Terlihat Aksa duduk sambil dengan seksama mengamati layar laptop di hadapannya. Mendorong kembali kacamatanya yang jatuh ke ujung hidung, kemudian mulai menekan keyboard untuk melakukan pemeriksaan sekali lagi.
Pemuda ini memang tak terbiasa memakai kacamata bila tidak sedang di depan laptopnya. Hingga kacamata tersebut selalu terasa tidak pas saat dipakai.
Sedang Nata berada di ujung ruangan sedang memeriksa panel yang terlihat rumit. Memastikan bahwa tidak ada jaringan yang salah posisi.
Rambutnya yang panjang sedang itu dikuncir ke atas sekenanya dengan karet bekas. Agar tidak mengganggu saat ia harus menunduk memeriksa kabel-kabel dibalik panel tersebut.
"Kau yakin dengan hal ini, Nat?" tanya Aksa terlihat sedikit bimbang.
"Sudah, tenang saja," ujar Nata.
"Terakhir kau bilang tenang, kita berakhir dengan seminggu penuh skorsing," balas Aksa.
"Tapi dengan begitu kita bisa dapat approval projek ini, kan?" Nata berpindah ke panel yang lain.
"Maka dari itu, kita sudah dapat lampu hijau untuk projek ini. Jadi kenapa kita masih melakukan percobaan secara sembunyi-sembunyi seperti sekarang? Pake malam-malam nyelinap ke dalam Lab, lagi." Aksa terlihat masih sibuk di depan layar laptopnya. Melakukan pemeriksaan ulang.
"Aks, kita perlu teori pendukung untuk mendapat persetujuan melakukan percobaan ini. Sedang kadang kita perlu melakukan percobaan terlebih dahulu untuk menciptakan teori yang sampai sekarang belum pernah kita ketahui itu ada," tukas Nata.
"Aku tahu itu, tapi bila percobaan ini gagal, kita bisa dicabut dari projek ini selamanya, Nat."
"Yah, resiko terburuknya sih, itu. Selain arus listrik setengah kota akan mati sebentar," jawab Nata dengan ringan. "Oke, kita mulai," ucapnya lagi seraya menuju ke arah mesih berbentuk kubus limas yang mempunyai tiga gelang yang saling bersinggungan di atasnya. Mesin itu terbuat dari campuran logam dan carbon. Warna perak dan hitamnya terlihat serasi.
Aksa hanya terdiam pasrah saat Nata mulai menarik tuas pengaktifan.
Tak lama kemudian alat tersebut mulai bergetar pelan. Gelang-gelang yang bersinggungan di bagian atasnya mulai berputar berlawanan arah. Yang lama-kelamaan mulai terlihat menyerupai bentuk sebuah bola. Dan mulai menimbulkan percikan-percikan listrik di sekitarnya.
Terlihat senyuman mengembang di wajah Aksa dan Nata.
"Masukan ke fase berikutnya, Aks."
Tampak Aksa mulai melakukan sesuatu di depan laptopnya. Yang kemudian gelang-gelang itu mulai berdesing semakin cepat, hingga menimbulkan tiupan angin sepoi di dalam ruangan tersebut. Kertas-kertas yang ada di atas meja mulai berhamburan.
"Semua masih stabil, bersiap menambahkan akselerasi."
Kemudian mesin tersebut bergetar semakin cepat. Terus bertambah cepat, hingga akhirnya suara berisiknya mulai digantikan dengan suara dengungan yang konstan.
Namun tak lama kemudian, mulai terdengar suara seperti retakan-retakan ranting yang mengganggu dari pusat gelang-gelang mesin tersebut. Lalu disusul dengan munculnya sesuatu yang berbentuk seperti lorong cahaya yang menarik segala hal masuk secara cepat.
Belum sempat bereaksi, Aksa dan Nata tertarik masuk ke dalam lorong tersebut. Dan beberapa waktu kemudian, mereka sudah mendarat di tanah gersang dengan matahari terik tepat di atas kepala. Barang-barang dari laboratorium yang ikut tertarik oleh lingkaran aneh tadi tampak berhamburan di sekitar mereka.
Nata duduk terdiam di tempatnya terjatuh tadi. Ia sedang menganalisa situasinya sekarang. "Apa percobaan kita berhasil, Aks?" tanyanya kemudian.
Aksa memutar pandangannya ke sekitar. Tampak ia kehilangan kacamatanya.
"Entahlah Nat, kurasa hal ini bisa disebut juga sebagai keberhasilan. Karena kita tidak mati," jawab Aksa seraya menegakan tubuh dan menyilakan kedua kakinya.
"Benar juga. Tapi, di mana kita sekarang?" Nata masih mencoba mengamati sekitarnya.
"Yang jelas sih, bukan di komplek laboraturium lagi," jawab Aksa sekenanya.
"Dan apa tadi itu lubang cacing? Kenapa kita masih utuh setelah melewatinya? Apa teori gravitasi segala arah dari Black Hole itu tidak benar? Atau portal yang tercipta tadi adalah hal yang lain lagi?" ujar Nata yang mulai berdiri dan membersihkan debu dari celananya.
Mereka berdua terlihat masih mengenakan seragam institut tempat mereka belajar. Kemeja putih dan celana panjang biru langit.
"Apa sekarang kita ada di Axis 47, Aks?" tanya Nata kemudian.
"Entahlah, kita harus memeriksa posisi bintang terlebih dahulu." Aksa masih bersila seraya memperhatikan sekitarnya. Yang sejauh mata memandang adalah padang gersang. "Dan sekarang apa teori yang kau dapat dari percobaan kita barusan?" tanyanya kemudian dengan nada sinis.
"Ayo segera bergegas, Aks. Kita harus mencari tempat berteduh. Di sini panas sekali," ucap Nata seraya mulai mengumpulkan barang-barang yang berserakan di sekitar tempat tersebut, mengacuhkan pertanyaan sinis Aksa.
"Hanya dengan barang-barang seperti ini, bagaimana kita bisa kembali ke bumi?" keluh Aksa seraya ikut mengambil barang-barang seperti kertas, ballpoint, obeng, potongan kabel yang berserakan di sekitarnya.
Nata menghelai nafas, "Entahlah. Tapi setidaknya kita masih punya jaketmu dan tas punggungku," jawabnya seraya mengangkat jaket jumper biru gelap dan tas punggung yang terbuat dari kulit imitasi.
"Kita bahkan tidak punya alat digital sama sekali," balas Aksa lebih lesu.
"Kurasa bila memang tempat ini adalah Axis 47, berarti secara teori ada kehidupan di sini. Jadi kita harus mencari seseorang terlebih dahulu," ujar Nata.
"Kuharap itu adalah orang," saut Aksa kemudian.
Kemudian di tengah perbincangan, tiba-tiba mereka berdua mendengar suara. Dan saat dicari tahu arah datangnya, terlihat dua orang berkuda sedang menuju ke arah mereka.
Aksa menatap Nata sebentar, "Itu orang di atas kuda, kan?" Kemudian memastikan ke Nata.
"Kurasa, iya."
"Hei! Halo! Kami perlu bantuan!" teriak Aksa kemudian seraya melambai-lambaikan tangannya ke udara.
"Sepertinya mereka punya bahasa sendiri, Aks," ucap Nata menyimpulkan, setelah mendengar balasan dari orang-orang di atas kuda itu.
"Ya, aku tahu. Kuharap tadinya itu adalah bahasa Klingon," jawab Aksa dengan lesu.
Dan setelah orang di atas kuda itu mendekat, baru terlihat bahwa mereka adalah dua orang perempuan. Yang satu lebih muda, dan yang satu lagi memiliki perawakan bongsor.
"Nat, kau lihat yang besar itu memakai pelindung tangan dan kaki dari plat besi, kan?" Aksa mulai terlihat antusias.
"Sudah, tidak perlu kau teruskan," sergah Nata yang tahu akan ke mana arah pembicaraan Aksa.
"Dia juga membawa pedang di pinggang, serta mengendarai kuda," tambah Aksa yang tidak perduli akan peringatan dari Nata.
"Sudah berhentilah, Aks."
"Aku yakin yang bongsor itu pasti seorang ksatria, dan yang mungil ini seorang putri."
"Cukup, hentikan delusimu itu, dasar geek."
"Yang berarti, sekarang ini kita sedang berada di dunia fantasy. Di tanah pedang dan sihir!" Aksa terus berucap dengan wajah yang semakin sumringah.
"lni yang bikin kamu ga pernah bisa punya pacar," timpal Nata kemudian.
Wajah Aksa segera berubah manyun setelah mendengar ucapan Nata tersebut. "Tunggu saja bila nanti aku sudah mendapat kekuatan sihir saat menyentuh relik legendaris, akan kubuat kau menelan ucapan mu barusan," ucap Aksa dengan sinis.
"Sekarang yang terpenting, kita harus bisa berkomunikasi dengan mereka. Sebelum kau meminta mereka menuntun mu ke relik legendaris yang kau impikan itu.," ujar Nata yang kemudian mencoba untuk berkomunikasi dengan kedua perempuan tadi. Mengacuhkan keberadaan Aksa.
Sedang Aksa hanya menatap Nata dengan sinis seraya menyipitkan matanya.
.
Dan setelah berusaha cukup lama, akhirnya mereka menemukan satu bentuk komunikasi yang berhasil. Yaitu dengan bahasa tubuh dan isyarat.
Perempuan yang mungil tadi memberi mereka lembaran kain untuk melindungi kepala dari sengatan matahari, lalu meminta mereka berdua untuk mengikutinya.
"Kurasa dia gadis yang baik. Dia ingin kita mengikutinya, pasti karena dia sadar kita bukan dari sekitar sini. Dan kita tak akan berhasil bertahan bila sendirian," ucap Nata saat ia dan Aksa sudah mulai berjalan mengikuti kedua perempuan berkuda tersebut.
"Aku berharap salah satu dari mereka punya semacam sihir untuk menciptakan awan," gerutu Aksa yang terlihat malas berjalan di samping Nata.
Sedang Nata ganti menatap Aksa dengan sinis seraya menyipitkan matanya.
-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 295 Episodes
Comments
Hanif Purwo nugroho
serius tanya, apa sih geek?
2025-01-26
0
Hanachi
berarti tanah Pharos ini adalah padang gersang ya, bukan padang pasir. hamparannya adalah bebatuan dan tanah padas.
2023-08-01
2
Adryan Eko
good job
2023-04-16
0