu kejam dan juga licik.
Flashback end
-00-
Di tengah cuaca terik yang yang begitu menyengat, Eden tampak menggerutu sambil berjalan bersama asistennya untuk pergi ke sebuah restoran di depan lokasi pemotretannya siang ini. Sejak pagi ia belum memasukan apapun ke dalam perutnya, dan sekarang ia benar-benar lapar hingga ia ingin memakan apapun yang berada di depannya. Tapi sialnya, menu makan siang yang disediakan oleh pihak agensinya sama sekali tidak cocok dengan lidahnya hari ini, sehingga sekarang ia harus bersusah payah berjalan di bawah terik matahari untuk makan di sebuah restoran jepang yang letaknya berada di depan kantor agensi tempatnya bekerja. Sambil menggerutu, Eden terus berjalan dengan salah satu tangan yang menutupi kepalanya untuk menghalau teriknya matahari yang membakar kulitnya. Karena ia terlalu banyak menggerutu dan tidak memperhatikan jalan, tiba-tiba saja ia sudah terpental dan mendarat dengan mulus di atas aspal. Seseorang telah menabraknya, atau mungkin.... ia yang telah menabrak seseorang.
“Nona Eden!”
Jimin berteriak heboh dan langsung membantu Eden untuk berdiri. Sementara itu, Eden justru terlihat marah sambil memaki-maki siapapun yang telah menabraknya hingga ia berakhir memalukan di tengah jalan.
“Apa kau tidak punya mata, hah? Kau telah membuatku jatuh dengan sangat memalukan di tengah jalan! Kau harus....”
“Eden?”
Eden menghentikan gerakan jarinya tepat di depan wajah pria yang menabraknya sambil melebarkan matanya tak percaya. Dan dalam sekejap Eden merasa seluruh harga dirinya akan runtuh saat ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 152 Episodes
Comments