Catatan Dinasti Seribu Tahun
Lucia dan Jean sedang berkuda melewati Ceruk Bintang. Daerah luas yang terdapat sebuah jurang besar dan tebing yang terbentuk, karena konon ada bintang yang jatuh diatasnya. Mereka dari kota Varun yang ada di dataran selatan, dua hari perjalanan dari tempat ini. Dan mereka masih perlu dua hari lagi untuk melewati wilayah ini. Wilayah Pharos.
Cuaca sangat terik siang ini, matahari tak segan membakar semua hal yang ada di atas bebatuan. Ditambah daerah gersang nya yang tidak memiliki satu tempat pun untuk berteduh, membuatnya tidak salah bila wilayah ini dikenal dengan sebutan Tanah Mati.
"Panas sekali, Jean," ucap Lucia seraya membenahi tudung surbannya.
"Siapa kemarin yang tidak ingin naik kapal laut?" saut Jean yang sudah menutup rapat wajahnya dengan surban.
Lucia hanya terdiam menekuk wajahnya menghilang dibalik kain surban yang tebal, karena perawakannya yang mungil. Menyisakan warna biru matanya yang berkilatan mengawasi jalanan.
"Padahal cuma perlu dua hari di atas laut, dan tidak terbakar matahari sampai seminggu penuh seperti sekarang," tambah Jean.
Berbeda dengan Lucia, Jean punya perawakan yang gagah untuk seorang perempuan. Terlihat baju pelindungnya menyembul di sela-sela kain surban yang ia balutkan ke seluruh tubuh. Berkilauan di bawah panas yang terik.
"Iya-iya, aku yang salah," jawab Lucia membuat wajah sebal dibalik surbannya.
"Lagian apa yang Anda takutkan dengan berada di atas lautan, Putri?" Jean bertanya dengan nada tidak senang.
"Aku hanya tidak suka tidak menginjak daratan terlalu lama. Itu saja," elak Lucia kemudian. Padahal sebenarnya, gadis itu tidak tahan dengan goncangan saat berada di atas laut.
Perbincangan mereka kemudian dihentikan oleh suara gelegar halilintar yang tiba-tiba saja terdengar.
"Suara halilintar?"
"Di Tanah Pharos?"
Dan tak jauh dari tempat mereka berdiri, langit mendadak berubah gelap. Seolah awan mendung yang bergulung dengan sangat cepat.
"Apa itu, Jean?" Lucia terheran-heran dengan fenomena aneh tersebut.
"Entahlah, kurasa kita harus menjauh. Saya merasakan hal yang tidak enak," saut Jean yang juga tidak mengerti melihat hal ganjil tersebut.
Kemudian dari pusat awan itu bergulung, muncul percikan cahaya yang kemudian membentuk seperti lorong dengan cahaya ungu kebiruan yang berputar dalam kegelapan pekat.
Lucia dan Jean belum bergerak dari tempat mereka, saat kemudian gulungan awan mendung itu lenyap seketika bersamaan dengan suara seperti retakan ranting namun terdengar kencang menggema.
Dan terlihat sesuatu jatuh dari lingkaran cahaya aneh tadi tepat sebelum lenyap.
"Aku melihat ada yang terjatuh dari awan itu, Jean."
"Iya. Saya juga melihatnya, Putri."
"Ayo kita lihat." Belum juga mendapat reaksi dari Jean, Lucia segera memacu kudanya melaju.
"Putri, tunggu!" Segera Jean menyusul.
Meski terlihat seolah dekat, namun jarak dari tempat mereka menuju tempat di mana sesuatu tadi terjatuh ternyata cukup jauh. Itu karena mereka harus memutari sebuah tebing terlebih dahulu untuk akhirnya tiba di tempat tersebut.
Tampak di dataran gersang yang luas di hadapan mereka, dua pemuda sedang sibuk memunguti barang-barang yang berserakan.
"Hei, siapa kalian?!" teriak Lucia yang mulai memelankan laju kudanya.
Dua pemuda itu terkejut mendengar ada yang berteriak. Kemudian salah seorang dari mereka balik berteriak, namun Lucia dan Jean tak mengerti apa yang pemuda itu teriakan.
Pemuda yang satu lagi ikut berkata-kata begitu kuda Lucia dan kuda Jean berhenti dihadapan mereka. Namun perkataannya masih tidak bisa dipahami oleh Lucia dan Jean.
Berkulit sedikit coklat dengan rambut berwarna hitam bergelombang, Lucia menduga kedua pemuda itu adalah orang Morra.
Mereka mengenakan pakaian yang aneh. Terlalu tipis untuk dipakai melewati tanah gersang seperti ini.
Keduanya memakai baju yang hanya selembar berwarna putih, dengan bentuk yang tak lazim Lucia temui di dataran ini. Dan juga mengenakan celana panjang yang sama tipisnya berwarna biru langit.
Yang satu membawa sebuah tas yang di kalungkan menyelempang di pundak kanannya, sedang yang satu lagi menenteng seperti jubah berwarna biru gelap dengan bahan yang terlihat halus tapi tidak bersinar seperti kain sutra.
Mereka berdua juga memakai alas kaki yang tampaknya bukan terbuat dari kulit binatang ataupun rotan. Warnanya putih kusam dengan banyak tali dan gelangan besi kecil di bagian depannya.
"Siapa kalian?" tanya Jean kali ini.
Kedua pemuda itu menjawab bergantian dengan ucapan yang masih tidak bisa dimengerti.
"Apa kalian yang jatuh dari awan aneh tadi?" Lucia masih berharap mereka akan menjawab dengan bahasa yang dapat ia pahami. Tapi nyatanya tidak. Kedua pemuda itu masih berbicara dengan bahasa asing mereka.
Dan setelah saling mencoba berkomunikasi cukup lama, akhirnya mereka berempat menyerah.
"Mereka sama sekali tidak mengerti ucapan kita, Jean." Lucia terdengar sedikit kecewa.
"Benar. Apa mereka dari daratan di seberang daratan ini? Apakah awan aneh tadi, semacam sihir pemindah?" Jean terlihat serius berpikir.
"Mereka sepertinya tidak mengenal tempat ini. Lihat saja, bahkan mereka mengenakan pakaian seperti itu di wilayah ini," Lucia mengungkapkan hasil pengamatannya. "Apa mungkin mereka salah tujuan saat menggunakan sihir dari batu Arcane?" tebaknya kemudian.
"Mungkin saja." Jean menjawab cepat.
"Dan berarti kemungkinan besarnya mereka tidak akan bisa bertahan menyeberangi tanah ini sendirian," ujar Lucia menyimpulkan.
Jean juga sadar akan hal tersebut. "Lalu apakah Anda ingin mengajak mereka keluar dari tempat ini, bersama kita?" tanyanya kemudian.
"Benar. Setidaknya sampai mereka berada di luar Tanah Mati ini," ujar Lucia. "Bila tidak, bisa-bisa mereka mati diserang hewan buas di sekitar wilayah ini. Atau mati kehausan dan kelapan karena kelihatannya mereka tidak membawa bekal makanan dan senjata."
Jean menatap Lucia dengan tampang tidak suka. Memang benar dua pemuda itu tidak terlihat membawa senjata atau bahkan kantong air minum. Tapi hal tersebut tetap saja mencurigakan.
"Bisa jadi mereka adalah perampok gurun yang sedang berpura-pura. Dan begitu malam tiba, rekan mereka akan muncul dan mengambil semua barang kita," ujar Jean mengungkap kekuatirannya.
Lucia menatap Jean dengan wajah kesalnya. "Tapi jika ternyata bukan, berarti kita membiarkan mereka mati di tempat ini, Jean," ucapnya kemudian.
Mendengar ucapan dan wajah Lucia, Jean hanya bisa menghembuskan nafas pasrah. Ia tau gadis keras kepala itu tak akan merubah keputusannya. "Tapi Anda harus tetap waspada, putri. Kita tidak tahu apa tujuan mereka yang sebenarnya."
"Siap, Jean Sang Mirthil. Aku akan berhati-hati," jawab Lucia dengan senyuman. Yang di balas dengan tampang lesu oleh Jean.
Tanpa perlu turun dari atas kuda, Lucia mengeluarkan dua kain surban cadangan dari dalam tas di samping pelananya, kemudian melemparkan ke dua pemuda itu. Setelahnya Lucia mulai melakukan gerakan seperti sedang memakai surban tersebut, dan menunjuk ke arah matahari.
Itu adalah cara Lucia untuk berkomunikasi tanpa menggunakan bahasa ke kedua pemuda itu. Dan tampaknya dua pemuda itu memahaminya. Mereka mulai memakai kain surban tersebut sebagai pelindung dari sengatan matahari.
Melihat kedua pemuda itu paham akan isarat dan maksud dari gerakannya, Lucia kemudian meminta kedua pemuda itu untuk mengikutinya. Dan akhirnya mereka berempat mulai berjalan meninggalkan tempat tersebut.
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 295 Episodes
Comments
Al^Grizzly🐨
Membaca Kembali yg ke4x...Cerita Petualangan yg sangat Menarik untuk Di Baca.
2024-06-10
1
Hadi Ghorib
baca ulang
2024-04-11
1
Hanachi
yes .. baca ulang 😄😄
2023-08-01
1