Setelah selesai shalat maghrib, dan makan malam, kini Alvan, dan Rafa tengah menjalankan motornya menuju sebuah kafe. Mereka sudah janjian dengan Vano, juga Naqa.
Beberapa menit kemudian, Alvan dan Rafa sampai di kafe tsb. Kafe yang biasa menjadi tempat tongkrongan anak remaja itu tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Tempatnya nyaman membuat semua pengunjung yang datang ingin kembali lagi.
Alvan dan Rafa pun berjalan memasuki kafe. Alvan dan Rafa melihat lambaian tangan Vano mengintrupsi agar mendekat, yang langsung Alvan, dan Rafa jalankan.
"Lama amat sih lo berdua! Lumutan nih gue nunggu" gerutu Vano sambil memanyunkan bibirnya, sok imut.
"Sorry" jawab Alvan, dan Rafa kompak. Kemudian Alvan dan Rafa duduk berhadapan.
"Naqa belum dateng, no?" tanya Rafa.
"Udah, tapi lagi ke toilet" jawab Vano.
Rafa mengangguk anggukan kepalanya, sabil berkata, "Oooh"
Tak lama, Naqa pun datang. Alvan memanggil pelayan kafe, mereka memesan makanan dan minuman yang mereka inginkan. Setelah makanan dan minuman datang, pelayan itu kembali ketempatnya.
Vano meneguk es kopi susu yang ia pesan. Ia menaruh gelas berisi es kopi susu itu yang barusan ia minum. Kemudian beralih menatap Alvan.
"Yang dateng ke rumah lo waktu sore tadi siapa?" tanya Vano kepada Alvan.
"Nah iya, itu ya Allah gue lupa. Gue mau curhat ke kalian. Kalian mau ngedengerin? Kalau boleh kasih saran juga" Vano, Naqa, Rafa mengangguk kompak, sambil menatap Alvan dengan serius.
"Jadi, sore tadi itu yang pencet bel ternyata papa gue. Yang mengejutkan adalah, papa bawa satu perempuan sama satu anak kecil. Ya... di situ gue langsung marah, terus lebih milih ke rumah Rafa ketimbang di rumah" jelas Alvan panjang lebar.
"Lo tau nggak mereka siapa?" tanya Naqa.
Alvan menggeleng. "Enggak, gue aja baru kali ini liat dia" kata Alvan, "oo iya gue lupa, jam delapan gue di suruh ke ruang kerja papa di rumah. Katanya sih papa mau ngejelasin dia siapa. Semoga aja yang gue takutin nggak terjadi"
Mereka mengobrol sambil sesekali makan atau minum.
"Lo kebanyakan makan micin ya, Van?" tanya Rafa. Membuat Alvan langsung menatapnya, meminta penjelasan.
"Lo kan orangnya pelupa, siapa tau penyebabnya karena kebanyakan makan micin. Ya nggak, No?"
"Iya, Raf. Van, lo jangan kebanyakan makan micin lah, biar nggak pelupa" kata Vano.
'Kenapa sekarang jadi ngomongin gue yang kebanyakan makan micin? Sok tau banget sih Vano sama Rafa. Orang gue makan aja secukupnya'
"Dengerin tuh, Van. Perkataan Vano" ujar Rafa.
Naqa menatap ketiga sahabatnya secara bergantian. "Lah, kenapa malah sekarang ngomongin Alvan sama micin?" tanya Naqa heran.
'Naqa panutan ku'
"Tau tuh, naq. Lagi ngomongin bokap malah ujung ujungnya si micin yang di omongin" sahut Alvan dengan tampang menyebalkan menurut Vano dan Rafa.
Ting!
Suara nontifikasi pesan dari ponsel membuat ke empatnya menatap satu sama lain.
"Hp sapa tu?!" seru Alvan.
"Bukan HP gue" jawab Naqa.
"Bukan juga HP gue" sahut Vano.
"Ooh, berarti HP gue" Rafa mengeluarkan ponselnya yang tadinya berada di jaketnya. Mungkin karena di taruh di saku jaket, jadi getarannya tidak terasa...
Rafa membuka pesan itu, membacanya, dan langsung menunjukannya di depan Alvan.
Alvan
Rafa, tolong sampaikan kepada Alvan, di suruh papanya sekarang pulang! Tidak ada bantahan jika nanti tidak mau di hukum.
by: Papanya Alvan.
Alvan membaca pesan itu dengan teliti. Kemudian beralih melihat jam di tangannya.
HP Alvan tertinggal di kamar, jadi papanya menggunakannya untuk mengirim pesan.
'Udah jam setengah delapan ternyata'
"Gue balik dulu deh. Entar kalo gue udah tau siapa tu perempuan sama anaknya, gue kasih tau kalian" ujar Alvan.
"Iya, van. Jangan lupa ya" kata Rafa.
"Tiati, Van" kata Vano.
Alvan bernjak berdiri.
"Semoga kenyataannya nggak menyakitkan. Lo jangan berbuat yang aneh aneh ya semisal kemungkinan yang lo takutin itu ternyata bener"
Alvan menatap lekat Naqa. "Lo jangan nakut nakutin dong, naq. Makasih gaes, gue pulang dulu papay"
Kemudian Alvan pun berjalan menjauh. Meninggalkan ke tiga sahabatnya yang kini kembali mengobrol.
•••
Alvan berdoa di dalam hati. Matanya menatap takut pintu rumah yang belasan tahun ia tinggali.
Dengan anggukan yakin, Alvan melangkah berjalan mendekat ke pintu rumahnya.
Ia membuka pintu itu bersamaan dengan perkataan salam yang keluar dari mulutnya. "Assalamualaikum"
"Waalaikumsalam" papanya menyahut dari ruang keluarga.
Alvan menutup pintunya kembali dan berjalan menuju ruang keluarga.
Papa Alvan menatap Alvan, kemudian ia beranjak berdiri. "Ikuti papa!"
Alvan mengikuti papanya berjalan di belakang papanya, yang ia yakini pasti tempat tujuannya adalah ruang kerja papanya. Ruang yang sudah sangat lama Alvan tidak datangi.
Ditempat lain...
"Vano kemana sih? Suka banget keluar rumah" gerutu Kayla sambil berjalan mondar mandir seperti setrika.
Kayla menatap ponselnya. "Gue telfon aja deh" putus Kayla. Kemudian Kayla langsung saja menelfon Vano.
"............."
"Pulang sekarang!"
".............."
"Gue emang bukan istri lo, tapi sekarang gue tanggung jawab lo, Vanoo"
"............."
"Bibi pulang, gue sendirian di rumah. Gue takut noo, pliss pulang"
"............."
"Lo kok gitu sih! Oke deh, iya, gue nggak akan di kamar terus"
"............."
"Ih apaan sih! Vanoo. Udahlah, gue matiin bye"
Vano tersenyum setelah sambungan telfon di putus oleh secara sepihak oleh Kayla.
'Lucu banget sih Kayla. Gue godain lo ntar di rumah'
"Kenapa, no?. Siapa yang nelfon lo? Kok lo senyum senyum?" tanya Rafa, kepo.
Vano masih tersenyum, ia menoleh ke Rafa. "Istri gue yang telfon. Gue di tungguin istri di rumah. Gue balik ya, bye Rafa. Bye Naqa" Vano langsung berlenggang pergi, meninggalkan Rafa yang menatapnya heran, dan meninggalkan Naqa yang tengah geleng gelang kepala.
"Emang Vano punya istri, Naq? Nikah kapan?" tanya Rafa.
"Tanya aja sama orangnya langsung" jawab Naqa, acuh.
Rafa mendengus kesal. 'Demi sponsbob yang masih minum air walau tinggal di laut, gue sebel banget sama Naqa! Pengen gue ceburin aja ni anak biar ketemu sama keluarga bikini batom"
•••
1 jam 30 menit kemudian...
Alvan menangis di dalam kamarnya setelah tau kebenaran yang menyedihkan dari papanya. Kamar Alvan sudah berantakan seperti kapal pecah. Bahkan tangan tangannya berdarah akibat ia membogem kaca, membuat pecahan kaca berserakan di lantai.
Batin Alvan berteriak,
'KALIAN ITU NGANGGEP GUE APA SIH ANJ*NG! NGGAK USAH BIKIN GUE ADA KALO AKHIRNYA GINI! SEKOLAH TINGGI OTAK NGGAK DI PAKE!'
"Gue pengen mati" Alvan berdiri, ia menuju balkon kamarnya. Kamar Alvan ada di lantai dua ya. Alvan mendekat ke pagar pembatas balkon. Dan tangannya memegang pagar pembatas itu.
"Mungkin kalau gue mati... Kalian akan bahagia. Maaf kalau selama ini gue ngerepotin dan selalu bikin marah kalian"
B E R S A M B U N G
Like, Komen, dan Vote...
Yang berkenan, silahkan baca cerita ku yang lain :)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments