Pagi ini, aku disambut oleh matahari cantik dibalik jendela kamarku. Jika ku ingat kembali, malam tadi aku bermimpi, mimpi yang sangat indah. Keindahan mimpi itu sampai membuatku terhanyut dan terlambat untuk bangun pagi. Terkadang jika biasanya aku bermimpi indah, tetapi di tengah jalan aku dibangunkan oleh ibuku. Untuk kali ini aku tidak demikian, kali ini aku dapat bermimpi dengan puas dengan sangat, sangat senang lebih dari kata senang. Aku bermimpi bertemu dengan Jaehyun di sebuah kafe, kami sempat menatap satu sama lain dan kemudian setelah itu kami berkenalan, awal yang bagus ya? Pada tahap selanjutnya, Jaehyun meminta nomor ponselku agar kami dapat saling berkomunikasi. Dalam mimpi itu aku bersikap biasa saja seakan-akan aku tidak mengidolakannya, lucu sekali.
Kisahku dan Jaehyun berlanjut ketika dia mengirimiku pesan akan mengajakku bertemu di suatu tempat. Aku pun menyetujuinya, kemudian kami bertemu di salah satu tempat yang indah di Korea, banyak pengunjung bilang tempat ini selalu akan membawa keberuntungan baik itu dalam hal finansial maupun dalam hal percintaan. Di tempat itu aku duduk sendiri menunggu kedatangan Jaehyun, tidak lama kemudian Jaehyun datang dengan memakai pakaian casual yang sangat cocok dengan tubuhnya. Jika dalam drama Korea, pasti banyak sekali gadis-gadis yang menyukainya apalagi dengan wajah Jaehyun yang sangat tampan. Aku merasa bahagia ketik Jaehyun memberiku sebuah bucket bunga mawar merah yang sangat cantik dan masih sangat harum, hatiku serasa terbang dan sangat damai. Dalam mimpi itu kami melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang sangat romantis dan lebih terasa hangat ketika Jaehyun memegang erat tanganku.
Mimpiku terhenti disana ketika alarmku berdering dengan sangat keras. Setelah kulihat ternyata sudah jam delapan pagi dan matahari sudah tengah terik. Coba saja alarmku tidak berbunyi, pasti aku bisa bermimpi dengan sangat puas sampai siang hari haha. Tapi tidak apa-apa juga sih, karena aku juga sudah sangat menikmati mimpi malam tadi dan suasana bangun pagiku pun terasa nyaman dan sangat indah. Andai saja mimpi itu bisa jadi kenyataan haha... aku sudah tidak tahan lagi dengan khayalanku yang semakin menjadi-jadi, semoga saja mental ku tidak terganggu haha.
Suasana bangun pagiku biasanya aku awali dengan lamunan, iya aku sengaja tidak beranjak dari kamarku hanya untuk melamunkan hal-hal yang memang aku inginkan. Apa lagi aku bermimpi yang sangat indah semalam, maka lamunanku menjadi semakin lama dan halusinasiku bertambah. Seketika saat aku sedang berdiam diri di atas kasurku yang sangat empuk ini, perutku terasa sakit kembali seperti ada yang mencabik-cabiknya, dan rasa ini persis sama dengan kejadian kemarin. Aku menjadi semakin takut dan merasa terbebani kembali. Apa ini saatnya aku harus memberi tahu ibuku, atau nanti saja ya? Aku ragu untuk melakukan keduanya.
Saat perutku terasa sakit kembali, aku memutuskan untuk berbaring sejenak. Siapa tahu sebentar lagi rasa sakit itu akan hilang dengan sendirinya. Aku berbaring dan menunggu beberapa saat, ternyata dugaan ku benar! Rasa sakit di perutku sudah hilang dan kebetulan pada saat itu ibu memanggilku untuk bangun dan bersiap untuk sarapan serta meminum obatku seperti biasa.
“Pagi, Yuri. Bagaimana tidurmu? Nyenyak kan?” Tanya ibuku.
“Iya, bu. Kalau ibu bagaimana?” Tanyaku.
“Sama saja sayang...” Jawab ibuku sambil tersenyum.
“Hari ini kita sarapan roti ya? Dan ini segelas susu untukmu.” Kata ibuku.
“Iya, bu. Yuri jadi ingat Jevan hehe... dia biasanya memberikanku ini semua.” Tuturku.
“Iya, ya. Ibu juga ingat pagi-pagi dia sudah menghampirimu.” Kata ibuku.
“Iya, bu.”
“Sekarang dia dimana, ya? Sudah pulang atau belum? Ibu ingin mengundangnya makan siang, kasihan dia disini seorang diri.” Kata ibuku.
“Entahlah, bu. Tapi sepertinya belum pulang, coba ibu hubungi dia.” Sahutku sembari meminum susu.
“Benar juga, sebentar...”
Ibuku melakukan panggilan keluar kepada Jevan...
...
“Halo, bi?”
“Hey, Jevan...” Sapa ibuku.
“Ada apa ya, bi? Tumben sekali meneleponku hehe...” Jawab Jevan.
“Kamu sudah kembali ke Indonesia?” Tanya ibuku.
“Belum, bi. Jevan masih di Korea, belum selesai urusannya.” Kata Jevan.
“Oh begitu...”
“Pagi-pagi bibi mengingatmu, Jev. Biasanya kamu datang kerumah bibi sambil membawakan roti dan susu untuk Yuri, dan sekarang bibi mau mengundangmu untuk makan siang. Bagaimana?” Tanya ibuku.
“Wah... bibi... Jevan mau lah, dengan senang hati hehe...” Jawab Jevan bahagia.
“Baguslah, bibi senang mendengarnya. Kalau begitu, datang ke apartemen ya, siang ini juga.” Kata ibuku.
“Iya, bi. Terimakasih ya?” Tanya Jevan.
“Iya sama-sama, kalau begitu silahkan lanjutkan pekerjaanmu hehe...” Kata ibuku.
“Iya, bi. Sampai jumpa...” Kata Jevan.
Panggilan berakhir...
“Bagaimana, bu?” Tanyaku.
“Nanti siang Jevan kemari, dai belum pulang ke Indonesia.” Kata ibuku.
“Ohh...”
...
“Aaakkkk...” Rintihku.
Perutku terasa sakit lagi...
“Kenapa, Yuri?” Tanya ibuku.
“Ti... tidak, bu. Tidak apa-apa kok, Cuma mules sedikit saja.” Kataku.
“Oh... ibu kira kenapa, ya sudah sana ke kamar mandi.” Kata ibuku.
“Iya, bu.”
...
Aduh! Kenapa lagi-lagi perutku terasa sakit? Lebih baik aku ke kamar dan berbaring lagi, siapa tahu bisa seperti pagi tadi. Untung saja ibuku tidak curiga denganku, aku harus pertahankan ini semua. Aku hanya menunggu waktu yang tepat saja untuk memberitahu ibuku mengenai itu semua. Saat ini aku sedang berbaring di kaur kesayanganku, bergulang-guling kesana kemari aku lakukan. Entah mengapa kali ini sakitnya terasa berbeda dari sebelumnya. Rasa ini membuatku tidak dapat menahan tangis, air mataku terasa menetes perlahan. Tetesannya semakin banyak dan aku mencoba menahan suara tangis yang keluar dari mulutku, agar ibuku tidak mendengarnya.
Tidak lama kemudian, ibuku masuk ke kamarku dan berkata bahwa ia akan keluar sebentar untuk pergi ke toserba di depan apartemen kami. Aku hanya menjawab ‘iya' dan ibuku untungnya segera pergi keluar. Setelah ibuku keluar, aku berpikir harus menghubungi dokter Jae. Aku bingung harus bagaimana, jadi aku mengiriminya pesan untuk bertanya. Pesanku sudah terkirim dan terbaca olehnya, namun dokter Jae malah meneleponku.
...
“Ha... halo, dok?”
“Yuri? Kamu baik-baik saja kan?” Tanya dokter Jae.
“Dokter, apa yang harus ku lakukan? Perutku terasa sakit lagi, rasanya berbeda dari sebelumnya.” Kataku sambil merintih kesakitan.
“Yuri, sebaiknya kamu ke rumah sakit sekarang. Kita harus menanganinya dengan cepat.” Kata dokter Jae.
“Tidak, dok. Saya tidak mau pergi kesana. Saya hanya ingin tanya apa yang harus saya lakukan? Saat ini saya hanya berbaring di kamar.” Kataku.
“Kamu sudah bilang pada ibumu?” Tanya dokter Jae.
“Belum, nanti saja.” Jawabku pelan.
“Kalau begitu, minum air hangat dulu ya untuk sementara. Setelah itu berbaring lagi, atau pejamkan matamu dan beristirahat.” Kata dokter Jae.
“Baiklah, dok. Terimakasih.”
...
Panggilan berakhir...
Selesai aku berbicara dengan dokter Jae, aku langsung pergi ke dapur dan mengambil air hangat. Lalau ku bawa ke kamarku dan aku minum dengan segara. Aku ingin cepat menghilangkan rasa sakit ini, sebelum ibuku pulang. Seperti yang dikatakan oleh dokter Jae, aku harus berbaring dan istirahat, jadi itu yang aku lakukan saat ini. Ketika berbaring, mataku terasa berat dan sepertinya aku tertidur. Aku terbangun sekitar dua jam kemudian, dan itu pun karena mendengar suara berisik dari dapur.
Saat itu ibuku sedang sibuk memasak disana, karena Jevan akan makan siang disini. Aku jadi tidak enak karena tidak membantu ibuku. Setelah ku rasakan, ternyata sakit perutku sudah hilang, syukurlah. Jadi aku bisa ke dapur dan membantu ibuku disana.
“Ibu... ibu sudah pulang dari tadi?” Tanyaku.
“Yuri? Sudah bangun ternyata.” Kata ibuku.
“Iya, tadi Yuri ketiduran.” Jawabku singkat.
“Ibu sudah pulang sekitar 40 menit yang lalu.” Kata ibuku.
“Kenapa tidak membangunkanku, bu?” Tanyaku.
“Kamu terlihat pulas sekali, jadi ibu tidak tega membangunkanmu.” Jawab ibuku.
“Tidak lah, bu. Itu juga Yuri tidak sengaja hehe...” Sahutku.
“Oh iya, kamu ambil air hangat untuk diminum ya tadi? Dispensernya lupa kamu matikan.” Kata ibuku.
“Maaf, ya bu. Yuri lupa hehe...”
Setelah satu setengah jam lebih aku membantu ibuku memasak, akhirnya kami selesaikan semuanya. Ibuku memasak beberapa masakan Indonesia dengan bahan seadanya dan masakan Korea dengan kemampuan pemula ibuku. Ibu hanya ingin Jevan menyukai makanannya, oleh sebab itu dia memasak dua versi, yaitu Indonesia dan Korea.
Selesai merapikan masakan di atas meja makan, tibalah Jevan di apartemen kami. Dia baru saja pulang dari kantor cabang, dan waktunya sangat pas sekali saat dia lapar. Ibuku langsung menyuruh Jevan untuk duduk di ruang makan dan menyantap makanan yang telah dibuat oleh ibuku.
“Jevan, ayo dimakan. Ini semua Yuri dan bibi yang masak.” Kata ibuku sambil tersenyum.
“Wah wah... memangnya Yuri bisa memasak, bi?” Tanya Jevan.
“Yuri Cuma bantu mengiris saja kok, Jev hehe...” Sahutku.
“Ahahah... pantas saja. Oh iya, ini ada makanan Indonesia dan Korea? Bibi hebat sekali bisa masak keduanya dengan baik.” Tutur Jevan.
“Kamu ini, kalau memuji bibi terus, makannya kapan? Sudah makan saja, ayo cicipi.” Sahut ibuku.
“Iya, bi.”
...
“Yuri mau apa?” Tanya ibuku.
“Yuri masih kenyang, bu. Nanti saja ya makannya.” Jawabku singkat.
“Makan sedikit saja, Yuri. Nih aku ambilkan.” Kata Jevan sambil mengambil makanan.
Di tengah berlangsungnya makan siang kami, aku merasakan ada seauatu yang aneh. Kepalaku pusing dan berat, dan perutku terasa sakit kembali. Ya tuhan, ku mohon agar bisa menahan sakit ini sebentar lagi, selesai kami makan siang. Tapi...
“Aaaakkkk....!!!!” Rintihku kesakitan dan terjatuh dari kursi.
“Yuri!!!!” Teriak ibuku dan Jevan.
“Sakitttt, bu.” Kataku.
“Jevan, ayo bawa ke rumah sakit.” Kata ibuku.
Ketika aku mengatakan sakit pada ibuku dan Jevan, mereka langsung membawaku ke rumah sakit. Tanpa membuang-buang waktu, Jevan mengendarai mobil dengan kecepatan yang tinggi karena melihatku yang terus menerus merintih kesakitan. Ibuku tak henti-hentinya memeluk dan menangis di dekatku, inilah yang aku takutkan selama ini. Ibuku merasa cemas dan khawatir terhadap keadaanku sekarang. Tibalah kami di rumah sakit dan pas sekali dokter Jae sedang berada di lobby, akhirnya aku dibawa ke ICU dan diperiksa olehnya.
“Yuri, kamu masih bisa mendengarku kan?” Tanya dokter Jae.
“I...iya.”
“Ppppeeruttt, sa ya.. sa..kit, dok.” Tuturku terbata-bata.
“Iya, iya.”
10 menit kemudian aku merasa sedikit lega, sakit itu mereda setelah dokter Jae memberikan cairan padaku.
“Sebenarnya apa yang terjadi pada Yuri, dok?” Tanya ibuku.
“Oh, jadi dia bi? Dia dokter yang melakukan operasi pada Yuri?” Tanya Jevan dengan nada sedikit tinggi.
“Iya, Jevan. Ini dokter Jae yang bibi ceritakan waktu itu.” Jawab ibuku.
Jevan mencengkram pakaian dokter Jae, “Jadi anda? Anda yang mengoperasi Yuri? Apa semuanya berjalan lancar? Apa anda yakin Yuri kesakitan bukan karena operasi itu? Apa ada kesalahan dengan operasi yang anda lakukan sebelumnya? Jawab saya!” Teriak Jevan.
“Jevan! Jangan begitu.” Kata ibuku.
“Sebelumnya tolong alihkan tangan anda.” Kata dokter Jae.
Jevan melepas cengkeramannya.
“Sepertinya anda salah paham dengan saya. Operasi yang saya lakukan sebelumnya berjalan dengan baik dan lancar. Buktinya Yuri bisa sembuh dalam waktu dua minggu ini.” Kata dokter Jae.
“Anda tahu dari mana? Siapa tahu dampaknya baru muncul sekarang. Atau anda memang menutupi kesalahan anda ya?” Tanya Jevan marah.
“Maaf, ya. Saya bukan orang yang seperti itu. Jika anda menuduh saya, anda salah besar.” Kata dokter Jae.
“Maaf, dok. Maafkan Jevan.” Kata ibuku.
“Bibi tidak usah minta maaf, karena dokter ini yang salah. Dia sudah melakukan kesalahan dalam mengoperasi Yuri. Lihatlah, bi. Sekarang Yuri kesakitan, di bagian perutnya lagi.” Kata Jevan.
“Jika anda bisa diam, saya akan menjelaskan semuanya.” Kata dokter Jae.
Jevan dan ibuku terdiam.
“Ada apa sebenarnya, dok? Apa yang dikatakan Jevan benar?” Tanya ibuku.
“Ya iyalah, bi.” Sahut Jevan kesal.
“Sebenarnya Yuri tidak mau ada orang lain yang tahu tentang semua ini.” Kata dokter Jae.
“Apa, dok?” Tanya ibuku.
“Jadi... sebenarnya gejala sakit itu sudah dari beberapa hari yang lalu. Yuri pun sudah ke rumah sakit ini lagi ketika bersama saya.” Kata dokter Jae.
“Lalu kenapa tidak memberitahu saya secepatnya?” Tanya ibuku.
“Yuri berkata akan memberitahu ibu sendiri, dan jika waktunya sudah tepat.” Jelas dokter Jae.
“Lalu apa lagi, dok?”
“Sebenarnya Yuri mengidap ... tumor, bu.” Kata dokter Jae.
“Apa? Tumor?” Tanya ibuku histeris.
“Ada penyakit lagi di tubuh Yuri? Dokter, apa benar itu semua. Coba periksa lagi, siapa tahu dokter salah.” Kata ibuku sambil meneteskan air mata.
“Benar, bu. Ini hasil pemeriksaannya.” Kata dokter Jae sambil menyerahkan berkas pemeriksaan.
“Dokter... apa yang harus kita lakukan demi kesembuhan Yuri?” Tanya ibuku.
“Kita harus operasi lagi, bu. Agar tumor itu tidak menyebar kemana-mana.” Kata dokter Jae.
“Baik, baik jika itu yang harus dilakukan. Saya setuju.” Jawab ibuku.
...
Saat itu ibuku sudah melakukan persetujuan di atas kertas putih agar aku bisa segera melakukan operasi. Dokter Jae sebenarnya sudah menyiapkan operasiku beberapa hari yang lalu, dia membuat beberapa alternatif lain agar aku bisa di operasi. Namun hari ini dia hanya tinggal melaksanakannya saja. Ibuku sangat terpukul dengan kejadian ini, lagi-lagi dia harus menungguku melakukan operasi dan air matanya terus menerus mengalir deras. Jevan yang memiliki perhatian lebih padaku, jadi sedikit sensitif ketika bertemu dengan dokter Jae. Dia merasa kalau dokter Jae bukanlah dokter yang memiliki kemampuan yang mumpuni, dan dia membencinya karena aku tersakiti seperti ini.
Operasiku selasai setelah 8 jam, dan ibuku dan Jevan masih setia menungguku di depan ruangan. Dia terlihat kelelahan, matanya sembab dan gelap, semua ini karenaku lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments