Kebencian Kakakku

Pagi ini aku sudah sampai di Indonesia. Kemauanku semakin besar untuk segera bertemu dengan ibuku. Awalnya aku akan menemui ibuku sendiri di rumah sakit, namun ternyata Jevan memaksaku agar dia menjemputku dan mengantarku kesana, aku pun meng-iyakan hal itu. Jevan sudah menungguku dibandara sebelum aku sampai, dan dia membawa mobilnya. Tak cukup hanya berjalan cantik dan lamban bagiku, saat ini kakiku harus melangkah dengan cepat dan sigap. Entah karena terburu-buru atau memang aku yang ceroboh, aku sempat tersandung dan terjatuh ke lantai. Semua orang melihatku, namun biarlah aku tidak peduli. Bukannya menolong, malah melihat dengan seksama, itu sudah membudidaya sekali ya. Untung saja koperku ringan dan mudah untuk dibawa, jadi aku bisa cepat-cepat. Di depan bandara, aku melihat Jevan ada disana. Dia sedang mondar-mandir tidak jelas, tapi aku jadi semakin khawatir akan hal itu. Aku langsung menghampiri Jevan dan mengajaknya segera berangkat ke rumah sakit.

“Jev, maaf ya aku lama.” Sapaku tiba-tiba.

“Yuri? Sudah datang.” Jawab Jevan.

“Ayo berangkat, cepat ya Jev.” Kataku sambil masuk ke mobil milik Jevan.

...

Tanpa menjawab permintaanku, Jevan langsung masuk ke dalam mobil untuk mengendarainya. Dia sangat peka pada orang-orang yang ada disekitarnya, itu yang membuatku nyaman berada didekat Jevan. Ketik kami sudah masuk ke dalam mobil, aku hanya menyuruh Jevan untuk mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Perasaanku sudah campur aduk, rasa cemas dan khawatir selalu ada di pikiranku. Jevan yang mengetahui aku begitu cemas, dia mencoba menenangkanku dan raut wajahnya tampak sangat serius. Selama perjalanan aku hanya berdoa, berdoa, dan berdoa. Sementara Jevan fokus mengendarai mobilnya.

“Jev, ibuku pasti baik-baik saja kan?” Tanyaku tiba-tiba.

“Yuri, itu sudah pasti.”

“Maafkan aku ya, karena ini semua salahku. Aku membiarkan ibumu menaiki taksi lain, bukannya bersamaan. Aku sangat menyesal, Yuri.” Tutur Jevan.

...

“Saat itu, ibumu bilang akan langsung menemui kakakmu tanpa kembali ke rumah dulu. Dia bilang anaknya yang terpenting, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tidak bisa memaksa ibumu untuk ikut bersamaku.” Tambah Jevan lagi.

“Iya, Jev. Tidak apa-apa, ini bukan salahmu kok.” Kataku pelan.

“Waktu itu aku melihat ibumu berbicara dengan supir taksi itu, seperti ingin buru-buru. Apa itu ya sebabnya?” Tanya Jevan.

...

Setelah 30 perjalanan ke rumah sakit, akhirnya aku dan Jevan tiba disana.

“Ayo, Jev. Cepat! Ruangannya dimana?” Tanyaku.

“Katanya ibumu masih di UGD.” Tutur Jevan.

“Belum pindah dari kemarin?” Tanyaku.

“Belum.”

...

Saat ini aku sudah berada di dekan ruangan UGD, di dalam ruangan sedang berdiri ayahku dan kakakku juga. Aku langsung menghampiri mereka yang sedang menangis histeris. Aku bertanya-tanya pada diriku apa yang terjadi sebenarnya. Perasaanku semakin tidak enak melihat ayahku dan kakakku menangis, rasanya hatiku ada yang mencabik-cabiknya. Ayahku berdiri disebelah ibuku, begitupun dengan kakakku. Mereka menggenggam tangan ibuku dengan erat, sembari menangis.

“Ayah...kakak... ibu... kenapa?” Tanyaku.

“Yuri!!!!!.....” Teriak ayahku.

Sementara kakakku tidak peduli dengan keberadaanku.

“Ibumu, nak... ibumu...” Sahut ayahku sambil berlinang air mata.

“Iya, ayah... iya...” Kataku sambil meneteskan air mata.

“Ibumu sudah pergi meninggalkan kita...” Kata ayahku sedih.

Apa? Apa maksud ayahku? Pergi? Tidak, tidak mungkin!

“Apa maksudmu ayah?” Tanyaku.

“Ibumu sudah tiada, nak.” Jawa ayahku.

Sontak lututku terasa lemas, dan aku segera menghampiri ibuku dan memeluknya dengan erat. Apa ini jawaban dari semua kejadian dalam diriku sebelumnya? Aku terpukul, aku menyesal, aku sudah tidak becus menjadi seorang anak dalam hidupku, mengapa aku membiarkan ibuku pulang sendirian? Aku bodoh! Aku lemah! Aku memang anak yang tidak berguna! Ibu!!!!!!!! Maafkan aku!!!!!!

“Ibuuuuu!!!!!!!!!!!!!” Teriakku sambil meraung histeris.

“Yuri, lepaskan ibuku!” Teriak kakakku.

“Kakak...”

“Kamu bukan anak ibu! Ini semua gara-gara kamu! Pergi kamu dari sini! Aku sangat muak melihat wajahmu!” Kata kakakku.

“Kak, jangan... aku mau disamping ibu.” Jawabku.

“Kamu penyebab semua kekacauan ini, jadi buat apa kamu ada disini! Kamu lihat semua ini? Ini perbuatanmu, dasar pembawa sial!!!” Teriak kakakku lagi.

“Calvin, sudah nak! Tidak baik berkelahi di depan ibumu! Sudah diam!” Sahut ayahku kesal.

...

Kemarahan kakakku berhenti setelah ayahku marah dan ada petugas rumah sakit yang datang. Mereka akan membawa ibuku pulang ke rumah, untuk di semayamkan. Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi, padahal baru lima hari aku masih bersama ibuku, bercanda bersama ibuku, dan mengantarnya ke bandara bersama Mina. Ternyata semua pesan yang dia katakan padaku sebelumnya adalah kata-kata terakhir dari ibuku, pantas saja dia bersikap tidak seperti biasanya, hari itu dia berbeda, terlihat banyak bicara dan sangat detail padaku. Aku sangat menyesal belum sempat memberikan sesuatu yang bisa membanggakan untuk ibuku, aku masih sangat bergantung padanya dan manja. Aku masih ingin bertemu dan hidup bersamanya, ya tuhan. Aku belum sempat mengucapkan terimakasih padanya karena selama ini selalu membuat ibuku kerepotan mengurusku, menjagaku, dan mengobatiku kemana-mana.

Air mata ini terus mengalir dengan deras, mengalir, tanpa tahu tujuan. Saat ini kami sudah dalam perjalanan ke rumahku. Aku sedang bersama Jevan, karena jika aku ikut dengan ayah dan kakakku, itu akan membuat keributan lagi. Ya tuhan, aku tidak percaya dengan semua ini! Tolonglah aku!

...

Pemakaman untuk ibuku sudah selesai, namun saat ini sepertinya aku masih ingin berada disini, didekat ibuku. Semua orang sudah pergi meninggalkan aku, ayahku, dan kakakku. Aku sangat berat melepaskan kepergian ibuku, berat sekali. Aku tidak bisa membayangkan jika setiap hari aku hidup tanpa ibu, sangat hampa pastinya. Biasanya dia menyiapkanku sarapan, memberikan obat, merapikan kamarku, menyiapkan pakaianku, dan masih banyak lagi. Mataku sudah sembab, karena menangis terus menerus. Kakakku saja baru ini aku melihatnya menangis, biasanya tidak pernah, ternyata dia sangat menyayangi ibu walapun selama ini suka melawan.

“Yuri, sudah, ayo kita pulang.” Kata ayahku.

“Sebentar lagi ya, yah? Yuri masih ingin disini.” Jawabku pelan.

“Kamu tidak usah sok peduli dengan ibu, Yuri. Kamu senang kan dengan semua ini?” Tanya kakakku kesal.

“Kak, tidak seperti itu. Yuri sangat menyayangi ibu, Yuri sangat ingin terus berada di dekat ibu.” Kataku.

“Halah! Omong kosong! Kamu itu selalu saja membuat ibu kesusahan. Lihat kan apa akibatnya sekarang?” Kata kakakku.

“Sudah sudah, Yuri, Calvin. Ayo pulang, biarkan ibumu tenang di alam sana ya?” Tanya ayahku.

“Iya ayah.”

...

Berdiri di depan foto besar milik ibuku adalah hal yang ku lakukan saat ini. Rumah yang biasanya sangat hangat dan banyak sentuhan dari ibuku kini sebaliknya, sangat sepi dan hampa. Ayahku barangkali sedang menenangkan dirinya di kamar, dan begitu juga dengan kakakku. Hari ini aku sangat lelah, rasanya tenagaku sebentar lagi akan habis. Tidak lama aku duduk di sofa depan televisi, Jevan datang ke rumahku. Dia berusaha menenangkan aku lagi, dia sangat perhatian. Karena Jevan tengah berada di dekatku, aku berusaha menceritakan apa yang sedang kurasakan, tentang semua yang aku alami sekarang. Saat ini aku memang sangat membutuhkan pendengar yang baik, yang bisa mendengarkanku dengan segala hal pahit yang aku alami. Mungkin Jevan adalah orang yang tepat saat ini, karena aku sudah menganggapnya sebagai saudaraku.

“Jev, terimakasih ya telah berada di dekatku dan menemaniku. Kamu memang terbaik.” Kataku.

“Iya, Yuri. Aku senang bisa membantumu, apalagi jika berada didekatmu.” Kata Jevan sambil tersenyum.

“Sekarang aku sudah kehilangan satu orang yang sangat menyayangiku, aku sedih Jev.” Kataku pelan.

“Iya, aku mengerti perasaanmu saat ini. Tapi kamu harus perhatikan kesehatanmu ya, Yuri.” Tutur Jevan.

“Aku tidak apa-apa kok, Jev. Aku hanya sedang rindu, rindu dengan ibuku. Padahal baru saja dia pergi meninggalkanku, tapi aku sangat merindukannya.” Jawabku.

“Iya. Kamu sudah makan?” Tanya Jevan.

“Nanti saja, Jev.”

“Makan dulu ya? Nanti kamu sakit.” Kata Jevan lagi.

“Tidak, Jev. Aku tidak nafsu sama sekali.” Jawabku singkat.

“Aku tahu kamu sedang berduka, tapi setidaknya makanlah sedikit, ya walaupun hanya sesuap. Aku ambilkan ya? Apa kamu mau segelas susu dan roti?” Tanya Jevan.

“Tidak usah repot-repot, Jev. Nanti saja ya?” Tanyaku.

“Ya sudahlah. Jika kamu mau makan, panggil aku saja ya?” Tanya Jevan.

“Iya.”

...

“Buat apa, Jev? Buat apa peduli dengan anak ini?” Tunjuk kakakku yang datang tiba-tiba.

“Kakak?” Tanyaku.

“Kamu jangan dekat dengannya, Jev. Itu lebih baik! Dia hanya pembawa sial saja, mau maunya dekat dengannya.” Tutur kakakku.

“Kak, aku tahu kak calvin marah dengan Yuri. Tapi dia tidak salah, kak. Dia juga sangat terpukul dengan kejadian ini.” Jelas Jevan.

“Mau maunya membela Yuri. Jevan... Jevan...” Sahut kakakku.

“Ada apa ini ribut-ribut? Calvin, jangan menyalahkan Yuri terus. Dia tidak ada hubungannya dengan semua ini.” Kata ayahku.

“Ayah juga. Dari awal aku sudah bilanga kalau Yuri itu hanya bisa menyusahkan ayah dan ibu, malah membelanya.” Sahut kakakku.

“Kak, sebenarnya apa salahku denganmu? Rasanya aku tidak pernah membuatmu marah karena ulahku, tapi kenapa seperti ini jadinya? Kakak tahu tidak? Ibu pulang ke Indonesia itu gara-gara kakak. Ibu jadi pulang dengan sangat terburu-buru demi kakak, saat itu kakak sedang ada masalah. Itu semua demi kakak, ibu sangat peduli denganmu kak. Ibu bela-bela naik taksi dengan buru-buru dan pada akhirnya kecelakaan.” Tuturku kesal.

Kakakku terdiam dan berpikir, lalu dia pergi ke kamarnya.

“Yuri, sudah ya? Jangan pedulikan kakakmu itu. Dan Jevan, maaf ya soal tadi. Tolong temani Yuri ya?” Tanya ayahku.

“Iya paman, tidak apa-apa. Saya siap menemani Yuri disini.” Jawab Jevan.

...

“Jev, maaf ya? Gara-gara aku, kamu jadi ikut-ikutan.” Kataku.

“Santai saja. Aku sudah biasa melihat kejadian seperti tadi, ayah dan ibuku juga sering bertengkar.” Jawab Jevan.

“Oh iya, sebaiknya kamu istirahat saja Yuri. Kamu juga membutuhkan hal itu.” Tambah Jevan.

“Ya sudah, aku mau ke kamar dulu ya? Tidak apa-apa kan?” Tanyaku.

“Iya. Aku juga mau pulang. Jangan terlalu terbebani dengan perkataan kakakmu itu ya?” Tanya Jevan lagi.

“Iya, terimakasih ya.” Kataku.

“Iya.”

...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!