Kumat

Kepanikan dokter Jae padaku membuatnya membawaku kembali ke rumah sakit. Karena jika hanya memeriksaku dengan tangan kosong tidak cukup bagi dokter Jae. Aku tidak mengerti mengapa perutku tiba-tiba terasa sakit, amat sakit. Sepanjang perjalanan kesana, aku selalu merintih kesakitan dan dokter Jae juga mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Terasa sekali seperti ada yang menusuk di bagian perutku. Akibat dari tingginya kecepetan mobil yang dikendarai oleh dokter Jae, beberapa waktu kemudian kami telah sampai di lobby rumah sakit. Tanpa berleha-leha, dokter Jae langsung memanggil perawat yang berada disana waktu itu. Karena tidak ada yang merespon, dokter Jae langsung mengangkat tubuhku untuk cepat-cepat masuk ke dalam dan segera di periksa.

Karena operasiku waktu itu baru berumur dua minggu, dokter Jae merasa aku masih tanggung jawabnya. Jadi, dia memutuskan untuk menanganiku daripada dokter lain. Kurang lebih 15 menit dokter memeriksaku, aku disuntikkan obat ke dalam infusku. Aku tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, tapi dokter Jae terlihat cemas. Setelah aku disuntikkan obat itu, perutku sedikit membaik dan tidak seperti sebelumnya. Di tengah-tengah aku berbaring di rumah sakit, ponselku berdering tanda panggilan masuk, dan ternyata itu adalah ibuku. Aku lupa mengabarinya! Apa yang harus aku katakan? Aku tidak ingin membuat ibuku cemas dan khawatir lagi, apalagi jika dia mengetahui aku ada disini. Sebaiknya aku berbohong saja, demi kebaikan ibuku. Aku sudah bilang pada dokter Jae, jangan sampai ibuku tahu tentang masalah ini, dan dokter pun terpaksa mau menuruti perkataanku.

“Ha..halo, bu...” Sapaku.

“Yuri, belum pulang juga, nak? Ini sudah jam tujuh malam loh.” Kata ibuku.

“Iya, bu. Maaf ya membuat ibu menungguku, sebentar lagi aku akan pulang.” Jawabku.

“Baiklah, hati-hati ya?” Tanya ibuku.

“Iya...”

“Eh tunggu, kamu sedang berada dimana? Sepertinya agak ramai.” Tanya ibuku lagi.

“Ehm... di... Yuri tidak tahu namanya, bu. Memang agak banyak orang disini.” Jelasku.

“Dokter Jae dimana? Ibu mau bicara sebentar.” Kata ibuku.

Apa?

Untung saja Dokter Jae masih di dekatku.

“Halo, bu?” Kata dokter Jae.

“Halo, dok. Kalian sedang berada dimana?” Tanya ibuku.

“Di dekat taman bu, taman yang indah. Berisik ya? Maaf ya, disini memang sedang banyak yang berkunjung.” Jawab dokter Jae.

“Baiklah, jaga Yuri ya? Jangan terlalu larut malam kembali ke rumah, ya?” Kata ibuku lagi.

“Iya, bu. Tenang saja.” Kata dokter Jae.

Panggilan berakhir...

“Dokter, maafkan saya ya? Karena telah mengajak dokter untuk berbohong pada ibuku.” Kataku.

“Hm... tidak apa-apa, Yuri. Tapi kamu janji ya akan bilang pada ibumu nantinya?” Tanya dokter Jae.

“Iya, dok.” Jawabku.

“Oh iya, ada apa ya dok dengan perutku? Mengapa terasa sakit sekali?” Tanyaku.

“Setelah saya melakukan pemeriksaan, sepertinya...” kata dokter Jae.

“Sepertinya...”

“Sepertinya apa, dok?” Tanyaku.

“Sepertinya, ada tumor di dalam tubuhmu, Yuri.” Kata dokter Jae sambil terbata-bata.

“A... apa? Tumor? Dokter serius? Dokter tidak bercanda kan?” Tanyaku lagi.

“Iya, Yuri.”

Aku terdiam dan termenung sesaat...

Cobaan apalagi ini, ya tuhan? Sebenarnya aku memang tidak berhak untuk bahagia di dunia ini. Atau aku memang pembawa sial untuk diriku sendiri? Betapa kagetnya aku ketika ada penyakit lagi yang datang menghampiri tubuhku ini. Sepertinya aku sudah ditakdirkan begini, ditakdirkan untuk penyakitan. Andai ibuku tahu, dia pasti akan syok berat. Dia telah mengobatiku kemana-mana, dan hasilnya begini? Selalu ada cobaan yang menimpaku. Baru dua minggu penyakitku kemarin di angkat, dan sekarang ada lagi? Tidak henti-hentinya penyakit itu datang padaku, apakah mereka sangat suka dengan tubuhku ini?

“Dok, saya mohon agar masalah ini jangan sampai ada yang tahu ya? Termasuk ibuku. Aku tidak mau dia merasa khawatir lagi denganku.” Kataku.

“Kamu yakin, Yuri? Sepertinya itu tidak bisa kamu lakukan, kamu harus memberitahu ibumu, jangan disembunyikan.” Kata dokter Jae.

“Tidak dok, tidak. Saya tidak akan memberitahu ibuku, sudah cukup dia merasakan penderitaanku selama ini. Baru dua minggu ibuku merasa ringan, tidak ada masalah dalam diriku ini. Jadi untuk saat ini aku akan diam.” Tuturku pelan.

“Baiklah jika itu maumu.” Sahut dokter Jae.

“Jangan sedih, ya Yuri? Tumor itu masih bisa disembuhkan jika cepat diatasi.” Kata dokter Jae.

“Terserahlah, dok.” Sahutku.

“Sekarang, aku mau kembali ke apartemen.” Kataku.

“Ayo, biar saya antar.” Kata dokter Jae.

...

Perjalanan pulangku diwarnai dengan kegelapan, iya. Kegelapan yang selama ini ikut campur dalam hidupku. Aku merasa sedih, teramat sedih. Mengapa selalu ada penyakit yang bertubi-tubi menghampiriku? Jika didunia ini ada orang yang tidak memiliki keberuntungan dan selalu mengalami kesialan, itu adalah aku. Sepanjang jalan, dokter Jae berusaha mengajakku untuk berbicara dan menghiburku, namun aku hanya melamun betapa mirisnya diriku ini. Hidup didunia dengan didampingi rasa sakit terus menerus, membuatku ingin mati saja, aku sudah bosan dan merasa lelah. Untuk apa hidup jika aku tidak ada gunanya?

Tibalah kami di pelataran apartemen, sontak aku merasa kaget. Sekarang aku harus menampakkan wajah yang ceria seperti sebelum aku berjalan-jalan dengan dokter Jae. Aku tidak mau ibuku curiga dengan keadaanku saat ini, belum waktunya ibuku tahu.

“Yuri, dokter ... sudah kembali. Ayo masuk.” Kata ibuku.

“Tidak usah, bu. Saya langsung pamit saja.” Kata dokter Jae.

“Eh, jangan lah. Saya sudah membuat masakan enak untuk kalian, terutama untuk dokter. Jadi, kita makan malam bersama ya?” Tanya ibuku.

“Bu, siapa tahu dokter ada urusan.” Sahutku.

“Ayolah, kali ini saja hehe...” Tutur Ibuku.

“Baiklah kalau ibu memaksa hehe...” Kata dokter Jae sambil tersenyum.

“Nah, begitu dong.”

...

“Ayo duduk.” Ajak ibuku.

“Yuri, wajahmu tampak pucat nak.” Kata ibuku.

“Masa sih, bu? Mungkin karena aku belum makan hehe...” Jawabku sambil tersenyum.

“Pantas saja.” Sahut ibuku.

“Iya, bu. Tadi dokter Jae mengajakku untuk makan, tapi aku menolak. Dan firasatku bilang kalau ibu masak, eh ternyata benar.” Jelasku.

“Ah, kamu bisa saja.”

“Ayo, dok. Dimakan, semoga suka ya?” Tanya ibuku.

“Iya iya, saya suka semua masakan ibu.” Kata dokter Jae.

Aku tidak merasakan nikmatnya masakan yang dibuat oleh ibuku malam ini. Aku terus memikirkan kejadian tadi yang menimpa diriku, berusaha untuk tetap tersenyum adalah solusinya untuk saat ini. Aku menyuruh dokter Jae untuk bersikap seperti biasanya dan tidak membicarakan tentang masalah yang terjadi padaku. Namun akulah yang sekarang tidak bisa menutupi kesedihan ini, berat rasanya. Ibuku dan dokter Jae berbicang sangat akrab dan menikmati makanannya dengan lahap. Pintar sekali sih dokter Jae mengembunyikan masalah tadi.

“Yuri, kenapa melamun? Habiskan makannya tuh.” Kata ibuku.

“Ayo dokter, tambah lagi.” Kata ibuku lagi.

“Iya, bu. Ini sudah banyak, tapi masakan ibu memang enak ya? Saya suka sekali hehe...” Tutur dokter Jae.

“Ya silahkan, makan lagi. Nanti kapan-kapan saya buatkan lagi. Saya senang jika dokter menyukainya.” Kata ibuku sambil tersenyum lebar.

“Iya iya hehe...”

....

Acara makan malam telah berlalu begitu cepat. Setelah banyak bercerita dengan ibuku dokter Jae pamit untuk pulang. Sebenarnya dia tidak pulang ke rumah, tetapi dokter Jae akan kembali ke rumah sakit sekarang karena ada panggilan mendesak. Ribet sekali jika aku melihat dokter Jae, dia rela kesana kemari demi pasien yang ditangani olehnya. Sementara ibuku membereskan sisa makanan yang ada di meja, aku kembali ke kamarku dan ingin beristirahat sejenak untuk melepaskan kelelahan ku hari ini. Namun sepertinya tidak bisa kulakukan, apa iya dengan mudah aku dapat melupakan semua masalah yang terjadi hari ini? Sepertinya itu tidak akan mudah.

Sembari berbaring aku memikirkan apa yang harus aku katakan pada ibuku, aku bingung bagaimana caranya mengatakan ini semua padanya. Di satu sisi aku tidak mau membuat ibuku cemas dan khawatir, tapi di sisi lain aku harus memberi tahu ibuku karena selama ini yang berjuang mengobatiku juga adalah ibuku dan dia juga harus mengetahui ini semua. Tidak lama aku memikirkan ibuku, pintu kamarku terbuka dan ibuku datang menghampiriku.

“Yuri, hari ini kamu pergi kemana saja dengan dokter Jae?” Tanya ibuku.

“Eh, ibu. Hari ini aku berkunjung ke beberapa tempat yang indah, bu. Dokter Jae memang tahu apa yang aku suka hehe...” Jawabku.

“Benarkah?” Tanya ibuku.

“Tidak hanya itu bu, dokter Jae juga memberikanku sebuah hadiah dan aku juga sangat menyukainya. Ini bu, coba ibu lihat. Dia memberikanku sebuah album NCT dan dalamnya terdapat tanda tangan milik Jaehyun, ini semua terlihat masih baru loh. Hanya karena waktu itu aku mengatakan kalau aku menyukai NCT, dokter langsung mengingatnya. Bukankan keren? Hehe...

“Wah wah wah... dokter Jae memang ter the best ya? Hahah...” Kata ibuku sambil tersenyum.

“Iya, bu.”

“Tapi jika ibu lihat dari tadi, sepertinya kamu sedang memikirkan sesuatu. Apa iya?” Tanya ibuku.

“Ah, tidak bu. Aku hanya lelah saja.”

“Obatmu sudah diminum?” Tanya ibuku.

“Sudah, bu.”

...

“Tadi ibu menghubungi ayahmu, kemudian ayahmu bilang kalau dia sangat senang sekali mendengar bahwa kamu sudah sembuh dari penyakitmu. Seperti janji ayahmu sebelumnya jika kamu sudah sembuh, kamu dapat melakukan apapun yang kamu mau asalkan hal itu adalah hal positif. Bagaimana, kamu suka?” Tanya ibuku.

“Iya, bu. Yuri suka.” Jawabku singkat.

“Ya sudah, kamu istirahat saja ya? Ibu mau menonton televisi dulu, ada drama favorit ibu sekarang.” Kata ibuku sambil tersenyum.

“Hah? Ibu... ya sudah, good night...” Ucapku.

“Night....” Sahut ibuku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!