Alvan menaruh ponselnya di atas kasur, ia kemudian berjalan keluar kamarnya, untuk melihat siapa yang menekan bel.
Rahang Alvan mengeras, matanya menatap tajam ke depan. Ia melihat papanya yang sedang duduk di ruang tamu, dengan wanita yang tidak ia kenal, juga anak kecil umur 5 tahunan.
Alvan langsung berjalan mendekat.
"Eh, Alvan. Sini, Van!" Kata papanya Alvan sambil menatap dan tersenyum ke arah Alvan.
Alvan berdecih. "Lama ninggalin anak, pulang-pulang bawa perempuan sama anak kecil?.." sindiran pedas keluar dari mulut Alvan.
"Sini duduk dulu!" perintah papa Alvan. Alvan tidak bergerak sedikitpun.
"Papa bilang Sini!!" Akhirnya Alvan berjalan mendekat, dan duduk di hadapan papanya.
"Nanti malam jam delapan, papa tunggu kamu di ruang kerja papa. Nggak ada bantahan! Sekarang papa cape, baru pulang" Alvan menatap tak suka ke arah perempuan yang duduk di samping papanya itu, dan beralih menatap tajam bocah kecil yang sedang bermain robot.
"Dasar wanita murahan" gumam Alvan, kemudian Alvan memilih pergi. Untungnya kunci motornya sudah ada di kantong celananya.
Alvan menjalankan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, membelah jalanan sepi di sore hari.
Ia berhenti di sebuah taman. Taman yang sering sepi, dan sering ia datangi saat sedang marah, emosi, dan sedih itu berjarak tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Ia menepikan motornya, dan duduk di kursi panjang yang ada di taman itu. Ia memandang kosong ke depan.
Air mata Alvan menetes.
'Kenapa hidup gue gini?! Gue benci kalian! Lebih baik gue yatim piatu daripada punya orang tua lengkap ,tapi gue nggak pernah ngerasain kasih sayang sedikitpun! GUE BENCI KALIAN!!'
"Alvan" Alvan mengahapus air matanya yang ada di ke dua pipinya, setelah mendengar ada suara yang memanggil namanya.
Alvan kenal dengan suara itu. Riska, gadis yang ia cintai. Alvan mulai tertarik dengan Riska setelah melihat Riska mengobati kaki kucing liar di jalan.
Alvan berdehem. Riska duduk di samping Alvan, dan menoleh ke cowok itu.
"Gue nggak tau lo lagi sedih tentang apa, tapi lo boleh kok, pake bahu gue, nih" Riska menggerakan satu bahunya.
Alvan menoleh. "Nggak usah" Alvan sok nolak, padahal di dalam hati mah seneng banget. 'Aduh Riskaaa. Lo baik banget deh. Jadi cinta. Eh, gue kan lagi sedih'
Tanpa terpikir oleh Alvan, tiba-tiba Riska menarik pelan kepala Alvan, dan menaruhnya di bahunya. Alvan pun menurut, dan menjadikan bahu Riska sebagai senderan.
"Gue broken home, Ris" Alvan mulai bercerita, Riska diam mendengarkan.
"Gue sedih karena keluarga gue gini. Tadi, papa gue pulang, dia bawa satu perempuan seumuranlah sama dia, terus bawa anak kecil" Alvan mengangkat kepalanya, dan kembali duduk dengan tegap.
"Ya gue syok lah! Lama nggak pulang, sekalinya pulang malah bawa orang yang nggak gue kenal! Dasar orang tua nggak tanggung jawab!" Alvan terbawa emosi, ia berkata dengan nada kesal.
"Kalau menurut gue... Lebih baik lo terima realitanya aja, Van. Toh juga lo kan sering di tinggal. Buktinya lo masih bisa bertahan kan?," kata Riska, "dan menurut gue, mungkin ke dua orang tua lo nggak cocok lagi, kayak bukan jodoh gitu. Kalau kayak gitu kita bisa apa? Semua udah terjadi" lanjutnya.
Alvan mengangguk paham. "Makasih ya, kata-kata lo menyentuh"
Riska tersenyum manis menghadap Alvan. Membuat jantung Alvan berdegup dua kali lebih cepat. 'Ambyar. Manis banget senyumnya'
"Eh iya, udah sore banget nih, Van. Gue pulang dulu ya" pamit Riska sambil beranjak berdiri.
Alvan mencekal pergelangan tangan Riska. "Biar gue anter"
Riska mengangguk. "Iya udah, yuk. Entar gue di marahin kalo kelamaan"
"Siapa yang marahin?"
"Nyokap"
"Ooh. Yaudah ayuk" Alvan beranjak berdiri, kemudian berjalan menuju motornya, di ikuti oleh Riska di belakangnya.
Riska pun pulang di antar Alvan. Kira-kira hari ini Alvan sad or happy ya...
•••
Setelah keluar dari halaman rumah Riska, Alvan kembali menjalankan motornya, kali ini tujuannya adalah rumah Rafa.
Walaupun Rafa dan Alvan itu sering berantem. Tapi mereka ingat keadaan dan suasana.
Alvan sebenarnya lebih dekat kepada Vano. Tetapi karena ia tahu Vano sedang tinggal bersama Kayla, jadi hanya di rumah Rafa lah tempat yang memungkinkan.
Sedangkan di rumah Naqa.. Alvan tidak mau! Menurut Alvan, rumah Naqa itu seram, karena di depan rumah Naqa itu banyak pohonnya, ia sangat yakin, pasti kalau malam kuntilanak bergelantungan di sana.
Akhinya Alvan sampai di rumah Rafa.
Alvan menekan bel rumah Rafa. Pintu terbuka, dan nampaklah Rafa.
"Udah gue duga pasti yang datang elo, yaudah sini masuk!" Alvan berjalan masuk ke dalam rumah Rafa.
Saat di ruang keluarga, ada ayah, bunda, dan adiknya Rafa yang bernama Ciko.
"Assalamualaikum bunda" kata Alvan, kemudian salim ke bundanya Rafa.
Alvan sudah biasa memanggil bundanya Rafa dengan sebutan bunda, begitu juga dengan Vano, dan Naqa. Karena bundanya Rafa sudah menganggap mereka seperti anak sendiri. Mereka juga biasa memanggil Ayahnya Rafa dengan sebutan Ayah.
"Eh, Alvan. Baru datang?" tanya bunda Rafa.
"Iya, bun. Ayah.." Alvan salim kepada ayahnya Rafa.
"Sering sering main ke sini, Van. Ajak juga Vano sama Naqa, biar si Rafa nggak bisa pacaran" kata Ayah Rafa.
Rafa yang mendengar perkataan Ayahnya menatap tak terima ke arah Ayahnya.
"Siap, Yah" jawab Alvan.
"Ih Ayah, gitu amat sih. Rafa juga play boy pasti nurun dari Ayah kan?" tuduh Rafa.
"Benar tuh, Raf. Ayah kamu dulu play boy, sama persis kayak kamu." jawab Bunda Rafa.
Rafa tertawa, Alvan terkekeh. "Hahaha bener kan?, Hmm yaudah Rafa sama Alvan mau ke kamar dulu"
"Shalat maghribnya ke masjid bareng sama Ayah!"
"Iyaaa." jawab Alvan dan Rafa kompak sambil berjalan menjauh.
Jangan lupa LIKE...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Nurwana
ksian alvan... korban kegoisan org tuanya.
2021-06-14
0