Hari mulai beranjak malam. Mereka berempat sudah berjalan cukup jauh ke arah utara. Jalanan sudah terlihat mulai gelap.
"Kurasa saatnya kita mencari tempat istirahat, Putri," ujar Jean yang tampak memandang berkeliling. Memastikan keadaan sekitar aman.
"Benar, jalanan sudah mulai gelap," Lucia menjawab. "Dan dua pemuda itu tampaknya juga sudah mulai kelelahan," ucapnya kemudian.
Jean menoleh ke belakang. Tampak dua pemuda itu sudah mulai berjalan dengan gontai mengikuti mereka berdua.
"Sepertinya mereka tidak pernah melakukan perjalanan jauh sebelumnya. Mereka mudah sekali haus dan punya stamina yang sangat buruk. Bahkan dibanding dengan seorang gadis." Jean berkata.
"Benar. Akupun terkejut mengetahui mereka lemah sekali. Apa mungkin mereka keturunan campur dari orang Seitrh?" Lucia menduga-duga.
"Entahlah. Saya belum pernah melihat keturunan Seithr yang berperawakan seperti mereka, meskipun hanya campuran. Ada beberapa ketidakmiripan, namun besar kemungkinan mereka murni Morra," balas Jean juga dengan dugaannya.
Namun tiba-tiba perbincangan Lucia dan Jean disela oleh salah satu dari pemuda di belakang mereka yang berteriak-teriak tidak jelas sambil menunjuk ke arah jalanan di depan. Dan saat Jean dan Lucia mencari tahu, tampak cahaya jingga berpendar di antara remang malam di hadapan mereka.
"Apa itu cahaya api unggun?" tanya Lucia memincingkan matanya.
"Sepertinya. Kita harus waspada. Siapa tahu itu adalah teman-teman mereka, para bandit dan perampok," jawab Jean yang terlihat mulai waspada.
Mereka berjalan mendekat ke arah cahaya itu berasal. Dan terlihat sebuah kereta yang tampak rusak di bagian roda, dan seorang tua yang sedang duduk di depan sebuah api unggun.
Melihat ada yang menghampiri, pria tua tadi segera berdiri dan bersikap waspada. Sebuah tongkat kayu tampak siap dalam genggaman tangan kanannya.
Mendapati reaksi tersebut dari pria tua tadi, Lucia segera menyapa, "Selamat malam, Tuan. Kami sedang dalam perjalanan menuju ke utara. Apakah boleh, bila kami ikut beristirahat di tempat Anda ini?" Seraya melepas surban yang ia kenakan.
"Oh, syukurlah Anda sekalian bukan bandit," saut pria tua tersebut dengan nada lega setelah melihat Lucia dan Jean yang datang menghampirinya.
"Saya Lucia," ujar Lucia memperkenalkan diri saat mereka sudah mulai duduk beristirahat melingkari api unggun.
Gadis mungil itu memiliki paras yang cantik. Hidungnya terlihat mancung. Rambutnya yang berwarna kuning keemasan ia sanggul ke atas dengan anggun. Tampak hiasan rambut kecil berbentuk rangkaian bunga tersemat di belakang sanggulan tersebut. Matanya yang berwarna biru terang terlihat serasi disanding dengan warna kulitnya yang tampak putih berseri.
Meski pakaian yang Lucia kenakan terlihat mewah dan cukup berkelas, namun pakaian itu adalah pakaian bangsawan laki-laki. Tidak cocok dengan pembawaannya yang feminim serta bentuk tubuhnya yang proporsional sebagai seorang gadis.
Sebuah kemeja putih lengan panjang dengan renda kecil di ujung lengan, yang dirangkap dengan rompi berwarna hitam berbahan beludru, yang masih dirangkap lagi dengan jas tanpa kancing setinggi pinggul dengan bahan dari satin berwarna biru tua, penuh dengan sulaman bermotif rumit berwarna emas di tiap ujungnya.
Dan sebuah celana panjang berbahan kulit berwarna cokelat, ditambah sepatu bot yang terbuat dari kulit hewan berkualitas.
"Saya Jean." Kali ini Jean yang memperkenalkan diri dan mulai melepas kain surban yang menutupi tubuhnya. Dan kini terlihat jelas baju pelindung yang ia kenakan. Tampak mengkilat memantulkan cahaya dari api unggun.
Pakaian yang dikenakan Jean tidak jauh berbeda dengan pakaian Lucia. Hanya saja, Jean tidak mengenakan jas. Alih-alih ia menggantinya dengan plat logam yang terpasang di bagian kedua pundak, kedua siku hingga lengan bawah, sisi pinggang sebelah kiri dan kanan, kemudian lutut hingga tulang kering. Sementara di bagian dadanya, ia rangkap dengan rompi kulit tebal, yang garis lehernya melingkar ketat di sekitar leher.
Itu adalah pakaian yang biasa digunakan oleh para ksatria bangsawan. Yang sering kali disanding dengan sebuah pedang di pinggang.
Pakaian itu sangat cocok dengan postur tubuh Jean yang cukup besar. Juga pas dengan bentukan rahangnya yang tegas, serta rambutnya yang dipotong sangat pendek. Terasa sangat maskulin.
Gadis bongsor itu juga memiliki mata berwarna biru langit dan rambut kuning keemasan, sama seperti Lucia.
"Perkenalkan, nama saya Couran." Giliran pria tua tadi yang memperkenalkan diri dengan sopan. Terlihat rambutnya yang berombak itu sebagian sudah berwarna putih. Namun senyuman dan tatapannya masih terlihat remaja diantara kerutan di bawah mata dan kumisnya yang jarang-jarang itu. "Apakah Anda seorang ksatria kerajaan, nona Jean?" tanya Couran setelah melihat lambang yang dikenalinya, tertatah di pegangan pedang Jean.
"Benar Tuan Couran, saya memang ksatria kerajaan dari Elbrasta. Sedang Tuan sendiri berasal dari mana kalau saya boleh tahu?" Jean memulai percakapan.
"Saya dari desa Baltar, seminggu perjalanan dari batas utara tanah Pharos ini," jawab Couran seraya mulai mengeluarkan banyak gelas kayu dari dalam kereta nya.
"Dan apa yang sedang terjadi, Tuan Couran? Sepertinya kereta Anda mengalami masalah," tanya Jean menyambung.
"Saya sudah dua hari di tempat ini. Itu karena sebelumnya saya sedang sial bertemu Anjing Liar Padas yang membuat panik kedua kuda saya. Dan akhirnya kuda saya kabur dan as roda kereta saya patah," jawab Couran seraya menuangkan teh dari teko ke gelas-gelas tadi.
"Tapi syukurlah Anda baik-baik saja, Tuan Couran. Lalu apa yang Anda tunggu? Kenapa Anda tidak melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki?" Kali ini Lucia yang bertanya.
"Tadinya saya berpikir demikian. Namun saya tidak bisa meninggalkan barang-barang saya begitu saja di tempat ini. Maka dari itu saya mencoba untuk mengubur barang-barang saya sebelum melanjutkan perjalanan. Dan akan kembali dengan kereta yang baru untuk menggambilnya nanti," jawab Couran seraya membagikan cangkir teh ke empat orang tamunya itu.
"Apakah barang-barang itu sangat berharga, Tuan Couran?" Lucia bertanya penasaran.
Couran hanya tertawa pendek sebelum menjawab, "Itu hanya papirus dan gulungan buku yang saya tulis."
"Apakah Anda seorang Cendikia, Tuan Couran?" Tanya Jean kemudian.
"Hahaha... Cendikia? Saya hanya seorang yang penasaran dan tertarik dengan alam dan sejarah. Hanya itu saja."
Jean ikut tertawa. "Saya tidak begitu mengerti juga tentang hal tersebut, tetapi sepertinya Anda sedang merendah, Tuan Couran."
"Lalu, apa yang sebenarnya sedang Anda tulis, Tuan Couran?" Kali ini Lucia yang ganti bertanya seraya menyesap teh hangat di tangannya.
"Saya menulis tentang apa saja yang saya temui dalam hidup ini. Kadang tentang kebudayaan, kadang juga tentang bebatuan," jawab Couran kemudian.
"Dan apakah bebatuan itu yang membawa Anda sampai ke Tanah Mati ini, Tuan?" Lucia melanjutkan pertanyaannya.
"Hahaha... bukan. Saya sedang membuat peta rute jalur perjalanan untuk Tanah Pharos ini," Couran menjawab dengan nada yang terdengar sedikit bangga.
"Wah! Anda sedang membuat peta jalur wilayah Pharos ini? Bisa jadi sangat bermanfaat untuk orang-orang yang belum pernah melewati tanah gersang ini," ujar Lucia yang tampak benar-benar kagum, mendengar hal yang tengah dilakukan oleh Couran itu.
"Saya juga berharap bisa bermanfaat. Meski mungkin baru untuk orang-orang di sekitar saya saja." Couran terlihat tersenyum puas.
"Saya salut melihat di usia Anda sekarang, masih ingin melakukan hal seperti itu," ucap Lucia kemudian.
"Bukankah umur hanyalah angka?" ucap Couran yang ditanggapi dengan tawa oleh Lucia dan Jean.
Dan baru kemudian Couran sadari bahwa kedua pemuda yang datang bersama Lucia dan Jean tadi hanya terdiam terlihat seperti sedang kebingungan. Dan bahkan belum juga mengenalkan diri.
"Maaf, tapi siapa mereka berdua ini, nona Lucia?" tanya Couran seraya mengarahkan pandangannya ke arah dua pemuda yang duduk meringkuk di sebelah Jean.
"Oh, mereka? Kami juga tidak tahu. Mereka kami temuka di jalan saat hendak menuju kemari. Dan mereka sama sekali tidak paham dengan bahasa kita. Kami kesulitan berkomunikasi dengan mereka," jelas Jean kemudian.
"Karena tampaknya mereka tak akan bisa bertahan bila ditinggal begitu saja di tanah ini, maka kami mengajaknya serta. Setidaknya sampai keluar dari tanah ini," tambah Lucia kemudian.
"Anda begitu baik hati, nona muda," ucap Couran yang mulai terlihat penasaran dengan dua pemuda asing tersebut.
Baru kemudian Couran sadari, setelah memperhatikan kedua pemuda itu dengan seksama. Bahwa segala hal yang menempel pada tubuh mereka, tidak pernah ia lihat selama ia mempelajari kebudaya-kebudaya dunia selama ini. Hal itu makin membuat rasa penasaran Couran bertambah.
"Apakah boleh saya berbincang dengan mereka?" tanya Couran kemudian meminta ijin.
"Silahkan, siapa tahu Tuan Couran mengerti bahasa yang mereka pakai," jawab Lucia mempersilahkan.
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 295 Episodes
Comments
Al^Grizzly🐨
Novel ini kalau di bikin filem..bagus...latar belakangnya Eropa..pasti banyak yg nonton .
2022-07-15
0
Ghiets'Enay
Aksa nata gelud ae
2022-01-23
1
V⃝🌟 Ky ɪⷶʀͩᴠͥɪᷠɴͩɢͣ 🌅🐉
nevel novel author ini sangat sangat tipe fantasy barat dan sangat keren keren tp mengapa msh sedikit yg melihat...
mungkin kurang promosi kali yaa hehe...
2022-01-16
1